Oleh Imam Shofwan
LAIN sekali suasana Masjid al-Muslimun pada malam 6 September itu. Biasanya, jamaah shalat isya di masjid Gang Jeruk, Utan Kayu, Jakarta Timur tersebut hanya warga sekitar. Tapi malam itu, yang jadi imam shalat isya, tak tanggung-tanggung, adalah Komandan Rayon Militer Matraman: Kapten (Inf) Soedar.
Makmumnya pun istimewa, ada camat Matraman Khairil Astrapraja, Kepala Kepolisian Sektor Matraman Soelarno, serta seorang Kepala Badan Kesatuan Bangsa (Kesbang) Jakarta Timur, alamsyah. Tampak juga sejumlah orang dari Forum Umat Islam Utan Kayu (FUI-UK).
Kedatangan para pejabat kecamatan Matraman di Masjid al-Muslimun ini tentu bukan tanpa alasan. Mereka hadir di masjid itu menyusul tuntutam dari FUI-UK yang mengatasnamakan warga Utan Kayu yang “terganggu” dan menuntut Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Komunitas Utan Kayu (KUK) –yang terletak di Jalan Raya Utan Kayu 68H, sekira 300 meter dari masjid tersebut—supaya dibubarkan dan hengkang dari wilayah Utan Kayu.
Tepat pukul 19.45 jama’ah itu selesai menunaikan shalat. Maka dimulailah acara dialog antara warga sekitar Utan Kayu, pihak KUK, dan pejabat-pejabat tersebut.
Imam masjid al-Muslimun, yang memperkenalkan diri bernama Imam Pambudi, memandu acara. Setelah basa basi sebentar, Pambudi mempersilahkan perwakilan dari Radio 68H, Camat, Kesbang, Kapolsek dan Danramil untuk memberikan sambutan secara bergantian.
Banyak hal disampaikan. Dari soal pentingnya saling menghormati sampai perlunya kerukunan dan perdamaian antarwarga. Hal ini terkait dengan aksi sekitar 20 orang massa FUI-UK yang menyampaikan keberatan dengan keberadaan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang merupakan bagian dari KUK.
Malam itu, FUI-UK, diwakili oleh Syafrudin Tanjung, juga berkesempatan mengajukan pernyataan. Tanjung menuntut supaya JIL hengkang dari Utan Kayu.
“Kita tidak mau diskusi dengan JIL, kita tetap mendesak Muspika untuk mengusir JIL dari Utan Kayu,” tegas Tanjung.
Tanjung merujuk pada fatwa MUI yang dikeluarkan pada Juli lalu. Dalam fatwa itu, MUI mengharamkan paham liberalisme dan pluralisme. Sedangkan JIL, yang mengusung Islam yang ramah dan damai dengan ide kebebasan berfikir dalam beragama, dan pentingnya toleransi antarumat beragama, dinilai menganut paham liberalisme dan pluralisme yang diharamkan itu.
Aksi menuntut hengkagnya JIL oleh FUI-UK yang diwakili Tanjung bukanlah yang pertama. Sebelumnya, ratusan massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sempat hendak meluruk kantor JIL.
Saat itu, 7 Agustus, ratusan massa tersebut berkumpul lebih dahulu di Masjid al-Azhar seusai shalat Jum’at.
Mereka lalu menggelar orasi yang intinya mendukung fatwa MUI, dan mengutuk Ulil Absar-Abdalla, pendiri JIL, sebagai orang yang merusak agama Islam dengan ide-ide liberalisme dan pluralisme.
Mereka juga menyatakan Ulil darahnya halal alias boleh dibunuh. Massa yang telah terbakar emosinya oleh orasi-orasi ini melanjutkan acara menuju Utan Kayu. Mereka hendak menutup paksa JIL.
Sementara itu Ulil, yang sebelumnya sudah mengetahui rencana penutupan JIL tersebut, hari itu juga mengundang teman-temannya untuk berkumpul di Jl. Utan Kayu 68H.
Maka sejak pagi, sejumlah tokoh seperti Indra J Piliang, Dawam Raharjo, Syafii Anwar, Musdah Mulia, Hamid Basyaib sudah berkumpul di kedai Tempo, kantin di Komunitas Utan Kayu.
Sejumlah organisasi juga hadir memberikan dukungan. Ada perwakilah dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia Universitas Islam Negeri (PPSDM UIN) Jakarta, Forum Mahasiswa Ciputat, Lajnah Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan sejumlah organisasi lainnya.
Di luar kedai, di sepanjang Jalan Raya Utan Kayu, massa semakin banyak. Ratusan polisi dan puluhan Bantuan Serba Guna (Banser) berjaga-jaga. Sejumlah wartawan dalam dan luar negeri pun sudah berada di sana sejak pagi.
Di saat yang sama, massa FPI yang bergerak dari masjid al-Azhar telah sampai di kawasan Matraman, sekitar tiga kilometer dari Jl. Utan Kayu Raya.
Mereka juga mengetahui di JIL telah berkumpul banyak pendukung, apalagi banyak wartawan yang berkumpul di sana. Dan entah atas pertimbangan apa, akhirnya ratusan massa itu memutuskan membatalkan niat mereka semula untuk menutup JIL.
Pembatalan itu diinformasikan langsung oleh Radio 68H yang didengarkan orang-orang yang berkumpul di Kedai Tempo. Pembatalan tersebut membuat mereka lega.
Namun selesaikan teror terhadap JIL? Ternyata tidak. Para aktivis JIL mendapat beragam teror lewat telepon dan pesan pendek, SMS.
DAN di luar pengetahuan JIL, pada 25 Agustus, ada “tamu tak diundang” berjumlah sekitar 25 orang di masjid al-Muslimun –yang letaknya tak jauh dari JIL. Mereka menginap di sana tiga hari. Tamu-tamu itu mengenakan baju koko dan celana congkrang, sebagian mengenakan peci kain.
Pada warga Utan Kayu mereka memperkenalkan diri sebagai jamaah dari Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Mereka ingin memakmurkan masjid dan mengingatkan warga untuk memakmurkan masjid.
“Kita datang ke sini karena masjid ini sepi dan kita ingin memakmurkannya,” jawab seorang dari mereka ketika ditanya warga Utan Kayu.
Mereka mengadakan shalat berjamaah, diskusi dan mengunjungi warga sekitar masjid. Tak hanya itu, mereka juga membentuk Forum Umat Islam Utan Kayu (FUI-UK).
“Sebagian dari mereka ikut dalam pembentukan FUI Utan Kayu,” tutur Imam Pambudi, imam Masjid al-Muslimun. Forum inilah yang kemudian mengatasnamakan warga Utan Kayu dan menuntut pembubaran JIL.
FUI-UK, menurut Pambudi, dibentuk berdasarkan usulan dari beberapa orang perwakilan dari masjid-masjid di sekitar Utan Kayu. Mereka meminta Masjid al-Muslimun untuk menjadi pusat FUI karena lokasinya berdekatan dengan 68H.
Pambudi juga tahu tentang fatwa MUI dari orang-orang tersebut, “orang yang dari jauh aja pada ke sini, masak kita diem aja.”
Kebanyakan warga sekitar Masjid al-Muslimun sendiri sebenarnya tak banyak tahu soal FUI-UK. Mereka juga tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan FUI-UK. Dari mendemo JIL sampai dialog dengan camat mereka tidak dilibatkan.
“Saya tahu kalau kemarin ada rame-rame sampai masuk teve segala, tapi saya enggak diundang jadi saya tidak hadir,” ujar Siti Halimah, pemimpin sebuah majelis taklim perempuan yang tinggal tak jauh dari al-Muslimun.
Bahkan pemimpin FUI-UK sendiri Syafruddin Tanjung, status kewargaannya di Utan Kayu agak kabur. Beberapa warga yang saya tanyai ada yang menjawab dia tinggal di Gang Mangga, ada yang menjawab tinggal di Gang Sirsak –kedua gang ini terletak di belakang Masjid al-Muslimun.
“Dulu dia pernah buka bengkel di Jalan Sirsak, sekarang kayaknya udah pindah,” tutur seorang warga.
Semenjak dibentuk, FUI-UK mengadakan pengajian di masjid ini. Sebagian warga mengikuti acara tersebut. “Saya ikut karena ramai dan ingin tahu ada apa di masjid,” ujar Aisyah, seorang pimpinan majelis taklim yang sejak kecil tinggal di Utan Kayu.
Ibu Aisyah mengaku tidak mengenal orang-orang yang datang pada pengajian tersebut. “Hanya sebagian kecil warga sini. Saya bahkan tidak kenal dengan ustad yang memberi ceramah,” tuturnya.
MESKI tak banyak dikenal warga, FUI-UK cukup memiliki pengaruh dalam menyebarkan fatwa MUI dan posisi JIL. Sabtu, 3 September, usai pengajian, Imam Pambudi dan beberapa anggota FUI berkumpul untuk membahas keberadaan JIL.
Malam itu mereka sepakat untuk menyampaikan aspirasi warga kepada Camat Matraman. “Setelah kita kontak, ternyata Pak Camat bisanya hari Selasa,” tutur Pambudi.
Pengajian saja tentu tidak cukup. Minggu 4 September, sehari setelah pengajian itu, pada saat shalat magrib berjamaah, di atas tempat imam terbentang spanduk besar bertuliskan “Mendukung Satwa MUI untuk Membasmi JIL dan Antek-anteknya”. Lalu di papan pengumuman masjid, terpasanglah sejumlah salinan berita yang mengejam JIL dan mendukung fatwa MUI.
Dan malam itu juga, sekitar pukul tujuh, Syafruddin Tanjung bersama Imam Pambudi mendatangi undangan dari Radio 68H untuk bertemu dengan camat Matraman.
Saat itulah mereka menyampaikan tuntutan agar JIL pindah dari Utan Kayu. Syafruddin mengaku membawa aspirasi masjid-masjid di sekitar Utan Kayu yang tidak menghendaki keberadaan JIL.
“Saya hanya menyampaikan aspirasi, dan kami tidak ingin mendengar klarifikasi dari JIL, warga di sini ingin JIL pindah dari sini,” tutur Tanjung seperti dilansir sebuah media.
Sementara itu, pada saat yang sama, sekitar 30 orang dari FUI-UK mendatangi kantor JIL. Mereka membawa spanduk yang sebelumnya terpasang di atas tempat imam Masjid al-Muslimun. Mereka juga membawa spanduk lain bertuliskan, “JIL Haram, Darah Ulil Halal”.
Tuntutan mereka tetap: JIL pindah dari Utan Kayu.
Rupanya pertemuan malam itu tidak membuahkan kesepakatan apa pun. Massa FUI-UK merasa belum puas sebelum JIL hengkang dari Utan Kayu. Akhirnya mereka meminta diadakan pertemuan lanjutan antara warga Utan Kayu dan fihak kecamatan.
Dan begitulah, kemudian berlangsung pertemuan 6 September di Masjid al-Muslimun itu. Imam Pambudi memimpin acara. Setelah Camat, Kapolsek, Danramil serta perwakilan dari Radio 68H menyampaikan kata sambutan, dibukalah sesi tanya jawab. Sesi ini dipimpin oleh Syafruddin Tanjung, pimpinan FUI-UK.
Situasi memanas. Dialog menjadi tegang ketika seorang warga menyatakan interupsi bahwa dia sebagai warga merasa tidak keberatan dengan keberadaan JIL.
“Kita harus menghormati kebebasan berfikir, kita harus menghormati JIL,” tutur pemuda itu dan disambut dengan ancaman dari beberapa orang FUI-UK di luar ruangan masjid. “Seret keluar dia, bawa keluar, kita selesaikan dia.”
Dialog pun dilanjutkan setelah warga tadi diamankan dari massa yang marah. Dan ternyata, dari sepuluh penanya, tiga orang di antaranya tidak keberatan dengan keberadaan JIL.
Jika di dalam masjid itu, FUI-UK berusaha meyakinkan warga bahwa JIL harus diusir. Di luar masjid, warga tenang-tenang saja.
Sekitar seratus meter dari masjid beberapa orang berkumpul di sebuah warung mi instan. Mereka tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi di Masjid al-Muslimun. Sebagian mereka serius mempelototi bidak catur dan sebagian lainnya sedang mengobrol santai tentang acara memancing mereka esok hari.
Di sela-sela pembicaraan, mereka juga membahas JIL dengan santai. “Orang JIL kan udah lama, kenapa baru ribut sekarang,” tutur seorang di antara mereka. Kawannya langsung menimpali, “kalau JIL (baca: GIL, sebuah grup musik barat) yang nyanyi You Are The The Girl, gua tau, dari dulu gua tau.”
Begitulah warga. JIL sendiri sebenarnya juga merupakan lembaga hukum yang sah. Pada 15 September, saat konferensi pers di kedai Tempo, Muspika Matraman secara tegas menyatakan hal tersebut. “Tidak ada alasan untuk mengusir JIL dari Utan Kayu.”[end]
Naskah ini pernah dimuat di rubrik peristiwa majalah Syir’ah edisi Oktober 2005. Saat menulis tulisan ini saya kebetulan tinggal tak jauh dari Masjid al-Muslimun.
LAIN sekali suasana Masjid al-Muslimun pada malam 6 September itu. Biasanya, jamaah shalat isya di masjid Gang Jeruk, Utan Kayu, Jakarta Timur tersebut hanya warga sekitar. Tapi malam itu, yang jadi imam shalat isya, tak tanggung-tanggung, adalah Komandan Rayon Militer Matraman: Kapten (Inf) Soedar.
Makmumnya pun istimewa, ada camat Matraman Khairil Astrapraja, Kepala Kepolisian Sektor Matraman Soelarno, serta seorang Kepala Badan Kesatuan Bangsa (Kesbang) Jakarta Timur, alamsyah. Tampak juga sejumlah orang dari Forum Umat Islam Utan Kayu (FUI-UK).
Kedatangan para pejabat kecamatan Matraman di Masjid al-Muslimun ini tentu bukan tanpa alasan. Mereka hadir di masjid itu menyusul tuntutam dari FUI-UK yang mengatasnamakan warga Utan Kayu yang “terganggu” dan menuntut Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Komunitas Utan Kayu (KUK) –yang terletak di Jalan Raya Utan Kayu 68H, sekira 300 meter dari masjid tersebut—supaya dibubarkan dan hengkang dari wilayah Utan Kayu.
Tepat pukul 19.45 jama’ah itu selesai menunaikan shalat. Maka dimulailah acara dialog antara warga sekitar Utan Kayu, pihak KUK, dan pejabat-pejabat tersebut.
Imam masjid al-Muslimun, yang memperkenalkan diri bernama Imam Pambudi, memandu acara. Setelah basa basi sebentar, Pambudi mempersilahkan perwakilan dari Radio 68H, Camat, Kesbang, Kapolsek dan Danramil untuk memberikan sambutan secara bergantian.
Banyak hal disampaikan. Dari soal pentingnya saling menghormati sampai perlunya kerukunan dan perdamaian antarwarga. Hal ini terkait dengan aksi sekitar 20 orang massa FUI-UK yang menyampaikan keberatan dengan keberadaan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang merupakan bagian dari KUK.
Malam itu, FUI-UK, diwakili oleh Syafrudin Tanjung, juga berkesempatan mengajukan pernyataan. Tanjung menuntut supaya JIL hengkang dari Utan Kayu.
“Kita tidak mau diskusi dengan JIL, kita tetap mendesak Muspika untuk mengusir JIL dari Utan Kayu,” tegas Tanjung.
Tanjung merujuk pada fatwa MUI yang dikeluarkan pada Juli lalu. Dalam fatwa itu, MUI mengharamkan paham liberalisme dan pluralisme. Sedangkan JIL, yang mengusung Islam yang ramah dan damai dengan ide kebebasan berfikir dalam beragama, dan pentingnya toleransi antarumat beragama, dinilai menganut paham liberalisme dan pluralisme yang diharamkan itu.
Aksi menuntut hengkagnya JIL oleh FUI-UK yang diwakili Tanjung bukanlah yang pertama. Sebelumnya, ratusan massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sempat hendak meluruk kantor JIL.
Saat itu, 7 Agustus, ratusan massa tersebut berkumpul lebih dahulu di Masjid al-Azhar seusai shalat Jum’at.
Mereka lalu menggelar orasi yang intinya mendukung fatwa MUI, dan mengutuk Ulil Absar-Abdalla, pendiri JIL, sebagai orang yang merusak agama Islam dengan ide-ide liberalisme dan pluralisme.
Mereka juga menyatakan Ulil darahnya halal alias boleh dibunuh. Massa yang telah terbakar emosinya oleh orasi-orasi ini melanjutkan acara menuju Utan Kayu. Mereka hendak menutup paksa JIL.
Sementara itu Ulil, yang sebelumnya sudah mengetahui rencana penutupan JIL tersebut, hari itu juga mengundang teman-temannya untuk berkumpul di Jl. Utan Kayu 68H.
Maka sejak pagi, sejumlah tokoh seperti Indra J Piliang, Dawam Raharjo, Syafii Anwar, Musdah Mulia, Hamid Basyaib sudah berkumpul di kedai Tempo, kantin di Komunitas Utan Kayu.
Sejumlah organisasi juga hadir memberikan dukungan. Ada perwakilah dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia Universitas Islam Negeri (PPSDM UIN) Jakarta, Forum Mahasiswa Ciputat, Lajnah Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan sejumlah organisasi lainnya.
Di luar kedai, di sepanjang Jalan Raya Utan Kayu, massa semakin banyak. Ratusan polisi dan puluhan Bantuan Serba Guna (Banser) berjaga-jaga. Sejumlah wartawan dalam dan luar negeri pun sudah berada di sana sejak pagi.
Di saat yang sama, massa FPI yang bergerak dari masjid al-Azhar telah sampai di kawasan Matraman, sekitar tiga kilometer dari Jl. Utan Kayu Raya.
Mereka juga mengetahui di JIL telah berkumpul banyak pendukung, apalagi banyak wartawan yang berkumpul di sana. Dan entah atas pertimbangan apa, akhirnya ratusan massa itu memutuskan membatalkan niat mereka semula untuk menutup JIL.
Pembatalan itu diinformasikan langsung oleh Radio 68H yang didengarkan orang-orang yang berkumpul di Kedai Tempo. Pembatalan tersebut membuat mereka lega.
Namun selesaikan teror terhadap JIL? Ternyata tidak. Para aktivis JIL mendapat beragam teror lewat telepon dan pesan pendek, SMS.
DAN di luar pengetahuan JIL, pada 25 Agustus, ada “tamu tak diundang” berjumlah sekitar 25 orang di masjid al-Muslimun –yang letaknya tak jauh dari JIL. Mereka menginap di sana tiga hari. Tamu-tamu itu mengenakan baju koko dan celana congkrang, sebagian mengenakan peci kain.
Pada warga Utan Kayu mereka memperkenalkan diri sebagai jamaah dari Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Mereka ingin memakmurkan masjid dan mengingatkan warga untuk memakmurkan masjid.
“Kita datang ke sini karena masjid ini sepi dan kita ingin memakmurkannya,” jawab seorang dari mereka ketika ditanya warga Utan Kayu.
Mereka mengadakan shalat berjamaah, diskusi dan mengunjungi warga sekitar masjid. Tak hanya itu, mereka juga membentuk Forum Umat Islam Utan Kayu (FUI-UK).
“Sebagian dari mereka ikut dalam pembentukan FUI Utan Kayu,” tutur Imam Pambudi, imam Masjid al-Muslimun. Forum inilah yang kemudian mengatasnamakan warga Utan Kayu dan menuntut pembubaran JIL.
FUI-UK, menurut Pambudi, dibentuk berdasarkan usulan dari beberapa orang perwakilan dari masjid-masjid di sekitar Utan Kayu. Mereka meminta Masjid al-Muslimun untuk menjadi pusat FUI karena lokasinya berdekatan dengan 68H.
Pambudi juga tahu tentang fatwa MUI dari orang-orang tersebut, “orang yang dari jauh aja pada ke sini, masak kita diem aja.”
Kebanyakan warga sekitar Masjid al-Muslimun sendiri sebenarnya tak banyak tahu soal FUI-UK. Mereka juga tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan FUI-UK. Dari mendemo JIL sampai dialog dengan camat mereka tidak dilibatkan.
“Saya tahu kalau kemarin ada rame-rame sampai masuk teve segala, tapi saya enggak diundang jadi saya tidak hadir,” ujar Siti Halimah, pemimpin sebuah majelis taklim perempuan yang tinggal tak jauh dari al-Muslimun.
Bahkan pemimpin FUI-UK sendiri Syafruddin Tanjung, status kewargaannya di Utan Kayu agak kabur. Beberapa warga yang saya tanyai ada yang menjawab dia tinggal di Gang Mangga, ada yang menjawab tinggal di Gang Sirsak –kedua gang ini terletak di belakang Masjid al-Muslimun.
“Dulu dia pernah buka bengkel di Jalan Sirsak, sekarang kayaknya udah pindah,” tutur seorang warga.
Semenjak dibentuk, FUI-UK mengadakan pengajian di masjid ini. Sebagian warga mengikuti acara tersebut. “Saya ikut karena ramai dan ingin tahu ada apa di masjid,” ujar Aisyah, seorang pimpinan majelis taklim yang sejak kecil tinggal di Utan Kayu.
Ibu Aisyah mengaku tidak mengenal orang-orang yang datang pada pengajian tersebut. “Hanya sebagian kecil warga sini. Saya bahkan tidak kenal dengan ustad yang memberi ceramah,” tuturnya.
MESKI tak banyak dikenal warga, FUI-UK cukup memiliki pengaruh dalam menyebarkan fatwa MUI dan posisi JIL. Sabtu, 3 September, usai pengajian, Imam Pambudi dan beberapa anggota FUI berkumpul untuk membahas keberadaan JIL.
Malam itu mereka sepakat untuk menyampaikan aspirasi warga kepada Camat Matraman. “Setelah kita kontak, ternyata Pak Camat bisanya hari Selasa,” tutur Pambudi.
Pengajian saja tentu tidak cukup. Minggu 4 September, sehari setelah pengajian itu, pada saat shalat magrib berjamaah, di atas tempat imam terbentang spanduk besar bertuliskan “Mendukung Satwa MUI untuk Membasmi JIL dan Antek-anteknya”. Lalu di papan pengumuman masjid, terpasanglah sejumlah salinan berita yang mengejam JIL dan mendukung fatwa MUI.
Dan malam itu juga, sekitar pukul tujuh, Syafruddin Tanjung bersama Imam Pambudi mendatangi undangan dari Radio 68H untuk bertemu dengan camat Matraman.
Saat itulah mereka menyampaikan tuntutan agar JIL pindah dari Utan Kayu. Syafruddin mengaku membawa aspirasi masjid-masjid di sekitar Utan Kayu yang tidak menghendaki keberadaan JIL.
“Saya hanya menyampaikan aspirasi, dan kami tidak ingin mendengar klarifikasi dari JIL, warga di sini ingin JIL pindah dari sini,” tutur Tanjung seperti dilansir sebuah media.
Sementara itu, pada saat yang sama, sekitar 30 orang dari FUI-UK mendatangi kantor JIL. Mereka membawa spanduk yang sebelumnya terpasang di atas tempat imam Masjid al-Muslimun. Mereka juga membawa spanduk lain bertuliskan, “JIL Haram, Darah Ulil Halal”.
Tuntutan mereka tetap: JIL pindah dari Utan Kayu.
Rupanya pertemuan malam itu tidak membuahkan kesepakatan apa pun. Massa FUI-UK merasa belum puas sebelum JIL hengkang dari Utan Kayu. Akhirnya mereka meminta diadakan pertemuan lanjutan antara warga Utan Kayu dan fihak kecamatan.
Dan begitulah, kemudian berlangsung pertemuan 6 September di Masjid al-Muslimun itu. Imam Pambudi memimpin acara. Setelah Camat, Kapolsek, Danramil serta perwakilan dari Radio 68H menyampaikan kata sambutan, dibukalah sesi tanya jawab. Sesi ini dipimpin oleh Syafruddin Tanjung, pimpinan FUI-UK.
Situasi memanas. Dialog menjadi tegang ketika seorang warga menyatakan interupsi bahwa dia sebagai warga merasa tidak keberatan dengan keberadaan JIL.
“Kita harus menghormati kebebasan berfikir, kita harus menghormati JIL,” tutur pemuda itu dan disambut dengan ancaman dari beberapa orang FUI-UK di luar ruangan masjid. “Seret keluar dia, bawa keluar, kita selesaikan dia.”
Dialog pun dilanjutkan setelah warga tadi diamankan dari massa yang marah. Dan ternyata, dari sepuluh penanya, tiga orang di antaranya tidak keberatan dengan keberadaan JIL.
Jika di dalam masjid itu, FUI-UK berusaha meyakinkan warga bahwa JIL harus diusir. Di luar masjid, warga tenang-tenang saja.
Sekitar seratus meter dari masjid beberapa orang berkumpul di sebuah warung mi instan. Mereka tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi di Masjid al-Muslimun. Sebagian mereka serius mempelototi bidak catur dan sebagian lainnya sedang mengobrol santai tentang acara memancing mereka esok hari.
Di sela-sela pembicaraan, mereka juga membahas JIL dengan santai. “Orang JIL kan udah lama, kenapa baru ribut sekarang,” tutur seorang di antara mereka. Kawannya langsung menimpali, “kalau JIL (baca: GIL, sebuah grup musik barat) yang nyanyi You Are The The Girl, gua tau, dari dulu gua tau.”
Begitulah warga. JIL sendiri sebenarnya juga merupakan lembaga hukum yang sah. Pada 15 September, saat konferensi pers di kedai Tempo, Muspika Matraman secara tegas menyatakan hal tersebut. “Tidak ada alasan untuk mengusir JIL dari Utan Kayu.”[end]
Naskah ini pernah dimuat di rubrik peristiwa majalah Syir’ah edisi Oktober 2005. Saat menulis tulisan ini saya kebetulan tinggal tak jauh dari Masjid al-Muslimun.
Comments