Skip to main content

Perempuan-Perempuan Tangguh


 Oleh: Imam Shofwan

Bagaimana nasib satu keluarga patrilinial di desa; jika suami, sebagai tulang punggung keluarga, tak berfungsi dengan baik atau lumpuh sama sekali. Bagaimana keluarga ini melanjutkan hidup sehari-hari? Bagaimana sekolah anak-anak mereka? Bagaimana kalau mereka sakit? Dan daftar pertanyaan panjang lainnya yang masih bisa diuraikan dengan jawaban yang terbata-bata.

Pertanyaan lebih nakalnya: bagaimana jika kelumpuhan ini terjadi masal? Anda pasti membayangkan hal-hal yang buruk.

Tapi ini bukan bayangan, ini adalah fakta yang sudah dua tahun setengah ini berlangsung di dekat kita. Sangat dekat. Ini adalah kisah ribuan suami yang pekerjaannya direnggut oleh bencana Lapindo dan istri-istri dan anak-anak perempuan, dengan segala keterbatasannya, dipaksa untuk menanggung beban keluarga semuanya. Ya, semuanya.

Perempuan pertama bernama Asfeiyah (45 tahun), ibu rumah tangga di pasar baru Porong. Suaminya Sanep (45 tahun), sebelum bencana Lapindo, adalah seorang pengrajin emas yang sudah lebih dari tiga tahun tidak bekerja lagi.

"Orangnya bodoh, buta huruf, bisa baca tapi tak bisa nulis, jadi pemalu," Asfeiyah mencoba menerangkan kenapa suaminya jadi pengangguran.

Suaminya memang berhenti jadi perngrajin emas beberapa tahun sebelum bencana lumpur, saat itu, keluarga Asfeiyah masih tinggal di Renokenongo. Asfeiyah menjadi tukang jahit dan suaminya bekerja serabutan.

"Kalau ada yang mengajak bekerja, kalau tidak ya tidak nggak bisa cari sendiri," jelas Asfeiyah.

Di Renokenongo, sebelum bencana Lapindo, Asfeiyah sering mendapat orderan dari tetangga yang minta dibikinin baju. Seminggu dua kali dia dapat order, itu menurut itungan paling jarang Asfeiyah.

"Lumayan bisa dapat 50 ribu (per potong)," jelas Asfeiyah. Kehidupannya di Renokenongo memang sulit tapi di pengungsian lebih sulit lagi. Sekarang tak ada lagi orang yang minta dibikinin baju, kalau ada paling-paling cuma tambal baju alias vermak.

Kalau boleh memilih, Asfeiyah tentu memilih untuk tempat tinggal di rumahnya di Renokenongo. Untung tak dapat diraih,
malang tak bisa ditolak. Bencana lumpur Lapindo datang begitu tiba-tiba dan tak memberi pilihan lain pada Asfeiyah sekeluarga selain pindah ke pengungsian di pasar baru Porong. Dan ini bagai mimpi buruk buatnya. Semua anggota keluarganya tak satupun yang bekerja dan dia satu-satunya yang banting-tulang untuk semua anggota keluarga.

Tiap hari Asfeiyah musti mengumpulkan uang 50 ribu Rupiah untuk makan semua keluarga dan beberapa bulan terakhir ini pendapatannya sering kurang dari itu.

Hanya pada bulan 3-8 Asfeiyah bisa bekerja normal sebagai penjahit. Pada bulan-bulan itu banyak orderan dari perusahaan-perusahaan pakaian. Kalau dia bisa menyelesaikan sesuai tenggat, tiap minggu 400.000 Rupiah bisa dia dapatkan. Dan ini berarti Asfiyah musti enam belas jam di mesin jahit tiap harinya. Mulai jam 4 pagi sampai jam 4 sore dan jam 8 malam hingga jam 11.

Setelah perjuangan panjang dan melelahkan karena sering dikibuli Lapindo selama 2 tahun lebih. Asfeiyah dan keluarga-keluarga lain di pasar baru Porong yang tergabung Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Pagar Rekorlap) mendapatkan 20 persen uang aset mereka. Meski tak sesuai keinginan, warga tak bisa menolak cara pembayaran yang dilakukan Minarak Lapindo, yakni dengan cara mencicil.

Bulan ini Asfeiyah mendapatkan cicilan yang keempat dan karena tidak ada pekerjaan dia menggunakan uang tersebut untuk modal dagang pakaian. Meski tak ramai Asfeiyah tiap harinya bisa dapat pemasukan sekitar 30.000 Rupiah sementara uang untuk makan semua keluarganya adalah 50.000. Asfeiyah tak punya pilihan lain selain menggunakan uang rumahnya untuk makan. Bayangan untuk bisa mendapat rumah lagi pun perlahan-lahan mulai dia hapus.

"Yang penting semua keluarga bisa makan, Mas," kata Asfeiyah.

Marah, sedih, putus asa, perasaan-perasaan ini dipendam Asfeiyah karena tak ingin keluarganya pecah.

"Kalau marah, cek-cok, takut kehilangan suami," tutur Asfeiyah. "Tapi kalau nggak marah nggak tahan, Mas."

Tak hanya Asfeiyah yang dipaksa menjadi tulang punggung keluarga. Seorang ibu warga Perumahan Tanggul Angin Anggun Sejahtera I juga mengalami nasib yang sama. Nama ibu itu, Noor Hani (44 tahun) dia kini mengontrak rumah di Sidokare, Sidoajo, alasannya tentu jelas karena rumahnya sudah punah dimakan lumpur.

Bu Hani, siswa Madrasah Aliyah Khalid bin Walid biasanya memanggil namanya, adalah guru di MA tersebut. Sebelum ada lumpur suaminya Hendra Jaya (44 tahun) punya bengkel reparasi dinamo di rumahnya. Dia sudah punya langganan dari tetangga-tetangga di sekitarnya. Namun lumpur Lapindo menenggelamkan bengkel itu dan suaminya pun praktis tidak bisa bekerja lagi.

Bagi guru swasta yang gajinya tak lebih dari 100 ribu rupiah perbulan dan suami yang menganggur tentu bencana Lapindo jadi pukulan yang berat bagi keluarga ini. Keluarga ini mesti pontang-panting untuk menutup kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dengan tiadanya pemasukan Hani mencoba memperkecil pengeluaran. Caranya dengan mengurangi jatah makan sehari-hari.

"Berasnya saya kurangi dan ganti singkong yang sama mengandung karbohidrat," Hani berusaha menahan air matanya saat mengatakan ini.

Hani juga berusaha supaya dapat pemasukan tambahan. Dia melukis dan bikin gambar meja-kursi belajar dan suaminya diminta membikin barangnya. Namun itu belum cukup menutupi kebutuhan keluarga. Hani lantas berdagang keliling pakaian dan kue supaya asap dapurnya tak padam.

Empat orang anaknya tak semuanya bisa menerima kesulitan ini. Hanum Anggraini (15 tahun), anak pertamanya yang duduk di SMU II Sidoarjo, bisa menerima kenyataan ini dan bisa bersabar.

"Tapi yang kecil suka protes, saya mencoba mengarahkannya dengan agama," tutur Hani. Tapi namanya juga anak-anak masih suka rewel dan protes.

Tak hanya ibu-ibu yang rumahnya sudah terendam lumpur yang merasakan dampak bencana Lapindo ini. Ibu Crhristina, warga Glagaharum, juga merasakan dampak tidak langsung bencana Lapindo.

Christina adalah istri Hafidz Affandi, kepala desa Glagaharum periode 1990-1998 dan 1998-2007. Keluarganya cukup terpandang dan kaya. Tanahnya luas, punya toko bangunan, dan pabrik sepatu di pasar wisata Tanggulangin.

Setelah tidak jadi Kepala desa praktis pendapatan mereka bertumpu dari toko bangunan dan pabrik sepatu. Toko ini sebelum ada lumpur mendatangkan pendapatan yang luar biasa besar bagi keluarga Christina. seharinya bisa 9-12 juta. Saat itu, semua kebutuhan delapan anaknya bisa dipenuhi bahkan berlebih.

Misalnya; semua anaknya kalau sudah masuk SMP pasti dibelikan sepeda motor dan dibikinkan SIM. Lalu kalau anaknya minta dibelikan laptop atau sepatu yang harganya jutaan, saat itu juga akan dibelikannya.

"Dulu kalau mau datang ke pesta kawan-kawannya, pasti bajunya baru," kenang Crhistina.

Sekarang semua sudah berubah. Tepatnya sejak Bencana Lapindo dua tahun lalu, satu persatu langganan Christina hilang.

"Dulu langganannya dari Siring, Ketapang, Kedungbendo, Jatirejo, Renokenongo, dan lainnya," tutur Christina. Sekarang desa-desa itu sudah tenggelam dalam lumpur dan tak ada lagi pesanan buat Christina. Pendapatannya menurun drastis hingga 500 ribu hingga 1 juta seharinya.

5 dari 6 karyawannya di toko bangunan dia pulangkan dan kini tinggal dia dan seorang pelayan toko yang masih bertahan. Gudang-gudang tempat penyimpanan semen dan kayu juga sekarang kosong karena permintaan yang terus berkurang.

Akhir tahun lalu, Christina meminjamkan secara gratis gudang ini untuk yayasan Khalid bin Walid dan digunakan untuk sekolah. Christina tak tega melihat gedung sekolah Khalid bin Walid di Renokenongo tenggelam.

"Saya juga punya banyak anak yang masih sekolah, bagaimana kalau ini menimpa saya," tutur Christina.

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Ada al-Hallaj di Balik Dhani Ahmad

Oleh Mujtaba Hamdi dan Imam Shofwan Berbagai tudingan penghinaan agama menggempur Dhani Ahmad dan Dewa. Dhani tak memungkiri, inspirasi lirik-liriknya bermula dari wacana agama. Dhani bahkan menyukai tokoh-tokoh sufi kontroversial. HARI masih pagi. Cuaca belum begitu panas. Tapi kabar panas sudah muncul di acara infotainment televisi swasta itu. Kamera menyorot tajam segurat wajah yang berucap dengan tegas, “Beberapa lirik dan gambar yang dipakai Dewa dalam kasetnya diambil dari syair aliran sesat di Timur Tengah.” Di layar, tampak subtitle Pertahanan Ideologi Syariat Islam (Perisai). Sepertinya tidak main-main. Ridwan Saidi, sosok yang mewakili kelompok bernama Perisai tersebut, hari itu tengah melaporkan grup band Dewa ke Kejaksaan Agung. Ridwan seorang budayawan dan tokoh Betawi. Ridwan juga suka politik. Di masa Orde Baru, Ridwan sempat menclok di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu pindah ke Golongan Karya (Golkar), kemudian mendirikan Masyumi Baru. Di Era Reformasi, sa...