Siaran Pers
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK)
Pangkur
Lamun tekan iki dina
Isa mangan merga
Kendeng nguripi
Keparingan cekap
cukup
Bab sandang uga
boga
Banyu sumber cukup
nggo nenandur
Ugo nggo butuh
padinan
Sih kurang piye pertiwi
Yen iseh tetep
nyawiyah
Apa pancen
nggadhang murkane bumi
Banjir kang dumadi
iku
Mung sekedhik
pratandha
Ngertenana yen
kendeng malati tuhu
Mula tansah
rumatana
Larang pangan tan dumadi
(Jika sampai hari ini kita masih bisa makan, itu karena Kendeng telah menghidupi kita. Kita diberi cukup sandang pangan, air mengalir dari sumber untuk mencukupkan keperluan bercocok tanam dan kebutuhan air untuk keseharian. Masih kurang apakah pertiwi? Bila bumi masih tetap dirusak apakah kalian mengharap bumi murka? Banjir yang sekarang sering terjadi hanyalah pertanda dan peringatan kecil. Ketahuilah bahwa Kendeng itu malati. Rawatlah Kendeng dengan baik, agar bahan pangan yang mahal tidak semakin parah).
Petani Kendeng yang tergabung dalam JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) kembali mengadakan ritual budaya Kupatan Kendeng bertempat di Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan, Kec. Gunem, Kab. Rembang.
Kegiatan ini dimulai Minggu, 14 April 2024, dengan prosesi “Temon Banyu Beras” di sumber mata air Brubulan dan “lamporan” di Pisowanan. Esoknya dilanjutkan arak-arakan “Dono Weweh Kupat Lepat”.
Tradisi yang rutin dilaksanakan setiap hari ke-lima bulan Syawal ini mengambil tema "Kendeng Nguripi Kwalat Lamun Ora Ngopeni". Tema ini sebagai bahan refleksi bersama bahwa pasca relokasi industri yang masif ke Jawa Tengah yang kemudian diakomodir melalui UU Cipta Kerja, PP Proyek Strategis Nasional (PSN) serta aturan-turunan lainnya membuat salah satu provinsi penyumbang pangan terbesar nasional ini berada dalam kondisi kritis akut.
Masifnya alih fungsi lahan-lahan produktif untuk pabrik, tol
dan pembangunan lainnya berdampak terhadap bencana selama beberapa tahun
terakhir. Untuk menyuplai kebutuhan pembangunan serakah tersebut, daerah
tambang makin diperluas tidak terkecuali di Pegunungan Kendeng.
Akibatnya, sejak akhir 2023 hingga awal 2024 terjadi banjir, rob, tanah longsor dan bencana lainnya. Banjir bandang setidaknya tiga kali melumpuhkan kawasan pantura khususnya di wilayah Demak-Kudus. Banjir ini tak hanya berdampak terhadap perekonomian, juga menghilangkan ruang hidup masyarakat terdampak karena tergenangnya lahan-lahan persawahan. Adakah langkah pencegahan yang komprehensif dari pemerintah kabupatan/kota, provinsi, bahkan pusat untuk kondisi itu?
Momen Kupatan Kendeng tahun ini menjadi sangat special mengingat pada bulan yang sama tujuh tahun yang lalu, Presiden Joko Widodo mengamanatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng. Kajian yang dikerjakan dua tahap tersebut seharusnya menjadi pijakan utama bagi kebijakan pemerintah untuk kelestarian alam sebagaimana diatur dalam UU no 32 tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) pasal 14-18.
Naasnya KLHS dan kemenangan warga atas gugatan izin lingkungan PT Semen Indonesia tahun 2016 tak pernah dieksekusi pemerintah. Mereka terus congkak merusak kelestarian Kendeng tanpa melihat pentingnya kawasan ini bagi kehidupan makhluk dan ekosistem.
Dalam KLHS disebutkan bahwa eksploitasi yang akan dan telah terjadi adalah ancaman bagi ribuan sumber-sumber mata air abadi di dalam Pegunungan Kendeng.
Tak hanya petani tetapi seluruh rakyat di Rembang, Pati, Blora, Grobogan dan wilayah lain serta semua makhluk yang ada di dalam ekosistem Kendeng bergantung hidup pada sumber-sumber air ini. Jika eksploitasi di Pegunungan Kendeng dengan kisaran luasan lahan 392,84 ha tersebut terus dilakukan, akan berdampak terhadap kerugian yang massif. Valuasi ekonomi pada dokumen KLHS Kendeng memperhitungkan potensi kerugian sebesar Rp3,2 triliun setiap tahun.
KLHS juga merekomendasikan dilakukannya penetapan kawasan lindung dan moratorium izin pertambangan di cekungan air tanah (CAT) Watuputih.
Pemerintah daerah dan provinsi justru secara jelas menolak rekomendasi KLHS Pegunungan Kendeng tahun 2017 yang diamanatkan oleh presiden ini. Alih-alih menguji validitas kajian dan adu gagasan teoritis, mereka justru berlomba membuat KLHS tandingan yang sayangnya tidak mengakomodir kemenangan gugatan warga dan rekomendasi KLHS Pegunungan Kendeng.
Kini melalui momen Kupatan Kendeng, JM-PPK dengan tanpa lelah terus mengingatkan kepada pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten untuk serius menangani bencana yang terus terjadi setiap tahun. Bukan hanya mengatasi hilir saja namun harus menyentuh hulu/sumber dari bencana itu sendiri. Pemerintah harus memastikan lahan-lahan produktif di Jawa Tengah dilindungi dengan kebijakan yang berpihak kepada para petani termak menjamin kemudahan akses pupuk, bibit, dan harga pasar yang saling menguntungkan berbagai pihak.
Selain itu, pemerintah juga harus ikut melestarikan Pegunungan Kendeng dengan mengusir pabrik dan tambang yang ada.
Salam Kendeng Lestari !!!!
Narahubung JM-PPK:
Joko Prianto (082134386363)
Comments