Skip to main content

Posts

Showing posts from 2012

Past Crime in Aceh

By Imam Shofwan If the Aceh bill is passed in Jakarta, lieutenant colonel Sudjono and his associates would probably have difficulties sleeping. The bill demands the establishment of a human right court and a truth and reconciliation commission in Aceh. Such a system would have it that those understood as being involved in previous murders could finally be searched out and tried. If there is reconciliation, then they could possibly receive amnesty, so long as they are open and tell the truth about their former violations. If Aceh is successful in trying the perpetrators of crimes against humanity, then at least in theory, Papua should also be able to find the murderers of roughly 100,000 Papuans since 1969, or even further still, the murderers of one, two or perhaps three million people who were killed on the island of Jawa in 1965-66. Marzuki Darusman, a legialator with the Golkar Party and a member of the committee for the Draft Bill on the Government of Aceh, claims that the

Suciwati Kunjungi Papua Untuk Melawan Lupa

Tak ada peringatan Tokoh sebesar Theys, Suciwati heran Oleh: Angela Flassy “Di sini makam Theys,” kata Suciwati saat melihat makam Dortheys Hiyo Eluay. Makam di tengah kota Sentani, Kabupaten Jayapura itu tepat berada di gerbang keluar Bandara Sentani. Setiap orang yang datang dari arah Bandara Sentani pasti akan mengenalinya. Makam yang tepat berada di lapangan itu menghadap persis ke ke gerbang bandara Sentani, bandara terbesar di Papua. “Belum ada yang datang?” Katanya sembari memperhatikan makam yang bersih terawat. Di atas makam terdapat dua  krans  bunga yang usang dan warnanya memudar. Suciwati, memanjatkan doa sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Suciwati tiba di Jayapura, 11 November pagi untuk memperingati 11 tahun wafatnya ketua Presidium Dewan Papua (PDP), Dortheys Hiyo Eluay, atau yang dikenal dengan Theys Eluay.  Theys meninggal 11 tahun lalu, tepatnya 10 November 2001, usai memenuhi undangan perayaan hari pahlawan di Markas Tribuana Kopassus,

Ziarahi Makam Theys Elluay, Suciwati Tuntut Keadilan

  JAYAPURA, 11 November 2012 – Suciwati, isteri almarhum Munir Said Thalib, mendatangi makam Theys H. Eluay di Sentani serta bertemu keluarga Aristoteles Masoka, sopir Eluay, yang hilang usai melaporkan penculikan Eluay 11 tahun lalu. “Apa yang dialami Theys Eluay dan Aristoteles Masoka sama dengan suami saya, Munir. Mereka dibunuh oleh orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Saya ingin kita semua berjuang bersama merebut keadilan. Jangan biarkan pelaku bebas berkeliaran,” kata Suciwati.  Perempuan yang pernah jadi aktivis buruh ini menyatakan suaminya diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia, Jakarta-Amsterdam, pada 7 September 2004. “Rezim ini tidak berubah karena penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap pejuang hak asasi manusia terus terjadi. Sampai hari ini para penjahatnya masih bebas bahkan dipromosikan. Kita harus terus melawan dan katakan meski para pelaku itu membunuh Munir dan Theys ini tidak akan menghentikan kebenaran dan perjuan

Tiga Wartawan Sulut Dianiaya

Ada Pelaku Pamer Senjata Api Manado, MS Aksi penganiayaan tiga wartawan asal Sulut di kawasan parkir CornerCafe, Kamis (25/10) pekan lalu ditengarai melibatkan oknum petugaspolisi. Dari penelusuran Media Sulut, satu diantara belasan pelaku pengeroyokan dinihari itu sempat mengeluarkan senjata api. "Ada satupelaku yang cabut pistol," aku Bryan Sondakh, wartawan media online Sulut yang ikut jadi korban. "Pelaku memukul kepala saya dengan gagangpistol itu," timpal Bryan. Akibat pukulan dengan gagang senjata api itu, Bryan terkapar denganluka sobek di bagian ubun-ubun kepala.Tak sampai disitu, Bryan lantas diinjak-injak beberapa pelaku lainnya hingga pingsan bersimbah darah. Dua rekan Bryan masing-masing wartawan media cetak lokal Sulut masing-masing Risky Pogaga dan Hendra Lumanauw bahkan lebih parah. Risky, wartawan biro Minahasa Utara (Minut)harian Media Sulut kinidirawat intensif di Rumah Sakit Siloam, Manado. Pukula

End the violence against journalists In Papua

A statement issued by Pantau Foundation and Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) Jakarta (23 October 2012):- Police today attacked a journalist covering a rally organised by the West Papua National Committee (KNPB) in Manokwari in West Papua. Oktovianus Pogau, a reporter with Suara Papua and a contributor to the Yayasan Pantau, was beaten by five policemen while trying to take pictures of police use of excessive violence against the KNPB demonstrators in front of the State University of Papua, Manokwari. Pogau had displayed his press card, but some police did not stop the beating. He sustained injuries to his face. The security forces had attempted to stop the rally but the KNPB activists went on with the demonstrations. In Jayapura, police dispersed thousands of demonstrators using the water cannon and tear gas. In Manokwari, five people were reportedly shot but it is still not clear their conditions. SEAPA's executive director Gayathry Venkiteswaran sa

SYAWAL BERDARAH DI SAMPANG

Komunitas Syiah Sampang Kembali Diserang Hari Minggu tanggal 26 Agustus 2012, seminggu setelah Idul Fitri,  sekitar pukul 10.00 WIB, komunitas Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang kembali diserang. Penyerangan bermula ketika beberapa orang tua hendak mengantar sejumlah 20 anak untuk kembali menuntut ilmu di Yayasan Pondok Pesantren Islam (YAPI), Bangil, Pasuruan. Mengingat liburan lebaran kemarin, anak-anak tersebut pulang ke kampung mereka.  Pada 11.000 WIB, sebelum keluar dari gerbang desa, rombongan pengantar tersebut dihadang oleh massa yang berjumlah sekitar 500 orang. Massa melengkapi dirinya dengan celurit , parang, serta benda tajam lainnya. Berdasarkan keterangan salah seorang jamaah Syiah yang tidak mau disebutkan namanya, pelaku penyerangan merupakan orang suruhan Roies Al Hukama. Massa menyerang jamaah Syiah Sampang dengan menggunakan senjata tajam. Rombongan yang terdiri dari anak-anak dan sejumlah perempuan sontak berlarian menyelam

Shariah Advocates Must Put Into Practice Its History of Tolerance

Imam Shofwan In August 2002, a number of Islam-based political parties demanded the Jakarta Charter be included in the Constitution, which would mean that Muslims in Indonesia would have the obligation to live according to the prescriptions of Shariah law.   The effort was supported by a large number of — mainly hard-line — Islamic organizations, but nevertheless failed to pass through the House of Representatives, in part due to opposition from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and the — also Islam-based — National Awakening Party (PKB).   The Islamists had to change strategy. In 2004 a new law on regional autonomy gave them the opportunity they had been hoping for. They set about implementing “Shariah from below” by advocating across the archipelago local Shariah laws, which often included rules such as women being required to wear the hijab, and couples wanting to marry needing to read the Koran.   Islamic groups have long argued that their brand of “Shariah from

Syariat Islam: Mimpi Buruk Kaum Minoritas

Imam Shofwan PADA AGUSTUS 2002, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bulan Bintang mengusulkan pencantuman Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Mereka hendak memasukkan lagi tujuh kata dalam Pancasila: ‘Ketuhanan yang Maha Esa  dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya .’ Tuntutan tersebut didukung Front Pembela Islam, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim, Gerakan Pemuda Islam, Pelajar Islam Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Komite Indonesia Untuk Solidaritas Islam, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Mereka menuntut syariah Islam dijalankan di Indonesia. Namun perjuangan pada aras nasional tersebut tak membuahkan hasil.Majelis Permusyawaratan Rakyat tak setuju dengan perubahan. Mereka dilawan oleh partai lain, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan maupun Partai Kebangkitan Bangsa. Maka strategi kaum Islamis diubah jadi ‘syariatisasi dari bawah’ dengan memanfaatkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Lalu kabupaten demi kabupaten, terutam