17 November 2012

Suciwati Kunjungi Papua Untuk Melawan Lupa


Tak ada peringatan Tokoh sebesar Theys, Suciwati heran

Oleh: Angela Flassy

“Di sini makam Theys,” kata Suciwati saat melihat makam Dortheys
Hiyo Eluay. Makam di tengah kota Sentani, Kabupaten Jayapura itu tepat berada di gerbang keluar Bandara Sentani. Setiap orang yang datang dari arah Bandara Sentani pasti akan mengenalinya. Makam yang tepat berada di lapangan itu menghadap persis ke ke gerbang bandara Sentani, bandara terbesar di Papua.

“Belum ada yang datang?” Katanya sembari memperhatikan makam yang bersih terawat. Di atas makam terdapat dua krans bunga yang usang dan warnanya memudar. Suciwati, memanjatkan doa sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.

Suciwati tiba di Jayapura, 11 November pagi untuk memperingati 11 tahun wafatnya ketua Presidium Dewan Papua (PDP), Dortheys Hiyo Eluay, atau yang dikenal dengan Theys Eluay. 

Theys meninggal 11 tahun lalu, tepatnya 10 November 2001, usai memenuhi undangan perayaan hari pahlawan di Markas Tribuana Kopassus, Argapura Hanurata, Jayapura. Saat hendak pulang ke rumahnya di Kota Sentani, 45 kilometer arah barat dari Kota Jayapura, mobilnya dicegat di Skyland lalu dicekik dalam mobil dan jasadnya dibuang ke Koya Tengah, 20 kilometer ke arah Timur dari Kota Jayapura.

Suciwati lalu melanjutkan perjanalan ke bekas markas Tribuana Kopassus, Argapura Hanurata, Jayapura. Rumah yang dikontrak Markas Tribuana masih ada, namun sudah dihuni oleh orang lain. Halaman depannya belum dibongkar.  Halaman parkir alat berat PT. Hanurata (HPH) yang 11 tahun lalu digunakan sebagai tempat dilaksanakannya perayaan hari Pahlawan, masih ada di sana.

“Acara diselenggarakan pada malam hari. Theys pulang bersama sopirnya, Aristoteles Masoka dan dicegat di Skyland. Aris melompat dari mobil dan kembali ke markas ini untuk melaporkan penculikan Theys. Sejak saat itu, Aris hilang hingga saat ini,” jelas Baguma dari KontraS Papua pada Suci di pelataran parkiran.

Suciwati lalu melanjutkan ke Skyland, tempat mobil Theys dihentikan dan Theys diculik. Disini terdapat tugu peringatan penculikan Theys yang ditandatangani Ketua Dewan Adat (DAP) Port Numbay, Herman Hamadi. Suci berhenti sejenak, lalu meneruskan perjalanan ke kantor KontraS Papua di Abepura untuk melakukan jumpa Pers.

Kepada wartawan, Suciwati menyatakan keheranannya. “Saya kaget, kok di Papua tidak ada solidaritas untuk mengenang pejuang keadilan Papua, almarhum Theys Eluay,” katanya. Baginya, baik Theys Eluay maupun Aristoteles, sama dengan suaminya Munir. Baginya mereka adalah tokoh penting dalam perjuangan keadilan dan HAM di Indonesia.

“Theys adalah tokoh penting yang memperjuangankan keadilan untuk masyarakat Papua yang mengalami penindasan yang luar biasa. Sama dengan suami saya. Sebab itu kematian mereka patut dikenang sebagai pejuang kemanusiaan,” katanya. 

Setiap 7 September, tanggal kematian Cak Munir, semua elemen masyarakat memperingati kematian Munir dengan cara-caranya masing-masing. Seniman melakukan pertunjukan seni, aktivis HAM membuat kaos bergambar wajah suaminya dan lain-lain demi mengkampanyekan penegakan keadilan, HAM dan tegaknya hukum di Indonesia. Suci menegaskan, "bahkan, beberapa kali peringatan kematiannya kami gelar demontrasi di markas BIN."

“Harusnya di Papua juga seperti itu, kita harus membangkitkan rasa solidaritas dan persatuan demi penegakkan hukum dan HAM. Jika kita diam, maka kita akan terus hidup dalam ancaman dan kekerasan,” tegasnya. Sebab sampai hari ini, meski rezim berganti rezim, tetapi wajah negara soal impunitas tetap tidak berubah. Bahkan pelaku-pelakunya hingga kini tetap bebas karena mendapat impunitas terhadap hukum plus promosi jabatan.

“Pelanggar-pelanggar HAM hingga kini tetap dilindungi oleh negara. Ini bukan persoalan Theys atau Munir, ini persoalan kita bersama dan harus dihentikan,” katanya. Solidaritas terus dibangun untuk mendesak pemerintah untuk menghentikan agar kedepan tidak jatuh lagi korban-korban kekerasan di Indonesia.

Dari ketujuh orang anggota Kopassus tersangka pembunuhan Theys, tidak sepenuhnya menjalani hukuman. Letkol Tri Hartomo, Komandan Kopassus di Jayapura, saat Theys tewas yang di hukum pemecatan dan 3,5 tahun penjara, kini adalah Komandan Sekolah Calon Perwira angkatan darat di Bandung. Mayor Doni Hutabarat, yang dihukum 2,5 tahun penjara karena mengundang Theys ke acara dan memata-matai Theys Eluay, kini berpangkat Letnan Kolonel dan bertugas sebagai komandan Kodim Medan.

“Terima kasih untuk Mbak Suci yang mau jauh-jauh datang ke Papua untuk mengingatkan kami di sini dan melawan lupa. Terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya untuk datang dan kembali mengingatkan dan menyegarkan ingatan kami tentang pentingnya sebuah advokasi yang dilakukan secara terus menerus,” kata Olga Hamadi, koordinator KontraS Papua. Baginya ini bisa dijadikan awal, untuk mengagendakan kembali semua kasus pelanggaran HAM di Papua, agar tidak ada satupun orang di Indonesia lupa dan negara mau mengakui dan memberi keadilan bagi setiap warganya yang dilanggar hak asasi manusianya.

“Masyarakat kita adalah masyarakat yang pemaaf dan pelupa. Itu yang harus dilawan. Mereka bisa membunuh Cak Munir, Theys yang menyuarakan kebenaran. Tapi mereka tidak bisa membunuh kebenaran,” kata Suciwati.

Setelah bertemu dengan wartawan lokal di Papua, Suciwati melanjutkan perjalanan ke lokasi tempat jasad Theys dibuang. Tak ada tanda, atau penanda lainnya membuat Suciwati dan rombongan harus bolak-balik mencari lokasi. Setelah bertanya dengan beberapa warga, akhirnya tempatnya ditemukan.

Lokasi sama seperti saat Theys ditemukan tak bernyawa. Diantara tingginya ilalang dan pohon pisang, dekat lokasi galian C di Koya Tengah, 20 kilometer ke arah timur Kota Jayapura.

Keesokan harinya, sebelum kembali ke Jakarta, Suciwati diundang bertemu dengan putra Theys Eluay, Boy Eluay di pendopo resmi Ondofolo, kepala suku besar, Suku Sentani, Sentani.

“Saya sudah lama mendengar dan mengikuti pemberitaan Cak Munir juga Ibu Suci. Saya kagum dengan konsistensi ibu untuk mendapatkan keadilan di Negara ini,” kata Boy Eluay, Putra Theys Eluay yang menerima kedatangan Suciwati di kediamannya, pagi itu.

Suciwati datang ke Jayapura membangun solidaritas sesama keluarga korban untuk bersama-sama melawan lupa. “Jika orang sebesar Theys, mereka mampu menghilangkan nyawanya, bagaimana dengan kita? Kita tidak ingin jika anak kita di masa yang akan datang menjadi korban kekerasan seperti ini!” Kata Suci.

Persoalan kemanusiaan, selalu menjadi kepedulian siapa saja. Untuk itu jangan sampai kasus kekerasan negara dibiarkan begitu saja, apa lagi dilupakan. Selama ini, Suciwati dikenal aktif melakukan aksi damai untuk penyelesaian kasus pembunuhan Munir. Salah satunya adalah “Aksi Kamisan,” aksi diam yang dilakukan setiap Kamis di depan Istana Negara oleh solidaritas keluarga korban penghilangan secara paksa oleh negara sejak 2007 hingga kini masih dilakukannya.

“Ada bagian yang bisa kita kerjakan sendiri, ada  bagian yang dikerjakan bersama-sama dengan teman-teman aktivis. Sudah saatnya keluarga korban melakukan aksi yang lebih terorganisir untuk penegakkan hukum dan HAM di Papua,” katanya.

Situasi di Papua, tak seperti di pulau lain di Indonesia. Di Papua, setiap kegiatan kemanusian, penegakkan Hukum dan HAM selalu diindentikkan dengan masalah politik dan makar. “Mereka membawa jubah yang sudah diukur. Ketika kami melakukan kegiatan ataupun aksi yang bersinggungan dengan kemanusiaan, mereka datang membawa jas yang sudah diukur dan mengenakannya kepada kami,” ujar Boy Eluay, putra sulung Alm. Theys Eluay. Stigma itu yang kemudian membuat keluarga korban berpikir dua kali jika berbicara soal penegakkan HAM secara terus menerus dan menuntut keadilan bagi mereka.

“Dukungan dari teman-teman di luar Papua sangat dibutuhkan, agar negara dapat meletakkan jubah-jubah itu,” kata Boy Eluay. Untuk itu Suci mengharapkan keluarga korban di Papua harus membangun solidaritas dan menjaga kemurnian perjuangan itu, dengan begitu tidak mudah terkena stigma dari aparat negara dan Boy setuju dengan itu.

“Pemerintah sudah saatnya tidak berjalan dengan mata terpejam dan nyenyak dengan mata terbuka. Saya respek dengan Ibu Suci dan berharap pertemuan ini akan melahirkan barisan yang lebih panjang untuk usaha penegakkan HAM di Papua,” ujar Boy.

Suciwati kembali ke Jakarta Senin siang (12/11). Suciwati berharap aksi solidaritas ini dapat berjalan terus dan ketakutan tidak merajalela hingga kekerasan dapat berhenti di Papua, “Sejak awal saya percaya bahwa nyawa itu milik Tuhan, jadi kenapa saya harus takut kepada pecundang? Saya justru takut di ruang-ruang kebenaran dan takut kalau kebenaran itu tidak pernah datang,” kata Suci sambil menegaskan ulang bahwa dirinya tak akan berhenti menuntut keadilan untuk Munir dan juga Theys Eluay.

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...