Siaran Pers Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) KUPATAN KENDENG 2024 Pangkur Lamun tekan iki dina Isa mangan merga Kendeng nguripi Keparingan cekap cukup Bab sandang uga boga Banyu sumber cukup nggo nenandur Ugo nggo butuh padinan Sih kurang piye pertiwi Yen iseh tetep nyawiyah Apa pancen nggadhang murkane bumi Banjir kang dumadi iku Mung sekedhik pratandha Ngertenana yen kendeng malati tuhu Mula tansah rumatana Larang pangan tan dumadi (Jika sampai hari ini kita masih bisa makan, itu karena Kendeng telah menghidupi kita. Kita diberi cukup sandang pangan, air mengalir dari sumber untuk mencukupkan keperluan bercocok tanam dan kebutuhan air untuk keseharian. Masih kurang apakah pertiwi? Bila bumi masih tetap dirusak apakah kalian mengharap bumi murka? Banjir yang sekarang sering terjadi hanyalah pertanda dan peringatan kecil. Ketahuilah bahwa Kendeng itu malati . Rawatlah Kendeng dengan baik, agar bahan pangan yang mahal tidak semak
Ilustrasi oleh Gery Paulandhika Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JANUARI 2016 saya mengajak istri dan anak saya—umur belum genap dua tahun—untuk berkunjung ke lokasi penjara di Pulau Nusa Kambangan, selatan Jawa Tengah. Kami menengok sejumlah tahanan politik (tapol) dari Maluku. Kami datang untuk menjenguk kenyataan bahwa di negeri ini ada sejumlah orang Indonesia dihukum 15 sampai 20 tahun penjara karena beda pandangan politik. Pada Juni 2007, mereka menari cakalele —tarian perang tradisional—dan membentangkan bendera “Benang Raja”, simbol Republik Maluku Selatan, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika peringatan Hari Keluarga Nasional di Ambon, ibukota provinsi Maluku. Ini menimbulkan amarah Yudhoyono. Mereka ditangkap dan disiksa . Total ada 68 orang dipenjara. Pada 2009, sebagian tahanan politik ini dijauhkan dari keluarga mereka di Ambon dan dipindahkan ke beberapa penjara di Pulau Jawa termasu