tag:blogger.com,1999:blog-60957678146721487032024-03-06T15:13:46.817+07:00Bung ImamBung ImamBung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.comBlogger123125tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-13786405512798033042023-09-06T12:41:00.001+07:002023-09-06T12:43:47.680+07:00'Beta Mo Tidur Deng Bapa'<p><b style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px; text-align: center;"><span face="Verdana, sans-serif"><em></em></span></b></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><b style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px; text-align: center;"></b></div><b style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px; text-align: center;"><em><br /></em></b><p></p><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px; text-align: right;"><em><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTdkxufnqFZHfguT0uTVxcKuPouEkxftHo8Idh7Gknns_ko7afDH_5wYRHqizXMBoPEypeP0g1Rdk7L9UDuMZudnh2vGzZm4J8_TwmVFWslmqp2HO9POaPInhvrI58Fccawe6gY1-MzqoIoi7Ag2TPO_OexlBwreDJazVpU2veQyZ2cSlvSdpVpBj8Vww/s127/beta-ill.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="95" data-original-width="127" height="281" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTdkxufnqFZHfguT0uTVxcKuPouEkxftHo8Idh7Gknns_ko7afDH_5wYRHqizXMBoPEypeP0g1Rdk7L9UDuMZudnh2vGzZm4J8_TwmVFWslmqp2HO9POaPInhvrI58Fccawe6gY1-MzqoIoi7Ag2TPO_OexlBwreDJazVpU2veQyZ2cSlvSdpVpBj8Vww/w359-h281/beta-ill.jpg" width="359" /></a></em><span style="font-size: x-small;"><b><span face="Verdana, sans-serif"><time class="entry-date updated td-module-date" datetime="2016-06-16T05:26:48+00:00" style="display: inline;"><i>Ilustrasi oleh Gery Paulandhika</i></time></span></b></span></div><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif"><span style="font-size: small;"> </span></span></div><p><b style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px; text-align: center;"><span face="Verdana, sans-serif"><em>Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga.</em></span></b></p><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif"><span class="su-dropcap su-dropcap-style-flat" style="font-size: 2em;">A</span>WAL JANUARI 2016 saya mengajak istri dan anak saya—umur belum genap dua tahun—untuk berkunjung ke lokasi penjara di Pulau Nusa Kambangan, selatan Jawa Tengah. Kami menengok sejumlah tahanan politik (tapol) dari Maluku. Kami datang untuk menjenguk kenyataan bahwa di negeri ini ada sejumlah orang Indonesia dihukum 15 sampai 20 tahun penjara karena beda pandangan politik.</span></div><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif"> </span><span face="Verdana, sans-serif">Pada Juni 2007, mereka menari <em>cakalele</em>—tarian perang tradisional—dan membentangkan bendera “Benang Raja”, simbol Republik Maluku Selatan, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika peringatan Hari Keluarga Nasional di Ambon, ibukota provinsi Maluku. Ini menimbulkan amarah Yudhoyono. Mereka <a href="https://www.hrw.org/id/report/2010/06/22/256085#f63349" style="color: #0077cb; outline: none;">ditangkap dan disiksa</a>. Total ada 68 orang dipenjara. </span><br /><span face="Verdana, sans-serif">Pada 2009, sebagian tahanan politik ini dijauhkan dari keluarga mereka di Ambon dan dipindahkan ke beberapa penjara di Pulau Jawa termasuk Nusa Kambangan.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Membawa anak saya ke penjara membuat suasana pertemuan lebih cair. Para pesakitan politik adalah manusia biasa. Mereka senang melihat anak saya. Mereka minta izin untuk bergantian menggendong. Saya kira mereka ingat anak mereka sendiri.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Ruben Saija, salah satu tapol yang dihukum penjara 20 tahun, memiliki anak perempuan bernama Vike Saija yang kini berumur 10 tahun. Dia tak pernah bertemu putrinya setelah dipindah.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">“Anak saya sebesar ini saat saya pindah,” katanya memperhatikan anak saya.</span><br /><span face="Verdana, sans-serif">Desember 2015, Ruben mencoba bunuh diri ketika putrinya dibaptis dan dia tak ada di Aboru, Pulau Haruku, untuk menyaksikannya. Dia minum racun serangga. Beruntung nyawanya bisa diselamatkan.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">“Hari itu saya merasa tak berdaya,” dia berkata. “Itu hari paling suram buat saya.”</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Seorang tapol lain, Jordan Saija, punya anak laki-laki. Namanya Fredy Saija. Sekarang sudah usia 12 tahun.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Sejak pindah ke Nusa Kambangan, tak ada keluarga mereka yang menengok. Mereka berasal dari keluarga petani sagu—kondisi yang terlalu berat untuk ongkos perjalanan ke Jawa.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">“Satu-satunya orang yang berkunjung ke sini ada adek perempuan Papua beberapa tahun lalu,” tutur Jordan Saija. Dia mengacu pada program pendampingan <a href="http://www.papuansbehindbars.org/?lang=id" style="color: #0077cb; outline: none;">tahanan politik Papua</a>, yang diadakan beberapa organisasi di Jayapura dan Jakarta. <a href="http://www.andreasharsono.net/2015/08/perjuangan-seorang-pegawai-negeri-papua.html" style="color: #0077cb; outline: none;">Filep Karma</a>, seorang mantan tahanan politik Papua, minta para tahanan politik dari Maluku juga dibesuk.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Ruben Saija dan Jordan Saija ditahan di penjara Kembang Kuning bersama empat tahanan Maluku lain: Abner Litamahuputty, Yohanis Saija (17 tahun penjara), John Marcus, dan Romanus Batseran.</span><br /><span face="Verdana, sans-serif">Tahanan politik lain, Johan Teterisa—guru sekolah dasar yang dihukum 15 tahun—berada di balik penjara Batu, Nusa Kambangan. Tiga tahanan lain di penjara Porong: Fredy Akihary, Jonathan Riri, dan Marlon Pattiwael. Satu ditahan di Madiun yakni Pieter Yohannes.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Mereka adalah “tahanan politik yang dilupakan,” demikian Teterisa menyebut nasib dirinya dan teman-temannya. Penderitaan mereka bukan saja muncul dari ketidakpedulian negara, tapi juga dari isolasi. Jarak Nusa Kambangan dan Ambon sekitar 3.000 kilometer, situasi yang sangat merintangi pengalaman manusiawi mereka bertemu dengan sanak-keluarga. Isolasi jelas berdampak pada emosional dan psikologis mereka.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo <a href="http://www.beritasatu.com/nasional/272563-jokowi-akan-ada-lebih-banyak-tapol-dibebaskan.html" style="color: #0077cb; outline: none;">berjanji</a> membebaskan semua tahanan politik di Indonesia—termasuk di Papua dan Kepulauan Maluku—serta menyurati Dewan Perwakilan Rakyat. Namun belum ada jawaban dari Senayan sampai sekarang. Jokowi akhirnya hanya membebaskan lima tapol Papua berdasarkan permintaan grasi dan Karma sendiri dengan remisi.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Filep Karma ikut berkunjung ke Nusa Kambangan. Dia bertanya apakah mereka bersedia mengajukan grasi kepada presiden—artinya memohon pengampunan dengan pengakuan bersalah. Mereka menolak. Mereka mengatakan tidak melakukan kekerasan apa pun. Mereka tak bersalah. Saya kira benar sekali. Pembicaraan berlangsung dengan didampingi petugas penjara. Kami bicara soal kesehatan, upaya hukum, makanan, dan keluarga.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Pulang dari sana mereka minta tolong agar keluarganya dibantu untuk besuk ke Nusa Kambangan. Bagaimanapun perlu duit besar untuk membiayai perjalanan tersebut.</span><br /><span face="Verdana, sans-serif"><span class="su-dropcap su-dropcap-style-flat" style="font-size: 2em;"><br /></span></span></div><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif"><span class="su-dropcap su-dropcap-style-flat" style="font-size: 2em;">P</span>ULANG DARI NUSA KAMBANGAN, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengupayakan agar mereka bisa dibesuk keluarga, yang harus menunggu lima bulan sampai ada cukup duit.</span></div><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif"> </span><span face="Verdana, sans-serif">Awal Juni lalu, kami lantas mengatur perjalanan keluarga tapol ke Nusa Kambangan, Porong, dan Madiun. Semua kunjungan ini resmi dengan izin dari I Wayan Kusmiantha Dusak, direktur jenderal pemasyarakatan di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kami mengusahakan setiap tapol dikunjungi dua anggota keluarga. Kami menelepon keluarga mereka di Ambon dan Aboru.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Rombongan pertama ke penjara Kembang Kuning dan Batu. Di Kembang Kuning: Ruben Saija dikunjungi oleh istrinya Yohanna Saija dan putrinya Vike; Jordan Saija dibesuk istrinya Etha Saija dan putranya Fredy; Yohanis Saija dikunjungi saudaranya Arens Arnold Saija dan putrinya Afril Saija. Romanus Batseran dibesuk saudaranya Randi Batseran dan iparnya Erlin Keyzer. John Marcus dikunjungi mama dan saudara angkatnya: Dortje Wattimena dan Jansen Sasabone. Sementara di Batu: Johan Teterisa dikunjungi dua putra, Rivaldo Teterisa dan Johncard Teterisa, bersama keponakannya.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Mereka adalah ayah, anak, dan saudara dari manusia-manusia di jazirah Maluku. Mereka rindu setengah mati. Mereka bertemu terakhir kali di Ambon dengan kondisi anaknya, suaminya, atau ayahnya babak belur <a href="http://www.pantau.or.id/?/=d/737" style="color: #0077cb; outline: none;">disiksa polisi</a>. Mereka bahkan tak dapat pemberitahuan kalau keluarga mereka dipindah ke Jawa. Setelah beberapa bulan mereka baru tahu dari kabar mulut ke mulut. Hati galau dengan harapan tak menentu.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">“Terakhir ketemu muka suami saya … lebam-lebam penuh luka,” tutur Etha Saija terisak dan memegang kepala putranya.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Tak sedikit keluarga mereka yang rusak dan cerai. Bagi yang keluarganya pegawai negeri, mereka diancam dipecat. Karena tak tahan dengan intimidasi, sebagian keluarga juga memilih keluar dari Ambon. Pohon keluarga terberai; ada anak-anak mereka yang di usia dini memilih kerja ke Jakarta untuk menyambung hidup dan menyokong pencaharian keluarga.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Mereka ingin bertemu, tapi jarak jauh bikin keadaan sulit. Sebagai petani, perjalanan yang pernah mereka lakukan paling banter ke Ambon. Ongkos menjadi kendala utama.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Etha Saija, misalnya, yang tinggal di Aboru—terletak di pantai selatan Pulau Haruku—harus menyeberang naik perahu motor ke Ambon untuk sampai bandara terdekat. Ini perjalanan terjauhnya dan dia memendam bermacam kecemasan.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Dia tak pernah naik pesawat. Bagaimana ongkos naik perahu ke Ambon? Bagaimana masuk bandara? Siapa yang menemani di bandara? Apakah ada uang saku selama di Jawa? Harus bawa oleh-oleh apa? Dan pertanyaan-pertanyaan serupa lain.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Beruntung Arens Saija—satu saudara dengan Ruben dan Yohanis—pernah di Jawa. Dia pernah ditahan di Kedungpane, Semarang, untuk kasus yang sama dengan hukuman 8 tahun penjara. Dia dibebaskan karena sakit keras di penjara.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">“Saya disiksa dan hampir mati di tahanan,” kata Arens Saija.</span><br /><span face="Verdana, sans-serif">Pengalamannya ke Jawa cukup menenangkan rombongan dari Aboru. Mereka berangkat pagi-pagi dari rumah lalu disambung perjalanan udara ke Jakarta, kemudian naik bus menuju Cilacap, perhentian terakhir sebelum menyeberang ke Nusa Kambangan.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Perjalanan amat panjang ini tentu melelahkan bagi mereka terutama anak-anak. Sepanjang perjalanan, Vike Saija (putri Ruben) muntah-muntah dan mabuk. Diberi makanan langsung muntah. Tapi kami menguatkan dirinya karena, bagaimanapun, kesempatan pertama bertemu keluarga setelah terpisah tujuh tahun memburu kami. Pada tengah malam kami sempat istirahat dan makan di sebuah lokasi rehat jalan tol.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Usai makan, Vike mencolek saya dan minta saya merunduk karena ingin membisikkan sesuatu. Dia tertarik dengan apel kayu hiasan di meja kasir. Dengan sopan, dia bilang, “Om, boleh saya minta apel itu?” Saya tersenyum dan bilang kalau itu bukan buah apel tapi apel kayu.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Setelah menempuh perjalanan dua belas jam dan tak berhenti lagi, kami akhirnya sampai di gerbang pelabuhan. Rombongan melepas penat sejenak dan sarapan di warung. Tak ada waktu untuk mandi.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Saya langsung mengurus perizinan masuk. Izin dari Ditjen Wayan Dusak baru diberikan malam saat kami jalan. Seorang kawan dari salah satu lembaga di Jakarta yang terlibat mengatur perjalanan ini mengirimkannya via email. Saya diminta petugas untuk mencetak surat itu. Putar-putar sekitar Cilacap selama satu jam, akhirnya saya bisa dapat mesin <em>printer</em>. Saya kembali tapi rombongan sudah berangkat lebih dulu dan saya ketinggalan di tempat penyeberangan.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Sesuai rencana, kami akan di Cilacap dua hari. Keesokan hari, kami akan besuk Johan Teterisa di penjara Batu. Jadwal besuk antara jam sepuluh hingga dua belas siang.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Di penjara Kembang Kuning, rombongan bertemu ramai-ramai. Tak ada perlakuan khusus dan tak ada privasi. Bahkan jika mereka sudah sekian lama tak bersua. Bahkan sekalipun mereka melakukan perjalanan selama sehari penuh. Mereka membesuk sesuai jadwal biasa.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Saya bertanya kepada Etha Saija. Bagaimana bertemu suami?</span><br /><span face="Verdana, sans-serif">“<em>Dong</em> <em>tra</em> kenal <em>deng</em> anaknya,” katanya.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Saat masuk ruangan, Jordan melihat putranya Fredy tapi berlalu begitu saja dan langsung menuju istrinya.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">“Tapi tak lupa istri kan?”</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">“<em>Seng</em>!”—Tidak, katanya.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Sebelum menyeberang, saya menunjukkan foto Ruben ke Vike seraya bertanya: Adek kenal orang ini?</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Dia langsung menjawab, “<em>Beta pung</em> Papa!”</span><br /><span face="Verdana, sans-serif">Namun ketika bertemu langsung dengan Papanya di Kembang Kuning, dia tak mengenali.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">“Waktu istri dan anak saya tiba di pintu portir, anak saya melewati saya. Itu pun saya sengaja, apakah anak saya masih kenal dengan saya atau tidak. Ternyata saya dilewati oleh anak saya,” kata Ruben Saija, yang lantas mendekati istrinya, Yohanna Saija.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Vike mendekati Mamanya dan bertanya, “Mama, itu Om siapa?”</span><br /><span face="Verdana, sans-serif">“Itu Bapak,” jawab Yohanna. Vike heran dan terkejut dan memandangi Papanya lama sekali.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Lantas Ruben membuka pembicaraan, “Ini Bapak … coba dilihat, muka Bapak dan Vike sama atau tidak?”</span><br /><span face="Verdana, sans-serif">Putrinya mengangguk. Seketika Ruben menarik anaknya, memeluk, mencium, dan memangkunya.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Vike cepat dekat dan mereka bermain dan mengobrol. Dua jam berlalu begitu cepat. Saat disuruh pulang, dia menolak.</span><br /><span face="Verdana, sans-serif">“<em>Beta</em> <em>mo</em> tidur <em>deng</em> Papa.”</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Vike enggan pulang dan ingin menginap di Nusa Kambangan bersama ayahnya. Dia baru mau pulang saat dibujuk kalau nanti setiba di Jakarta kami akan mengajaknya jalan-jalan ke Monas dan Istana Negara. Kami memang kemudian mengajak keluarga tapol jalan-jalan di Jakarta. Yohanna dan Vike beli baju di Monas. Anak-anak senang bermain di kolam renang dan kagum dengan <em>handphone</em> yang bisa melihat video dan banyak gambar. Vike pengin punya HP seperti itu untuk simpan foto-foto Papanya.</span><br /><span face="Verdana, sans-serif"><span class="su-dropcap su-dropcap-style-flat" style="font-size: 2em;"><br /></span></span></div><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif"><span class="su-dropcap su-dropcap-style-flat" style="font-size: 2em;">P</span>ERASAAN SAYA CAMPUR aduk selama menemani keluarga tapol. Baik di Nusa Kambangan maupun Porong. Seketika saya ingat putri saya. Banyak orang dewasa di Indonesia tidak mengetahui isu ini. Pokoknya, orang-orang dari Pulau Haruku—sebelah timur dari Pulau Ambon—dianggap melakukan makar. Ingin merdeka. Lepaskan diri dari “Negara Kesatuan Republik Indonesia”—suatu mantra politik yang seringkali jadi legitimasi paling ampuh sebagai mesin pembunuh negara yang paling kerap dilazimkan. Elite politik di Indonesia, termasuk militernya, terus-menerus membungkam suara politik pemisahan-diri di daerah-daerah yang punya sejarah panjang pergolakan, selain wacana marxisme di kota-kota besar di Jawa.</span></div><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif"><br /></span></div><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif">Karena “dosa” itulah manusia-manusia dari Maluku seakan layak dihinakan. Tanpa mau tahu bahwa mereka sama sekali tak melakukan kekerasan. Mereka hanya menari sembari membawa bendera. Mereka kecewa dengan diskriminasi yang mereka alami. Ini hal biasa saja di negara lain, seperti Katalunya yang ingin merdeka dari Spanyol—representasi terbaiknya adalah klub sepakbola Barcelona dengan simbol kemerdekaan Katalunya di kostum dan benderanya. </span><br /><span face="Verdana, sans-serif"><br /></span></div><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif">Tak pernah ada pemain yang ditangkap. Yang ada justru sebagian pemainnya telah membawa kesebelasan Spanyol menjuarai Piala Dunia 2010. Kalau tak ada kekerasan, suara mereka semestinya ditempatkan sebagai hak kebebasan berekspresi yang memang dilindungi oleh konstitusi Indonesia. Bukan ditangkap untuk disiksa, dipenjara belasan tahun, dipisahkan dari sanak-keluarga—pendeknya, perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Pemerintahan Jokowi harus segera membebaskan mereka dan semua tahanan politik lain.</span><br /><br /><span face="Verdana, sans-serif">Mudah-mudahan kelak ketika putri saya dewasa, tak ada orang yang disiksa dan dipenjara begini lama hanya karena menyatakan aspirasi politiknya secara damai.*</span><br /><span face="Verdana, sans-serif"><span style="font-size: small;"> </span></span></div><div class="td-post-date" style="background-color: white; color: #555555; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;"><span face="Verdana, sans-serif"><span style="font-size: small;"><time class="entry-date updated td-module-date" datetime="2016-06-16T05:26:48+00:00" style="display: inline;"><span style="font-size: x-small;"><b>http://pindai.org/2016/06/16/tahanan-politik-maluku/</b></span></time></span></span></div>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-41219496484226095902016-12-15T14:26:00.003+07:002016-12-15T14:26:48.749+07:00RMS Political Prisoners Reunite With Families After 7-Year Wait<strong>Nusakambangan.</strong> In early January, I brought my wife
and toddler daughter along on a visit to the Nusakambangan prison. We
went there to visit Republik Maluku Selatan — South Maluku Republic, or
RMS — political prisoners. I wanted to show them that in this country
many can still be jailed for holding different political views, some for
as long as 15 to 20 years.
<br />
<br />
In June 2007 in Ambon, these RMS political prisoners danced the
Cakalele and raised the RMS flag in front of President Susilo Bambang
Yudhoyono during a seemingly innocuous ceremony to celebrate National
Family Day. Yudhoyono was incensed. The dancers were arrested, and then
tortured. In total, 68 people were arrested after the incident and
sentenced for up to 20 years in prison.
<br />
<br />
Unfortunately, this is not the end of the story. In 2009, the
political prisoners were forcibly moved, away from their family in
Ambon, to various prisons across Java including Nusakambangan.
<br />
<div class="more-content" style="display: block;">
I
was delighted that my daughter Kembang brought real warmth to our brief
gathering at the Nusakambangan prison. The six RMS prisoners loved
meeting her, took delight in the rare opportunity to hold a child. Their
face lit up as they played with my daughter. Deep down, I think they
were remembering their own children back in Ambon.
<br />
<br />
The prison’s staff watched as we turned to more serious
conversations. We spoke about the prisoners' health, the legacy they
want to leave, food and then, naturally, the topic moved on to families.
<br />
One of the RMS men, Ruben Saija, also has a daughter, Vike Saija,
who is now ten years old. Ruben last saw her in 2009, and has never
seen her since he moved from Ambon to Nusakambangan. “She was as young
as your daughter when I was moved to this place,” he told me.
<br />
<br />
Last December, Ruben attempted suicide by drinking insecticide.
He was frustrated and depressed at not being able to witness his
daughter’s baptism in Aboru on the Haruku Island. Luckily, his life was
spared.
<br />
<br />
Jordan Saija also has a son, Fredy Saija, now twelve years old.
Since Jordan moved to Nusa Kambangan, no one from his family has ever
visited him. They are a family of sago farmers. It simply costs too much
to go to Java. “My only visitor, so far, has been a sister of mine who
had come from Papua some years ago,” he said. The sister had gotten help
to visit Jordan from a program organized by NGOs in Jayapura and
Jakarta. Filep Karma, the popular and influential Papuan ex-political
prisoner, also received assistance from the same organization to visit
the RMS political prisoners.
<br />
<br />
Ruben Saija and Jordan Saija are detained at the Kembang Kuning
prison together with four other political prisoners: Johanis Saija,
Abner Litamahuputty, Romanus Batseran and John Marcus.
<br />
Then there are the others; Johan Teterisa at Batu Prison, also in
Nusakambangan. Three in Porong prison: Fredy Akihary, Jonathan Riri and
Marlon Pattiwael. Another one in Madiun, Peter Yohannes. They had all
been detained since 2007 on Yudhoyono’s order.
<br />
<br />
In May 2015, President Joko "Jokowi" Widodo made a promise to
release all political prisoners in Indonesia — including Papuans and
Moluccans. So far, Jokowi had released five political prisoners who had
asked for clemency, and Filep Karma by remission.
<br />
<br />
When he visited the RMS political prisoners in Nusakambangan,
Filep asked them if they wanted to ask for clemency from Jokowi — and
all of them said no. The RMS men were adamant that they did not commit
any crime. I agree with them.
<br />
<br />
They RMS men did not want clemency, but they did desire one
thing: for their families to visit them at Nusakambangan. A simple
request, but one which would cost a lot of money.
<br />
<br />
Once we were back from Nusakambangan, the Jakarta Legal Aid
Foundation, Human Rights Watch and Pantau Foundation worked on making
their dream to reunite with their families come true.
<br />
The work took five months, but eventually the RMS political prisoners were reunited with their families.
<br />
<br />
The Pantau Foundation was able to arrange family visits to the
three prisons: Nusa Kambangan, Porong and Madiun. They were to be fully
legal visits with official permits issued by the Penitentiary General
Director I Wayan Kusmiantha Dusak.
<br />
<br />
We obtained permission for the visit of two family members per
political prisoner. Then it was time for me to make phone calls to the
RMS political prisoners' loved ones.
<br />
<br />
The first group of families visited the Kembang Kuning and Batu
prisons. At Kembang Kuning, Rubben Saija was visited by his wife Yohanna
Saija and daughter Vike. Jordan Saija was finally reunited with his
wife Etha Saija and son Fredy. Yohanis Saija met his brother Arens
Arnold Saija and daughter Afril Saija. Romanus Batseran was visited by
his brother Randi Batseran and his wife, Erlin Keyzer. John Marcus was
visited by his mother and her sister, Dortje Wattimena and Jansen
Sasabone. In Batu, Johan Teterisa was reunited with two of his sons,
Rivaldo Teterisa and Johncard Teterisa.
<br />
<br />
All the political prisoners mentioned above are fathers, sons and
family members to these people from Ambon. The time apart, and the
distance between them, have caused a lot of heartache for them all.
<br />
<br />
While the reunions were not perfect — they still took place in a
prison after all — they were better circumstances than the last time in
which the families met each other. In Ambon, the RMS men suffered
constant torture. The families were never told that their family members
were being moved to Java. They discovered it some months later, from
gossip. For a long time since, they were left feeling restless and
hopeless.
<br />
<br />
“The last time I saw him, my husband... his eyes were swollen, he
was in a lot of pain,” Etha Saija said, holding back tears as she
caressed her daughter’s hair.
<br />
<br />
The pain suffered by these people seemed to be endless. The
prisoners' families were also subjected to intimidation by police and
military officers. Families were left in ruin, some of the men's
partners had asked for divorce. Family members who work in government
offices were threatened with dismissal. A couple of families were forced
out of Ambon.
<br />
<br />
The families desperately wanted to meet their loved ones, but few
of them had the wherewithal to travel all the way to Java. Jordan
Saija’s wife Etha, for example, lives in Aboru, a small island south of
Ambon. Her journey to Java would require her taking a speedboat to
Ambon, followed by a long flight to Jakarta before a long bus trip to
Nusakambangan. Such trip would be daunting for most people, let alone a
simple farmer who had never flown before in her life.
<br />
<br />
The thought of the journey alone filled Etha with dread and
worry. She never flew in an aircraft. How could she pay for the
speedboat? How could they get to the airport? Who would keep her company
during the trip? Do we need to bring gifts? These questions occupied
her mind as she prepared to leave for Java.
<br />
<br />
Eventually, Etha Saija and her daughter left Aboru with Johana
Saija and her daughter. They also brought Arens Saija and his son.
Luckily, Arens Saija had been to Java before. He was detained at Kedung
Pane in Semarang for the same case but was released sooner because of
illness. “I was tortured and and almost died in prison,” Arens said.
<br />
<br />
Arens’ knowledge of Java brought some comfort to the travelers.
They went early in the morning from Aboru, flew to Jakarta and, without
any rest, hopped on a bus to Cilacap then crossed by boat to
Nusakambangan. The long trip took its toll, especially on the kids.
Vike, especially, was prone to bouts of sickness along the trip. But
they had no choice, they had to go on with the trip. This was the first
time they had a chance to meet their family after a long wait.
<br />
<br />
After 24 hours on the road, we are arrived at Nusakambangan.
There was no time for a bath or other niceties. I showed the electronic
permit to the prison staff. It was finally issued when we were on the
way from the airport. A friend from the Jakarta Legal Aid Foundation had
sent it to me. The staff asked me to print out the letter. An hour
later I came back with the printed letter, but the others had already
gone and left me at the port.
<br />
<br />
Sticking to the plan, we would stay in Cilacap for two days. The
next morning, we visited Johan Teterisa at the Batu prison. At Kembang
Kuning, the families were reunited during the regular prison visiting
hours, 10 a.m. to 12 a.m. There was no privacy. Even though they had not
seen each other for seven years. Even though they had just spent 24
hours on the road. No, they were given the regular visiting hours at the
regular visiting room.
<br />
<br />
I asked Etha Saija, “How did it feel meeting your husband [Jordan] again?"
<br />
Etha said Jordan did not recognize his son Fredy, walking past him and straight to his wife when they entered the room.
<br />
<br />
Before crossing into the Kembang Kuning prison, I showed Ruben
Saija's photograph to Vike. I asked her if she recognized the man in the
picture. She said,”My father.” But when they finally met each other in
Kembang Kuning, Vike did not recognize her dad, refusing to come too
close to him.
<br />
It took Ruben some time to convince Vike that he was not a
stranger. ”Just look at our faces, don't they look similar?” Ruben asked
Vike. Vike nodded. Ruben then hugged his daughter and sat her on his
lap. After a couple minutes, they were inseparable. Playing, talking
randomly about many things, everything. Two hours later, it was time for
Vike and her mother to leave. But Vike resisted.
<br />
“I want to sleep with Daddy,” Vike said. She wanted to stay with her dad at the Nusakambangan prison.
<br />
<br />
I felt deep sadness during these trips with the political
prisoners' familiers. Many people just do not understand the real issues
at play. They all assume that these Haruku people were guilty of
treason because they wanted independence, they wanted get out of the
NKRI, or Republic of Indonesia. Because of that "sin" they deserve all
the atrocities coming to them.
<br />
<br />
Many forget that these so-called RMS men have not committed any
violent act. They were just dancing with a flag because they were upset
with discrimination. Discrimination that has left them eking out a
meager life as destitute farmers in a tiny island in one of the remotest
parts of Indonesia.
<br />
The same type of protest would not have angered the authorities
so much if it happened in other countries — such as Spain where the
Catalans constantly advocate independence from the Spanish. As long as
you're not violent, you should be allowed to express your political
view. The right to do is actually protected by the Indonesian
constitution. And this is why Jokowi has to come good with his promise
to release all political prisoners, and quickly<br />
<br />
At Nusakambangan, I kept thinking about my own daughter. I hope
when she grows up, the state will commit no more violence against people
who want to express their political ideas. And I certainly hope none of
them they will be put in jail for it, for any length of time.<br />
<br />
<em>Imam Shofwan is the chairman of Pantau Foundation, an
organization dedicated to improve the standards of journalism in
Indonesia.<br /></em>This article also appear on <a href="http://jakartaglobe.id/news/rms-political-prisoners-reunite-families-7-year-wait/">Jakarta Globe</a> for the first time.</div>
Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-90893444961070978352016-12-15T12:07:00.001+07:002016-12-15T12:07:23.513+07:00Pak George<span></span><br />
<div data-contents="true">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="82kk6-0-0">
<span data-offset-key="82kk6-0-0"><span data-text="true">Penampilannya ngaktivis banget. Kaos putih berkerah, berselempang tais dan berambut acak-acakan. Saat itu awal 2007. Suaranya masih keras. Ia datang sebagai peserta diskusi sama seperti saya dan mendengarkan penuturan </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="82kk6-1-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="82kk6-1-0"><span data-text="true">Galuh Wandita</span></span></span><span data-offset-key="82kk6-2-0"><span data-text="true">, almarhum </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="82kk6-3-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="82kk6-3-0"><span data-text="true">Agustinho de Vasconselos</span></span></span><span data-offset-key="82kk6-4-0"><span data-text="true"> dan </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="82kk6-5-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="82kk6-5-0"><span data-text="true">Patrick Walsh</span></span></span><span data-offset-key="82kk6-6-0"><span data-text="true"> yang saat itu meluncurkan laporan kejahatan kemanusiaan di Timor Leste selama pendudukan Indonesia di Perpusnas, Matraman. </span></span></div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="failk-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="failk-0-0">
<span data-offset-key="failk-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="3eq0n-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="3eq0n-0-0">
<span data-offset-key="3eq0n-0-0"><span data-text="true">Laporan itu berjudul Chega! artinya cukup, berisi testimoni ribuan korban dan saksi mata kejahatan kemanusiaan selama 25 tahun. Patrick, Agustinho dan Galuh mengajak audien memikirkan tindaklanjut laporan tersebut.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="nndq-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="nndq-0-0">
<span data-offset-key="nndq-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="c2cv3-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="c2cv3-0-0">
<span data-offset-key="c2cv3-0-0"><span data-text="true">Sesi tanya jawab dibuka. Pak George berdiri. Ia menandaskan kejahatan kemanusiaan di Timor Leste hanya bisa terjadi karena tak ada tentara yang dihukum atas kejahatan 65. Impunitas ini bikin siklus kejahatan kemanusiaan diulang-ulang. Di Timor Leste, di Aceh, di Poso dan di Papua. Dia menegaskan pentingnya mengadili penjahat 65 jika ingin kejahatan-kejahatan kemanusiaan lain diputus siklusnya.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="c3qdi-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="c3qdi-0-0">
<span data-offset-key="c3qdi-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="fje01-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="fje01-0-0">
<span data-offset-key="fje01-0-0"><span data-text="true">Dari Pak George saya tahu kalau ada rantai penghubung antar kejahatan-kejahatan kemanusiaan di negeri ini. Porosnya pada pembantaian 65. Impunitas militer pokoknya. </span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="c678o-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="c678o-0-0">
<span data-offset-key="c678o-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="4k84t-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="4k84t-0-0">
<span data-offset-key="4k84t-0-0"><span data-text="true">Sebelum ketemu, saya kenal Pak George sebagai pengkritik Suharto dan tangsi militer yang mendukungnya. Karena ingin tahu lebih lanjut saya menghampirinya dan minta nomor telepon. Saya bilang hendak pergi ke Timor Leste untuk bikin laporan soal Chega! ini dan saya butuh bantuannya. Ia lantas merekomendasikan saya beberapa buku dan majalah untuk saya baca. "Sebelum berangkat ketemu saya dulu, saya kasih kontak kawan-kawan di Dili."</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="d7ijd-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="d7ijd-0-0">
<span data-offset-key="d7ijd-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="207t5-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="207t5-0-0">
<span data-offset-key="207t5-0-0"><span data-text="true">Tak semua referensi yang dibilang Pak George saya temukan. Saya cuma ketemu buku karyanya "Menyongsong Matahari Terbit Di Puncak Ramelau," dan beberapa majalah yang ia sebutkan. Bagi saya yg pertama kali liputan di Timor Leste, buku tersebut memberi saya banyak informasi awal dan gambaran konflik di sana. Pendeknya, ia jadi amunisi awal liputan saya.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="420q1-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="420q1-0-0">
<span data-offset-key="420q1-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="f4vma-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="f4vma-0-0">
<span data-offset-key="f4vma-0-0"><span data-text="true">Usai peluncuran Pak George kembali ke Jogja dan saya kembali menyiapkan liputan ke Timor Leste. Saya menemui Galuh Wandita, </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="f4vma-1-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="f4vma-1-0"><span data-text="true">Andreas Harsono</span></span></span><span data-offset-key="f4vma-2-0"><span data-text="true"> dan </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="f4vma-3-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="f4vma-3-0"><span data-text="true">Amiruddin Al Rahab</span></span></span><span data-offset-key="f4vma-4-0"><span data-text="true"> untuk memperkaya amunisi dan meminta kontak kawan di sana. </span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="2p647-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="2p647-0-0">
<span data-offset-key="2p647-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="7v79p-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="7v79p-0-0">
<span data-offset-key="7v79p-0-0"><span data-text="true">Beberapa bulan selanjutnya Pak George ada acara di Jakarta dan kami janjian ketemuan. Saya menjemputnya di bandara. Setelah beberapa jam menunggu, pesawat Pak George tiba dan kami ketemu. Dia ngomel-ngomel karena panitia membelikan tiket pesawat Lion yang pelit makanan. "Mereka nggak tau saya sakit klo telat makan," katanya. Kami lantas mencari makan di bandara. Usai makan moodnya membaik, dia mulai menanyakan perkembangan rencana liputan dan dia telah menyiapkan kontak kawan-kawannya.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="behnv-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="behnv-0-0">
<span data-offset-key="behnv-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="8pne0-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="8pne0-0-0">
<span data-offset-key="8pne0-0-0"><span data-text="true">Kami pisah saat acara Pak George hendak mulai. Kita janjian akan saling berkabar. </span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="ae1ja-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="ae1ja-0-0">
<span data-offset-key="ae1ja-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="834qo-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="834qo-0-0">
<span data-offset-key="834qo-0-0"><span data-text="true">Saya kembali berkontak dengan Pak George saat </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="834qo-1-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="834qo-1-0"><span data-text="true">Yayasan Pantau</span></span></span><span data-offset-key="834qo-2-0"><span data-text="true"> hendak bikin kelas investigasi. Di Pantau tak banyak list investigator untuk jadi pemateri dan Pak George adalah pemateri ideal. Investigasinya tentang korupsi keluarga cendana dan kroninya tak terbantahkan. Ia menyelusuri aset-aset keluarga tersebut hingga ujung dunia. Pak George didapuk dengan Bang </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="834qo-3-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="834qo-3-0"><span data-text="true">Otto Syamsuddin Ishak</span></span></span><span data-offset-key="834qo-4-0"><span data-text="true"> untuk memberi warna investigasi kejahatan kemanusiaan di Acheh. Di kelas Investigasi lainnya Pak George dipadu dengan </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="834qo-5-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="834qo-5-0"><span data-text="true">Metta Dharmasaputra</span></span></span><span data-offset-key="834qo-6-0"><span data-text="true">, investigator ASIAN AGRI.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="85at9-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="85at9-0-0">
<span data-offset-key="85at9-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="5u2ra-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="5u2ra-0-0">
<span data-offset-key="5u2ra-0-0"><span data-text="true">Panitia menyiapkan acara dan sudah membelikan tiket Pak George dari Jogja dan saya kebagian menjemputnya di bandara. Kejadian berulang. Ia dibelikan tiket Lion Air dan dia ngomel tak ada makan. Saya merasa bersalah sekali karena saya lupa kasih tahu panitia untuk pilihkan pesawat yg ada makannya buat Pak George. Saya lantas mengajaknya makan untuk permintaan maaf. </span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="colh1-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="colh1-0-0">
<span data-offset-key="colh1-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="dl7cu-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="dl7cu-0-0">
<span data-offset-key="dl7cu-0-0"><span data-text="true">Setelah itu, saya sering berbagi sms dengan Pak George. Kalau lagi di Jakarta dia mengajak bertemu. Saat dia meluncurkan buku tentang korupsi kepresidenan SBY Gurita Cikeas, saya mengundangnya untuk bicara di hadapan wartawan-wartawan senior dari Asia-Pasifik dan USA yang jadi peserta program East-West Center. Ada kejadian lucu karena saat itu dia lupa bahasa inggrisnya gurita. Ia keluar ruangan dan minta gurita pada petugas hotel. Setelah dapat, baru semua peserta ngeh itu "octopus." Ia bikin semua peserta tergelak.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="dijpe-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="dijpe-0-0">
<span data-offset-key="dijpe-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="736i4-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="736i4-0-0">
<span data-offset-key="736i4-0-0"><span data-text="true">Deket dengan Pak George tentu menguntungkan bagi wartawan macam saya. Ia murah hati membagi ilmu dan bisa diajak ngomong soal apa saja. Termasuk saat saya bekerja di korbanlumpur.info untuk membuat ruang korban Lapindo bersuara di tengah gemuruh media-media milik Bakrie.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="fth48-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="fth48-0-0">
<span data-offset-key="fth48-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="2s5l7-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="2s5l7-0-0">
<span data-offset-key="2s5l7-0-0"><span data-text="true">Karena sering curhat soal Lapindo dia meminta saya membantu menjelaskan soal Lapindo ketika dia diundang utk bicara di depan peserta kelas diplomasi bikinan </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="2s5l7-1-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="2s5l7-1-0"><span data-text="true">José Ramos-Horta</span></span></span><span data-offset-key="2s5l7-2-0"><span data-text="true"> Saya tersanjung sekaligus minder karena kemampuan berbahasa Inggris terbatas. </span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="dcf4i-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="dcf4i-0-0">
<span data-offset-key="dcf4i-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="2mg71-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="2mg71-0-0">
<span data-offset-key="2mg71-0-0"><span data-text="true">Untuk bikin mudah, saya bikin bagan relasi Bakri dan pemerintah dari SBY hingga lurah Renokenongo yang telah berkongkolikong memuluskan ekplorasi gas di tengah pemukiman padat penduduk. </span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="dnr57-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="dnr57-0-0">
<span data-offset-key="dnr57-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="e1lri-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="e1lri-0-0">
<span data-offset-key="e1lri-0-0"><span data-text="true">Meski susah-payah saya menjelaskan namun saya tak yakin audien paham. Pak George tahu kegalauan saya dan membesarkan hati saya. "Ko nulis buku saja soal Lapindo, saya buatkan pengantarnya nanti."</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="ebbij-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="ebbij-0-0">
<span data-offset-key="ebbij-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="7j132-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="7j132-0-0">
<span data-offset-key="7j132-0-0"><span data-text="true">Bandul politik kian konservatif saat SBY berkuasa, minoritas agama banyak ditindas, saat itu saya sempat mendiskusikan ini dengan Pak George. Saya menemui Pak George bersama kawan </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="7j132-1-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="7j132-1-0"><span data-text="true">Firdaus Mubarik</span></span></span><span data-offset-key="7j132-2-0"><span data-text="true">, aktivis Ahmadiyah dan seorang kolega Pantau </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="7j132-3-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="7j132-3-0"><span data-text="true">Fahri Salam</span></span></span><span data-offset-key="7j132-4-0"><span data-text="true">.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="8v1i0-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="8v1i0-0-0">
<span data-offset-key="8v1i0-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="f2sa6-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="f2sa6-0-0">
<span data-offset-key="f2sa6-0-0"><span data-text="true">SBY juga merepresi aktivisme di Indonesia Timur, utamanya Ambon dan Papua. Saat dia berkunjung ke Ambon 2007 ia menangkapi ratusan orang yang menari cakalele. Ia juga menutup rapat Papua dari media asing sembari melarang kembali pengibaran bendera Papua. Banyak aktivis ditangkap, disiksa dan dituduh makar karena demo damai. Bersama </span></span><span class="_5u8u" data-offset-key="f2sa6-1-0" spellcheck="false"><span data-offset-key="f2sa6-1-0"><span data-text="true">Af Wensi</span></span></span><span data-offset-key="f2sa6-2-0"><span data-text="true">, aktivis Papua, kami juga minta saran Pak George.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="8dhu5-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="8dhu5-0-0">
<span data-offset-key="8dhu5-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="6mars-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="6mars-0-0">
<span data-offset-key="6mars-0-0"><span data-text="true">Habis itu kami jarang berkontak. Saya tetep mengikutinya dari jauh. Ketika 'orang Jogja' marah karena Pak George mengkritik Sultannya, saya sedih. Ketika dia ngepret Ramadhan Pohan, saya 'senang', meski tak seharusnya begitu. </span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="7u9gp-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="7u9gp-0-0">
<span data-offset-key="7u9gp-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="f0fle-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="f0fle-0-0">
<span data-offset-key="f0fle-0-0"><span data-text="true">Kabar dari kawan-kawan di Jogja kesehatannya memburuk dan sa berencana membesuknya. Belum kesampian, Pak George pindah ke Palu dan makin jauh kesempatan ketemu fisik lagi.</span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="akq9c-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="akq9c-0-0">
<span data-offset-key="akq9c-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="fp7lb-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="fp7lb-0-0">
<span data-offset-key="fp7lb-0-0"><span data-text="true">Setiap hendak nulis sesuatu saya biasa riset bacaan terlebih dulu dan di saat seperti ini saya sering ketemu Pak George dalam karya-karyanya. Terakhir saya ketemu disertasi Pak George soal bendungan di Indonesia. Belum tuntas saya membacanya, seorang kawan ingin menulis soal tema itu dan saya meminjamkannya. </span></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="ee1om-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="ee1om-0-0">
<span data-offset-key="ee1om-0-0"><br data-text="true" /></span></div>
</div>
<div class="" data-block="true" data-editor="9onka" data-offset-key="60k77-0-0">
<div class="_1mf _1mj" data-offset-key="60k77-0-0">
<span data-offset-key="60k77-0-0"><span data-text="true">Ia belum dikembalikan dan saya ingin membacanya lagi dan mengenang pria berambut panjang dan bertais, yang banyak membantu liputan-liputan saya, yang telah tiada.</span></span></div>
</div>
</div>
Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-77590776447071460062015-06-09T16:11:00.002+07:002015-06-10T12:20:31.968+07:00Kau Sesat Maka Kau Pasti Salah!Apa jadinya kalau semua profesi membela agamanya? Tukang pos Islam tak mau mengantar surat orang Kristen karena ia beda agama. Dokter Kristen tak mau mengobati pasien Muslim karena ia beda agama. Wartawan Sunni tak mau menyuarakan orang Syi’ah yang didzalimi karena ia beda keyakinan atau seorang Hakim Sunni tak memberi keadilan pada korban Syi’ah yang dibakar rumah dan sekolahnya dan diusir dari tempat tinggalnya, serta dibunuh pengikutnya karena keyakinan berbeda. <br />
<br />
Kita patut was-was karena bangunan kebangsaan kita terancam. Ia akan kembali ke zaman siapa kuat ia menang. Yang mayoritas membantai yang minoritas. Bukankah bukan begitu tujuan kita bernegara? Negara wajib melindungi semua warganya. Memberi keadilan. <br />
<br />
Wartawan dan hakim yang didikte agamanya bukan rekaan, ia benar-benar terjadi di kasus pemimpin Syi’ah Tajul Muluk, Sampang Madura. Di mana wartawan tak menjalankan fungsinya dengan independen, menjadi anjing penjaga penguasa yang dzalim, menyuarakan korban dengan mengumpulkan sebanyak mungkin fakta untuk membantu masyarakat bikin keputusan yang bermutu. Tajul Muluk diusir dari tempat yang ditinggalinya sejak 1980. Rumah dan sekolahnya dibakar. Pengikutnya disiksa dan dibunuh. Tak hanya itu, sebagai korban, ia malah dihukum 2 tahun oleh pengadilan Sampang dan ditambah dua tahun lagi oleh pengadilan tinggi di Surabaya.<br />
<br />
Banyak kejanggalan di sepanjang persidangan. Mulai dari hakim yang berfihak pada kelompok Sunni, ia mengarahkan kesaksian para saksi dan memperlakukan bukti-bukti untuk menyalahkan para korban dari kelompok Syi’ah. Kejanggalan-kejanggalan ini tak tertangkap media. Mereka melaporkan kasus ini dipermukaannya dan tak jarang berfihak pada mayoritas Sunni, ikut menyesatkan Syi’ah, dan tidak kritis ketika para korban yang justru dijebloskan ke penjara.<br />
<br />
Ia bukan kasus pertama media dan para hakim berfihak sama mayoritas dan menindas minoritas. Kasus-kasus Ahmadiyah di Cikeusik, kasus Lia Aminuddin juga sama. Media dan hakim gagal menjalankan fungsinya dengan baik dan independen. Ia didekte keyakinannya untuk berfihak.<br />
Tulisan ini hendak menyoroti kejanggalan-kejanggalan di sidang kasus Tajul Muluk di pengadilan Sampang yang lepas dari sorotan media, ia didasarkan pada notulensi persidangan. Supaya urut saya mencoba mengelompokkannya menjadi beberapa pointer: <br />
<br />
Pertama keberfihakan hakim terhadap kelompok Sunni yang ditunjukkan pada beberapa tingkatan: hakim memperlakukan tak sama terhadap saksi-saksi penasehat hukum (Syi’ah) dan saksi-saksi penuntut umum (Sunni). Misal terhadap saksi Muhyin, hakim mempersoalkan saksi Muhyin karena punya nama alias. Tak hanya itu, hakim juga memarahi saksi Muhyin dan saksi Sunadi yang juga didatangkan oleh penasehat hukum. Terhadap saksi Sunadi, hakim mengatakan dalam bahasa Madura. “sampean nekah edingagin gellun oreng acaca. Tak nyambung jewebennah sampean, enggi paham? Edingagin oreng gellun atanyah jek karabbeh dibik. (Anda itu dengarkan dulu kalau orang berbicara. Jawaban anda tidak nyambung, faham kan? Dengarkan dulu orang yang bertanya jangan mengambil seenaknya sendiri).” Hakim juga mengintimidasi saksi dengan ancaman berbohong.<br />
<br />
Kebalikannya, hakim memperlakukan saksi-saksi atau ahli dari penuntut umum berbeda dengan saksi-saksi dari penasehat hukum. Hakim melindungi saksi-saksi dan ahli penuntut umum, tak memarahinya dan juga mengiyakan saja ketika ahli tak mau menjawab pertanyaan penasehat hukum. <br />
<br />
Misalnya, saat penasehat hukum menanyakan pada saksi Abdul Halim Subahar tentang dasar rumusan rukun iman? Abdul Halim bilang menurut hadist Rosul. Ketika penasehat hukum meminta Halim menunjukkan hadist itu hakim bilang, “aa, begini, jadi tak usah begitu. Hadist Rasul mengatakan seperti itu.” Usaha penasehat hukum untuk menggali akar persoalan dihentikan hakim dengan pernyataan ini. <br />
<br />
Hakim mengingatkan penasehat hukum waktu penasehat hukum menyebut ahli dari penuntut umum dengan sebutan “anda” sebagai kasar namun hakim sendiri memanggil ahli dari penasehat hukum dengan sebutan “anda.”<br />
<br />
Ketika saksi penasehat hukum tidak hafal rukun Islam dan Iman hakim memarahinya namun ketika saksi-saksi penuntut umum tidak hafal juga hakim membelanya.<br />
<br />
Dalam bahasa Madura hakim mengatakan pada saksi dari penasehat hukum, Sunandi, “anda mengaku Islam, mengaku Syi’ah tapi ditanya rukun Islam rukun iman tidak tahu, itu dasar itu.” Namun ketika saksi penuntut umum Muhammad Hasyim tak juga hafal hakim melanjutkan pertanyaan.<br />
Hakim bilang, “rukun iman ada berapa?” <br />
<br />
“Ada lima,” jawab Hasyim.<br />
<br />
“Sebutkan satu persatu.” “Sampean tak hafal?” Tanya hakim. <br />
<br />
“Tidak hafal,” jawab Hasyim.<br />
<br />
“Rukun Islam ada berapa?”<br />
<br />
“<i>bedheh bellu</i> (ada delapan)” kata Hasyim.<br />
<br />
Kedua, asas keadilan tak dijunjung tinggi oleh hakim. Ia banyak melakukan intervensi pada penasehat hukum. Dalam pemeriksaan ahli Abdussomad Bukhori, misalnya, penasehat hukum mempertanyakan apakah perkawinan mut’ah termasuk pokok agama atau cabang agama. Hakim memotong penjelasan ahli dengan memutuskan ia pokok agama. Penasehat hukum tak leluasa menggali keterangan ahli lebih lanjut soal ini. Begitupun ketiga penasehat hukum menyoal tentang apakah ajaran Syi’ah sesat? Penasehat hukum tak diberi kesempatan menggali lebih dalam dari ahli dan hakim menyela dengan mengatakan. “Jadi buktinya 10 kriteria dan itu bisa salah satu aja yang diikutkan dan itu bisa.”<br />
<br />
Usaha penasehat hukum untuk mengungkap fakta sering dipotong oleh hakim dan diminta mengganti dengan pertanyaan lain. Akibatnya, penasehat hukum tak maksimal melakukan pembelaan.<br />
Ketiga, hakim menunjukkan sikap kalau terdakwa bersalah dan ajaran Tajul Muluk sesat. Pertanyaan seperti, “kenapa saudara ikut ajaran sesat?” beberapa kali keluar dari mulut hakim ketika menanyai saksi selama persidangan.<br />
<br />
Selama persidangan hakim juga melebarkan persoalan di luar dakwaan, seperti poligami, tarawih, puasa, buka puasa. Namun hakim tak menemukan perbedaan ibadah-ibadah itu di Sunni dan Syi’ah.<br />
Keempat, ada kewajiban undang-undang, jika seseorang tak faham bahasa Indonesia hakim harus menunjuk juru bahasa yang disumpah namun, hakim tidak menjalankan prosedur itu, ia tak menunjuk penerjemah yang bersumpah dan menginterpretasikan sendiri keterangan dari bahasa lokal sesuai pandangannya. Parahnya hakim tak menulis keterangan saksi yang tidak berbahasa Indonesia dan tak ada keterangan diterjemahkan.<br />
<br />
Selain empat hal itu, ada kejanggalan-kejanggalan lain selama persidangan yang tak tertangkap media, seperti, hakim mengarahkan saksi untuk mengubah jawaban, hakim membatasi keberatan penasehat hukum, tak menyumpah saksi sedarah, hakim membiarkan saksi beropini, hakim juga mengeluarkan kata-kata menghina terdakwa, hakim juga menyimpulkan saat pemeriksaan saksi, hakim juga membiarkan keterangan kontradiktif dari saksi di berita acara pemeriksaan. <br />
<br />
Menulis ini mengingatkan saya pada kasus konflik Islam-Kristen di Ambon 1999-2001, dimana media tak netral dan ikut mengobarkan konflik Ambon. Masyarakat terbelah menjadi desa Islam dan desa Kristen, angkot Islam dan angkot Kristen, perahu Islam dan perahu Kristen. Media yang harusnya tak memihak juga terbelah menjadi media Islam dan media Kristen. Tak perduli salah-benar mereka membela agama masing-masing dan menyalahkan agama lain. Ia jadi pertikaian agama yang panjang dan memakan banyak korban. Rumah, masjid, gereja dibakar. Semua fihak rugi besar dan perlu waktu lama untuk pemulihan.<br />
<br />
Saya khawatir dan masih bertanya, apa jadinya jika semua profesi membela agamanya? Saya membayangkan kerusakan yang luar biasa. [Imam Shofwan]<br />
<i><br /></i>
<i>Dimuat di Majalah Ideas, Jember edisi April 2015.</i> Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-81251306143471608032013-06-25T20:50:00.000+07:002013-06-25T12:01:22.069+07:00Truth or Consequence<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;">By Imam Shofwan</span><br />
<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;"> </span> <br />
<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;">She is said to have been breathtakingly beautiful, and even now, decades later, there are traces of what had made her so attractive to men: an oval face, cleft chin, eyes that slant upwards just so, and hair that is thick and wavy. When she was younger, her skin was also a smooth golden brown, her body slim yet full in the right places. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;">These days there are wrinkles around her eyes, but it is the weariness in her face and the slump in her shoulders that betray her age of 50 years – and what she has been through. Then again Lalerek Mutin, a small community east of the Timor Leste capital, isn’t known as “widow’s village” for nothing. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;">“My husband was kidnapped and killed by three soldiers when I was four months pregnant,” she tells me. “My child died of hunger. Now I raise my two kids from two of the three soldiers who committed sexual acts on me.”</span><br />
<br />
<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;">I had picked her out at random from among the 8,000 witnesses who testified before the Commission of Acceptance, Truth, and Reconciliation of Timor Leste or CAVR<i>, </i> its<i> </i>acronym in Portuguese. The testimonies were given voluntarily. Later, these were compiled in a 2,500-paged book entitled “<i>Chega!” </i> or “Enough!” in Portuguese, where the identities of the witnesses and their alleged abusers were concealed behind code names. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;">The woman I would meet in Lalerek Mutin went by the code name “MI” in the book, which lists crimes against humanity committed in East Timor from August 1974, more than a year before the invasion and occupation of Timor Leste by Indonesia, to 1999, when the Indonesian forces departed after the U.N.-sponsored referendum.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;">The witnesses came from the 13 districts across Timor Leste. They told of the human-rights violations they experienced or had seen, where and when these happened, who were involved. The atrocities enumerated in <i>Chega!</i> range from detention to torture, to rape and sexual slavery, to murder. In all, some 183,000 people are estimated to have died in East Timor during the 25 years of Indonesian occupation.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;">Most of the victims were East Timorese. Some of the alleged perpetrators, meanwhile, were from militia formed by local political parties like Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente (Fretilin), Uniao Democrattica Timorense<i> (</i>UDT), and Associacao Popular Democratica (Apodeti). </span><br />
<br />
<span style="font-family: Times New Roman; font-size: 100%;">But majority of those said to have committed the crimes belonged to the Indonesian Armed Forces and the militia they themselves had formed. I felt scared when I learned that most of the crimes were being blamed on members of the Indonesian military, which had also been a constant presence while I was growing up in Rembang, studying in Semarang, and later working in Jakarta.</span><br />
<br />
<a href="http://bungimam.blogspot.com/2008/05/truth-or-consequence.html">Read more...</a>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-16964566600060169282013-06-25T16:53:00.000+07:002013-06-25T12:02:44.690+07:00Shariah Advocates Must Put Into Practice Its History of Tolerance<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; line-height: 17px;">Imam Shofwan</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br /></span>
<span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">In August 2002, a number of Islam-based political parties demanded the Jakarta Charter be included in the Constitution, which would mean that Muslims in Indonesia would have the obligation to live according to the prescriptions of Shariah law.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">The effort was supported by a large number of — mainly hard-line — Islamic organizations, but nevertheless failed to pass through the House of Representatives, in part due to opposition from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and the — also Islam-based — National Awakening Party (PKB).</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">The Islamists had to change strategy. In 2004 a new law on regional autonomy gave them the opportunity they had been hoping for. They set about implementing “Shariah from below” by advocating across the archipelago local Shariah laws, which often included rules such as women being required to wear the hijab, and couples wanting to marry needing to read the Koran.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">Islamic groups have long argued that their brand of “Shariah from below” need not alarm any skeptics. The reality, however, is that attacks on religious minorities have been frequent and even deadly in a number of regions were such laws have been implemented.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">One proponent of Shariah, M.S. Kaban of the Crescent Star Party (PBB), has said that: “If Shariah is applied, the benefit is not just for the unity of Indonesia but also for a fair and cultural humanity, and for social justice for the whole of society.” Ma’ruf Amin of the Indonesian Council of Ulema (MUI) and Ismail Yusanto of the Liberation Party of Indonesia (HTI) echoed this sentiment. There was nothing to fear, they all said.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">Hidayat Nur Wahid of the Prosperous Justice Party (PKS) has argued, in a slightly different vein, that minority rights could be protected under a social contract similar to one that existed on the Arabian peninsular in the 7th century and formed the basis of the first Islamic caliphate: the Charter of Medina. It was an agreement between the Muslim, Jewish, Christian and pagan tribes of Medina, where the Prophet Muhammad first came to power. “Not only Muslims have the obligation to implement the Islamic Shariah; other groups [Jews and Christians in Medina] were given the authority to implement their religious orders,” Hidayat said.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span></span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br /></span>
<span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">There have been successes at the national level for the Shariah proponents, like the 2008 Law on Pornography. And there are restrictions on the building of houses of worship issued in 2006 and a joint ministerial decree severely limiting the activities of the minority Ahmadiyah sect. But the “Shariah from below” program runs particularly smoothly. Nowadays, at least 151 local Shariah bylaws have been adopted across Java, Sulawesi, Sumatra and West Nusa Tenggara. <br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" />In those areas, are adherents of minority religions sufficiently protected from persecution? </span></span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br /></span>
<span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><a href="http://bungimam.blogspot.com/2012/09/shariah-advocates-must-put-into.html">Read more..</a></span></span>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-6537790594659862492013-06-25T16:05:00.000+07:002013-06-25T12:04:03.632+07:00Al-Hallaj behind Dhani AhmadA string of accusations on religious contempt are now being hurled at Dhani Ahmad and his rock band Dewa. Dhani does not deny that his lyrics began with an attempt to open up some kind of a religious discourse. In fact, he admits his fondness for controversial Sufi figures.<br />
<br />
It is still early in the morning. The day’s heat has yet to be felt. But not so in the infotainment programme on television. The camera is fixed on one man, and this man is announcing sternly, “A few of the lyrics and the pictures used by Dewa in their album have been taken from a poem by a heretical movement in the Middle East.” On the screen, you could read the caption which identifies them, Pertahanan Ideologi Syariat Islam (Perisai) [The Defence of the Islamic Ideology and Law].<br />
<br />
This is not some kind of an innocent prank. Ridwan Saidi, the figure who claims to represent the aforementioned group called Perisai, is going to lodge a complaint on Dewa to the Attorney General. Ridwan is a Betawi cultural activist and prominent community figure. Ridwan has been known for his penchant for politics. During the New Order, he even had a stint with the Partai Persatuan Pembangunan [The Party for the Unity of Development (PPP)], before moving on to Golongan Karya [The Workers’ Group (Golkar)] and subsequently founding the New Masyumi. During the Reformasi era, when Masyumi did not manage to make it through the electoral threshold, Ridwan returned to PPP.<br />
<br />
Ridwan is in the opinion that the cover of Dewa’s album, along with its lyrics written by Dhani contain the teachings of a heretical nature. “Not only on the Laskar Cinta (Soldier of Love) album, but also on the previous Dewa release, Mistukus Cinta (The Love Mystic).” Perhaps what he meant is really, the album Cintailah Cinta (Love the Love). Mistikus Cinta is only one of the song titles in the album in question.<br />
<br />
Last April, as he was perusing over the cover of Dewa’s albums, Ridwan apparently discovered that many of Dewa’s lyrics like Satu (The One) and Nonsense were derived from heretical poems. It remains unclear if Ridwan has actually scrutinised the lyrics concerned. Ridwan could well assume that the lyrics of Satu as heretical, for instance, since on the cover of Laskar Cinta, one can find the phrase “thanks to Al-Hallaj” written under the text of the lyrics Satu. Al-Hallaj is a controversial figure in Muslim history.<br />
<br />
The end of this month of April has certainly been very unfriendly for Dhani Ahmad Prasetyo.<br />
<br />
Responding to the accusations in a newspaper, Dhani in fact did not make any references to al-Hallaj when he was discussing the lyrics to Satu. In fact, in the concerned article, Dhani clarified that the lyrics to his songs contain strong expressions of love to the divine. “An appreciation to a hadith [reported words and deeds attributed to the prophet Muhammad] narrated by Imam Bukhari had also inspired this writer to pen down the lyrics to Satu,” he wrote. Dhani not once referred to al-Hallaj in the article which sought to provide clarification after various reporting of the issue. <br />
<br />
<a href="http://bungimam.blogspot.com/2007/09/al-hallaj-behind-dhani-ahmad.html">Read more..</a>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-42562040070769827032013-06-25T16:04:00.000+07:002013-06-25T12:01:48.691+07:00Write to ForgetHuman right cases in Indonesia are never complete. Time and again fact–finding teams are formed and evidences is found. But the court have never successed in convicting those responsible. At most it is those in the field who get punished, while top brass remains untouchable, unaffected. It was goodly. Perperators of many human right in heavy weight instead taken look like immune.<br />
<br />
The preperators of the 1965 massacres, for example, have even still never been named, let alone brought to trial. This despite the fact that Sarwo Edhie Wibowo—President Susilo Bambang Yudhoyono’s father-in-law—has claimed that more than three milion people were killed in the at the time. Sarwo Edhie made this claim to Permadi, a legislator with Indonesian Democrat Party of Struggle (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDI-P). Sarwo Edhie himself led the communist ”cleansing” operations in Java and Bali as ordered by Presiden Suharto. But it was not only communists who were killed in these operations, but also common people with little involvement in or understanding of politics whatever. This tragedy represents one of the greatest genocides witnessed in human history.<br />
<br />
Lately demands circulate quite widely for Suharto to be held responsible for his wrongdoing, yet the 1965 massacre almost never gets mentioned in this context; instead it is the more commonplace charge of corruption that is so obsessively discussed. The genocide of 1965 remains a shadow in our national history our history. Never mind the fact that only recently President SBY requested Justice Agung Abdurraahman Saleh put aside even the corruption charges against Suharto.<br />
<br />
What happens in the case of other humans rights violations? Most are equally disappointing. Every one of the military defendants on trial for the gross human rights abuses in Timor Lorosa’e, as well as all the military officers involved in the Tanjung Priok case have been freed, and this has had a dramatic impact as well on people’s faith in the the court system as well as the government.<br />
<br />
Even the most basic internationally-acknowledged rights of victims are systematically ignored by the Indonesian state and legal apparatus. In fact, there are three fundamental rights which must maintain in the cases of victims of gross human rights violation. First, every victim is entitled to know the facts of the incident as thoroughly as possible. The government is thus responsible for investigation, protection of witnesses as well as victims, and for assuring access to all archival material related to the human-rights incident.<br />
<br />
Second, the victim has a right to justice. This involves two further principles, viz people protection from reconciliation effort dan forgive effort who intent on preserve impunity also state duty for doing court administration.<br />
<br />
<a href="http://bungimam.blogspot.com/2007/08/write-to-forget.html">Read more..</a>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-30490733320432408912013-05-29T11:26:00.003+07:002013-05-29T11:26:21.234+07:00| Rilis Media Peringatan 7 Tahun Semburan Lumpur Lapindo |
<style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:Arial;
panose-1:2 11 6 4 2 2 2 2 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:auto;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:3 0 0 0 1 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin:0cm;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";}
h1
{mso-style-link:"Heading 1 Char";
mso-style-next:Normal;
margin-top:12.0pt;
margin-right:0cm;
margin-bottom:3.0pt;
margin-left:0cm;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:1;
font-size:16.0pt;
font-family:Arial;
mso-bidi-font-family:Arial;
mso-font-kerning:16.0pt;
mso-bidi-font-weight:bold;}
span.Heading1Char
{mso-style-name:"Heading 1 Char";
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 1";
mso-ansi-font-size:16.0pt;
mso-bidi-font-size:16.0pt;
font-family:Arial;
mso-ascii-font-family:Arial;
mso-hansi-font-family:Arial;
mso-bidi-font-family:Arial;
mso-font-kerning:16.0pt;
font-weight:bold;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt;
mso-header-margin:36.0pt;
mso-footer-margin:36.0pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style>
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">TUJUH TAHUN LUMPUR LAPINDO, KORBAN INGATKAN
PENTINGNYA PEMULIHAN KEHIDUPAN</span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Porong, Sidoarjo – 29 Mei menjadi
tanggal yang paling diingat oleh korban lumpur Lapindo. Tujuh tahun lalu,
lumpur dan gas beracun mulai menyembur dari bumi Sidoarjo. Sejak itu, warga di
tiga kecamatan, Porong, Tanggulangin dan Jabon, harus hidup bersama kehancuran
yang ditimbulkan oleh lumpur panas Lapindo.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Dalam rangka memperjuangkan
pemulihan kehidupan dan mengingatkan publik luas bahwa kasus lumpur Lapindo
belum tuntas, Rabu (29/5/2013), ratusan warga korban Lapindo dari berbagai desa
yang tergabung dalam Korban Lumpur Menggugat (KLM), Komunitas Ar Rohmah, Sanggar
Al Faz, dan Komunitas Jimpitan Sehat menggelar peringatan tujuh tahun semburan
lumpur Lapindo. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Mereka mengarak patung menyerupai
Aburizal Bakrie di tanggul penahan lumpur. Di akhir prosesi mereka membuang
patung itu ke dalam lumpur panas. Acara ini juga didukung oleh sejumlah lembaga
antara lain: WALHI Jatim, JATAM, UPC, Sanggar Sahabat Anak – Malang, Sanggar
Merah Merdeka – Surabaya, Sanggar Bocah Dolanan – Pare dan puluhan komunitas
dari berbagai wilayah konflik tambang di berbagai propinsi yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>hadir sebagai wujud solidaritas publik
kepada korban Lapindo.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">“Patung ini merupakan simbol
siapa yang harusnya bertanggung jawab dalam kasus Lapindo,” tutur Abdul Rokhim,
koordinator peringatan Tujuh Tahun Lumpur Lapindo.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Warga ingin menegaskan bahwa seharusnya
Aburizal Bakrie-lah yang harus menanggung segala akibat perbuatan menghancurkan
kehidupan mereka. Untuk itu, Bakrie harus dihukum secara setimpal. Hingga tujuh
tahun kasus Lapindo berjalan, Aburizal Bakrie, pemilik PT Lapindo Brantas
seperti tidak terganggu oleh akibat yang ditimbulkan lumpur Lapindo. Bahkan,
tanpa malu dia menyatakan diri untuk menjadi calon presiden dari Partai Golkar
pada Pemilihan Presiden tahun 2014 nanti.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Selain patung raksasa, warga
juga membawa boneka jailangkung berkaos partai politik sebagai sindiran kepada
para politisi yang menjadikan Kasus Lapindo sebagai komoditas politik menjelang
pemilihan umum. “Para politisi hanya mengobral janji pada korban Lapindo untuk
kebutuhan memperoleh suara saja. Namun setelah menjabat, korban pun dilupakan,”
kata Muhammad Hidayat, warga Desa Gempolsari.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Korban Lapindo merasakan kehidupan
mereka menjadi semakin suram setelah lumpur menenggelamkan tempat tinggal mereka.
Kehilangan yang mereka rasakan bukan sekadar kehilangan fisik, tanah dan
bangunan, namun juga mencakup seluruh sisi kehidupan sebagai manusia.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">“Yang hancur itu bukan hanya
rumah dan tanah saja, tapi juga ekonomi, kesehatan dan pendidikan anak-anak
kami. Siapa yang mau mengganti itu semua?,” tanya Harwati, warga Siring yang
menjadi koordinator komunitas Ar Rohmah. Selama ini ia mengkoordinir pemulihan
kesehatan, pendidikan, dan ekonomi kelompoknya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Tuntutan dan ungkapan hati
korban Lapindo sebagaimana diutarakan Harwati juga dituangkan dalam puluhan
wayang kardus yang turut dibawa dalam prosesi arak-arakan, bersama dengan
patung raksasa serupa Aburizal Bakrie tersebut. Gambar warna-warni dan tulisan
bernada sindiran dan protes dibawa rombongan korban lumpur Lapindo yang memulai
aksinya dari depan taman eks Pasar Porong lama. Prosesi arakan diiringi musik patrol
dan perkusi hingga menuju tanggul penahan lumpur Lapindo.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Monumen Tragedi Lumpur Lapindo</span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Selain mengarak dan melempar
patung Aburizal Bakrie ke dalam lumpur, korban Lapindo juga memasang Monumen
Tragedi Lumpur Lapindo. Monumen itu bertuliskan, “Lumpur Lapindo telah mengubur
kampung kami, Lapindo hanya mengobral janji palsu. Negara abai memulihkan
kehiduapan kami. Suara kami tak pernah padam, agar bangsa ini tidak lupa.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">“Pemasangan monumen ini merupakan
pengingat bahwa korban Lapindo akan selalu menuntut pemulihan sepenuhnya kehidupan
mereka yang telah ditelan lumpur. Suara korban Lapindo tak akan pernah padam,”
tegas Bambang Catur Nusantara, koordinator aksi.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Selain prosesi hari ini, sebagai
rangkaian kegiatan peringatan tujuh tahun semburan lumpur Lapindo panitia juga melakukan
aksi pemasangan foto-foto untuk mengkampanyekan penghentian pemboran oleh PT
Lapindo Brantas di wilayah padat huni. Foto-foto tersebut dipasang di beberapa
titik persimpangan dan lampu merah di Sidoarjo.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">“Aksi tersebut ditujukan untuk
menggugah kesadaran dan menggalang dukungan publik atas ancaman yang bakal ditimbulkan
oleh proyek-proyek migas yang tidak mengindahkan keselamatan warga seperti yang
dilakukan Lapindo Brantas di Sumur Banjar Panji 1,” tutur Gugun Muhammad,
relawan Urban Poor Consortium (UPC).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Selain aksi, pada bulan Juni
nanti, warga juga akan menggelar pengobatan gratis di Desa Kalidawir, Desa Besuki,
dan di tanggul penahan lumpur wilayah Desa Siring.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="font-family: Arial; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Arial;">Beberapa waktu sebelumnya,
telah digelar seminar dan diskusi tentang Kasus Lapindo di kampus Institut
Teknologi Sepuluh November Surabaya. Salah satu rekomendasi adalah memperkuat peran
negara dalam menangani kasus semburan lumpur Lapindo. Negara diharapkan mampu menjamin
pemulihan hak-hak korban Lapindo yang telah hilang dan berani menagih pengeluaran
yang telah diambil dari APBN kepada PT Lapindo Brantas sebagai pihak yang
bertanggung jawab atas bencana industri ini. <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(*)</b></span></div>
Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-46727372272397807542013-05-23T10:29:00.003+07:002013-05-23T10:53:06.517+07:00RILIS PERS<div dir="ltr" style="line-height: 1.15; margin-bottom: 9pt; margin-top: 0pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: transparent; color: black; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: bold; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">SEKRETARIS KABINET DIPO ALAM TAMPAK EMOSIONAL, SERANG PRIBADI PROF MAGNIS</span></span></span></div>
<div dir="ltr" style="line-height: 1.15; margin-bottom: 9pt; margin-top: 0pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Jakarta
22 Mei 2013 - Sekretaris Kabinet Dipo Alam tampak emosi menanggapi
surat pastor Franz Magnis-Suseno kepada Appeal of Conscience Foundation,
yang mempertanyakan dasar penghargaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono.
Dipo Alam dan bahkan Dino Djalal tak terima SBY disebut tak
memperhatikan intoleransi yang dialami minoritas agama di Indonesia.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">“Saya
merasa Dipo Alam salah memahami surat Romo Magnis. Jika Romo Magnis
memberi kritik pada ACF bukanlah untuk mencerca, namun untuk koreksi
bersama apakah SBY sudah layak mendapat penghargaan pembela toleransi?”
kata Imam Shofwan, seorang pemuda yang berhasil menggalang 6000 lebih
dukungan melalui petisi di </span><a href="http://www.change.org/petitions/no-world-statesman-2013-for-susilo-bambang-yudhoyono" style="text-decoration: none;"><span style="background-color: white; color: #1155cc; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: underline; vertical-align: baseline;">www.change.org/natoSby</span></a><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Bagi Imam, pernyataan Dipo Alam juga lebih emosional seperti terlihat pada kicauan twitter Dipo Alam </span><a href="http://twitter.com/#%21/@dipoalam49" style="text-decoration: none;"><span style="background-color: white; color: #1155cc; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: underline; vertical-align: baseline;">@dipoalam49</span></a><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">,
yang mengatakan, “Umaro, ulama dan umat Islam di Indonesia secara umum
sudah baik, mari lihat ke depan, tidak baik pimpinannya dicerca oleh
non-muslim FMS.”</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #333333; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">“Sebagai
orang Islam, saya sedih baca kicauan seorang pejabat negara, seakan di
Indonesia ini hanya ada Umat Islam dan harus tersinggung dengan masukan
dari Pastor Franz Magnis-Suseno,” kata Imam Shofwan, “Indonesia adalah
negeri multi agama. Tidak pantas kicauan itu muncul dari orang semacam
Dipo Alam.” </span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #333333; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Ribuan
dukungan petisi berasal dari berbagai propinsi. Imam menyesalkan, Dipo
Alam maupun duta besar Indonesia di AS, Dino P. Djalal, tak melihat
realitas utuh. </span><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Dipo
Alam mengatakan kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah terjadi sejak era
Jepang. “Dipo benar namun dia tak melihat bahwa kekerasan tersebut
meningkat drastis sejak Presiden Yudhoyono menguatkan aturan batasan
kegiatan Ahmadiyah pada Juni 2008” lanjut Imam.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">“Soalnya
bukan melihat sejarah sebagai pembenaran atas kekerasan hari ini. Tapi
maukah kita belajar dari sejarah yang berdarah tersebut dan mengatur
kehidupan hari ini dengan dasar kemanusiaan yang beradab?” kata Imam
Shofwan, putra seorang kyai Nahdlatul Ulama, yang mengajak publik
mendukung petisi </span><a href="http://www.change.org/petitions/no-world-statesman-2013-for-susilo-bambang-yudhoyono" style="text-decoration: none;"><span style="background-color: white; color: #1155cc; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: underline; vertical-align: baseline;">www.change.org/natoSBY</span></a><span style="background-color: white; color: #333333; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;"> </span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Sejak
jadi presiden akhir 2004, Imam menilai terjadi peningkatan
infrastruktur hukum yang memperlakukan minoritas agama --baik dari
minoritas Muslim macam Ahmadiyah dan Syiah maupun minoritas non-Muslim
macam Bahai, Kristen dan ratusan agama-agama tradisional-- sebagai warga
negara kelas dua.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Menurut
Setara Institute, kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat dari hanya
tiga kasus pada 2006 menjadi 50 kasus pada 2010 dan 114 pada 2011.
Diskriminasi adalah legitimasi buat kaum militan untuk membenarkan
tindakan main hakim sendiri. Sejak 2008 hingga sekarang sudah 50 masjid
Ahmadiyah disegel, dibakar dan diserang.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Kekerasan
atas nama agama memang bukan barang baru. Soal Sunni-Syiah juga dimulai
sejak kematian menantu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali, pertengahan
abad VII. Kekerasan antara Islam dan Kristen juga terjadi berabad-abad
lalu.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Dipo
Alam berpendapat ia hal biasa karena semua negara juga begitu. Dipo
Alam tampaknya perlu belajar dari walikota New York Michael Bloomberg
yang taat hukum soal pembangunan rumah ibadah, termasuk masjid di Ground
Zero, walau ada protes dari kalangan Kristen.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">SBY
berpidato di sidang kabinet soal toleransi agama. Namun pidato takkan
menyelesaikan masalah. Masalah intoleransi itu ada di Mataram, Cikeusik,
Sampang, GKI Yasmin, HKBP Filadelfia. Jawa Barat adalah provinsi dengan
kekerasan atas nama agama paling tinggi. Presiden harus turun tangan
langsung, terutama ke Jawa Barat, untuk mengatasi kekerasan atas nama
agama. Menurut UU Otonomi Daerah, ada enam masalah yang tak
didelegasikan ke daerah: diplomasi luar negeri; pertahanan; keamanan;
peradilan; keuangan; dan agama.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Pada
tahun 2006, pemerintahan Yudhoyono mengeluarkan aturan membangun rumah
ibadah, yang memakai pendekatan minoritas-mayoritas, sedemikian rupa
sehingga ia menjadi sangat sulit untuk agama minoritas membangun rumah
ibadah. Dampaknya, lebih dari 430 gereja ditutup sejak SBY jadi
presiden. GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia hanya dua dari ratusan gereja
yang diserang, disegel, dibakar dan ditelantarkan dengan dasar Peraturan
Bersama Menteri buatan 2006.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Pada
2009-2010, pemerintahan SBY juga membela pasal penodaan agama di
Mahkamah Konstitusi ketika berapa tokoh Islam --termasuk Gus Dur dan
Dawam Rahardjo-- minta agar pasal tersebut dihapus dari hukum Indonesia
karena tak sesuai dengan UUD 1945. SBY bahkan minta agar “blasphemy law”
dijadikan protokol hukum internasional Oktober 2012 di Sidang Umum PBB
New York. Gus Dur adalah panutan banyak warga Nahdlatul Ulama. Dawam
Rahardjo seorang cendekiawan Muhammadiyah.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="background-color: white; color: #222222; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; text-decoration: none; vertical-align: baseline;">Soal
apakah pendapat Romo Magniz didengar atau tidak oleh Appeal of
Conscience Foundation, ia tak begitu penting, karena ia juga organisasi
abal-abal di New York, namun pendapat Romo Magniz didengar oleh
masyarakat Indonesia lewat dukungan mereka terhadap petisi menolak
penghargaan. Pendukungnya bahkan lebih dari enam ribu orang.[end]</span></span></span></div>
Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-5767280228958130962013-05-18T15:20:00.002+07:002013-05-18T15:20:47.690+07:00Pekerjaan Berat Meliput Minoritas*<i>Apa yang musti dilakukan wartawan ketika meliput minoritas?</i><br /><i>Ketika ada pasal-pasal, fatwa-fatwa, tokoh-tokoh pemerintah dan keamanan, para ulama mendukung diskriminasi terhadap minoritas.</i><br /><br />
Oleh: Imam Shofwan<br /><br /><br /><b>Dari "Bentrok" hingga "Sakit Jiwa"</b><br /><br />Haluan Padang memuat artikel berjudul Seminggu Ditahan, Aleksander Aan Minta diSyahadatkan, Januari lalu. Meidella Syahni, penulis artikel ini, membuat judul dari kutipan Nuraina, ibu Alek, sapaan akrab Aleksander Aan. Della juga mengutip pernyataan Adi Gunawan, bupati Dharmasraya, yang bilang Alek mungkin kini jiwanya terganggu.<br /><br />Aleksander Ann seorang calon pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Dharmasraya. Dia menghebohkan dunia jejaring sosial facebook karena status anti Tuhannya mendapat tanggapan keras. Pertengahan Januari lalu, dia ditangkap polisi karena tuduhan penodaan agama Islam. Tidak main-main dia menghadapi tuntutan pasal 156 a huruf a soal penodaan agama dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika.<br /><br />Tak banyak yang mendukung kebebasan berbicara Alek, mulai keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, Undang-Undang semua menyalahkan dia. "Sulit menemukan sumber berita yang berpandangan lain soal Alek," tutur Della Syahni dalam wawancara telepon baru-baru ini. <br /><br />Selain menulis, Della juga memandu Andreas Harsono, peneliti soal kekerasan terhadap minoritas di Human Rights Watch, saat meliput kasus Aleksander Aan. Andreas meminta rekomendasi tokoh yang berfikiran terbuka, Della kesulitan mencari tokoh masyarakat yang membela Alek.<br /><br />Pilihan jatuh pada Buya Mas'ud Abidin, tokoh masyarakat yang menurut Della berfikiran terbuka. Alih-alih membela kebebasan berpendapat Alek, Buya malah menuduh tindakan Alek lancang di daerah yang mayoritas Muslim.<br /><br />Penggunaan kata menghakimi "disyahadatkan," "sakit jiwa," "lancang," ini sering terjadi saat wartawan melaporkan isu-isu terkait dengan minoritas. Selain di kasus Aleksander Aan ini juga terjadi di kasus penyerbuan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik.<br /><br />Peristiwa penyerangan 1500 anggota Gerakan Muslim Cikeusik terhadap 20 warga Ahmadiyah, Febuari tahun lalu yang menewaskan tiga Ahmadi: Tubagus Chandra, Roni Pasaroni dan Warsono, Media-media di Indonesia menggunakan kata "bentrok" untuk menjelaskan peristiwa penyerbuan ini. Media-media ini juga menggunakan kata "sesat" dan harus "ditobatkan" untuk membenarkan penyerangan dan diskriminasi terhadap Ahmadiyah. Selain itu media juga gemar menyamarkan pelaku dengan sebutan kelompok Islam.<br /><br />Yang paling anyar, kasus penyerangan warga Syi'ah, Sampang pada Desember 2011 dan Agustus 2012 yang menewaskan Thohir dan Muhammad Khosim, enam orang terluka dan puluhan rumah dibakar dan ratusan warga Syi'ah mengungsi. Kata "bentrok" juga dipakai di koran dan majalah terbesar Indonesia Kompas, Tempo, Gatra, Okezone, RCTI. Tak jarang mereka juga pakai kata "sesat," "diislamkan," "penistaan agama," dan menyebut pelaku dengan sebutan kabur: kelompok "non-Syiah."<br /><br />Saya memperhatikan penggunaan kata-kata menghakimi ini pada saat Yayasan Pantau merilis hasil Survey Persepsi Wartawan Terhadap Islam 2009. Riset ini menemukan 64,3 persen wartawan, dari 600 wartawan yang diwawancara di 16 provinsi, setuju pelarangan Ahmadiyah. Saat itu, saya menyimpulkan kalau penggunaan kata-kata menghakimi tersebut disebabkan karena bias wartawan terhadap Ahmadiyah. <br /><br />Penjelasan itu tentu tidak memadai dan kami mencari jawaban lebih dalam saat pembaharuan survey ini awal 2012. Ada reproduksi kata-kata menghakimi itu dari para tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat negara, aparat keamanan, dan didukung oleh beberapa pasal dalam Undang-undang dan fatwa-fatwa ulama yang menjadi acuan diskriminasi.<br /><br />Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa dilakukan wartawan saat meliput isu minoritas? ketika ada pasal-pasal di Undang-Undang yang mendiskriminasi, tokoh-tokoh masyarakat mendukung diskriminasi terhadap minoritas dan aparat keamanannya tak bisa berbuat banyak untuk menghentikan kekerasan terhadap minoritas. <br /><b><br />Asalnya dari mana?</b><br /><br />Sebelum menjawab pertanyaan apa yang bisa dilakukan wartawan ini, saya akan memberikan ilustrasi bagaimana Undang-Undang, tokoh-tokoh masyarakat, aparat keamanan punya kontribusi terhadap diskiriminasi. Kasus kekerasan terhadap Tajul Muluk dan para pengikutnya di Sampang Madura, dapat mewakili karena dalam kasus ini akan terlihat bagaimana peran mereka dalam pengusiran Tajul Muluk dari tanah kelahirannya karena perbedaan aliran dalam Islam.<br /><br />Kisah "penyesatan" atau "penistaan agama" terhadap Syi'ah Sampang ini berpangkal dari wawancara ketua MUI Sampang Imam Buhkori Maksum dengan Mohammad Nur, mantan pengikut Tajul Muluk. <br /><br />Kata pembuka wawancara ada "penistaan agama." Kalimatnya begini, "kapan saudara mengetahuai terjadinya penistaan agama?" tanya Buhkori. <br /><br />"Penistaan agama Islam yang dilakukan Kyai Haji Tajul Muluk dan pengikutnya sejak 2005, mencuat pada 2007, sampai sekarang." <br /><br />"Coba saudara jelaskan penistaan Islam yang dilakukan Kyai Haji Tajul Muluk dan pengikutnya secara rinci?" lanjut Buhkori.<br /><br />Nur lantas menjelaskan alasan penistaan agama tersebut, meliputi: rukun Iman Syi'ah ada lima: pengesaan Allah, kenabian, kepemimpinan para Imam, keadilan dan hari kiamat. Sementara rukun Islam ada delapan, yaitu: shalat, puasa, zakat, humus (fee 20 persen untuk jihad), amar ma'ruf nahi munkar, jihad fisabilillah, dan wilayah dan barrok (taat pada Imam dan lepas tangan terhadap musuh-musuh Imam).<br /><br />Soal praktik shalat cuma tiga waktu, nikah mut'ah sampai ratusan kali, tambahan kata dalam adzan, wudlu yang pakai air sedikit, shalat jenazah, aurat, salam shalat, al-Qur'an yang lebih banyak dari Qur'an yang ada, shalat tarawih, makan jeroan dan ikan tak bersisik.<br /><br />“Apakah ajaran agama Islam yang menyimpang sebagaimana jawaban saudara pada poin 2 tersebut diterapkan oleh Kyai Haji Tajul Muluk dan disebarkan di Nang kernang, Karang Gayam, Omben, Sampang, sebutkan? Jelaskan!” Tanya Imam Buhkori Maksum. <br /><br />“Ajaran tersebut diterapkan oleh Kyai Haji Tajul Muluk dalam melaksanakan kegiatan keagamaannya dan telah disebarluaskan kepada masyarakat dan mempunyai sarana pendidikan untuk menyebarluaskan agamanya.” Jawab Nur.<br /><br />Tak ditanyakan kenapa Moh. Nur keluar dari Syiah? dan tak diselidiki apa motif Nur membeberkan keterangan-keterangan itu, tak ada verifikasi terhadap kelompok yang dituduh "menistakan" agama ini.<br /><br />Hasil wawancara yang menghakimi itu diiyakan oleh aparat negara dan tokoh-tokah agama Sampang. Danang Purwoko Adji Suseno, Kepala Kejaksaan Negeri Sampang yang juga ketua Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), meneken sebuah surat pada 4 Januari 2012, tentang penyesatan Syi'ah. <br /><br />Dalam dokumen hasil rapat Pakem, disebut kalau mereka menjadikan wawancara dengan Mohammad Nur dan Roisul Hukama, adik kandung Tajul Muluk, sebagai rujukan. Semua poinnya merujuk pada hasil wawancara Moh. Nur. <br /><br />Pakem menggunakan kata "penistaan" atau "penodaan" agama, "menyimpang," dan "meresahkan" masyarakat. <br /><br />Untuk lebih meyakinkan Pakem merujuk pada Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sampang yang mengeluarkan Fatwa sesat pada 1 Januari 2012 yang isinya: ajaran Tajul Muluk sesat dan menyesatkan, ajaran Tajul Muluk merupakan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam.<br /><br />Pakem juga merujuk pada pernyataan sikap Nahdlatul Ulama Sampang yang menyatakan sikap sehari setelah MUI mengeluarkan fatwa, isinya: mendukung fatwa MUI bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan menyesatkan.<br /><br />Badan Shilaturahmi Ulama' Pesantren Madura (Bassra) setali tiga uang mengamini pelarangan Syi'ah. Rujukannya, adalah pasal 1 Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965 yang telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI pada 12 April 2010 dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 19 April 2010. Bunyinya: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagaman yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.<br /><br />Mereka merujuk pasal 28J ayat (2) UUD 1945: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dungeon pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.<br /><br />Pasal lain adalah pasal 29 ayat 2 UUD 1945: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untik beribadat menurut agama dan keyakinan itu."<br /><br />Surat pernyataan sikap ini dikeluarkan setelah terjadinya insiden di desa Karang Gayam. Bassra memberi dua pilihan terhadap Syi'ah. <br /><br />Pertama: Syi'ah harus dilarang keberadaannya di Indonesia, karena: ajaran Syi’ah menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadist, demi menjamin tak adanya penistaan, penodaan dan pengotoran agama Islam, demi menjaga stabilitas keamanan, ketertiban dan moralitas bangsa, demi demi kebebasan yang dijamin dalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia, maka bagi pengikut Syi'ah yang mau kembali kepada agama Islam diperbolehkan masuk agama Islam yang asli dengan harus melalui proses yang ditegaskan dalam firman Allah SWT surat An Nisa' ayat 146:<br /><br />a. Bertaubat dengan taubatan nasuhan.<br />b. Mengadakan perbaikan dengan berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat yang jelek dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan.<br />c. Berpegang teguh kepada agama Islam.<br />d. Bertulus ikhlas dalam melaksanakan agama Islam semata-mata karena Allah.<br /><br />Pilihan kedua lebih berat dan tak aplikatif, yaitu: Syi’ah harus bikin agama tersendiri, dan harus diakui pemerintah RI sebagai agama yang dianut penduduk Indonesia. Bila sudah jadi agama sendiri mereka sama seperti Kristen dan agama-agama lain yang diakui. Syi’ah juga tak boleh menggunakan simbol-simbol Islam dalam menyiarkan agamanya dan tak boleh menistakan, menghina dan menodai atau mengotori agama Islam.<br /><br /><br /><b><br />Apa Yang Hilang?</b><br /><br />Kasus tuduhan penistaan yang dilakukan Tajul Muluk ini dimejahijaukan. Di sana dibuktikan soal tuduhan-tuduhan terhadap Tajul Muluk. Mulai dari rukun iman, rukun Islam, azan, sholat, wudlu, nikah, Qur'an orang Syi'ah yang jadi alasan penyesatan mereka. Pasal 156 a KUHP, tentang penistaan agama, digunakan untuk mengadili Tajul Muluk. Pada Juli 2012, Tajul divonis dua tahun penjara di pengadilan negeri Sampang dan menjadi empat tahun di putusan pengadilan tinggi Jawa Timur September 2012. Asfinawati, salah seorang pengacara Tajul Muluk, mengajukan kasasi pada kasus ini.<br /><br />"Salah satu tuduhan yang diajukan pada Ustad Tajul adalah mengajarkan Al-Qur'an yang tak asli padahal dia mengajarkan al-Qur'an yang asli," tuntut Asfinawati. Pengadilan Negeri juga memvonis kalau Syi'ah ala Tajul tidak termasuk sesat.<br /><br />Menurut Iklil, salah seorang saudara Tajul Muluk dan pengikut Syiah, semua tuduhan Mohammad Nur tersebut tidak benar dan tidak terbukti di pengadilan. "Mohammad Nur sendiri yang memimpin shalat tiap hari, dan tidak ada yang mempraktikkan nikah mut'ah, kita juga memberikan al-Qur'an cetakan Iran sebagai bukti di pengadilan. Sama tak ada yang beda," tutur Iklil.<br /><br />Iklil bilang hubungan dengan Mohammad Nur baik selama ini, Nur berubah sejak permohonan beasiswanya untuk anak perempuannya tak dikabulkan. "Duit kami tidak cukup untuk menanggung anak Nur, kami hanya bisa menanggung tiga anak." Tutur Iklil.<br /><br />Meski proses hukumnya masih berjalan dan belum lagi ada kata putus di sana, namun kekerasan terhadap para pengikut Syiah, karena tuduhan sesat, terjadi pada Desember 2011. Sekolah dan rumah-rumah warga Syi’ah dibakar dan tak ada pelaku yang diadili.<br /><br />Kekerasan yang bahkan tak hanya menghancurkan puluhan rumah dan sekolah namun juga merenggut dua nyawa warga Syi’ah dan melukai enam orang terjadi lagi pada Agustus 2012, setelah Syi’ah divonis, pengadilan negeri Sampang, bukan ajaran sesat.<br /><br /><b>Temuan Survey Persepsi Wartawan Terhadap Islam</b><br />
Awal tahun lalu Yayasan Pantau bersama Cipta Media Bersama menggelar survey persepsi wartawan Indonesia terhadap Islam. Ia mewawancarai 600 wartawan di 16 provinsi. Survey ini merupakan pembaharuan survey serupa yang diadakan Pantau pada 2009.<br /><br />
Isu kekerasan terhadap minoritas dalam mendapat perhatian besar dalam survey ini. Kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, dan kekerasan terhadap Syi’ah di Sampang Madura semua terjadi dalam kurun 2009-2012.<br /><br />
Pertanyaan-pertanyaan kami sesuaikan dengan perkembangan kasus-kasus tersebut, kalau di survey 2009, kita mempertanyakan soal Ahmadiyah hanya dari sudut fatwa Majelis Ulama Indonesia soal pelarangan Ahmadiyah. <br /><br />
Pada survey 2012, kasusnya diperluas dan mempertanyakan hal-hal yang lebih spesifik, seperti vonis 3-6 bulan bagi pelaku penyerangan Cikeusik, peran polisi dalam melindungi minoritas, dan penggunaan kata-kata tertentu dalam pemberitaan.<br /><br />
Saat ditanya soal vonis 3-6 bulan penjara bagi para penyerang di Cikeusik. 34,4 persen dari 600 responden menjawab sangat setuju, 26,5 persennya cukup setuju dengan hal ini. Para wartawan sadar kalau vonis tersebut melukai rasa keadilan mereka namun hal tersebut kurang begitu terlihat dalam berita-berita yang mereka buat, tak banyak wartawan yang mengkritik vonis tersebut di media mereka.<br /><br />
Angka yang lebih tinggi terlihat saat para responden ditanya soal aparat keamanan tak mampu melindungi Ahmadiyah, 42,2 persen dari responden sangat setuju dengan hal ini. Banyak berita yang mengecam lambatnya kerja polisi dalam melindungi Ahmadiyah di Cikeusik.<br /><br />
Ketika mereka ditanya soal penggunaan kata “bentrok” untuk menyebut penyerbuan di Cikeusik, 37,2 persen wartawan cukup setuju dengan penggunaan kata yang mengaburkan ini, sementara sementara 27,4 persen kurang setuju dan 25,1 persen tidak setuju.<br /><br />Begitupun untuk kasus kekerasan terhadap Syi’ah di Madura, kami mempertanyakan bagaimana peran aparat keamanan dalam melindungi minoritas dan pengusiran terhadap para pengikut Syi’ah di Sampang melanggar hak kebebasan beragama. <br /><br />
Saat ditanya aparat keamanan tidak mampu melindungi warga Syi’ah, sebanyak 39,3 persen responden cukup setuju dan 30,5 persen sangat setuju dan ketika ditangya pengusiran warga Syi’ah melanggar hak kebebasan beragama, sebanyak 35,4 persen respon cukup setuju dan 39,1 persen sangat setuju.<br /><br />Fatwa-fatwa yang sering jadi rujukan kekerasan terhadap minoritas juga kami tanyakan –mulai pelarangan Ahmadiyah, pelarangan terhadap pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama, kewaspaan terhadap Syi’ah hingga fatwa haram aksi terorisme-. <br /><br />
Sebanyak 30,8 persen responden sangat setuju dengan fatwa pelarangan Ahmadiyah, sementara 28,2 persen cukup setuju. Sedang soal pelarangan terhadap pluralisme, liberalisme dan sekulerisme agama, 19,8 persen respon sangat setuju dan 28,3 persen cukup setuju. <br /><br />
Sebanyak 17 persen responden sangat setuju terhadap fatwa, kewaspadaan terhadap masuknya Syi’ah, sementara 31,7 responden cukup setuju. Sebanyak 57,7 persen responde sangat setuju terhadap haram aksi terorisme dan bom bunuh diri. <br /><br />
Undang-undang dan keputusan bersama menteri yang sering jadi rujukan tindakan kekerasan terhadap minoritas, seperti UU No.1/PNPS/1965 tentang penodaan agama dan SKB syarat pendirian rumah ibadah dan SKB pelarangan Ahmadiyah, juga kami tanyakan dalam survey 2012 ini. Selain itu juga UU No. 23/2006 tentang pengosongan kolom agama di KTP, UU No. 23/2003 tentang agama anak mengikuti orangtuanya.<br /><br />
Tentang UU PNPS 65, sebanyak 39,2 persen responden sangat setuju dan 37,3 persen responden cukup setuju dengan undang-undang tersebut. Sementar ketika ditanya soal SKB menteri agama dan dalam negeri soal syarat pendirian rumah ibadah, sebanyak 12 persen responden sangat setuju dan 32,5 persen cukup setuju dengan surat keputusan bersama ini. <br /><br />
Untuk SKB pelarangan Ahmadiyah, sebanyak 25,8 persen wartawan setuju dengan pelarangan ini, sementara 30,2 persen cukup setuju. Untuk undang-undang 23/2006 soal kolom agama bisa dikosongkan sebanyak 53,5 persen responden tidak setuju dan 32,3 persen responden cukup setuju dengan agama anak mengikuti orangtuanya.<br /><br />Pendapat responden tentang organisasi-organisasi Islam tertentu kita pertanyakan ulang seperti pada survey 2009. Seperti Jaringan Islam Liberal, Forum Komunikasi Lintas Umat Beragama, Organisasi massa radikal berasaskan Islam, organisasi yang menggunakan kekerasan seperti Front Pembela Islam dan partai politik berasaskan Islam.<br /><br />
Sebanyak 36,7 persen responden tidak setuju terhadap JIL, 64,7 persen tak setuju dengan organisasi radikal berasaskan Islam dan 72,7 persen tidak setuju dengan organisasi yang menggunakan kekerasan seperti FPI. Untuk forum komunikasi antar umat beragama, 44,7 persen responden sangat setuju dan 44,5 persen cukup setuju. Untuk partai politik berasaskan Islam, sebanyak 44,7 persen responden cukup setuju. <br /><br /><b>Apa Solusinya?</b><br />
Wartawan-wartawan Indonesia tak punya pengalaman cukup panjang untuk liputan agama. Masa Orde Baru, isu agama jauh dari pemberitaan. Kalau pun ada hanya bersifat seremonial: liputan Soeharto sholat ied atau menghadiri peringatan-peringatan hari raya. Soeharto menekan dan mengendalikan organisasi keagamaan, partai, kelompok keagamaan hingga media. SARA alias suku, agama, ras dan antargolongan, jadi populer di ruang-ruang redaksi. Himbauan tak beritakan SARA jadi kode etik Persatuan Wartawan Indonesia. Bagi pemerintah, memberitakan SARA berarti memicu disintegrasi bangsa.<br /><br />
Saat Soeharto tumbang tak serta-merta pemberitaan agama menjadi lebih kritis. Banyak konflik terjadi –misalnya pemboman Istiqlal, kerusuhan Ketapang, Kupang, Maluku, Poso-- dan media gamang dalam memberitakan kasus-kasus tersebut. Dalam konflik Maluku, misalnya, tak ada strategi meliputnya. Media besar macam Kompas dan Suara Pembaharuan cenderung berhati-hati dan menyembunyikan konflik-konflik ini dengan swasensor.<br /><br />
Konflik empat tahun di Maluku (1999-2002) yang merenggut 8000 nyawa, bisa menjadi pelajaran yang sangat mahal tentang bagaimana media meliput konflik agama. Bagaimana Maluku dipisah jadi dua, ada kampung Islam versus kampung Kristen, Angkutan Islam dengan Angkutan Kristen, hingga media Islam dan media Kristen.<br /><br />
Media-media ini tak memberitakan dengan baik dan mencari solusi konflik namun justru membakar konflik. Suara Maluku dan Ambon Ekpres, keduanya milik grup Jawa Pos dan grup Fajar, Suara Maluku pro-Kristen dan Ambon Ekspres pro Muslim.<br /><br />
Semua wartawan Suara Maluku beragama Kristen dan kantor mereka di kampung Kristen, mewawancarai sumber Kristen dan memberikan suara positif terhadap Kristen di koran mereka. Begitu pula dengan Ambon Ekspres, kantor mereka di kampung Muslim, merekrut wartawan-wartawan Muslim dan mewancarai sumber-sumber Muslim dan memberikan suara positif terhadap Muslim di koran mereka.<br /><br />
Keterlibatan media dalam membakar konflik Ambon, Menurut Eriyanto dalam bukunya Media dan Konflik Ambon, itu bukan karena by design oleh media namun akibat eskalasi konflik. Prinsip-prinsip dasar jurnalisme, macam: imparsialitas, keberagaman di ruang redaksi, menjaga diri dari bias, tak bekerja sama sekali di sana. Media-media ini punya andil dalam membakar konflik Ambon.<br />Pelajaran sangat mahal yang merenggut banyak nyawa di Ambon ini tak banyak diambil pelajaran oleh wartawan-wartawan saat meliput isu-isu kekerasan terhadap minoritas yang banyak muncul sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.<br /><br />
Persoalan penggunaan diksi yang tidak hati-hati dan cenderung menghakimi, seperti “sesat,” “bentrok,” “ditobatkan,” “sakit jiwa” dalam peliputan kasus Alexander An, kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, kekerasan terhadap Syi’ah, adalah sebagian kecil persoalan pemberitaan di media kita.<br />Penggunaan diksi yang cenderung menghakimi ini mengaburkan persoalan yang ada dan audien jadi permisif terhadap kekerasan-kekerasan pada minoritas dan sudah merenggut nyawa 3 orang Ahmadiyah dan 2 orang Syi’ah serta memenjara banyak orang.<br /><br />
Untuk meminimalisir penggunaan kata menghakimi ini ada baiknya para wartawan merenungkan kembali tujuan utama jurnalisme yakni menyediakan informasi yang diperlukan warga agar mampu mengatur diri mereka sendiri. Ia ibarat lampu yang jadi petunjuk langkah warga. Ia membantu warga mengenali tujuan komunitas: para pahlawan dan penjahat.<br /><br />
Tentu akan mudah bagi para wartawan untuk melabeli kelompok minoritas macam Ahmadiyah dengan label “sesat,” “menodai agama,” karena memang sumber-sumber yang ada mendukung ide itu: Undang-undang penodaan agama 1965, fatwa sesat MUI terhadap Ahmadiyah, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung tentang pelarangan Ahmadiyah beraktivitas atau kesulitan agama-agama minoritas membangun rumah ibadah karena regulasi 1969 dan 2006.<br /><br />
Pertanyaannya maukah para wartawan menelusuri lebih jauh, bekerja lebih keras untuk tidak sekedar mengutip dari sumber-sumber resmi dan orang-orang terkenal itu? Adakah waktu bagi mereka untuk mempelajari sejarah Ahmadiyah ke Indonesia? Kenapa kekerasan Ahmadiyah baru marak setelah SBY berkuasa? Kenapa aparat keamanan tidak mampu melindungi minoritas seperti Ahmadiyah dan Syi’ah?<br /><br />
Selain itu wartawan mesti berfikir lebih jauh bahwa label “sesat” yang mereka tulis terhadap Ahmadiyah dan Syi’ah itu dibaca dan dijadikan rujukan bagi warga. Tidak mustahil bahwa kekerasan dan bahkan pembunuhan terhadap warga Ahmadiyah dan Syi’ah itu terjadi setelah mereka membaca berita-berita tersebut.<br /><br />
Menurut survei Pantau, lebih dari 50 persen dari 600 wartawan yang diwawancarai setuju pelarangan Ahmadiyah. Bias semacam ini wajar, tapi jadi tak wajar bila bias ini mendikte liputan seorang wartawan. Ini bisa diantisipasi dengan keberagaman di redaksi. Semakin beragam latar belakang wartawan di sebuah ruang redaksi akan semakin meminimalisir bias-bias semacam ini.<br />Kesulitan Meidella Syahni untuk menemukan suara lain dalam liputannya soal Aleksander An bisa jadi pengalaman kita semua saat meliput minoritas supaya bijak dalam memilih diksi dan cara meliput minoritas dengan lebih baik.<br /><br />*) Tulisan ini dimuat di Jurnal Ma’arif Institute Vol. 7, No. 1 - Tahun 2012.<br />Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-48273634852666431902013-02-18T17:55:00.002+07:002013-02-18T17:55:48.592+07:00Jemaat Ahmadiyah Diserang<br />
<div align="center" style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; text-align: center;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: 16px;"><b><span style="font-size: 11pt;">“Menanti Penegakan Hukum Tanpa Diskriminasi”</span></b></span></div>
<div align="center" style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; text-align: center;">
<span style="font-size: 9pt; font-size: 9pt;"></span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px;">
<span style="font-size: 9pt;"> </span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 9pt;"> </span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;">Penyerangan terhadap Ngasiman Hadi Susanto yang di duga sebagai penganut Ahmadiyah, di Jorong Langanja II, Nagari Sipangkur, Kecamatan Tiumang, Kabupaten Darmasraya pada hari Minggu, 17 Februari 2013 menandai kondisi kerukunan umat beragama di Sumatera Barat semakin memprihatinkan. Sebagaimana diberitakan, penyerangan terhadap korban beserta keluarganya terjadi karena salah seorang warga Langanja II, Supriano, 24, mengikuti ajaran korban. Keluarga Supriano dan masyarakat yang tidak menerima keadaan tersebut melakukan pengrusakan terhadap rumah korban dan meminta korban bersama keluarganya untuk meninggalkan Jorong Langanja II. Karena merasa terancam, korban kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Kotobaru, dan hingga saat ini masih diamankan di Polsek tersebut.</span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;"> </span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;">Penyerangan terhadap korban Ngasiman, hanya merupakan satu diantara sekian banyak kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Sebut saja penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Bandung pada bulan Oktober 2012 lalu yang pada saat itu bertepatan dengan hari raya Idul Adha, penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dan kasus-kasus lain yang terjadi di beberapa daerah lainnya.</span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;"> </span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;">Sumatera Barat juga tidak luput dari kejadian serupa. Dalam catatan LBH Padang Jemaat Ahmadiyah telah beberapa kali mengalami perlakuan diskriminatif dan intimidatif. Mirisnya, perlakuan tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah dan pihak-pihak tertentu yang melarang jemaat Ahmadiyag seperti SKB tiga menteri tentang pelarangan jemaah Amhadiyah, Peraturan Gubernur, fatwa-fatwa MUI dan lain sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut seringkali ditafsirkan secara salah oleh masyarakat dan justru dianggap sebagai legitimasi atas tindak kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah.</span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;"> </span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;">Kondisi tersebut, memperlihatkan lemahnya aktualisasi perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia khususnya terhadap Jemaat Ahmadiyah. Padahal UUD RI 1945 Pasal 28E, 29 UUD 1945 secara tegas menjamin hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warga negara, bahkan dalam Pasal 28 I tegas dikatakan bahwa hak kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sehingga siapapun tidak boleh menjadikan seseorang objek kekerasan atas nama agama. Di samping itu, Pasal 28G juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat yang merupakan asasi. Untuk menjawab amanat Konstitusi tersebut, negara dilengkapi dengan aparatur penegak hukum yang berfungsi dalam memberikan rasa aman bagi warganya dalam hal ini Kepolisian.</span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;"> </span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;">Berdasarkan hal di atas, LBH Padang menyatakan, <i>pertama, </i>mendesak kepada pihak Kepolisian untuk menindak tegas para pelaku pengrusakan dan pengancaman terhadap Ngasiman, sebab segala bentuk tindakan pengrusakan dan pengancaman tidak dapat dibenarkan atas dasar apapun. <i>Kedua</i>, mendesak Kepolisian memberikan perlindungan dan jaminan keamanan terhadap Ngasiman. <i>Ketiga,</i> mendesak Kepolisian untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif dalam penanganan kasus Ngasiman. Dalm hal ini, Kepolisian sebagai lembaga yang mewakili tugas negara dalam memberikan rasa aman, dan perlindungan kepada setiap warga negara dari segala bentuk tindak kekerasan dan ancaman, berkewajiban untuk menindak setiap tindakan dan perbuatan yang dapat menimbulkan rasa tidak aman tersebut, tanpa membedakan agama dan keyakinan seseorang, dalam hal ini pihak kepolisia harus memproses kasus ini secara adil profesional dan transparan. Di samping itu, LBH Padang juga meminta Pemerintah segera melakukan langkah-langkah preventif untuk menghentikan tindakan-tindakan intimidatif dan kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia khususnya di Sumbar.</span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;"> </span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;">Padang, 18 Februari 2013</span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;">Hormat kami,</span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;">LBH Padang</span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11pt;"> </span></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<b><u><span style="font-size: 11pt;">Vino Oktavia, S.H.</span></u></b></div>
<div style="border-collapse: collapse; color: #222222; font-family: 'times new roman', 'new york', times, serif; font-size: 16px; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 11pt;">Direktur</span></b></div>
Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-64817980049543795112013-02-14T09:48:00.001+07:002013-02-14T09:50:47.851+07:00Valentine <span class="Apple-style-span" style="font-family: 'Times New Roman';">Hi,</span><br />
<span style="font-family: 'Times New Roman';"><br />
Dua minggu yang lalu ada teman di kantor yang berkata bahwa dia harus pulang
lebih sore karena holiday esok harinya. “Holiday apa?” saya bertanya.</span><br />
<span style="font-family: 'Times New Roman';"><br />“Valentine's Day!” dia membalas. Saya tertawa. Teman saya, Kimberly (atau Kim),
punya dua anak yang masih bersekolah SD. Dua-duanya anak perempuan dan Kim
harus pulang lebih awal supaya bisa membantu membuat kartu, kue, dan persiapan
lain untuk pesta Valentine yang akan diadakan di sekolah.<br />
<br />
Kim adalah salah satu bintang di Department Media and Public Affairs kami. Dia
sangat pintar dan sangat baik hati juga. Dulu dia mendapatkan PhD-nya di
department Ilmu Politik di Universitas Michigan, dan menulis tentang media dan
opini publik. Bagi Kim ada tantangan menyeimbangkan urusan pekerjaan dengan
urusan rumah, tetapi dua-duanya dilakukan dengan baik. Dua anaknya, Elly dan
Willa, sangat pintar seperti ibunya.<br />
<br />
Untuk anak SD di Amerika, Valentine's Day adalah salah satu holiday yang cukup
besar dan penting. Biasanya anak-anak membuat kartu untuk para siswa lain.
Kartu Valentine untuk anak-anak sekolah bisa dibeli dalam paket (24 atu 30),
atau bisa dibuat sendiri. Di sekolah ada pesta dan semua murid saling menukar
kartu Valentine. Tidak ada pesan pribadi, cuma nama si pengirim. Biasanya para
ibu membuat kue Valentine -- tentu saja dengan icing merah muda -- untuk pesta
sekolah itu. <br />
<br />
Saya masih ingat Valentine's Day waktu saya kecil. Ibu membelikan paket yang
terdiri dari kertas merah, doilies (semacam renda kertas putih), glitter, dan
hearts dibuat dari kertas emas dan perak. Dengan gunting dan lem, saya membuat
kartu untuk teman-teman sekolah, ayah, ibu, dan adik saya. Juga saya kirim
lewat pos kepada paman dan bibi. <br />
<br />
Saya juga mendapat kartu dari ayah dan ibu. Ada permen istimewa berbentuk hati,
dengan tulisan Be Mine, Be My Valentine, dan sebagainya. Permen itu manis
sekali (kebanyakan isinya gula!) tetapi sangat disukai anak-anak. Biasanya ayah
memberi bunga-bunga atau cokelat kepada ibu. Ada kotak cokelat namanya
Whitman's sampler, dengan banyak macamnya di dalam. Ibu selalu membagi cokelat
itu dengan kami sesudah makan malam sebagai dessert. <br />
<br />
Biasanya sesudah anak-anak masuk SMP, perayaan resmi Valentine's Day berhenti.
Kadang-kadang seorang laki-laki atau perempuan secara individu memberi
Valentine kepada teman sekolah, atau seorang akan mendapatkan Valentine dari
pengagum gelap. Saya tidak pernah mendapatkan Valentine seperti itu,
tetapi setiap tahun ada kartu Valentine dari ayah dan ibu. <br />
Kemarin, waktu saya membaca bahwa Majelis Ulama Indonesia melarang perayaan
Valentine's Day, saya merasa sedih. Mungkin mereka tidak sungguh-sungguh
mengerti artinya Valentine's Day. <br />
<br />
Valentines Day tidak terkait dengan agama sama sekali. Ada kesempatan untuk
memberi ucapan cinta atau kasih sayang kepada orang lain. Teman saya Kim,
misalnya, membawa kue untuk teman-teman di departemen kami! Lucu juga melihat
puluhan dosen makan heart-shaped cookies dengan icing merah yang dibuat untuk
anak-anaknya. <br />
<br />
Seumur hidup, ibu saya mengirim kartu Valentine kepada saya. Saya masih
menyimpan salah satu yang dikirim dua tahun yang lalu. Tertulis “Selamat hari
Valentine, semoga hatimu akan berbahagia hari ini dan selalu. Lots of love,
Mother.” <br />
<br />
Kali ini ini saya merasa sedih. Saya tahu tidak ada Valentine yang akan datang
dari ibu, karena dia meninggal tiga bulan yang lalu. Tetapi tahun ini ada
kejutan --ada email dari seorang teman lama. Ternyata dia menduga bahwa saya
akan merasa sedih. Dia menulis “Happy Valentine's Day! Saya kira kamu
tidak terlalu sentimental, tetapi hey, hari ini adalah Valentine's Day, dan
kamu seorang yang sangat istimewa dalam kehidupan saya. Itulah dia!” Saya
sangat terharu. <br />
<br />
Mungkin sebuah Valentine seperti itu yang tidak diduga-duga ada yang paling enak
diterima. Salam hangat dan sampai minggu depan.<br />
<br />
Janet</span><!--EndFragment-->Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-47989070587267137722013-01-20T09:22:00.000+07:002014-01-24T11:38:10.147+07:00Chairul Saleh: Si Bengal Dari Lubuk Jantan <table class="contentpaneopen"><tbody>
<tr><td class="contentheading" width="100%">Berasal dari keluarga menak Minang. Ayah dan ibunya bercerai. Ia suka
sabung ayam namun tak suka adat Minang yang menomorduakan laki-laki.
Cintanya pada Zus Yo membawanya ke Batavia. Bung Karno dan Bung Hatta
menandatangani proklamasi mewakili bangsa Indonesia karena usahanya.<br />
<br />
Chairul Saleh tak lama bersama-sama ibunya yang cantik bermata binar
dan ayahnya yang dokter di Sawah Lunto. Usia dua tahun ayah dan ibunya
memutuskan pisah. Chairul ikut ibunya ke Lintau. Di Lintau Zubaidah
binti Ahmad Marzuki sakit-sakitan, dan jadi pendiam, Chairul ikut ibunya
hingga usia 4 tahun dan ia lantas diasuh uwaknya Suleiman Rajo Mudo di
Lubuk Jantan pada 1920. Ayahnya Achmad Shaleh membina keluarga baru
dengan Nurisam dan tugas di Medan.
<br />
<br />
Tanpa diawasi orang tua, Chairul main suka-suka, ia suka mengadu ayam
jago. Jagoan kecil ini pandai berkawan dan dia bisa bermain kapan saja
dan di mana saja dia suka. Hal ini berlangsung hingga empat tahun, saat
ayahnya memintanya pindah dari kampung ke kota Medan. Ia lantas
dimasukkan ke <i>Europese Lagere School</i> (semacam SD).<br />
<br />
Di Lintau dia bisa berbuat sesukanya namun tidak di Medan. Ada banyak
peraturan di kota, ia harus bisa sopan santun plus bahasa Belanda.<br />
<br />
Suatu ketika ayahnya pulang kerja dan dia ditanya apa sudah makan. Chairul menjawab, “<i>ik niet…ik mag niet</i>” dan dia tak boleh bilang itu, jawabnya mustinya “<i>nog niet.”</i> bukan “tidak boleh” namun “belum.” Ia lantas mengulang-ulang <i>nog niet </i>dan dalam waktu tak lama ia mampu berdialog Belanda.<br />
<br />
Chairul kecil tak nyaman di rumah Medan. Di samping banyak aturan dia
sering mendengar ibunya digunjingkan, ia juga tak suka budaya Minang
yang mendidik laki-laki menjadi tidak jantan. Hal ini ditutup dengan
kelembutan Nurisam yang tak membedakan Chairul dengan anak-anak
kandungnya. Ia mendongeng untuk semuanya ketika anak-anak hendak tidur.<br />
<br />
Ada satu hal yang tak dilupakan dalam keluarga ini ketika Chairul
kecil. Suatu musim hujan ia mengingini buah pepaya masak di pekarangan
rumahnya. Ia tak diperbolehkan memanjatkan karena bajunya akan kotor.
Chairul tak kehabisan akal, ia memanjat dengan telanjang bulat. Kejadian
ini diketahui oleh ayahnya saat bangun dari tidur siang. Pantatnya
dicambuk dengan kembang sepatu hingga merah biru seperti habis dikerok.<br />
<br />
Walau dikenal keras hati dan melakukan apa saja yang dia ingini namun
di mata adik-adiknya Chairul adalah kakak pelindung. Ia tak mau
adik-adiknya diperlakukan keras seperti dia. Suatu ketika dia bilang
pada ayahnya, “dulu kami begitu takut padamu, kayak lihat harimau!
Hafidz (salah satu adiknya) jangan Papa hajar seperti saya ya, Pa?”<br />
<br />
Chairul saleh pindah Europese Largere School di Bukit Tinggi saat
ayahnya pindah tugas. Bangunan sekolah ini ada di dekat jam gadang. Di
sini ia sudah tidak dikeloni mamanya. Dia tak suka dengan anak-anak
Belanda dan sering berkelahi dengan mereka. Lulus dari ELS ia pindah ke
Hoge Burgerlijke School (HBS) di Pasti Alam, Medan. Ia masih
menunjukkan sayang pada adik-adiknya saat remaja. Ia kasih kopernya
buat Hafidz dan juga beri minyak rambut paling keren saat itu Stacomb.<br />
<br />
Di buku <i>Chairul Saleh Tokoh Kontoversial </i>karya Irna H.N.
Hadi Soewito, menulis Chairul remaja suka mengerjai adiknya, salah satu
yang paling diingat Ayi (salah satu adiknya) adalah saat Chairul bangun
tidur. Ia meminta Ayi beli makan:<br />
<br />
“Tolong dong Yi beli nasi,”<br />
“Mana uangnya?”<br />
“Di kantong”<br />
“Di kantong mana?”<br />
“Ya di situ.” Ayi lantas merogoh kantong dan merasakan sesuatu yang aneh.<br />
“Hai ini apa?” Tanya Ayi ingin tahu.<br />
“Oh, itu kalau pilek, taruh hidung.”<br />
<br />
Ayi lantas mendekatkan barang itu ke hidung. “Ditaruh begini,” kata
Ayi sembari mendekatkan ke hidungnya. “Jangan! Jangan!” Kata Chairul.
Setelah beberapa tahun Ayi baru tahu kalau itu kondom.<br />
<br />
Bila libur tiba Chairul pulang ke Bukittinggi, ia suka menghabiskan
waktu berenang di sungai Tabang. Ia suka saat seperti itu karena banyak
pelajar yang belajar di Jawa juga pulang. Salah satunya adalah Yohana
Siti Menara Saidah, gadis manis putri Tuan Lanjumin Datuk Tumanggung
dengan Masnin. Gadis ini sekolah di Batavia.<br />
<br />
Perkenalan dengan Yohana ini bikin Chairul tak bergairah sekolah di Medan, ia lantas pindah ke Batavia di sekolah <i>Koning Willem Drie </i>(KW III) atau HBS 5 tahun, di jalan Salemba.<br />
Ia hanya punya tiga stel pakaian namun selalu rapi dan memakai sepeda
butut namun di mata perempuan dia adalah sosok yang menarik, kecuali
tubuhnya yang gemuk, bibir tebal dan mata sedikit juling.<br />
<br />
Di Batavia hubungannya dengan Yohana semakin lengket. Namun tak
direstui orang tua Yohana. Orang tua Yohana bilang kalau keluarga
Chairul punya penyakit jiwa keturunan. Belakangan diketahui masalahnya
adalah persaingan dua keluarga ini memperebutkan posisi anggota <i>Volksraad. </i>Ceritanya, dokter Saleh yang nasionalis dicalonkan sebagai anggota namun yang jadi Datuk Tumenggung.<br />
<br />
Pada 1940 Chairul dan Zus Yo, sapaan akrab Yohana, berbulat tekat
untuk menikah. Mereka melangsungkannya di rumah uwaknya Datuk Sulaiman
Rajo Mudo di Lubuk Jantan. Tak seorang saudaranya yang datang. Saat itu
papanya sedang sakit.<br />
<br />
Sejak saat itu dia ia tak lagi dapat kiriman uang dari ayahnya. Untuk
kebutuhan sehari-hari ia mengandalkan kiriman dari kakeknya dan adik
papanya. Pengalaman pahit masa kanak-kanak menjadikannya berwatak keras
dan teguh pendirian. Ia tampak jelas pada sikap-sikapnya saat dewasa.<br />
<br />
Dari Teks Proklamasi Hingga Batas Laut<br />
<br />
Saat Jepang kalah dari Sekutu, Chairul Saleh adalah tokoh pemuda yang
sangat menonjol di angkatan 45. Dia bersama Sukarni adalah pasangan
yang memegang peranan penting dalam penentuan jalannya proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Chairul Saleh menggerakkan massa pemuda pelajar
untuk mematangkan situasi, sedang Sukarni menggerakkan para perwira Peta
untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Otak penculikan
Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok adalah mereka berdua.<br />
<br />
Sukarni dan Chairul menawarkan teks proklamasi sebagai berikut, <i>“Bahwa
dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Segala badan-badan pemerintah
yang ada harus direbut oleh rakyat, dari orang-orang asing yang masih
mempertahankannya.”</i><br />
<br />
Teks ini tak memuaskan Sukarno-Hatta. Alasannya, mereka khawatir
Jepang akan menghajar rakyat habis-habisan. Sayuti Malik yang mengetik
naskah itu dan akhirnya teksnya menjadi:<br />
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya”.<br />
<br />
Chairul dan Sukarni ingin perebutan total kemerdekaan oleh rakyat
namun Soekarno mempertimbangkan reaksi Jepang bila hal itu dilakukan.
Tak hanya soal paragraf proklamasi yang jadi perdebatan, namun juga
siapa yang akan menandatangani teks proklamasi.<br />
<br />
Untuk penandatanganan, Chairul Saleh, sesuai rapat sebelumnya di
Manggarai menunjuk enam namauntuk menandatangani, namun rapat proklamasi
menghendaki semua yang hadir untuk tandatangan. Sukarni keberatan
mencampurkan enam orang tadi dengan mereka yang namanya berhubungan
denganJepang. Ia lantas mengusulkan Sukarno-Hatta untuk menandatangani.
Usul ini yang dipakai.<br />
<br />
Chairul Saleh terkenal tak mau kompromi dengan prinsipnya. Saat
konferensi meja bundar misalnya, ia tak sepakat dengan hasil konferensi
ini yang dianggap merugikan Indonesia. Chairil lantas masuk hutan
memimpin laskar rakyat berjuang melawan Republik Indonesia Serikat. Pada
1950 Chairul ditangkap kolonel Nasution dan dibuang ke Jerman. Di sana
ia sekolah Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat 1952-1955. Di
sini, ia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI). Ia pulang saat Bung Karno mengawali Demokrasi
Terpimpin.<br />
<br />
Selama bersama Sukarno ia menduduki banyak jabatan, mulai menteri
veteran, menteri perindustrian dasar dan pertambangan hingga wakil
perdana menteri III. Ia juga pernah diangkat jadi ketua MPRS.<br />
Prinsip negara kepulauan dengan batas teritorial 12 mil laut adalah
idenya yang disahkan pada 13 Desember 1957. Prinsip ini disahkan
internasional jadi hukum laut di Montego, Jamaika pada 1982, setelah
Chairul Saleh meninggal dan memerlukan waktu 25 tahun. Ia tak mempunyai
keturunan bersama Zus Yo. ***<br />
<br />
Dipublikasin di harian <i>Haluan</i>, Minggu, 20 Januari 2013.<br />
<table class="contentpaneopen"><tbody>
<tr><td valign="top"><br /></td><td valign="top"><br /></td></tr>
<tr><td class="createdate" valign="top"><br /></td>
</tr>
<tr>
<td valign="top"><br /></td></tr>
</tbody></table>
</td><td align="right" class="buttonheading" width="100%"><br /></td><td align="right" class="buttonheading" width="100%"><br /></td><td align="right" class="buttonheading" width="100%"><br /></td></tr>
</tbody></table>
<table class="contentpaneopen"><tbody>
<tr><td valign="top"><br /></td></tr>
<tr><td class="createdate" valign="top"><br /></td></tr>
<tr><td valign="top"><table class="contentpaneopen"><tbody>
<tr><td valign="top"></td><td valign="top"></td></tr>
<tr><td class="createdate" valign="top"></td></tr>
<tr><td valign="top"></td></tr>
</tbody></table>
</td></tr>
</tbody></table>
Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-5238231640317230272012-12-09T16:01:00.000+07:002012-12-09T07:24:55.257+07:00Past Crime in AcehBy Imam Shofwan <br />
<br />
If the Aceh bill is passed in Jakarta, lieutenant colonel Sudjono and his associates would probably have difficulties sleeping. The bill demands the establishment of a human right court and a truth and reconciliation commission in Aceh. <br />
<br />
Such a system would have it that those understood as being involved in previous murders could finally be searched out and tried. If there is reconciliation, then they could possibly receive amnesty, so long as they are open and tell the truth about their former violations. <br />
<br />
If Aceh is successful in trying the perpetrators of crimes against humanity, then at least in theory, Papua should also be able to find the murderers of roughly 100,000 Papuans since 1969, or even further still, the murderers of one, two or perhaps three million people who were killed on the island of Jawa in 1965-66. <br />
<br />
Marzuki Darusman, a legialator with the Golkar Party and a member of the committee for the Draft Bill on the Government of Aceh, claims that the handling of the violations of human rights in Aceh cannot go on as it has:“the cases are beyond the mark and cannot handle by normal courts.” <br />
<br />
There is yet another obstacle, “if the Acehnese understand peace as more important than the pursuit of these human rights cases,’ Marzuki notes. <br />
<br />
Sudjono is Head of the Intelligence Section in Korem Liliwangsa at Lhokseumawe. On 19 July 1999, Sudjono led about 70 Indonesian soldiers in an ambush against a dayah (religion school) headed by Teungku Bantaqiah in Beutong Ateuh, West Aceh. The reason for the ambush was Bangaquah’s support for GAM, involvement in the black market for marijuana, stockpiling of weaponary, and his teaching of ”deviant philosophies.”<br />
<br />
<a href="http://bungimam.blogspot.com/2007/08/past-crime-in-aceh.html">Read more..</a>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-40533623405198901982012-11-17T13:05:00.001+07:002012-11-17T13:05:39.268+07:00Suciwati Kunjungi Papua Untuk Melawan Lupa <br />
<div style="border-collapse: collapse; color: #232323; font-family: arial, sans-serif; font-size: 13px; font: normal normal normal 18px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: center;">
<span class="Apple-style-span" style="color: #1a1a1a; font-family: Arial; font-size: large;"><b></b></span></div>
<div style="color: #232323; display: inline !important; font: normal normal normal 14px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: center;">
<b><i>Tak ada peringatan Tokoh sebesar Theys, Suciwati heran</i></b></div>
<br />
<span class="Apple-style-span" style="border-collapse: collapse; color: #500050; font-family: arial, sans-serif; font-size: 13px;"><span style="color: #1a1a1a; font-family: Arial; font-size: large;"><b><div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: center;">
Oleh: Angela Flassy</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Di sini makam Theys,” kata Suciwati saat melihat makam Dortheys</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Hiyo Eluay. Makam di tengah kota Sentani, Kabupaten Jayapura itu tepat berada di gerbang keluar Bandara Sentani. Setiap orang yang datang dari arah Bandara Sentani pasti akan mengenalinya. Makam yang tepat berada di lapangan itu menghadap persis ke ke gerbang bandara Sentani, bandara terbesar di Papua.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Belum ada yang datang?” Katanya sembari memperhatikan makam yang bersih terawat. Di atas makam terdapat dua <i>krans</i> bunga yang usang dan warnanya memudar. Suciwati, memanjatkan doa sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Suciwati tiba di Jayapura, 11 November pagi untuk memperingati 11 tahun wafatnya ketua Presidium Dewan Papua (PDP), Dortheys Hiyo Eluay, atau yang dikenal dengan Theys Eluay. </div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Theys meninggal 11 tahun lalu, tepatnya 10 November 2001, usai memenuhi undangan perayaan hari pahlawan di Markas Tribuana Kopassus, Argapura Hanurata, Jayapura. Saat hendak pulang ke rumahnya di Kota Sentani, 45 kilometer arah barat dari Kota Jayapura, mobilnya dicegat di Skyland lalu dicekik dalam mobil dan jasadnya dibuang ke Koya Tengah, 20 kilometer ke arah Timur dari Kota Jayapura.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Suciwati lalu melanjutkan perjanalan ke bekas markas Tribuana Kopassus, Argapura Hanurata, Jayapura. Rumah yang dikontrak Markas Tribuana masih ada, namun sudah dihuni oleh orang lain. Halaman depannya belum dibongkar. Halaman parkir alat berat PT. Hanurata (HPH) yang 11 tahun lalu digunakan sebagai tempat dilaksanakannya perayaan hari Pahlawan, masih ada di sana.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Acara diselenggarakan pada malam hari. Theys pulang bersama sopirnya, Aristoteles Masoka dan dicegat di Skyland. Aris melompat dari mobil dan kembali ke markas ini untuk melaporkan penculikan Theys. Sejak saat itu, Aris hilang hingga saat ini,” jelas Baguma dari KontraS Papua pada Suci di pelataran parkiran.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Suciwati lalu melanjutkan ke Skyland, tempat mobil Theys dihentikan dan Theys diculik. Disini terdapat tugu peringatan penculikan Theys yang ditandatangani Ketua Dewan Adat (DAP) Port Numbay, Herman Hamadi. Suci berhenti sejenak, lalu meneruskan perjalanan ke kantor KontraS Papua di Abepura untuk melakukan jumpa Pers.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Kepada wartawan, Suciwati menyatakan keheranannya. “Saya kaget, kok di Papua tidak ada solidaritas untuk mengenang pejuang keadilan Papua, almarhum Theys Eluay,” katanya. Baginya, baik Theys Eluay maupun Aristoteles, sama dengan suaminya Munir. Baginya mereka adalah tokoh penting dalam perjuangan keadilan dan HAM di Indonesia.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Theys adalah tokoh penting yang memperjuangankan keadilan untuk masyarakat Papua yang mengalami penindasan yang luar biasa. Sama dengan suami saya. Sebab itu kematian mereka patut dikenang sebagai pejuang kemanusiaan,” katanya. </div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Setiap 7 September, tanggal kematian Cak Munir, semua elemen masyarakat memperingati kematian Munir dengan cara-caranya masing-masing. Seniman melakukan pertunjukan seni, aktivis HAM membuat kaos bergambar wajah suaminya dan lain-lain demi mengkampanyekan penegakan keadilan, HAM dan tegaknya hukum di Indonesia. Suci menegaskan, "bahkan, beberapa kali peringatan kematiannya kami gelar demontrasi di markas BIN."</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Harusnya di Papua juga seperti itu, kita harus membangkitkan rasa solidaritas dan persatuan demi penegakkan hukum dan HAM. Jika kita diam, maka kita akan terus hidup dalam ancaman dan kekerasan,” tegasnya. Sebab sampai hari ini, meski rezim berganti rezim, tetapi wajah negara soal impunitas tetap tidak berubah. Bahkan pelaku-pelakunya hingga kini tetap bebas karena mendapat impunitas terhadap hukum plus promosi jabatan.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Pelanggar-pelanggar HAM hingga kini tetap dilindungi oleh negara. Ini bukan persoalan Theys atau Munir, ini persoalan kita bersama dan harus dihentikan,” katanya. Solidaritas terus dibangun untuk mendesak pemerintah untuk menghentikan agar kedepan tidak jatuh lagi korban-korban kekerasan di Indonesia.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Dari ketujuh orang anggota Kopassus tersangka pembunuhan Theys, tidak sepenuhnya menjalani hukuman. Letkol Tri Hartomo, Komandan Kopassus di Jayapura, saat Theys tewas yang di hukum pemecatan dan 3,5 tahun penjara, kini adalah Komandan Sekolah Calon Perwira angkatan darat di Bandung. Mayor Doni Hutabarat, yang dihukum 2,5 tahun penjara karena mengundang Theys ke acara dan memata-matai Theys Eluay, kini berpangkat Letnan Kolonel dan bertugas sebagai komandan Kodim Medan.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Terima kasih untuk Mbak Suci yang mau jauh-jauh datang ke Papua untuk mengingatkan kami di sini dan melawan lupa. Terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya untuk datang dan kembali mengingatkan dan menyegarkan ingatan kami tentang pentingnya sebuah advokasi yang dilakukan secara terus menerus,” kata Olga Hamadi, koordinator KontraS Papua. Baginya ini bisa dijadikan awal, untuk mengagendakan kembali semua kasus pelanggaran HAM di Papua, agar tidak ada satupun orang di Indonesia lupa dan negara mau mengakui dan memberi keadilan bagi setiap warganya yang dilanggar hak asasi manusianya.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Masyarakat kita adalah masyarakat yang pemaaf dan pelupa. Itu yang harus dilawan. Mereka bisa membunuh Cak Munir, Theys yang menyuarakan kebenaran. Tapi mereka tidak bisa membunuh kebenaran,” kata Suciwati.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Setelah bertemu dengan wartawan lokal di Papua, Suciwati melanjutkan perjalanan ke lokasi tempat jasad Theys dibuang. Tak ada tanda, atau penanda lainnya membuat Suciwati dan rombongan harus bolak-balik mencari lokasi. Setelah bertanya dengan beberapa warga, akhirnya tempatnya ditemukan.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Lokasi sama seperti saat Theys ditemukan tak bernyawa. Diantara tingginya ilalang dan pohon pisang, dekat lokasi galian C di Koya Tengah, 20 kilometer ke arah timur Kota Jayapura.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Keesokan harinya, sebelum kembali ke Jakarta, Suciwati diundang bertemu dengan putra Theys Eluay, Boy Eluay di pendopo resmi Ondofolo, kepala suku besar, Suku Sentani, Sentani.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Saya sudah lama mendengar dan mengikuti pemberitaan Cak Munir juga Ibu Suci. Saya kagum dengan konsistensi ibu untuk mendapatkan keadilan di Negara ini,” kata Boy Eluay, Putra Theys Eluay yang menerima kedatangan Suciwati di kediamannya, pagi itu.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Suciwati datang ke Jayapura membangun solidaritas sesama keluarga korban untuk bersama-sama melawan lupa. “Jika orang sebesar Theys, mereka mampu menghilangkan nyawanya, bagaimana dengan kita? Kita tidak ingin jika anak kita di masa yang akan datang menjadi korban kekerasan seperti ini!” Kata Suci.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Persoalan kemanusiaan, selalu menjadi kepedulian siapa saja. Untuk itu jangan sampai kasus kekerasan negara dibiarkan begitu saja, apa lagi dilupakan. Selama ini, Suciwati dikenal aktif melakukan aksi damai untuk penyelesaian kasus pembunuhan Munir. Salah satunya adalah “Aksi Kamisan,” aksi diam yang dilakukan setiap Kamis di depan Istana Negara oleh solidaritas keluarga korban penghilangan secara paksa oleh negara sejak 2007 hingga kini masih dilakukannya.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Ada bagian yang bisa kita kerjakan sendiri, ada bagian yang dikerjakan bersama-sama dengan teman-teman aktivis. Sudah saatnya keluarga korban melakukan aksi yang lebih terorganisir untuk penegakkan hukum dan HAM di Papua,” katanya.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Situasi di Papua, tak seperti di pulau lain di Indonesia. Di Papua, setiap kegiatan kemanusian, penegakkan Hukum dan HAM selalu diindentikkan dengan masalah politik dan makar. “Mereka membawa jubah yang sudah diukur. Ketika kami melakukan kegiatan ataupun aksi yang bersinggungan dengan kemanusiaan, mereka datang membawa jas yang sudah diukur dan mengenakannya kepada kami,” ujar Boy Eluay, putra sulung Alm. Theys Eluay. Stigma itu yang kemudian membuat keluarga korban berpikir dua kali jika berbicara soal penegakkan HAM secara terus menerus dan menuntut keadilan bagi mereka.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Dukungan dari teman-teman di luar Papua sangat dibutuhkan, agar negara dapat meletakkan jubah-jubah itu,” kata Boy Eluay. Untuk itu Suci mengharapkan keluarga korban di Papua harus membangun solidaritas dan menjaga kemurnian perjuangan itu, dengan begitu tidak mudah terkena stigma dari aparat negara dan Boy setuju dengan itu.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
“Pemerintah sudah saatnya tidak berjalan dengan mata terpejam dan nyenyak dengan mata terbuka. Saya respek dengan Ibu Suci dan berharap pertemuan ini akan melahirkan barisan yang lebih panjang untuk usaha penegakkan HAM di Papua,” ujar Boy.</div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; min-height: 15px;">
<br /></div>
<div style="color: #232323; font: normal normal normal 13px/normal Arial; margin-bottom: 10px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px;">
Suciwati kembali ke Jakarta Senin siang (12/11). Suciwati berharap aksi solidaritas ini dapat berjalan terus dan ketakutan tidak merajalela hingga kekerasan dapat berhenti di Papua, “Sejak awal saya percaya bahwa nyawa itu milik Tuhan, jadi kenapa saya harus takut kepada pecundang? Saya justru takut di ruang-ruang kebenaran dan takut kalau kebenaran itu tidak pernah datang,” kata Suci sambil menegaskan ulang bahwa dirinya tak akan berhenti menuntut keadilan untuk Munir dan juga Theys Eluay.</div>
</b></span></span>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-17917478201624118392012-11-11T15:58:00.001+07:002012-11-11T15:59:22.851+07:00Ziarahi Makam Theys Elluay, Suciwati Tuntut Keadilan<span class="Apple-style-span" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="white-space: nowrap;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:DocumentProperties>
<o:Template>Normal.dotm</o:Template>
<o:Revision>0</o:Revision>
<o:TotalTime>0</o:TotalTime>
<o:Pages>1</o:Pages>
<o:Words>760</o:Words>
<o:Characters>4335</o:Characters>
<o:Company>Jl Raya Kebayoran Lama 18 CD Jakarta Selatan 12220</o:Company>
<o:Lines>36</o:Lines>
<o:Paragraphs>8</o:Paragraphs>
<o:CharactersWithSpaces>5323</o:CharactersWithSpaces>
<o:Version>12.0</o:Version>
</o:DocumentProperties>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves>false</w:TrackMoves>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:DrawingGridHorizontalSpacing>18 pt</w:DrawingGridHorizontalSpacing>
<w:DrawingGridVerticalSpacing>18 pt</w:DrawingGridVerticalSpacing>
<w:DisplayHorizontalDrawingGridEvery>0</w:DisplayHorizontalDrawingGridEvery>
<w:DisplayVerticalDrawingGridEvery>0</w:DisplayVerticalDrawingGridEvery>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:DontAutofitConstrainedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
</w:Compatibility>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="276">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]-->
<!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ascii-font-family:Cambria;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Cambria;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
<!--StartFragment-->
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none; text-autospace: none;">
<span class="Apple-style-span" style="color: #222222;"> </span><span class="Apple-style-span" style="color: #222222;">JAYAPURA, 11 November 2012
– Suciwati, isteri almarhum Munir Said Thalib, mendatangi makam Theys H. Eluay
di Sentani serta bertemu keluarga Aristoteles Masoka, sopir Eluay, yang hilang
usai melaporkan penculikan Eluay 11 tahun lalu.</span></div>
<span class="Apple-style-span" style="color: #222222;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span class="Apple-style-span" style="color: #222222;"><br /></span></div>
<span class="Apple-style-span" style="color: #222222;">
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">“Apa yang dialami Theys
Eluay dan Aristoteles Masoka sama dengan suami saya, Munir. Mereka dibunuh oleh
orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Saya ingin kita semua berjuang
bersama merebut keadilan. Jangan biarkan pelaku bebas berkeliaran,” kata
Suciwati. Perempuan yang pernah jadi aktivis buruh ini menyatakan
suaminya diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia, Jakarta-Amsterdam, pada 7
September 2004. </span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">“Rezim ini tidak berubah
karena penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap pejuang hak asasi manusia
terus terjadi. Sampai hari ini para penjahatnya masih bebas bahkan
dipromosikan. Kita harus terus melawan dan katakan meski para pelaku itu
membunuh Munir dan Theys ini tidak akan menghentikan kebenaran dan perjuangan
yang telah dilakukan Theys dan Munir. Kita harus terus menolak kekerasan di
bumi Indonesia!” Tandas Suciwati.</span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Suciwati datang ke
Jayapura untuk memperingati hari pembunuhan Eluay, kepala suku dan ketua
Presidium Dewan Papua, yang diculik dan dibunuh seusai memenuhi undangan
perayaan hari pahlawan di Markas Tribuana Kopassus, Jayapura, 10 November 2001.</span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Saat hendak pulang menuju
ke rumah keluarga Eluay di Sentani, dia dibunuh dalam mobilnya sendiri.
Mulanya, komandan Kopassus di Jayapura, Letkol Sri Hartomo membantah terlibat
pembunuhan Eluay. Namun tekanan nasional dan internasional membuat militer
Indonesia terpaksa mengakui keterlibatan Kopassus dalam pembunuhan Eluay. </span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">“Kami datang ke Papua
bukan untuk menyatakan solidaritas atas korban-korban pelanggaran hak asasi
manusia di Papua, namun juga mohon bantuan masyarakat Papua agar Mbak Suci
didoakan agar dia juga bisa mendapat keadilan dalam kasus pembunuhan Cak Munir”
kata Olga Hamadi, koordinator KontraS Papua yang mendampingi Suciwati selama di
Papua.</span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Pada 21-23 April 2003,
pengadilan militer Surabaya memvonis Letkol Tri Hartomo dan enam tentara
Kopassus lain bersalah secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang
mengakibatkan kematian Theys Eluay. Mereka dihukum antara dua hingga 3.5 tahun
penjara serta sebagian dipecat dari militer:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 36pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-indent: -36pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 15.0pt; mso-fareast-font-family: Times;"><span style="mso-list: Ignore;">•<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Letkol Tri Hartomo,
komandan Kopassus di Jayapura (pemecatan, hukuman 3.5 tahun penjara); <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 36pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-indent: -36pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 15.0pt; mso-fareast-font-family: Times;"><span style="mso-list: Ignore;">•<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Mayor Doni Hutabarat (2.5 tahun
penjara, mengundang Eluay hadir dalam acara Kopassus, ikut memata-matai Eluay);
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 36pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-indent: -36pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 15.0pt; mso-fareast-font-family: Times;"><span style="mso-list: Ignore;">•<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Kapten Rionaldo (3 tahun,
melakukan penganiayaan terhadap Eluay, memata-matai Eluay); <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 36pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-indent: -36pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 15.0pt; mso-fareast-font-family: Times;"><span style="mso-list: Ignore;">•<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Letnan Satu Agus Supriyanto (3
tahun, penganiayaan, tidak hentikan Prajurit A. Zulfahmi saat mencekik Eluay); <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 36pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-indent: -36pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 15.0pt; mso-fareast-font-family: Times;"><span style="mso-list: Ignore;">•<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Sersan Satu Asrial (3 tahun,
penganiayaan); <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 36pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-indent: -36pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 15.0pt; mso-fareast-font-family: Times;"><span style="mso-list: Ignore;">•<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Sersan Satu Laurensius Li (2
tahun, tak mencegah rekan-rekannya mencekik dan menganiaya Eluay; <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 36pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-indent: -36pt;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 15.0pt; mso-fareast-font-family: Times;"><span style="mso-list: Ignore;">•<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Prajurit Kepala A. Zulfahmi (3
tahun, pemecatan, mencekik Eluay dalam mobil Toyota Kijang).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Sebulan sebelum
pembunuhan, Tri Hartomo memerintahkan bawahannya “mengamankan” Theys Eluay. Di
pengadilan, Hartomo mengaku bahwa dia memerintahkan anak buah untuk mencegah
Eluay merayakan kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2001. Mayor Doni Hutabarat
memimpin team. Mereka menghentikan mobil Eluay di daerah Skyline, sekitar 20
menit dari Hamadi. Menurut kesaksian di Surabaya, Theys Eluay berteriak yang
membuat A. Zulfahmi membungkam mulut Eluay dan “tak sengaja” membunuh Eluay. </span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Aristoteles Masoka sempat
menelepon isteri Theys Eluay, Yaneke Ohee, di mana Masoka dikutip menelepon
gugup dan tergesa-gesa, sebelum telepon mendadak mati: “Mama, Bapa diculik,
saya akan pergi cek, karena mereka yang culik ….”</span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Almarhum Munir dari
Kontras mengatakan, pembunuhan Theys Eluay ada kemungkinan terkait dengan
sebuah dokumen bocor dari rapat di Departemen Dalam Negeri pada 8 Juni 2000 di mana
dibicarakan soal bagaimana mengatasi tokoh-tokoh Papua, termasuk Theys Eluay,
yang bicara soal merdeka. Peserta rapat termasuk datang dari Kopassus. </span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Sekarang ternyata ketujuh
orang tersebut tidak sepenuhnya menjalani hukuman yang ditimpakan pengadilan
Surabaya. Ada kemungkinan mereka mendapat keringanan ketika banding di
pengadilan militer Jakarta. Tri Hartomo bahkan naik pangkat, menjadi kolonel
dan komandan Group I Kopassus di Serang. Hartomo baru dipindahkan dari Kopassus
ketika Amerika Serikat hendak menjalin kerja sama militer dengan Kopassus pada
Juli 2010. Kini Hartomo adalah komandan Sekolah Calon Perwira AD di Bandung.
Doni Hutabarat kini berpangkat Letnan Kolonel dan bertugas sebagai Komandan
Dandim Medan. </span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Kopassus tetap melakukan
kegiatan mata-mata terhadap masyarakat sipil di Papua, termasuk membayar
wartawan, guna mengawasi tokoh-tokoh sipil. Pada Agustus 2011, ratusan lembar
dokumen Kopassus bocor, termasuk nama-nama wartawan, pegawai negeri, sopir
rental, tukang ojek dan lainnya, yang bekerja untuk Kopassus. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Solidaritas Nasional untuk
Papua (SNUP): Mengenai Pengadilan Pembunuhan Theys Eluay</span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<a href="http://www.kontras.org/penculikan/index.php?hal=sp&id=1"><span style="color: #093aca; font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">http://www.kontras.org/penculikan/index.php?hal=sp&id=1</span></a><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-font-size: 15.0pt;">Dokumen Militer Menyingkap
Aksi Mata-mata di Papua:</span><span style="font-family: Times; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-font-size: 16.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: arial, sans-serif;">
<a href="http://www.hrw.org/node/108615"><span style="color: #093aca; font-family: Times;">http://www.hrw.org/node/108615</span></a><span style="font-family: Times; font-size: x-small;"><o:p></o:p></span></div>
<!--EndFragment--></span>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-5481082202964190022012-10-30T12:59:00.001+07:002012-10-30T13:08:31.385+07:00Tiga Wartawan Sulut Dianiaya<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: x-small;"><span class="Apple-style-span" style="border-collapse: collapse; line-height: 17px;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:DocumentProperties>
<o:Template>Normal.dotm</o:Template>
<o:Revision>0</o:Revision>
<o:TotalTime>0</o:TotalTime>
<o:Pages>1</o:Pages>
<o:Words>637</o:Words>
<o:Characters>3634</o:Characters>
<o:Company>Jl Raya Kebayoran Lama 18 CD Jakarta Selatan 12220</o:Company>
<o:Lines>30</o:Lines>
<o:Paragraphs>7</o:Paragraphs>
<o:CharactersWithSpaces>4462</o:CharactersWithSpaces>
<o:Version>12.0</o:Version>
</o:DocumentProperties>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves>false</w:TrackMoves>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:DrawingGridHorizontalSpacing>18 pt</w:DrawingGridHorizontalSpacing>
<w:DrawingGridVerticalSpacing>18 pt</w:DrawingGridVerticalSpacing>
<w:DisplayHorizontalDrawingGridEvery>0</w:DisplayHorizontalDrawingGridEvery>
<w:DisplayVerticalDrawingGridEvery>0</w:DisplayVerticalDrawingGridEvery>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:DontAutofitConstrainedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
</w:Compatibility>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="276">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]-->
<!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ascii-font-family:Cambria;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Cambria;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
<!--StartFragment-->
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif;"><span style="color: #262626; font-family: 'Lucida Grande';"><i>Ada Pelaku Pamer Senjata Api</i><o:p></o:p></span></span></div>
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif;"><br /></span></div>
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif;">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Manado, MS<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Aksi penganiayaan tiga wartawan asal Sulut di kawasan parkir
CornerCafe, Kamis (25/10) pekan lalu ditengarai melibatkan oknum petugaspolisi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Dari penelusuran Media Sulut, satu diantara belasan pelaku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">pengeroyokan dinihari itu sempat mengeluarkan senjata api.
"Ada satupelaku yang cabut pistol," aku Bryan Sondakh, wartawan media
online Sulut yang ikut jadi korban. "Pelaku memukul kepala saya dengan
gagangpistol itu," timpal Bryan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Akibat pukulan dengan gagang senjata api itu, Bryan terkapar
denganluka sobek di bagian ubun-ubun kepala.Tak sampai disitu, Bryan lantas
diinjak-injak beberapa pelaku lainnya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">hingga pingsan bersimbah darah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Dua rekan Bryan masing-masing wartawan media cetak lokal Sulut masing-masing
Risky Pogaga dan Hendra Lumanauw bahkan lebih parah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Risky, wartawan biro Minahasa Utara (Minut)harian Media Sulut
kinidirawat intensif di Rumah Sakit Siloam, Manado. Pukulan bertubi-tubiyang
diterima mengakibatkan luka dan memar di sekujur tubuhnya. Riskymengalami patah
tulang hidung, dan pendarahan otak akibat penganiayaantersebut. "Kiky
(sapaan Risky, red) sempat pingsan hampir 10 jam," aku Stevy Sengke, istri
tercinta yang setia menunggui Risky yang hingga kini masih terus dirawat
intensif.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Sementara Hendra Lumanauw, wartawan biro Minut harian Koran
Manadosempat dirawat di RSUP Prof Kandou Malalayang. Sama halnya denganRisky,
Hendra juga mengalami luka dan memar di sekujur tubuh, serta luka sobek di
bagian kepala.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Akar persoalan yang berujung aksi pengeroyokan tersebut diawali
aksi salah satu pelaku yang mendatangi ketiga korban yang tengah menghabiskan
waktu bersama di Corner Club. "Hey, kamu yang bajingan?" kata oknum
yang belum diketahui identitasnya itu sebagaimana dituturkan Risky. Ia juga
menarik kerah baju Risky. Merasa tidak melakukan kesalahan, Risky lantas
mendorong pria tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Perselisihan itu langsung diamankan petugas keamanan Corner
Club. Namun ternyata, para pelaku tak berhenti sampai disitu. Saat hendak pulang,
ketiga wartawan itu dibuntuti. Ketika tiba di parkiran, para pelaku tanpa
tendeng aling-aling langsung menghujami ketiganya dengan pukulan dan tendangan
bertubi-tubi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Joppy Pogaga, ayah Risky telah melaporkan peristiwa penganiayaan
tersebut ke Mapolresta Manado. "Kami keluarga meminta agar pihak kepolisian
secepatnya menangkap para pelaku penganiayaan," tutur Joppy. Namun hingga
kini, identitas para pelaku yang menurut penuturan sejumlah saksi mata sekitar
10 hingga 12 orang itu, belum satupun berhasil teridentifikasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Aksi kekerasan yang dialami dua pekerja pers Sulut itu memicu
reaksi keras dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado. Ketua AJI Manado, Yoseph
Ikanubun secara terpisah mengutuk aksi penganiayaan tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Ia meminta agar aparat hukum secepatnya mengungkap dan menangkap
para pelaku penganiayaan. "Kami minta agar kasus ini diusut tuntas. Para pelaku
harus ditindak tegas sesuai hukum," lugas Yoseph<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Menurut redaktur harian Metro itu, AJI Manado juga siap
mengadvokasi kedua wartawan korban penganiayaan tersebut untuk mendapatkan keadilan.
"AJI Manado pasti akan mengawal proses penanganan kasus ini,"
tandasnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Kapolresta Manado melalui Wakapolresta AKBP Anis Viktor<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Brugman SIK saat dikonfirmasi membenarkan adanya tindakan
penganiayaan terhadap dua oknum wartawan tersebut. "Sudah ada laporannya.
Yang pasti akan kita tindak-lanjuti," papar Anis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Motif Diduga Terkait Pemberitaan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Penganiayaan yang dialami ketiga wartawan tersebut memicu reaksi
kecaman dari kalangan pekerja pers Sulut. "Harus diselidiki, jangan sampai
aksi kekerasan ini motifnya karena pemberitaan," tegas Yoppie Worek,
wartawan senior Sulut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">Pemimpin Redaksi harian Media Sulut, Rio Rumagit sendiri meminta
agar pihak kepolisian mengungkap kasus kekerasan tersebut secara transparan dan
profesional. "Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika memang ada
aparat yang ikut terlibat, harus ditindak. Para pelaku harus
mempertanggung-jawabkan perbuatannya di depan hukum," paparnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: "Lucida Grande";">"Kami percaya kasus ini akan diusut tuntas pihak
kepolisian. Sebab setahu kami, Pak Kapolda (Sulut) sangat menghargai pers dan independensinya,"
timpal Rio.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="color: #262626; font-family: 'Lucida Grande';">Perihal dugaan keterkaitan aksi kekerasan tersebut dengan
pemberitaan, Rio mengaku tak mau berandai-andai. "Biar proses hukum yang
menjawab. Kita percayakan saja ke pihak kepolisian untuk mengungkap
motifnya," pungkas Rio. (tim ms)<i style="font-size: 13pt;"><o:p></o:p></i></span></div>
<!--EndFragment--></span>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-37949733880871665642012-10-23T19:00:00.001+07:002012-10-23T19:11:54.441+07:00End the violence against journalists In Papua<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:DocumentProperties>
<o:Template>Normal.dotm</o:Template>
<o:Revision>0</o:Revision>
<o:TotalTime>0</o:TotalTime>
<o:Pages>1</o:Pages>
<o:Words>444</o:Words>
<o:Characters>2534</o:Characters>
<o:Company>Jl Raya Kebayoran Lama 18 CD Jakarta Selatan 12220</o:Company>
<o:Lines>21</o:Lines>
<o:Paragraphs>5</o:Paragraphs>
<o:CharactersWithSpaces>3111</o:CharactersWithSpaces>
<o:Version>12.0</o:Version>
</o:DocumentProperties>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves>false</w:TrackMoves>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:DrawingGridHorizontalSpacing>18 pt</w:DrawingGridHorizontalSpacing>
<w:DrawingGridVerticalSpacing>18 pt</w:DrawingGridVerticalSpacing>
<w:DisplayHorizontalDrawingGridEvery>0</w:DisplayHorizontalDrawingGridEvery>
<w:DisplayVerticalDrawingGridEvery>0</w:DisplayVerticalDrawingGridEvery>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:DontAutofitConstrainedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
</w:Compatibility>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="276">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]-->
<!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ascii-font-family:Cambria;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Cambria;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]-->
<!--StartFragment-->
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;">A statement issued by Pantau Foundation and Southeast Asian Press
Alliance (SEAPA)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">Jakarta (23 October 2012):- Police today attacked a journalist
covering a rally organised by the West Papua National Committee (KNPB) in
Manokwari in West Papua. Oktovianus Pogau, a reporter with Suara Papua and a
contributor to the Yayasan Pantau, was beaten by five policemen while trying to
take pictures of police use of excessive violence against the KNPB
demonstrators in front of the State University of Papua, Manokwari. Pogau had
displayed his press card, but some police did not stop the beating. He
sustained injuries to his face.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">The security forces had attempted to stop the rally but the KNPB
activists went on with the demonstrations.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">In Jayapura, police dispersed thousands of demonstrators using the
water cannon and tear gas. In Manokwari, five people were reportedly shot but
it is still not clear their conditions.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">SEAPA's executive director Gayathry Venkiteswaran said: "We
deplore the aggression used against the demonstrators and especially
journalists, who are on duty. Papua has been a particularly difficult and
dangerous place for the media and<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>such kinds of abuse will further deny the rights of the people to news
and information." <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">She said SEAPA raised concerns about the violence against journalists
in Papua and the restrictions placed on foreign journalists in its submission
to the Human Rights Council on the occasion of Indonesia's Universal Periodic
Review. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">"The threats of impunity, of not bringing perpetrators of
violence against media personnel to justice, is<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>problem that has pushed backs Indonesia's gains in media
freedom in the last decade or so," she added. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">In 2011, two journalists were killed in Papua, eight were kidnapped
and 18 attacked. Foreign journalists are required to apply for special permits
to enter and cover stories in Papua since Indonesia took over the
administration of West Papua in 1963. Only three news organizations, including
BBC, obtained the permits last year.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">Pantau Foundation and the Southeast Asian Press Alliance condemn the
attacks against the media, especially in Papua where activists, human rights
defenders and journalists are frequently targeted for their work. Since
October, two veteran human rights defenders, respectively from Wamena and
Jayapura, have moved out of Papua due to serious threats against them.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">We call on the police to:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">1. Respect the rights of citizens to freedom of expression;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">2. Ensure the safety of Oktovianus Pugao;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">3. Stop all forms of violence against journalists;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">4. Arrest and prosecute the perpetrators of violence.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">We also call on the Indonesian government to:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">1. Open up Papua to international journalists and human rights
monitors; and<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">2. Guarantee the rights of all journalists working in West Papua
to ensure they can work free of violence, hindrance or intimidation from any
members of the security forces<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;">
<i><span style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;">For Pantau Foundation: Imam Shofwan, Chairman<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt; text-autospace: ideograph-numeric;">
<i><span style="mso-bidi-font-family: ArialMT; mso-fareast-font-family: ArialMT;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;">For SEAPA: Gayathry Venkiteswaran, Executive Director </span><span class="Apple-style-span" style="font-family: ArialMT;"><o:p></o:p></span></span></i></div>
<!--EndFragment-->Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-22328780012594757322012-08-27T08:39:00.000+07:002012-08-27T08:49:50.801+07:00SYAWAL BERDARAH DI SAMPANG<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 0.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: center;">
<div style="text-align: left;">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Komunitas Syiah Sampang Kembali Diserang</span></b></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: justify; text-indent: 36.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: justify; text-indent: 36.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Hari Minggu tanggal 26 Agustus 2012, seminggu setelah Idul Fitri, sekitar pukul 10.00 WIB, komunitas Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang kembali diserang. Penyerangan bermula ketika beberapa orang tua hendak mengantar sejumlah 20 anak untuk kembali menuntut ilmu di Yayasan Pondok Pesantren Islam (YAPI), Bangil, Pasuruan. Mengingat liburan lebaran kemarin, anak-anak tersebut pulang ke kampung mereka. </span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: justify; text-indent: 36.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Pada 11.000 WIB, sebelum keluar dari gerbang desa, rombongan pengantar tersebut dihadang oleh massa yang berjumlah sekitar 500 orang. Massa melengkapi dirinya dengan <i>celurit</i>, parang, serta benda tajam lainnya. Berdasarkan keterangan salah seorang jamaah Syiah yang tidak mau disebutkan namanya, pelaku penyerangan merupakan orang suruhan Roies Al Hukama. Massa menyerang jamaah Syiah Sampang dengan menggunakan senjata tajam. Rombongan yang terdiri dari anak-anak dan sejumlah perempuan sontak berlarian menyelamatkan diri. Mereka kembali ke dalam rumah masing-masing untuk bersembunyi. Meski jamaah Syiah sudah berusaha bersembunyi, massa terus mengejar hingga menuju rumah mereka.</span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: justify; text-indent: 36.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Massa Penyerang <i>meluruk</i> sampai ke rumah-rumah jamaah Syiah dan mulai membakar sejumlah rumah milik jamaah Syiah, yaitu rumah Ust. Tajul Muluk, Muhammad Khosim alias Hamamah, dan Halimah. </span></div>
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Korban pun berjatuhan, dua orang jamaah Syiah yang bernama Thohir (laki-laki, 40 tahun) kritis, dan Muhammad Hasyim alias Hamamah (laki-laki, 45 tahun) meninggal dunia. Baik Thohir dan dianiaya ketika mereka berniat menyelamatkan anak-anak dari rumah yang terbakar. Thohir dan Hamamah mengalami luka bacok yang cukup parah di bagian tubuhnya. </span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: justify; text-indent: 36.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Meski penyerangan sudah terjadi pukul 11.00 WIB, akan tetapi sampai malam hari Polisi tidak melakukan tindakan pencegahan dan penyelamatan secara serius. Saat penyerangan terjadi, sejumlah Polisi memang berada di lokasi tetapi tidak berbuat apa-apa. Mereka terlihat hanya duduk-duduk di sekitar lokasi. Berdasarkan keterangan salah seorang sumber, aksi penyerangan ini sebenarnya telah direncanakan jauh hari sebelum lebaran tiba. Isu penyerangan sudah terdengar di wilayah Karang Gayam. Patut diketahui bahwa korban meninggal adalah saksimeringankan terdakwa Ust. Tajul Muluk dalam persidangan di PN Sampang. </span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: justify; text-indent: 36.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Baru pukul 18.30 WIB jamaah Syiah mulai dievakuasi ke GOR Sampang oleh Polisi. Berdasarkan keterangan Ibunda Ust. Tajul Muluk, tidak semua jamaah Syiah berhasil dievakuasi karena sebagian mereka masih bersembunyi dan keberadaannya belum diketahui. Ada yang lari ke gunung, sebagian memilih bersembunyi di tempat keluarga di luar Karang Gayam. Hingga pukul 21.00 WIB ada 176 Jamaah Syiah yang berhasil dievakuasi ke GOR Sampang, terdiri dari: 51 laki-laki; 56 perempuan; 36 anak-anak; 9 balita, dan; 3 manula. Masih ada 4 orang yang ada di RSUD Sampang. Sampai laporan ini ditulis, korban masih bisa bertambah mengingat belum semua jamaah Syiah diketahui keberadaanya. Total kerugian material belum diketahui, tapi setidaknya sampai pukul 21.00 WIB, 80 rumah jamaah Syiah telah dibakar oleh massa penyerang. </span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: justify; text-indent: 36.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Penyerangan ini juga dilakukan saat komunitas Syiah tidak memiliki pemimpin. Hal ini karena Ust. Tajul Muluk sendiri sudah diputus 2 tahun penjara oleh PN Sampang. Selain itu, penyerangan dilakukan di depan sejumlah anak, sehingga menyebabkan trauma pada anak dan perempuan. Oleh karenanya penyerangan ini semakin memperkuat gejala selama ini yaitu:</span></div>
</div>
<ol style="list-style-type: decimal;">
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 6px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">1.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Penyerangan tidak dipicu oleh apapun. Bahkan korban diam akan tetap diserang karena memiliki motif menghilangkan perbedaan atau menghilangkan orang-orang yang berbeda.</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 6px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">2.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Dengan demikian, penyerangan yang dilakukan merupakan upaya sistematis dan serius untuk menganiaya dan menghilangkan nyawa jamaah Syiah di Sampang. Konstruksi pengadilan yang mengatakan penyerangan karena dipicu oleh kedatangan ust. Tajul Muluk terbantahkan sudah, mengingat saat ini Ust. Tajul Muluk masih berada di LP.</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 6px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">3.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Isu penyerangan juga sudah tersebar bahkan sebelum lebaran, akan tetapi Polisi sama sekali tidak mengambil tindakan antisipasi dan pencegahan. Polisi seperti membiarkan serangkaian kekerasan yang merenggut korban jiwa dan materi terus terjadi.</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 6px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">4.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Pemerintah telah gagal dalam menjamin rasa aman dan terpenuhinya hak-hak dasar jamaah Syiah Sampang. Pemerintah gagal melindungi jamaah Syiah dari pelbagai ancaman kekerasan yang sistematis dan terencana. </span></li>
</ol>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: justify; text-indent: 36.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 0.0px; text-align: justify; text-indent: 36.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Berdasarkan hal-hal di atas, kami dari Kelompok Kerja Aliansi Kebebasan Beragama Berkeyakinan (POKJA AKBB) Jatim menyatakan hal-hal sebagai berikut :</span></div>
</div>
<ol style="list-style-type: decimal;">
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 6px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">1.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Menuntut Kapolri untuk melakukan evaluasi internal atas kegagalan Polres Sampang dalam menjamin rasa aman bagi jamaah Syiah, bahkan bila perlu memecat Kapolres Sampang karena kegagalannya dalam menciptakan rasa aman bagi masyarakat.</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 6px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">2.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Menuntut Polisi segera bertindak untuk menghentikan penyerang dan menyelamatkan para korban. Perlu dicatatm sebagian jamaah Syiah sampai saat ini keberadaanya belum diketahui. </span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 6px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">3.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Meminta aparat penegak hukum segera menjalankan proses peradilan terhadap para penyerang, pembakar, dan pembunuh demi terpenuhinya keadilan bagi korban dan masyarakat luas tanpa memperdulikan tekanan massa.</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 6px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">4.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Meminta negara melakukan upaya pemulihan kepada para korban baik fisik, psikologis, keadilan dan ketidakberulangnya kejadian kekerasan,</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 6px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">5.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Mendesak pelbagai institusi hukum untuk meninjau ulang posisi Ust. Tajul Muluk sebagai korban yang telah dikriminalisasi dan ditahan oleh PN Sampang. Terbukti secara meyakinkan bahwa Ust. Tajul Muluk bukanlah penyebab atas semua kekerasan yang terjadi di Sampang. </span></li>
</ol>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 18.0px; min-height: 14.0px; text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><br /></span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 0.0px 0.0px 0.0px 0.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Surabaya, 27 Agustus 2012</span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 0.0px 0.0px 0.0px 0.0px;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Hormat Kami,</span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 0.0px 0.0px 0.0px 0.0px;">
<div style="text-align: left;">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Pokja AKBB</span></b></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 0.0px 0.0px 0.0px 18.0px; min-height: 14.0px; text-align: center;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><b></b><br /></span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 0.0px 0.0px 0.0px 0.0px;">
<div style="text-align: left;">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Akhol Firdaus</span></b></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 0.0px 0.0px 0.0px 18.0px; min-height: 14.0px; text-align: center;">
<div style="text-align: left;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: small;"><b></b><br /></span></div>
</div>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 0.0px 0.0px 0.0px 0.0px;">
<div style="text-align: left;">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Pokja AKBB Jatim </span></b></div>
</div>
<ol style="list-style-type: decimal;">
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">1.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">2.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Center for Marginalized Communities Studies (CMARs) Surabaya</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">3.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>GKI Sinode Jatim</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">4.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Pusham Unair</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">5.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>JIAD Jatim</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">6.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Gus Durian Jatim</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">7.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>KPI Jatim</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">8.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Yayasan Maryam</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">9.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>Sapulidi Surabaya</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">10.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>PMII Jawa Timur</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">11.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>KSGK</span></li>
<li style="font: normal normal normal 12px/normal Cambria; margin-bottom: 6px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">12.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>KPPD Surabaya</span></li>
</ol>
<div style="font: 12.0px Cambria; margin: 6.0px 0.0px 0.0px 18.0px; min-height: 14.0px; text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</div>
Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-41400438132781308062012-05-28T16:27:00.000+07:002012-09-12T16:54:57.942+07:00Shariah Advocates Must Put Into Practice Its History of Tolerance<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif; line-height: 17px;">Imam Shofwan</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br /></span>
<span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">In August 2002, a number of Islam-based political parties demanded the Jakarta Charter be included in the Constitution, which would mean that Muslims in Indonesia would have the obligation to live according to the prescriptions of Shariah law.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">The effort was supported by a large number of — mainly hard-line — Islamic organizations, but nevertheless failed to pass through the House of Representatives, in part due to opposition from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and the — also Islam-based — National Awakening Party (PKB).</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">The Islamists had to change strategy. In 2004 a new law on regional autonomy gave them the opportunity they had been hoping for. They set about implementing “Shariah from below” by advocating across the archipelago local Shariah laws, which often included rules such as women being required to wear the hijab, and couples wanting to marry needing to read the Koran.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">Islamic groups have long argued that their brand of “Shariah from below” need not alarm any skeptics. The reality, however, is that attacks on religious minorities have been frequent and even deadly in a number of regions were such laws have been implemented.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">One proponent of Shariah, M.S. Kaban of the Crescent Star Party (PBB), has said that: “If Shariah is applied, the benefit is not just for the unity of Indonesia but also for a fair and cultural humanity, and for social justice for the whole of society.” Ma’ruf Amin of the Indonesian Council of Ulema (MUI) and Ismail Yusanto of the Liberation Party of Indonesia (HTI) echoed this sentiment. There was nothing to fear, they all said.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">Hidayat Nur Wahid of the Prosperous Justice Party (PKS) has argued, in a slightly different vein, that minority rights could be protected under a social contract similar to one that existed on the Arabian peninsular in the 7th century and formed the basis of the first Islamic caliphate: the Charter of Medina. It was an agreement between the Muslim, Jewish, Christian and pagan tribes of Medina, where the Prophet Muhammad first came to power. “Not only Muslims have the obligation to implement the Islamic Shariah; other groups [Jews and Christians in Medina] were given the authority to implement their religious orders,” Hidayat said.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">There have been successes at the national level for the Shariah proponents, like the 2008 Law on Pornography. And there are restrictions on the building of houses of worship issued in 2006 and a joint ministerial decree severely limiting the activities of the minority Ahmadiyah sect. But the “Shariah from below” program runs particularly smoothly. Nowadays, at least 151 local Shariah bylaws have been adopted across Java, Sulawesi, Sumatra and West Nusa Tenggara.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">In those areas, are adherents of minority religions sufficiently protected from persecution?</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">According to data released by the Setara Institute for Peace and Democracy, in 2010 there were at least 216 violations of religious freedom in areas that had implemented Shariah bylaws. West Java, East Java, Jakarta and North Sumatra were areas of particular concern.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">Pandeglang, in Banten, began to apply Shariah bylaws in 2004. The goal was to minimize social relations among students and that effectively led to gender separation. But the defenders of Shariah in Pandeglang have not stopped at preventing boys and girls from mingling at schools; they also harass the Ahmadiyah there.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">The Feb. 6, 2011, violence against the Ahmadis in the Cikeusik subdistrict of Pandeglang was the worst such violation in recent years. Three died in an attack by a large mob. The maximum prison sentence handed down was six months.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">In Lombok, the Ahmadis suffered outright persecution. Houses were burned and access to electricity cut. All Ahmadis were expelled from Bayan, West Lombok. In 2001, persecution shifted to Pancor, in East Lombok. Local authorities gave the persecuted Ahmadis two options: leave Ahmadiyah or leave Pancor. All chose to leave Pancor. Across West Nusa Tenggara, of which Lombok is part, at least 11 Shariah bylaws are in effect: from liquor bans and compulsory Friday prayer attendance for Muslims to zakat pay cuts for civil servants.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">But Ahmadis, whom mainstream Muslims say have a deviant understanding of the finality of Muhammad’s prophethood, are not the only targets.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">Alexander Aan, an aspiring public servant in Dharmasraya district in West Sumatra, is another. On Jan. 18 this year, he was beaten and dragged to the police by a mob after questioning the existence of God in a Facebook status update. Instead of protecting him, police took him into custody and named him a suspect for defaming Islam. Is this the protection promised by pro-Shariah groups?</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">Sampang district in Madura — again an area that has implemented Shariah bylaws — is home to followers of the Shiite branch of Islam. There, homes, mosques and schools of Shiites were burned in December 2011. Tajul Muluk, their leader, has been charged with blasphemy.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">West Java is among Indonesia’s most “Islamized” provinces, with at least 30 Shariah bylaws. But violence against Ahmadis and Christians is common there.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">President Susilo Bambang Yudhoyono has a key role to play in the protection of religious freedom, which is guaranteed in the 1945 Constitution. The fact that the MUI’s Ma’ruf remains a key advisor on religious affairs is unlikely to help. In 2006, Ma’ruf helped draft the rules aimed at curbing the number of churches in this country. And in 2008, Ma’ruf supported the government’s decision to outlaw Ahmadiyah proselytizing.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;">So it is about time the so-called defenders of Shariah make good on their promise and start offering protection to minorities — just like what used to be the case during the life of the Prophet Muhammad himself under the Charter of Medina.</span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" /></span><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><em style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><br style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;" />Imam Shofwan is the chairman of the Pantau Foundation, which is preparing a research report on Indonesian journalists’ perceptions of Islam.</em></span></span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;"><span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><em style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;"><br /></em></span>
<span class="Apple-style-span" style="line-height: 17px;"><em style="margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px;">This article published in <a href="http://www.thejakartaglobe.com/commentary/shariah-advocates-must-put-into-practice-its-history-of-tolerance/520471">Jakarta Globe</a>, May 28, 2012</em></span></span>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-84491210371100975652012-05-02T11:04:00.000+07:002012-09-22T11:08:52.452+07:00Syariat Islam: Mimpi Buruk Kaum MinoritasImam Shofwan<br />
<br />
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
PADA AGUSTUS 2002, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bulan Bintang mengusulkan pencantuman Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Mereka hendak memasukkan lagi tujuh kata dalam Pancasila: ‘Ketuhanan yang Maha Esa <em style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; font-style: italic; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya</em>.’<span id="more-3776" style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;"></span></div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Tuntutan tersebut didukung Front Pembela Islam, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim, Gerakan Pemuda Islam, Pelajar Islam Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Komite Indonesia Untuk Solidaritas Islam, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Mereka menuntut syariah Islam dijalankan di Indonesia.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Namun perjuangan pada aras nasional tersebut tak membuahkan hasil.Majelis Permusyawaratan Rakyat tak setuju dengan perubahan. Mereka dilawan oleh partai lain, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan maupun Partai Kebangkitan Bangsa.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Maka strategi kaum Islamis diubah jadi ‘syariatisasi dari bawah’ dengan memanfaatkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Lalu kabupaten demi kabupaten, terutama yang dulu wilayah perjuangan Darul Islam, mulai dari Jawa Barat sampai Sulawesi Selatan, Aceh hingga Sumatera Barat, melahirkan serangkaian peraturan daerah syariah. Isinya, mulai dari perempuan wajib pakai jilbab sampai pasangan Muslim mau menikah wajib bisa membaca Quran.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Malam Sambat Kaban dari Partai Bulan Bintang ketika itu bilang, ‘Kalau syariat Islam diterapkan, manfaatnya bukan hanya kesatuan dan persatuan Indonesia, tetapi kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat.’ Ma’ruf Amin dari Majelis Ulama Indonesia dan Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir Indonesia, mencoba menenangkan kelompok non Muslim dengan janji bahwa pemeluk agama lain tak perlu takut jika syari’at Islam diterapkan.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Sedikit berbeda, Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera, mempromosikan Piagam Madinah. Menurutnya, Piagam Madinah ini semacam kontrak sosial yang menjamin kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan agama bagi seluruh komunitas di Madinah. ‘Tidak hanya Muslim yang punya kewajiban untuk mengimplementasikan syari’ah Islam. Kelompok lain juga diberi otoritas untuk mengimplementasikan perintah agama mereka,’ katanya. Piagam Madinah cocok dengan Indonesia dan bisa dipakai untuk mengubah kebiasaan pluralistik di Indonesia, ujarnya lebih lanjut.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Program syariatisasi berjalan lancar. Kini setidaknya ada 151 perda Syariah di seluruh Jawa, Sulawesi, Sumatera serta Nusa Tenggara Barat. Mereka termasuk Enrekang, Gowa, Takalar, Maros, Sinjai, Bulukumba, Pangkep, dan Wajo (Sulawesi Selatan); Dompu dan Mataram (Nusa Tenggara Barat); Cianjur, Tasikmalaya, dan Indramayu (Jawa Barat); Tangerang dan Pandeglang (Banten); Pamekasan di (Madura); semua kabupaten di Sumatera Barat kecuali Mentawai. Riau, Kalimantan Selatan, dan Jakarta lagi menjajaki kemungkinan penerapan Perda Syari’ah. Pada aras nasional, ada Undang-undang Pornografi. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan peraturan membangun ‘rumah ibadah’ pada 2006 serta pembatasan kegiatan kaum Ahmadiyah pada 2008.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
<strong style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; color: black; font-size: 16px; font-weight: bold; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">Bagaimana Praktek di Lapangan?</strong></div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Setelah diterapkan di beberapa daerah, apakah keamanan pemeluk agama-agama minoritas tetap terjamin? Mari kita lihat bersama.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Menurut data yang dikeluarkan Setara Institute, selama 2010 setidaknya ada 216 pelanggaran kebebasan beragama yang dibagi dalam 286 bentuk kejadian di daerah-daerah yang banyak menerapkan perda-perda syariat. Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, dan Sumatra Utara adalah daerah-daerah yang paling tinggi kekerasannya.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik adalah kekerasan paling menonjol pada Febuari 2011. Cikeusik masuk Kabupaten Pandeglang, Banten.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Kabupaten Pandeglang mulai menerapkan syariat Islam pada tahun 2004 lewat SK Bupati Dimyati Natakusuma No. 09 Tahun 2004, tentang seragam sekolah SD,SMP, SMU. Natakusuma menyatakan tujuan surat keputusaan (SK) ini untuk meminimalisasi pergaulan bebas para siswa. Caranya, murid laki-laki dipisah dengan murid perempuan.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Tapi SK ini rupanya baru semacam pintu masuk. Awal mulanya adalah soal tata cara berpakaian untuk selanjutnya mempersoalkan masalah aqidah/keyakinan. Para pembela syariah di Pandeglang tak hanya mengusik soal pemisahan laki-laki dan perempuan di sekolah. Mereka juga mengusik kehidupan kelompok Ahmadiyah yang minoritas di sana: tujuh tahun setelah perda tersebut.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Pada 6 Febuari 2011, tiga orang Ahmadiyah yang mempertahankan harta benda mereka karena tidak dapat perlindungan polisi, dibantai dengan sadis oleh kelompok Islam. Rumah dan mobil mereka dirusak lantas dibakar. Beberapa hari setelah itu, 20 Febuari 2011, pejabat sementara Bupati Pandeglang menandatangani Peraturan Bupati No. 5 Tahun 2011 tentang larangan resmi kegiatan Ahmadiyah.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Kekerasan dan pemaksaan bertaubat terhadap Ahmadiyah juga terjadi di kabupaten lain di Jawa Barat, termasuk Bogor dan Cianjur.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Di luar Jawa, kekerasan terhadap minoritas Ahmadiyah juga terjadi di Lombok dan Padang, dua daerah Syariat Islam. Kekerasan juga menimpa Alexander An, seorang calon pegawai negeri di Kabupaten Dharmasraya, sekitar lima jam dari Padang. Pada 18 Januari 2012, dia digelandang massa, dipukuli dan diseret ke kepolisian. Alih-alih melindunginya, polisi menetapkan Aan sebagai tersangka penistaan agama Islam.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Di Lombok, warga Ahmadiyah mengalami kekerasan luar biasa. Rumah-rumah warga Ahmadiyah di Ketapang, Pulau Lombok, dirusak dan dibakar dan saluran listriknya dicabut. Pada 1999, ada pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Satu orang meninggal, satu luka parah dibacok. Semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan. Pada 2001, penganiayaan terjadi di Pancor, daerah Lombok Timur, basis Nahdlatul Wathan, organisasi Islam terbesar di Pulau Lombok. Selama satu pekan, rumah demi rumah Ahmadiyah, diserang dan dibakar di Pancor.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Ironisnya, pemerintah Lombok Timur memberikan dua opsi: warga Ahmadiyah boleh tetap di Pancor tapi keluar dari Ahmadiyah atau tetap di Ahmadiyah dan keluar dari Pancor. Semua warga Ahmadiyah memilih meninggalkan Pancor. Mereka ditampung mula-mula di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Lalu ada yang menyewa rumah, sekitar 300 orang. Biaya dibantu sebagian oleh organisasi Ahmadiyah. Dalam setahun, mereka mulai menata kehidupan. Ada yang tak berhasil, ada yang terlunta-lunta. Pada tahun 2004, organisasi Ahmadiyah membeli sebuah perumahan BTN di Gegerung, Ketapang, total 1.6 hektar, lalu dijual murah kepada anggota yang diusir dari Bayan, Pancor dan Praya.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Di seluruh Nusa Tenggara Barat, setidaknya ada 11 perda tentang penerapan Syariah Islam. Mulai larangan minuman keras, shalat Jum’at khusu, pemotongan gaji PNS untuk zakat dan sebagainya.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Tak hanya terhadap warga Ahmadiyah, kekerasan juga terjadi terhadap minoritas Muslim Syi’ah, lagi-lagi di wilayah yang menerapkan Syariah Islam: Kabupaten Sampang, Madura. Rumah, mushola dan madrasah warga Syi’ah dibakar pada Desember 2011. Ustad Tajul Muluk dijadikan tersangka penistaan agama Islam.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Di Jawa Barat setidaknya ada 30 perda Syariah Islam, tapi kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah serta kaum Nasrani, justru paling kencang di Jawa Barat. Setara Institute dan Wahid Institute menyebut Jawa Barat sebagai daerah paling tidak toleran terhadap kaum minoritas. Setara mencatat pada tahun 2010 saja, setidaknya ada 91 kejadian kekerasan di sana.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Pembangunan gereja yang dipersulit, dan pengerusakan masjid dan kampung Ahmadiyah terjadi di mana-mana di kota-kota kabupaten yang menerapkan Syariat Islam ini. Sebut saja acak salah satu kota di Jawa Barat, Bekasi dan Bogor, di sana Anda akan dengan mudah mendapatkan catatan kekerasan terhadap minoritas Ahmadiyah, Kristen, atau Sunda Wiwitan.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Apa yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melindungi kebebasan beragama yang diamanatkan kepadanya? Yang terjadi, SBY justru merangkul Ma’ruf Amin dari Majelis Ulama Indonesia, yang ikut kampanye Piagam Jakarta pada 2002, untuk ikut jadi penasehatnya. Pada 2006, Ma’ruf Amin ikut menulis aturan anti pembangunan gereja. Pada 2008, Ma’ruf Amin ikut menggoalkan keputusan melarang kegiatan Ahmadiyah.</div>
<div style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px; font-size: 16px; margin-bottom: 20px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; outline-color: initial; outline-style: initial; outline-width: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; padding-right: 0px; padding-top: 0px; vertical-align: baseline;">
Saat memikirkan cara yang baik untuk menghentikan kekerasan terhadap minoritas ini, beberapa masjid Ahmadiyah dirusak: Cipeuyeum pada Februari dan Singaparna pada April. Saya kuatir kekerasan demi kekerasan akan berlangsung terus bersamaan dengan makin meningkatnya jumlah perda-perda Syariah.***</div>
Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-11367787600602569822012-02-09T13:52:00.004+07:002012-02-09T14:22:36.263+07:00Learning of East Timor Human Rights Violation Cases*<i></i><b>Introduction</b><br />
<br />
A crucial report about human right violation in East Timor, has been released from early March 2007 in Jakarta. This report was written based on more than 8,000 interviews with victims and witnesses who experienced violence conducted both by the Indonesian military and East Timor freedom fighters.<br />
<br />
The number of victims, written in this report, surprisingly comes to hundreds of thousands. Many were killed sadistically, faced coerced disappearances, become disabled, raped and killed after or left died of hunger. Therefore, <i>Chega!</i> became the title of this report. <i>Chega</i> is a Portuguese word means ‘enough’ or ‘stop’.<br />
<br />
“Hopefully the title became admonition for stop human violence,” Patrick Walsh, senior advisor for Commission for Reception Truth and Reconciliation (CAVR), the institution who made this report, said to me after his speech at the released time.<br />
<br />
This Violence cycle started when Indonesian Government launch invasion to East Timor in December 7 1975. While, East Timor’s people concern with government transition from Portuguese colonization and had tried to govern his own country.<br />
<br />
General elections has held in this country and Fretilin won it. But Portuguese left West Timor sooner because internal conflict between election organization’s members.<br />
<br />
While internal conflict done Indonesian who before admitted the exist of West Timor state –as in Adam Malik’s, Ministry of Foreign Affairs, letter to Ramos Horta, ones of Fretilin’s leader— furthermore reject the standing of this country and officiously the domestic affairs. Moreover, Indonesian intelligence agent walk out with organization who lose in elections. <br />
<br />
“It’s mistake was security approach took by Indonesian government in this hands off,” Galuh Wandita, Director of Internasional Center for Transitional Justice (ICTJ), said to me.<br />
<br />
This hardness well on until West Timor, with international pressure, determine their own destiny in a referendum held in 1999. Furthermore Indonesian government backtrack their military forces from Island of Timor and Xanana Gusmao became president.<br />
<br />
Below recent conduction, later Gusmao try to set their country up. Gusmao have god attention for handling human right cases.<br />
<br />
Early in 2002 West Timur Government built CAVR –the Portuguese acronym for <i>Comissao de Acholhimento, Verdade e Reconciliacao</i> or Commission for Reception, Truth and Reconciliation— as an independent institution and commissioned for make documentation for human right violence taking place between 1974-1999, including making findings about what factors, policies, and state or non-state actors were responsible for these violations; to refer cases of serious crimes to the prosecutor for further consideration; to assist in restoring the dignity of victims; to facilitate reconciliation and community reintegration; and to promote human right.<br />
<br />
CAVR have finished their first step to make human right violation documentation from beginning of 2002 until the end of 2005. at ease process.<br />
<br />
“(It happen) because no direct intervention from crime perpetrator,” Galuh Wandita said.<br />
<br />
Judiciary and reconciliation process stymied CAVR. The biggest challenge certainly for trial the perpetrators from Indonesian military who became a byword immune from law. But CAVR held traditionally reconciliation, between Timor’s perpetrator and their victims <br />
<br />
“For specific cases we have make traditionally reconciliation and it made different between human right case in South Africa and Timor,” Galuh said.<br />
<br />
I interested with Galuh’s explanation about traditional reconciliation. Of course I also interested for covering how CAVR can documented worse violation in East Timor. And how CAVR face their next challenge for trial all the perpetrator especially from Indonesian military. Therefore, I want to visiting some district in West Timor, like:<br />
<br />
<ol><li>Dili, central of West Timur, to visit CAVR office for interviewing Patrick Walsh and His colleague in CAVR about their way to handling human right cases in West Timor.</li>
<li>Viqueque district, where in 1983, 200 people burned in their home, and 500 people killed in the edge of Tuku river by Indonesian military. I want to interview with the victim’s family and some victims who still alive.</li>
<li>Manufahi district, just like in Viqueque district I also want to interview victims and their family. In Manufahi about 500 people commonly women and little child killed by Battalion 744 and 745 Central Java, Indonesia. </li>
</ol><br />
<b>Story</b><br />
<br />
I want to write all my experiences in West Timor in one article between 5,000 to 7,000 word and hopefully Pantau website can publish my work and I also want Playboy Magazine can publish it.<br />
<br />
<i>*Proposal for SEAPA fellowship 2007</i><b> </b>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-87808380392164775202012-02-02T10:45:00.007+07:002012-02-05T22:20:52.821+07:00Gembrot Informasi*Oleh: Imam Shofwan<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwd9mIOVGWD0pdApKlWLBSVk5RE_UEUryRyomZrsoIpfqM9qs5qqdBWl2ZUq_f-SL-lQ9XS5DEv11hNw0zm8syokkC23lZCUK4jgg5D5I46XUecguYWLcEFxWm3iDHSR7sxSF76TlUVBc/s1600/mogul.img_assist_custom-560x432.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="246" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwd9mIOVGWD0pdApKlWLBSVk5RE_UEUryRyomZrsoIpfqM9qs5qqdBWl2ZUq_f-SL-lQ9XS5DEv11hNw0zm8syokkC23lZCUK4jgg5D5I46XUecguYWLcEFxWm3iDHSR7sxSF76TlUVBc/s320/mogul.img_assist_custom-560x432.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: center;"></div><b>Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini?</b><br />
<br />
Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan <i>Tempo TV</i> mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? <br />
<br />
Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. <i>Metro TV</i> jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya.<br />
<br />
Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: <i>Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews</i> memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapindo.<br />
<br />
Susilo Bambang Yudhoyono juga punya koran <i>Jurnal Nasional</i> yang menjadi alat pencitraannya. Halaman muka koran ini selalu memampang muka presiden ini dengan berita keberhasilan-keberhasilan pemerintahannya. Perhatikan berita-berita dalam koran tersebut yang menyangkut SBY akan diawali dengan keberhasilan dan kegagalannya ada di belakang. Gaya penulisan piramida terbalik, di mana berita paling penting ditaruh depan dilanjutkan dengan yang kurang penting, hingga yang tidak penting di belakang, benar-benar dimanfaatkan untuk pencitraan SBY. Selain itu, SBY juga dekat dengan pengusaha Chairul Tanjung yang punya <i>Trans TV, Trans 7 </i>dan<i> Detik.com</i><br />
<br />
Relasi antara Menteri BUMN, yang sebelumnya jadi dirut PLN, dengan kelompok media Jawa Pos (<i>Jawa Pos, Indo Pos, Rakyat Merdeka, Radar</i> (151 koran), <i>JPNN </i>(online). Dan 12 TV lainnya. Mereka tidak pernah mengkritisi bos besar mereka dan menulis bosnya secara positif.<br />
<br />
Bagaimana dengan Grup Media Kompas? Ketidakkritisan terhadap peristiwa berdarah 1965 dan pembantaian di Timor Leste dan Aceh ditambah janji loyal Kompas terhadap pemerintahan Suharto yang ditandatangani Jacob Oetama tahun 1978. Buku St. Sularto: Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jacob Oetama menceritakan Kompas berjanji tidak akan menulis darimana harta Soeharto sekeluarga dan bagaimana mereka memperolehnya dan tiga janji lainnya yang mengkhianati loyalitasnya terhadap warga yang merupakan tugas tradisional media. Termasuk tidak menyoal dwi fungsi ABRI. <br />
<br />
Koran-koran besar di Menado, Sulawesi Utara, juga tak kalah memprihatinkan. Relasi antara media-media dan pemerintah lokal sedemikian dekat. <i>Manado Post</i>, salah satu koran besar di Menado dan merupakan bagian dari grup media besar di Surabaya: <i>Jawa Pos</i>. Media-media ini dekat dengan siapapun penguasa saat itu. “Kalau penguasa daerah Golkar jadi Golkar, kalau penguasa Demokrat jadi Demokrat,” tutur Rikson Ch. Karundeng, wartawan harian Media Sulut.<br />
<br />
Kelompok Media Sulut, yang memiliki harian <i>Media Sulut, Reportase</i>, dan <i>Koran Manado</i>, pemiliknya pengusaha Henky Gerungan namun ditarik Golkar (ketua DPD Kosgoro 1957, Sulut. Diwacanakan akan dicalonkan Golkar sebagai Bupati Minahasa. Dia dicalonkan juga sebagai ketua DPD I Partai Golkar Sulut). <br />
<br />
Komentar grup, dengan harian <i>Komentar, Metro</i>, berafiliasi dengan Jeffry Masie, mantan DPR RI PDS dan pernah mencalonkan diri sebagai DPR PDIP namun kalah nomor urut. Karir politiknya tetap di PDIP dan sedang dicalonkan PDIP sebagai kandidat bupati Minahasa Tenggara (Mitra). Jeffry sering intervensi ke redaksi soal pemberitaan. <br />
<br />
<i>Swara Kita</i> milik sorang pengusaha Cina asal Surabaya punya kecenderungan seperti Manado Post, “kepala daerah punya kontribusi apa terhadap media mereka akan dibela habis-habisan, “ tutur Rikson.<br />
<br />
Ada ketegangan antara Vicky Lumentut, walikota Manado, dan Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang (SHS) kasus pemilihan ketua DPD partai Demokrat Sulut, kemudian walikota dan gubernur ini sama-sama mencalonkan diri (2011). Para pendukung gubernur meyakini kandidatnya akan terpilih, namun di luar dugaan walikota manado Vicky Lumentut yang terpilih. “Perseteruan ini berlangsung hingga kini. Kalau wartawan bertanya mengelak.” Kata Rikson.<br />
<br />
Kaitannya dengan media adalah afiliasi dukung-mendukung antara walikota dan gubernur. <i>Manado Pos</i> memilih membela gubernur sementara <i>Suara Kita</i> lebih memilih membela walikota. Ini juga pernah terjadi saat konflik gubernur dengan bupati Talaut, Elly Lasut. Mereka adalah sama-sama mencalonkan diri ke kursi gubernur Sulut dalam pertarungan memperebutkan kursi ini, dia diperkarakan kejaksaan tinggi Sulut. Awalnya kebanyakan media mendukung Elly Lasut karena banyak menyumbang finansial (baca: iklan, kontrak pencitraan) pada media. Kasus SPPD, Surat Perintah Perjalanan Dinas, fiktif sebesar 9,8 milyar. Setelah Lasut kalah media lebih cenderung ke Sarundayang, akhirnya Lasut membikin media sendiri bernama <i>Cahaya Pagi</i> dan <i>Jurnal Sulut</i>. Rikson menyebut hubungan ini sebagai "selingkuh."<br />
<br />
<b>Menengok Kembali Sejarah Pers Indonesia</b><br />
<br />
Koran pertama di Hindia Belanda (kini Indonesia) lahir 136 tahun setelah <i>Avisa Relation oder Zeitung</i>, koran tertua di dunia, terbit tahun 1609 di Strassbourg. Ia adalah <i>Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes</i> yang terbit dalam Bahasa Belanda. Lantas <i>Brotomartani</i>, harian Bahasa Jawa dan dicetak dalam huruf Jawa di Solo pada 1855. Baru menyusul koran-koran berbahasa Melayu, Mandarin, termasuk <i>Medan Prijaji</i> di era euforia Kongres Pemuda 1928.<br />
<br />
Di rezim kolonial ini terbit dalam bayang-bayang undang-undang kolonial yang mencekik pers: <i>Haazaai Artikelen</i> alias pasal penyebar kebencian dan undang-undang pers 1931 -<i>Presbreidel Ordonantie</i>- termasuk yang paling menakutkan. Ia mencekik siapapun yang dianggap merusak “ketertiban umum” yang sering diplesetkan oleh Gubernur Jendral untuk melarang penerbitan apapun yang menentang pemerintah.<br />
<br />
Dalam kurun 1931-1936, sedikitnya 27 surat kabar ditundukkan dan menahan sejumlah wartawan.<br />
<br />
“Ketika Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda, mereka membawa serta aturan sensor pra cetak di sini,” tulis David T. Hill dalam buku Pers di Masa Orde Baru. Pada masa pendudukan Jepang pula wartawan Indonesia menduduki posisi-posisi yang ditinggalkan orang-orang Belanda. Bahasa Belanda pun digantikan dengan Bahasa Melayu.<br />
<br />
Di era Soekarno, masing-masing media berafiliasi pada partai tertentu. Besar kecilnya koran saat itu tergantung dari besar-kecilnya sumbangan dari partai politik tertentu. Pemerintah dan militer juga punya hak koran gratis. Pers juga dijadikan batu loncatan untuk meraih posisi politik tertentu, contohnya, Adam Malik.<br />
<br />
Soekarno juga memberangus banyak media. Pada kurun waktu 1950-1962 Soekarno bertekat memberangus koran-koran yang berseberangan dengannya. “Dirinya bersikeras, ‘tidak mengizinkan kritik destruktif terhadap kepemimpinan saya,” David T. Hill mengutip ucapan Soekarno.<br />
<br />
Pemerintahan Soeharto naik dan turun dari tahta kepresidenan karena memberangus pers. Saat dia naik pada 1965, menurut David T. Hill dalam bukunya Pers di Masa Orde Baru, Soeharto membredel sepertiga dari seluruh surat kabar di Indonesia. Turunnya Soeharto juga salah satunya disebabkan karena perlawanan terhadap dirinya semakin menguat pasca pembredelan majalah <i>Tempo</i> dan dua terbitan lainnya.<br />
<br />
<br />
<b>Apa Efek Selingkuh Ini Terhadap Kualitas Media?</b><br />
<br />
Peristiwa pembantaian Partai Komunis Indonesia tahun 1965 hingga kini masih merupakan wilayah sejarah gelap. Warga Indonesia tidak mendapat informasi yang memadai tentang informasi seputar peristiwa kejahatan kemanusiaan tersebut. Kenapa? Saat peristiwa itu terjadi semua koran ditutup Suharto selama seminggu. Hanya Suara Karya dan Berita Yudha yang bisa terbit dan mereka memberitakan pemerintah Suharto sebagai pahlawan. Apakah ini yang sebenarnya terjadi? Bukankah Suharto sebenarnya penjahat kemanusiaan? Dia membunuh banyak orang PKI, Aceh, dan Timor Leste.<br />
<br />
Saat terhadi pembantaian warga di Dili yang biasa disebut peristiwa Santa Cruz tahun 1991, konsumen berita Indonesia tidak mendapat informasi yang cukup tentang apa yang terjadi di sana. Padahal peritiwa tersebut bergema di dunia. Ketika orang-orang di luar negeri ngomongin soal ini warga Indonesia tidak tahu apa-apa. <br />
<br />
David T. Hill dibukunya mencatat, ketika tembak-menembak tentara atas demonstrasi damai yang terjadi di luar pemakaman Santa Cruz pada tanggal 12 November 1991, para pemilik surat kabar utama dan para editornya-bukan Pusat Informasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia-yang menentukan apa yang disampaikan oleh surat kabar Indonesia dan bagaimana hal itu disampaikan.<br />
<br />
Ketika saya awal menjadi editor freelance untuk portal www.korbanlumpur.info, Agustus 2008. Saya fikir persoalan Lapindo sudah kelar. Korban sudah dapat ganti rugi dan rumah yang bagus seperti di berita-berita <i>TVOne</i> dan media milik Bakrie lainnya namun begitu saya sampai di lapangan kondisinya begitu buruk. Masih ada sekitar 500 kepala keluarga yang tinggal di pengungsian pasar baru Porong. Sebagian lagi masih tinggal di pengungsian di bekas tol Besuki. Mereka belum dapat ganti rugi sama sekali kala itu. Konsumen informasi di Indonesia tak dapat informasi yang independen soal Lapindo dari media-media milik Bakrie.<br />
<br />
Di Manado konsumen berita pun tak dapat informasi yang cukup soal perselingkuhan elit-elit lokal. Bagaimana satu keluarga menguasai semua posisi nomor satu di tingkat gubernur dan walikota. Nepotisme tidak dikritisi media lokal karena mereka adalah donatur, pengiklan, dan pemberi makan para awak media di Sulawesi Utara.<br />
<br />
Tugas tradisional media sebagai pemantau kekuasaan dan menyuarakan warga tidak dijalankan. Jangan tanya soal Independensi? Fakta-fakta yang disajikan oleh para pekerja pers telah dipilih sedemikian rupa sehingga tidak menyentuh persoalan sebenarnya. Media hanya sebagai alat propaganda dan kampanye.<br />
<br />
<b>Pemantauan Media</b><br />
<br />
Eriyanto, penulis buku <i>Media Dan Konflik Ambom</i>, saat memantau peran media dalam konflik Ambon menggunakan metode pemantauan deskriptif analitis. Menguraikan obyek penelitian secara deskriptif, menguraikan obyek penelitian secara deskriptif dan menginterpretasikan secara analitis. Pengumpulan datanya dilakukan dengan tiga mekanisme:<br />
<br />
1. Wawancara mendalam. Pewawancara datang ke masing-masing pengelola media dan melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci—orang yang dipandang tahu dan sumber informasi, informasi dari informan kunci itu, jika meragukan, harus diperiksa ulang dengan informan lain. <br />
<br />
2. Obsevasi Lapangan. Selain wawancara mendalam dengan key information, pewawancara juga melakukan observasi ke media langsung.<br />
<br />
3. Analisis isi. Metode ini dipakai untuk melihat bagaimana media di Ambon menggambarkan kerusuhan Ambon.<br />
<br />
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku <i>Blur</i> menyebutkan langkah-langkah khusus untuk menjadi pembaca informasi pintar di era banjir informasi sekarang ini. <br />
<br />
Jadilah pembaca yang skeptis: bisa membedakan fakta dengan fiksi. Dalam kontek media di Indonesia tentu kita sering menemui fakta-fakta yang dicampur fiksi ini. Dalam kasus Lapindo satu dua tahun pasca semburan, misalnya, kita sering menemukan berita-berita penyelesaian lumpur dengan sesajen, mengundang paranormal, dan sebagainya. Atau lumpur dikatakan tidak bahaya atau bisa jadi masker Lumpur. Anda tentu masih ingat, bahkan, SBY menyarankan lokasi bencana dijadikan tempat wisata. Apa fakta yang ditutupi? Lumpur telah merusah lingkungan, mulai dari bau busuk, penyakit pernafasan yang meningkat, lumpur yang dibuang dilaut dan merusak tambak organik warga di sepanjang sungai Porong.<br />
<br />
Di era banjir informasi ini kita musti benar-benar berdiet untuk informasi macam ini. Informasi yang dicampur dengan fiksi macam lemak, bila kita konsumsi terlalu banyak akan jadi timbunan lemak dan itu tidak sehat buat kita. <br />
<br />
Bagaimana melakukan diet ini, ada enam cara: mengenali apa yang kita cari? Mengenali apakah laporan berita itu lengkap atau tidak? Bagaimana mendapatkan narasumber? Mengevaluasi berita dengan menilai bukti-bukti? Bagaimana kecenderungan model berita baru berinteraksi dengan bukti? Langkah terakhir adalah apakah kita mendapatkan apa yang kita cari?<br />
<br />
Yang kita cari adalah fakta: bukan fiksi, bukan desas, desus, bukan propaganda, bukan kampanye. Fakta ini yang kita perlukan, ia jadi vitamin yang akan menjadikan keputusan hidup kita lebih sehat. Ketika kita tahu di daerah tertentu macet, kita bisa memutuskan jalan yang tidak macet untuk cepat menuju tujuan kita. <br />
<br />
Dalam kaitan dengan informasi yang kita konsumsi, kita musti memastikan bahwa berita yang kita konsumsi adalah fakta bukan yang lain. Wartawan yang memproduksi berita adalah salah satu mata dan telinga kita. Apakah mereka sekedar menyampaikan kutipan dari pejabat? atau apakah mereka berusaha lebih jauh untuk mengungkapkan ada apa dibalik pernyataan itu? Semakin banyak usaha untuk mendalami fakta, kualitas berita semakin baik dan berita macam itulah yang layak kita konsumsi.<br />
<br />
Setelah kita mengenali apa yang kita cari, langkah selanjutnya adalah apakah berita yang disajikan lengkap atau tidak? Apa yang kurang di situ? Semakin lengkap informasi, semakin baik. Semakin banyak pertanyaan kita yang tidak terjawab semakin buruk.<br />
<br />
Berita berkualiatas adalah berita dari sumber pertama: korban, pelaku, saksi mata yang melihat kejadian. Lingkaran kedua adalah dokumen tangan pertama, dokumen pengadilan seperti kesaksian dan pernyataan, lingkaran ketiga adalah kliping koran, dokumen tangan kedua. Berita yang baik adalah berita yang menggunakan sumber pertama, jika menggunakan sumber kedua dan ketiga kurang baik dan tidak baik.<br />
<br />
Lantas bagaimana kualitas berita yang menggunakan sumber pakar dan humas? Bisa dipastikan kualitas beritanya tak bisa dipertanggungjawabkan.<br />
<br />
Kualitas narasumber ini musti diperiksa dan didukung bukti. Apakah narasumber berbohong atau tidak. Seberapa besar usaha wartawan untuk membuktikan pernyataan narasumber adalah hal penting yang musti diperhatikan pemantau media.<br />
<br />
Apakah anda sudah menemukan apa yang anda cari?<br />
<br />
* Ditulis untuk bahan presentasi pemantauan media atas undangan Akumassa. Gambar diambil dari <i>Jakarta Post online</i>.Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-6095767814672148703.post-78807871885599951352010-12-19T12:30:00.000+07:002010-12-19T17:07:22.329+07:00Calo-Calo Haji<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfwGoasKWoeqwm9q9misEZAiQ05qhOPNheUhDs8wi9v3wwVlmYMPITap5cuFjWVhcSSGaGVhXggU7cOZ10ttIftWfTMVY9GvKNSRTg_xE_E1r7_0BYb0qdobUh2GozRJEYL2D2-UGgBYc/s1600/85lintasan_haji1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="218" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfwGoasKWoeqwm9q9misEZAiQ05qhOPNheUhDs8wi9v3wwVlmYMPITap5cuFjWVhcSSGaGVhXggU7cOZ10ttIftWfTMVY9GvKNSRTg_xE_E1r7_0BYb0qdobUh2GozRJEYL2D2-UGgBYc/s320/85lintasan_haji1.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: center;">Majalah Historia </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">BERKOEMPOEL, kelompok warga Cilegon, melayangkan sebuah surat protes pada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal <i>kongkolikong</i> Johanes Gregorius Marinus Herklots alias J.G.M. Herklots, bos agen perjalanan haji The Java Agency, dengan Wedana Cilegon bernama Entol Goena Djaja. Untuk menjaring jamaah haji sebanyak-banyaknya, perusahaan haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka sebagai tenaga pemasaran. Hadiahnya: pejabat itu plus keluarganya diberi tiket gratis ke Mekah.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Tergiur dengan tiket haji gratis, para pejabat ini memakai kekuasaannya: memaksa rakyat yang hendak pergi haji untuk menggunakan perusahaan Herklots. Yang tak menggunakan perusahan itu, ditahan <i>pas</i>-nya (izin jalan, semacam paspor). Karena takut terhadap penguasa, dengan terpaksa banyak orang naik kapal Herklots sesuai perintah.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Dengan kongkolikong macam ini, pada musim haji 1893, Herklots berhasil menjaring lebih dari 3.000 jamaah dari, menurut J. Vrendenbregt dalam <i>The Haddj</i> merujuk data <i>Indisch Verslag</i>, keseluruhan jamaah yang berjumlah 8.092 orang.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Gubernur Jenderal, yang sudah menerima banyak keluhan soal kebusukan agen haji milik J.G.M Herklots, menerima surat ini pada pertengahan Juni 1893. Isinya, sebagaimana dikutip dari buku <i>Berhaji Di Masa Kolonial</i> karya Dien Majid, antara lain: “<i>...semoea toeroet Entol Goena Djaja soedah berdjanji sama itoe toean agen Herklots, dia poenya anak (Entol Hadji Moestafa) dan mertoea (Hadji Karis) pegi di Mekkah dengan pordeo tida bajar ongkos kapal, makan dan minoem djoega pordeo dan djoega misti dapat kamar, tapi banjak sekali orang-orang jang dari district Tjilegon tida seneng menoempang di itoe kapal/agen toean Herklots, melaenkan dia orang takoet sama Kapala District Tjilegon Wedana Entol Goena Djaja...</i>”</div><br />
<div style="text-align: justify;">Gubernur Jenderal juga menerima somasi dari Konsul Belanda di Jedah tentang pungutan liar yang dilakukan agen haji Herklots. Jamaah harus membayar tiket pulang yang telah ditetapkan f.95 plus f.500 sebagai jasa bagi Herklots. Konsul memohon Gubernur Jenderal supaya mendeportasi Herklots dan mengadili kejahatannya. Meski perbuatan Herklots dikategorikan melanggar hukum tapi Gubernur Jenderal tak punya wewenang untuk mendeportasi Herklots.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Menurut Dien Majid, Konsul Belanda di Jedah lantas melobi Gubernur Jedah Ismail Haki Pasha supaya mendeportasi Herklots. Pasha tak bisa mengabulkannya dan bilang, “Herklots di sini hanya sibuk bekerja untuk melaksanakan penanganan keagamaan.”</div><br />
<div style="text-align: justify;">Usaha keras Konsul untuk mendeportasi dan mengadili Herklots tak mempengaruhi bisnis haji Herklots secara keseluruhan. Herklots masih leluasa menjaring calon haji dan menebarkan tipu-tipu yang lebih parah.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Pengalaman R. Adiningrat, residen Cirebon, bisa jadi contoh. Laporan Residen Cirebon tanggal 10 Juli 1893, sebagaimana dikutip Dien Majid, menyebutkan pengalaman buruknya menggunakan agen Herklots. Saat membeli tiket, Adiningrat dilayani oleh W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots. Adiningrat musti membayar f.150 plus premi f. 7,50 per kepala; lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Padahal di reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah: “<i>Harga menoempang f.95 satoe orang troes sampai di Djeddah dan anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak yang menetek tidak baijar</i>.”</div><br />
<div style="text-align: justify;">Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan haji, W.H. Herklots kabur duluan dari Cirebon dan dia berangkat ke Jedah menggunakan kapal De Taroba.</div><br />
<div style="text-align: justify;">J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, “penunggu Kabah”, juga menipu pihak berwenang Mekah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jamaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu untuk bisa masuk Mekah, yakni Haji Abdul Hamid, pribumi Hindia Belanda beragama Islam. Identitas baru ini perlu karena orang-orang non-Muslim tak diperkenankan masuk Mekah.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Herklots menggunakan identitas palsu ini untuk mengajukan pinjaman pada Syarif<b> </b>Mekah. Syarif Mekah bersedia memberi pinjaman f.150.000 dengan dua catatan. Pertama, di kantor Herklots ditempatkan dua jurutulis Syarif Mekah, yang bertugas mengawasi kegiatan kongsi, terutama jumlah jamaah. Setiap sore mereka mengambil keuntungan sesuai perjanjian yang disepakati. Kedua, di pihak lain, para syeikh kepercayaan Syarif Mekah membantu Herklots mencari jamaah yang telah selesai menunaikan ibadah haji untuk pulang ke tanah air.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Dengan kesepakatan ini Herklots mendapat perlindungan. Dan dengan bantuan para syeikh, dia bisa leluasa menjaring para jamaah yang hendak pulang sementara agen-agen haji lain susah-payah mendapatkannya.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Di Mekah, para “Haji Jawa”, sebutan untuk jamaah haji Hindia Belanda, dipaksa naik kapal api dari agen Herklots. Supaya tak pindah ke kapal lain, mereka diwajibkan membayar tiket sejak di Mekah.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Jamaah haji yang telah membayar mahal ini dibuat terlantar saat menunggu tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang. Mereka menunggu di tenda-tenda di<b> </b>lapangan<b> </b>terbuka<b> </b>tanpa fasilitas memadai.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Para jamaah, yang kehabisan duit itu, mengadukan perlakuan buruk Herklot pada konsulat Belanda di Jedah dan bikin konsulat Belanda geram. Mereka memaksa Herklots mengembalikan uang tiket tanpa harus menunggu kapal carteran. Herklots bersedia mengembalikan separo dari harga tiket, 31 ringgit. Selain keluhan keterlambatan dan penelantaran, banyak jamaah haji mengeluhkan fasilitas kapal pengangkut jamaah. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. Banyak penumpang jatuh sakit.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Majid juga mengutip kesaksian Sin Tang King, gelar raja muda Padang yang berganti nama menjadi Haji Musa, salah seorang penumpang kapal, “<i>Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada kapal boleh kami naik di lain kapal hanja misti masok kapal Samoa, dan kapal lain sewanya tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah dibajar di Mekkah itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di kapal Samoa tiada bisa tidoer dan tiada boleh sambahjang karena semoewa orang ada 3.300 (sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja kami jang tiada oewang boewat sewa lain kapal...</i>”</div><br />
<div style="text-align: justify;">Kapal Samoa berangkat menuju Batavia pada 7 Agustus 1893 dan transit semalam di Aden. Setelah berlayar dua hari dari Aden, menurut kesaksian Si Tang Kin, tepat hari Selasa sekira pukul 17.00 Samoa dihajar badai dahsyat. Kapten kapal tak memberi tahu akan datangnya badai sehingga pintu terbuka dan orang-orang di kapal riuh, berhimpit-himpitan dengan peti, hingga ada yang kepalanya pecah, putus kakinya, atau terhempas ke laut. Dalam satu malam, seratusan orang tewas. Mereka dibuang begitu saja ke laut tanpa disembahyangkan atau dikafani. [<b>IMAM SHOFWAN</b>]<br />
<br />
Bersambung di Haji Singapura </div>Bung Imamhttp://www.blogger.com/profile/16593798011134825549noreply@blogger.com0