23 May 2013

RILIS PERS

SEKRETARIS KABINET DIPO ALAM TAMPAK EMOSIONAL, SERANG PRIBADI PROF MAGNIS
Jakarta 22 Mei 2013 - Sekretaris Kabinet Dipo Alam tampak emosi menanggapi surat pastor Franz Magnis-Suseno kepada Appeal of Conscience Foundation, yang mempertanyakan dasar penghargaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Dipo Alam dan bahkan Dino Djalal tak terima SBY disebut tak memperhatikan intoleransi yang dialami minoritas agama di Indonesia.

“Saya merasa Dipo Alam salah memahami surat Romo Magnis. Jika Romo Magnis memberi kritik pada ACF bukanlah untuk mencerca, namun untuk koreksi bersama apakah SBY sudah layak mendapat penghargaan pembela toleransi?” kata Imam Shofwan, seorang pemuda yang berhasil menggalang 6000 lebih dukungan melalui petisi di www.change.org/natoSby.

Bagi Imam, pernyataan Dipo Alam juga lebih emosional seperti terlihat pada kicauan twitter Dipo Alam @dipoalam49, yang mengatakan, “Umaro, ulama dan umat Islam di Indonesia secara umum sudah baik, mari lihat ke depan, tidak baik pimpinannya dicerca oleh non-muslim FMS.”

“Sebagai orang Islam, saya sedih baca kicauan seorang pejabat negara, seakan di Indonesia ini hanya ada Umat Islam dan harus tersinggung dengan masukan dari Pastor Franz Magnis-Suseno,” kata Imam Shofwan, “Indonesia adalah negeri multi agama. Tidak pantas kicauan itu muncul dari orang semacam Dipo Alam.”  

Ribuan dukungan petisi berasal dari berbagai propinsi. Imam menyesalkan, Dipo Alam maupun duta besar Indonesia di AS, Dino P. Djalal, tak melihat realitas utuh. Dipo Alam mengatakan kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah terjadi sejak era Jepang. “Dipo benar namun dia tak melihat bahwa kekerasan tersebut meningkat drastis sejak Presiden Yudhoyono menguatkan aturan batasan kegiatan Ahmadiyah pada Juni 2008” lanjut Imam.

“Soalnya bukan melihat sejarah sebagai pembenaran atas kekerasan hari ini. Tapi maukah kita belajar dari sejarah yang berdarah tersebut dan mengatur kehidupan hari ini dengan dasar kemanusiaan yang beradab?” kata Imam Shofwan, putra seorang kyai Nahdlatul Ulama, yang mengajak publik mendukung petisi www.change.org/natoSBY 

Sejak jadi presiden akhir 2004, Imam menilai terjadi peningkatan infrastruktur hukum yang memperlakukan minoritas agama --baik dari minoritas Muslim macam Ahmadiyah dan Syiah maupun minoritas non-Muslim macam Bahai, Kristen dan ratusan agama-agama tradisional-- sebagai warga negara kelas dua.

Menurut Setara Institute, kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat dari hanya tiga kasus pada 2006 menjadi 50 kasus pada 2010 dan 114 pada 2011. Diskriminasi adalah legitimasi buat kaum militan untuk membenarkan tindakan main hakim sendiri. Sejak 2008 hingga sekarang sudah 50 masjid Ahmadiyah disegel, dibakar dan diserang.

Kekerasan atas nama agama memang bukan barang baru. Soal Sunni-Syiah juga dimulai sejak kematian menantu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali, pertengahan abad VII. Kekerasan antara Islam dan Kristen juga terjadi berabad-abad lalu.

Dipo Alam berpendapat ia hal biasa karena semua negara juga begitu. Dipo Alam tampaknya perlu belajar dari walikota New York Michael Bloomberg yang taat hukum soal pembangunan rumah ibadah, termasuk masjid di Ground Zero, walau ada protes dari kalangan Kristen.

SBY berpidato di sidang kabinet soal toleransi agama. Namun pidato takkan menyelesaikan masalah. Masalah intoleransi itu ada di Mataram, Cikeusik, Sampang, GKI Yasmin, HKBP Filadelfia. Jawa Barat adalah provinsi dengan kekerasan atas nama agama paling tinggi. Presiden harus turun tangan langsung, terutama ke Jawa Barat, untuk mengatasi kekerasan atas nama agama. Menurut UU Otonomi Daerah, ada enam masalah yang tak didelegasikan ke daerah: diplomasi luar negeri; pertahanan; keamanan; peradilan; keuangan; dan agama.

Pada tahun 2006, pemerintahan Yudhoyono mengeluarkan aturan membangun rumah ibadah, yang memakai pendekatan minoritas-mayoritas, sedemikian rupa sehingga ia menjadi sangat sulit untuk agama minoritas membangun rumah ibadah. Dampaknya, lebih dari 430 gereja ditutup sejak SBY jadi presiden. GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia hanya dua dari ratusan gereja yang diserang, disegel, dibakar dan ditelantarkan dengan dasar Peraturan Bersama Menteri buatan 2006.

Pada 2009-2010, pemerintahan SBY juga membela pasal penodaan agama di Mahkamah Konstitusi ketika berapa tokoh Islam --termasuk Gus Dur dan Dawam Rahardjo-- minta agar pasal tersebut dihapus dari hukum Indonesia karena tak sesuai dengan UUD 1945. SBY bahkan minta agar “blasphemy law” dijadikan protokol hukum internasional Oktober 2012 di Sidang Umum PBB New York. Gus Dur adalah panutan banyak warga Nahdlatul Ulama. Dawam Rahardjo seorang cendekiawan Muhammadiyah.

Soal apakah pendapat Romo Magniz didengar atau tidak oleh Appeal of Conscience Foundation, ia tak begitu penting, karena ia juga organisasi abal-abal di New York, namun pendapat Romo Magniz didengar oleh masyarakat Indonesia lewat dukungan mereka terhadap petisi menolak penghargaan. Pendukungnya bahkan lebih dari enam ribu orang.[end]

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...