Oleh Imam Shofwan
SEBATANG rokok terselip di bibir Munir Thalib. Sebelum hidupnya dijegal ajal yang dipaksakan, pejuang hak asasi manusia itu tidak lagi berstatus sebagai perokok berat. Tapi Agus Suwage memilih melukis Munir dengan rokok.
Kutipan sajak “Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi” yang menjadi judul lukisan itu, mengingatkan pada Chairil Anwar, sang pencipta bait puisi. Dalam potretnya yang paling populer, Chairil juga sedang menghisap sebatang rokok.
Untuk seri lukisan ini, Suwage juga melukis wajah Putri Diana, Marilyn Monroe dan Bob Marley. Semua tokoh dunia yang mati muda. Dalam lukisan-lukisan wajah itu Suwage ingin menghadirkan perbenturan. “Idenya kontradiksi antara kenginan hidup dan rokok yang merupakan simbol penyebab kematian” kata Suwage.
Suwage memamerkan seri lukisan ini, pertama kalinya, pada Bali Biennale tahun 2005. Awalnya dia lukis dengan cat air di atas kertas, lantas dia perbesar ke atas kanvas berukuran 1,5x21,2 meter. Suwage berencana melukis 40 tokoh untuk tema lukisan itu. Tapi proyek itu belum selesai ketika gempa menghajar Jogjakarta pada akhir Mei 2006.
Nama Suwage banyak dibicarakan sejak karyanya Pingswing Park hasil kolaborasi bersama Davy Linggar dipersoalkan oleh sebuah ormas Islam karena menggambarkan Anjasmara dan Isabel Jahja, seorang bintang sinetron dan model tenar Indonesia, tanpa sehelai benang.
Pada Juli 2006, Suwage mengikutkan karya itu pada pameran yang digelar Oei Hong Djien Magelang. “Oei Hong Djien kan juragane mbako (juragan tembakau), dan saya ingin Oei hidup seribu tahun lagi,” kata Suwage dengan logat Jawa yang kental.
Tisna Sanjaya, perupa asal Bandung juga berpartisipasi pada pameran itu. Kreator karya instalasi Special Prayer for the Dead yang pernah dibakar satuan Pamong Praja Kotamadya Bandung pada Febuari 2004 itu menyertakan karya berjudul Siklus Abu. Tisna menyebut metodenya self body print, dengan menggunakan abu bekas pembakaran.
Perupa asal Bali, Made Wianta, beberapa bulan sebelum acara sudah ada di Magelang untuk pameran itu. Wianta memasang daun tembakau berukuran besar pada langit-langit tempat pameran. Wianta menyebut karyanya sebagai “Sambutan dari Atap Cinta.”
Total ada sekitar 100 seniman yang kebanyakan dari Jogjakarta terlibat untuk menyulap gudang tembakau milik Oei menjadi tempat pesta pernikahan yang mewah.
Namanya saja hajatan juragan tembakau. Tajuk pamerannya saja “Seni dan Tembakau.” Pameran itu memang sekaligus jamuan pernikahan putra pertama Oei. Hadirin pesta itu sekitar 8.000 orang. Kebanyakan dari mereka pelaku seni rupa Indonesia, mulai dari pelukis, pematung, pemilik galeri sampai para kolektor.
Kalau soal pesta pernikahan, banyak yang bisa melakukan yang lebih mewah. Tapi jamuan pernikahan dengan bertabur ratusan karya seniman, hanya orang seperti Oei yang mampu. Oei Hong Djien adalah nama yang dihormati di jagat seni rupa Indonesia. Bukan sekadar karena dia kolektor berkocek tebal. Tapi cintanya pada dunia seni rupa.
CINTA Oei pada seni rupa terlihat pada sebuah bangunan berlantai berlantai dua seluas 200 m2 di sebelah rumahnya yang asri di Kwarasan, Magelang. Letaknya sekitar 500 meter arah utara obyek wisata Kyai Langgeng. Museum pribadi itu dibangun Oei tahun 1997 ketika koleksinya mencapai seribu lukisan hingga dinding rumahnya tak tersedia celah pajangan lagi.
Saya berkunjung ke sana pertengahan November lalu. Saya menuju ruangan berdinding kaca di depan museum yang jalan masuknya dipagari sebuah kolam. Di tengah kolam ada sebuah patung kura-kura karya G Sidharta. Di ruangan itu Oei sedang bersama 11 orang. Seluruhnya wanita. Rupanya petang itu jadwal Oei berlatih dansa. Di bawah arahan seorang pelatih line dance (dansa masal tidak berpasangan) Oei berdansa lebih dari 20 lagu. Dari salsa, rhumba, cha cha, jive sampai dangdut.
Pada usianya yang ke 67 gerakan Oei masih terlihat berenergi. Para wanita satu per satu menjadi mitra Oei berdansa. Dari gerakan mereka yang lentur dan teratur tampak kalau mereka terlatih. Nama klub dansa itu OHD. Lekas terkesan nama itu disingkat dari Oei Hong Djien. “OHD maksudnya Olahraga Harian Duda,” kata Oei tertawa lebar.
Masih mengucur peluh dari tubuhnya, tapi selekas latihan Oei mengajak saya melihat koleksi lukisannya. Museum Oei menampung 294 lukisan dan 24 empat patung. Pintu masuknya dibuat oleh Yayat Surya. Patung dari Syahrizal Koto, lukisan S Teddy D dan sebuah asbak logam dari Yusra Martunis menjadi karya penyambut sejak masuk pintu museum.
Ruang kaca tersebut didesain seperti teras beratap yang terletak di depan bangunan dua lantai yang menjadi ruang utama. Di sana terdapat lukisan-lukisan karya pelukis-pelukis kontemporer Indonesia. Setelah tiga karya penyambut, terdapat lukisan berukuran besar yang dibuat Nasirun tahun 2005. Pada kanvasnya tertulis karya itu diilhami karya Hendra Gunawan Pertiwi Hormat. Juga ada karya instalasi pematung Nyoman Nuarta berjudul Ground Zero.
Memasuki lantai dua, ada empat kanvas lukis karya pelukis muda Jogjakarta, Bayu Yuliansyah. Sekilas tampak biasa saja, masing-masing kanvas menggambarkan sebatang rokok menyala dalam posisi berdiri. Cerita, kalaupun itu ada, pada lukisan itu adalah pada perubahan bentuk asapnya. Pada kanvas keempat batang rokok semakin pendek tersisa dan asapnya membentuk sosok tubuh wanita telanjang. Lukisan itu dibuat Yuliansyah belum lama ini, ketika marak wacana RUU Antipornografi dan Pornoaksi.
Masih banyak karya lain yang tidak bisa terpajang di museum Oei. “Di museum hanya 25 persen dari koleksi saya, sebagian besar yang lain masih di gudang,” kata dia.
Oei masih memiliki banyak koleksi lain yang kalau periodenya dirunut dimulai dari karya para pelukis awal masa kemerdekaan. Mulai dari aliran ekspresionis dan impresionis yang dimotori oleh Affandi, Hendra Gunawan, S Sudjojono dan Lee Man-Fong. Lalu generasi pelukis lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)—kini jadi Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta—kemudian generasi pelukis dari Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), dari Institut Kesenian Jakarta, hingga generasi pelukis kontemporer Jogjakarta yang mengusung aliran metarealisme, simbolisme, abstrak, dan ekspresionis.
Oei juga mengoleksi karya-karya pelukis Belanda yang pernah bermukim di Indonesia seperti Walter Sipes, Pieter Ouborg, dan Jan Frank.
Dari koleksi Oei bisa ditilik catatan sejarah tentang peranan para pelukis pada zamannya, dari membantu propaganda kemerdekaan hingga saksi sejarah atas kekejaman PKI atas seniman-seniman LEKRA. Misalnya karya pelukis Trubus Soedarsono yang meninggal saat kudeta PKI 1965 juga tersimpan di museum tersebut. Trubus dan Hendra Gunawan adalah pengajar Djoko Pekik, pelukis Selain itu murid Trubus yaitu pematung Soetopo yang karya-karyanya menyebar di seluruh Indonesia juga disimpan di sana. Karya-karya Soetopo antara lain: Monumen Tugu Muda di Semarang, Monumen Brawijaya di Surabaya, Monumen Jaman Ginting di Medan, di hotel Indonesia di Jakarta, dan di hotel Ambarukmo di Jogjakarta.
Koleksi-koleksi Oei juga menjadi saksi berbagai organisasi seniman di Indonesia dan peranannya dalam masyarakat. Sejak Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada zaman Belanda para senimannya mereka menggelorakan perlawanan dengan jargon Mooi Indie, kemudian organisasi Poetra (pusat kegiatan rakyat), kemudian saat revolusi dimana para seniman membentuk SIM (Seniman Indonesia Muda), hingga organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) pada tahun 1950 hingga 1960an.
Di belakang rumahnya Oei menyimpan koleksi klasik karya maestro-maestro lukis Indonesia. Seperti Affandi, Widayat, dan S. Sudjojono. “Tiga pelukis ini adalah favorit dan sahabat saya,” tutur Oei.
Oei juga menaruh minat pada lukisan wanita telanjang. Di kamarnya dia dia menggantung tiga lukisan wanita telanjang dari S. Sudjojono, Antonio Blanco dan Lee Man Fong. “Belakangan karya Sudjojono saya ganti dengan Karya Hendra yang telanjang juga,” tutur Oei.
Walaupun semua ruangan rumahnya sudah dipenuhi dengan lukisan dan bahkan banyak yang tak terpajang, Oei masih rajin memburu lukisan. Sampai ke mancanegara sekalipun. Ketika istrinya, Wilowati Surjanto, masih hidup ada yang bertindak sebagai pengontrol kegilaannya pada lukisan. Wilowati meninggal pada 1992.
“Sejak istri saya meninggal tidak ada lagi rem,” kata Oei.
OEI Hong Djien lahir di Magelang pada 5 April 1939. Dia putra kedua dari tiga anak pasangan Oei Kok Hie dan Tjan Marie Giam Nio. Oei kecil terbiasa melihat lukisan-lukisan tua peninggalan Belanda milik ayahnya. Begitu pula ketika dia SD di Semarang. Di sana dia tinggal di rumah neneknya yang juga menyukai lukisan. Oei masih menyimpan beberapa dari lukisan milik ayah dan neneknya.
Oei hidup berpindah-pindah, tapi rumah yang ditinggalinya selalu dihiasi lukisan. Tak terkecuali saat dia di Jakarta untuk belajar di SMP Katolik Aloysius I. Di kelas tiga dia pindah ke Bandung dan tinggal di kediaman Kwi Sian Yok, sepupunya. Kwi Sian adalah kritikus seni di mingguan Star Weekly dan lulusan sekolah gambar Teken Akademi, Bandung, angkatan pertama.
Dari perkenalan dengan beberapa pelukis Bandung macam Umar Sudjoko, Mochtar Apin, yang juga teman seangkatan sepupunya, kegemaran Oei pada lukisan semakin membuncah. Oei Kok Hie mendambakan anaknya menjadi dokter. Juragan tembakau di Magelang ini lantas mengirim Oei ke Jakarta lagi untuk belajar kedokteran di Universitas Indonesia.
Ketika belajar di UI Oei giat mengikuti perkembangan seni rupa Indonesia dan rajin mengunjungi pameran. “Waktu itu hanya lihat-lihat saja belum mampu beli,” kenang Oei.Lulus dari UI, Oei berangkat ke Belanda, belajar spesialis patologi anatomi di Catholic University, Nijmegen. Oei rajin melihat pameran lukisan dan menyambangi berbagai museum di negeri kincir angin ini. Sangat ingin dia memiliki lukisan asli, tapi apa boleh buat, statusnya yang masih mahasiswa. “Saya hanya mampu membeli reproduksinya,” tutur dr Oei.
Tahun 1968, pulang dari Belanda Oei bekerja di Balai Pengobatan Pancasila, organisasi Gereja Katolik yang membantu pengobatan untuk masyarakat kurang mampu. Wilayah kerja Oei meliputi daerah-daerah terpencil di Kabupaten Temanggung.
Sepuluh tahun bekerja, Oei belum mampu membeli lukisan tapi dia punya banyak waktu luang bertandang le galeri-galeri atau mengikuti seminar seni rupa. Dia semakin paham karya-karya yang bagus dan ingin memilikinya. Oei juga mulai mengenal banyak pelukis dan bersahabat dengan mereka. Tahun 1979 dia mulai mengelola gudang tembakau yang diwariskan ayahnya. Tak hanya harta Oei juga mewarisi bakat ayahnya sebagai grader (ahli tes tembakau).
Setelah tiga tahun menjadi grader PT Djarum Kudus, Oei mengalami panen tembakau yang melimpah akibat musim kemarau yang panjang. Harga satu kilogram tembakau setara dengan tiga gram emas murni. Oei pun berkesempatan mewujudkan impiannya membeli lukisan. Tidak tanggung-tanggung dia membeli tiga karya maestro lukis Indonesia Affandi berjudul Perahu Madura, Adu Ayam dan lukisan yang paling populer Potret Diri. Karena kenal dengan Affandi, Oei bisa membayar dengan mencicil. Jumlahnya Rp. 1 juta, dilunasi dalam setahun.
Setelah memiliki tiga lukisan itu, Oei kian keranjingan dengan dengan karya-karya Affandi lainnya. Bahkan setelah Affandi meninggal dunia. Tak sulit bagi Oei untuk mengetahui siapa saja orang yang memiliki karya-karya Affandi, bahkan yang di luar negeri. Salah satunya adalah Yoseas Leao, mantan duta besar Brazil untuk Indonesia. Leao jua menggemari karya-karya S Sudjojono dan Widayat.
Setelah Leao meninggal koleksi dilelang. Oei terbang ke Rio de Janeiro. Dia memborong 20 lukisan koleksi Leao karya ketiga maestro lukis Indonesia tersebut.
Oei menyukai semua jenis lukisan dari realis, abstrak, surealis, ekspresionis, dekoratif sampai kontemporer. Kriterianya lukisan yang menarik baginya sangat sederhana, yang mampu menyentuh perasaannya. “Pendeknya yang mampu menyentuh rasa saya, saya ambil. Walaupun itu karya pelukis-pelukis muda,” tutur dr Oei.
Menemukan karya-karya besar dari para pelukis berbakat yang belum terkenal adalah kenikmatan tersendiri bagi Oei dan sangat menantang naluri seninya. Oei menyebut orang-orang berbakat ini dengan istilah “the future” atau pelukis muda yang akan muncul. Kebanggaannya semakin berlipat ketika pelukis-pelukis tersebut tenar dan Oei telah memiliki karyanya.
“Itu baru tantangan yang nikmat,” tutur dr Oei.
Tidak hanya sekali dua kali dr Oei merasakan kenikmatan macam ini. Nasirun contohnya. Oei langsung jatuh cinta pada Perjalanan Absurd karya Nasirun saat pertama kali melihatnya. Itu terjadi tahun 1995, setahun setelah Nasirun lulus dari Institut Seni Rupa (ISI) Jogjakarta.
Oei menyebut pelukis kelahiran Cilacap tahun 1965 ini dengan satu kata “unik”. Kultur Jawa yang kuat yang menjadi latar belakang Nasirun, menurut Oei, membuat karya-karya Nasirun tidak dapat dicipta seniman-seniman barat.
Ibarat sastrawan yang sarat perbendaharaan kata, Nasirun bagi Oei adalah kamus seni lukis. Setiap karyanya selalu menampilkan perbedaan detail walaupun temanya dekat.
Selain itu, latar belakang seni kriya yang dia pelajari saat di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) juga menyebabkan goresan kuas Nasirun selalu khas. “Nasirun mampu menampilkan gabungan antara surealisme, ekspresionisme, dan dekoratif dalam tiap lukisannya. Dia favorit saya,” tutur dr Oei.
Oei juga berperan dalam membesarkan nama I Made Djirna dan Entang Wiharso. Keduanya kini sering berpameran di luar negeri. Oei juga sering meminjamkan koleksinya untuk dipamerkan di galeri-galeri. Pameran macam itu yang mengangkat nama para pelukis muda.
Oei menjadi semacam pengarah tren dalam pasar seni rupa Indonesia. Karena ketajaman penilaian dan prediksinya pada bakat seniman muda, banyak kolektor lain datang padanya untuk berkonsultasi.
Memang trend bisa direkayasa, nilai karya pelukis muda bisa “digoreng” oleh orang seperti Oei yang dipercaya oleh kolektor maupun “kolekdol”. Kolekdol sebutan bagi kolektor yang semata-mata menempatkan karya seni rupa sebagai investasi, dibeli untuk dijual lagi.
Oei tidak pernah meniatkan untuk menjual lukisan. Kecuali dia tidak lagi cinta dengan salah satu koleksinya. Itupun jarang dia lakukan. Kalau sudah tidak suka lagi, paling-paling dia menghadiahkan pada orang lain.
Integritas Oei dalam dunia koleksi materi seni rupa pernah dituliskan oleh Eddy Soetriyono, seorang kritikus seni rupa dan penyair. Oei yakin dengan penilaian estetisnya sendiri, dia berani mengatakan tak suka meski pada sebuah karya yang “berhasil” menjadi mahal.
“Coba bandingkan kekayaan dan mutu artistik koleksi Oei Hong Djien dengan koleksi museum pemerintah. Juga, bagaimana dengan tegas ia tidak mengoleksi lukisan penari-penari dan barong Bali karya Sunaryo yang meskipun laris dengan harga ratusan juta rupiah tapi secara kualitas artistik di mata Oei Hong Djien ‘jauh di bawah pencapaian lukisan abstraknya.”
Oei Hong Djien juga menghargai tinggi lukisan-lukisan periode kubis dan horizon karya Srihadi Sudarsono, tapi dengan lantang menilai rendah estetika para penari karya Srihadi. Yang harganya pernah mencapai Rp 1 miliar dan laris manis di pasaran itu. Sungguh suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang otaknya hanya berisi gumpalan ‘uang’ dan ‘untung’….’ Tulis Soetriyono.
Museum Oei adalah rujukan para kolektor lain tentang karya pelukis muda yang layak dikoleksi. Kolektor yang berorientasi untung biasanya akan mendatangi pelukis itu untuk membeli seluruh karyanya atau mengontraknya untuk membuat sejumlah lukisan dalam waktu tertentu. Tisna Sanjaya, dalam artikelnya di Majalah Playboy, menyebutkan setelah lukisannya dibeli Oei dia dikejar-kejar para kolektor yang menginginkan karyanya. Kalau kolektor sudah memasuki dapur seniman, besar kemungkinan proses kreatif seniman akan terganggu.
BIANTORO Santoso, pemilik Nadi Galeri, Jakarta, mengatakan sejarah seni rupa terutama seni lukis Indonesia ada pada koleksi dua orang. Soekarno dan Oei. “Kalau koleksi keduanya digabungkan maka lengkaplah sejarah seni lukis Indonesia,” kata Biantoro.
Biantoro menjelaskan di negara-negara lain ada tiga pasar seni rupa, yakni kolektor perorangan, perusahaan dan Museum. “Museum biasanya kuat dan lengkap karena didanai pemerintah dan biasanya ditangani oleh tim kurator yang profesional. Sedangkan kolektor dan perusahaan lebih berdasarkan kesukaan pemilik perusahaan dan sang kolektor,” kata dia.
Di Indonesia sampai zaman pemerintahan Soekarno yang ada hanya kolektor perorangan termasuk Soekarno sendiri, sedang museum dan perusahaan tidak memperhatikan seni. Oei menurut Biantoro sangat berjasa dalam mengumpulkan karya-karya seni yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Biantoro juga memaklumi kalau koleksi-koleksi Oei sangat tergantung pada seleranya. “Sangat subyektif jadinya, dan sangat suka-suka dr Oei,” kata Biantoro.
Bagi Biantoro, kelebihan Oei adalah kontinuitas mengkoleksi lukisan selama lebih dari 25 tahun. Hebatnya lagi dia tidak membatasi koleksi hanya pada Maestro namun dia juga menggemari lukisan-lukissan dari pelukis-pelukis muda. “Tak banyak orang yang mampu melakukan hal ini, disela-sela kesibukannya dia selalu meluangkan waktu untuk membeli lukisan,” tutur Biantoro.
Banyak yang telah merasakan manfaat dari koleksi lukisan Oei. Salah satunya adalah DR Helena Spanjaard, ahli sejarah seni Indonesia asal Belanda. Dia mempelajari seni rupa di seluruh Indonesia dan menemukan banyak sumber dan contoh lukisan yang dia cari dari koleksi-koleksi dr Oei. Dalam buku Exsploring Modern Indonesian Art, the Collection from Oei Hai Djien, Spanjaard merekomendasikan pada orang yang hendak mempelajari seni rupa modern Indonesia supaya mendatangi museum Oei.
Sejarah seni rupa Indonesia mencerminkan sejarah nasional Indonesia. Setelah Belanda memperkenalkan cat minyak pada masa penjajahan. Banyak pelukis Indonesia mengabadikan masa kolonial lewat lukisan.
Pada tahun 1950an, tak banyak orang yang mau membeli lukisan. Ketika dalam proses penemuan gaya dan identitas seni lukis modern, produktivitas para pelukis dipacu oleh Soekarno. Soekarno adalah kolektor seni sejati. Dia membeli karya seni karena kecintaan terhadap seni, bukan untuk dijual lagi.
Menurut Oei koleksi Soekarno telah terhenti sampai pada tahun 1950an Terbukti dengan tidak adanya koleksi dari tidak adanya karya Widayat dan generasi yang lebih muda darinya, dalam koleksi Soekarno. “Saya ingin meneruskan Soekarno. Saya ingin membikin suatu koleksi yang representatif dan the highest quality,” tutur Oei.
Pada tahun 2001, setahun sebelum meninggal dunia, Widayat pernah menulis dua permohonan pada Tuhan. Pertama, dia ingin Oei bisa menikmati umur panjang agar bisa melanjutkan kecintaannya terhadap perkembangan seni rupa dan menambah koleksi museumnya dengan karya-karya dari pelukis-pelukis muda. Yang kedua, adalah agar kedua putra Oei mewarisi kecintaan yang sama dengan Oei akan seni dan karya-karya seni, agar koleksi dr Oei aman pada kemudian hari.
Ada kekhawatiran dalam tulisan Widayat tentang masa depan koleksi Oei setelah dia meninggal. Oei juga faham dengan kekhawatiran tersebut. Dia telah belajar banyak dari pengalaman Yoseas Leao. “Dia adalah kolektor hebat, banyak karya-karya pelukis hebat Indonesia yang dibawa pulang ke Rio de Janeiro. Namun setelah dia meninggal dia koleksi-koleksi tersebut dijual semua,” tutur Oei.
Menurut Oei dia sudah melatih dua putranya untuk mencintai seni dengan mengenalkan mereka para seniman-seniman hebat seperti Widayat dan Affandi. Dia yakin kalau anaknya juga suka seni, “waktu kecil saja mereka memilih (karya) Affandi daripada BMW.”
LIMA belas menit dari kediaman Oei ke arah timur atau Kopeng, Boyolali, ada desa Sorobayan, Magelang. Di sanalah gudang tembakau milik Oei. Puluhan petani, para tengkulak tembakau serta pekerja gudang sedang berkumpul saat saya memasuki pekarangan gudang. “Juragane bako di ruang kaca,” seseorang menjawab, beberapa orang menunjuk sebuah ruangan disamping gudang.
Saya menuju ruangan yang dituntuk dan mendapati Oei sedang asyik dengan tembakau hasil rajangan berbentuk kubus. Oei menyebutnya sebagai “monster” atau contoh. Tiap monster mewakili satu keranjang tembakau. Tembakau ini berwarna hijau bercampur kuning , Oei mencomot satu monster kemudian dia mencium aromanya berkali-kali. Dia pungut rontokan tembakau dan melintingnya dengan selembar kertas rokok. Ujung lintingan dia bakar dan menghisap asapnya perlahan.
“Tunggu sebentar nanti saya ambil tembakau srintil,” tutur dr Oei, dia berlalu menuju lemari kayu. Dia berjalan ke arah saya dan membuka bungkusan kertas warna kuning. Aroma selai pisang meruap. Isinya tembakau warna hitam. Ketika saya sentuh terasa lengket.
“Ini adalah tembakau kwalitas terbaik,” tutur Oei.
Oei menjelaskan bagaimana menilai tembakau dan cara memanennya. Ada sembilan derajat kualitas tembakau, kelas A, B, C, D, sampai I. Srintil adalah kwalitas dengan nilai I. Tembakau kualitas A berasal dari daun tembakau paling bawah, saat kering berwarna hijau. Tembakau kualitas B berasal dari daun ke-7 sampai ke-10 dihitung dari tanah. Warnanya kuning. Tembakau petikan ketiga biasanya berwarna merah kuningan saat kering dan berasal dari daun ke-11 sampai ke-15 dari tanah. Sedang daun ke-15 sampai ke-20 dari tanah biasanya berwarna merah kehitaman. Kualitas E ini lebih pekat lagi, bisanya dari daun ke-20 sampai 25. Kwalitas D dan E bisa menjadi kwalitas F, G, H, dan I. Tergantung pada daerah dan musimnya.
Kualitas I kadar nikotinnya paling tinggi dan berwarna hitam. Semakin kurang hitam atau masih terdapat warna hijau atau kuning berarti kualitas tembakaunya lebih rendah.
Tembakau kualitas I biasanya berasal dari daerah Weleri, Kendal dan Kali Bongkeng, Muntilan. Tidak setiap tahun tembakau macam ini bisa di panen. “Hanya 6 tahun sekali muncul,” tutur Oei.
Setelah tahun 1982, harga tembakau srintil kembali mengalami masa kejayaan pada tahun 1992. Harga tiap kilogramnya setara dengan 2 gram emas murni. “Orang jual 2 keranjang (40-50 kg per keranjang) aja bisa beli mobil saat itu,” kata Oei.
Oei enggan menceritakan besar pendapatannya sebagai Grader tembakau. Dia memiliki banyak tengkulak tembakau. Tengkulak mendapat komisi Rp 500-1000 dari tiap kilogram. Oei mengatakan, dalam setahun dia hanya bekerja saat panen.
Dalam setahun, tiga bulan Oei bekerja. Selebihnya untuk berburu lukisan.
Tulisan ini dimuat di Majalah Playboy edisi Januari 2007. Tiga lukisan dalam tulisan ini dibikin Agus Suwage.
SEBATANG rokok terselip di bibir Munir Thalib. Sebelum hidupnya dijegal ajal yang dipaksakan, pejuang hak asasi manusia itu tidak lagi berstatus sebagai perokok berat. Tapi Agus Suwage memilih melukis Munir dengan rokok.
Kutipan sajak “Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi” yang menjadi judul lukisan itu, mengingatkan pada Chairil Anwar, sang pencipta bait puisi. Dalam potretnya yang paling populer, Chairil juga sedang menghisap sebatang rokok.
Untuk seri lukisan ini, Suwage juga melukis wajah Putri Diana, Marilyn Monroe dan Bob Marley. Semua tokoh dunia yang mati muda. Dalam lukisan-lukisan wajah itu Suwage ingin menghadirkan perbenturan. “Idenya kontradiksi antara kenginan hidup dan rokok yang merupakan simbol penyebab kematian” kata Suwage.
Suwage memamerkan seri lukisan ini, pertama kalinya, pada Bali Biennale tahun 2005. Awalnya dia lukis dengan cat air di atas kertas, lantas dia perbesar ke atas kanvas berukuran 1,5x21,2 meter. Suwage berencana melukis 40 tokoh untuk tema lukisan itu. Tapi proyek itu belum selesai ketika gempa menghajar Jogjakarta pada akhir Mei 2006.
Nama Suwage banyak dibicarakan sejak karyanya Pingswing Park hasil kolaborasi bersama Davy Linggar dipersoalkan oleh sebuah ormas Islam karena menggambarkan Anjasmara dan Isabel Jahja, seorang bintang sinetron dan model tenar Indonesia, tanpa sehelai benang.
Pada Juli 2006, Suwage mengikutkan karya itu pada pameran yang digelar Oei Hong Djien Magelang. “Oei Hong Djien kan juragane mbako (juragan tembakau), dan saya ingin Oei hidup seribu tahun lagi,” kata Suwage dengan logat Jawa yang kental.
Tisna Sanjaya, perupa asal Bandung juga berpartisipasi pada pameran itu. Kreator karya instalasi Special Prayer for the Dead yang pernah dibakar satuan Pamong Praja Kotamadya Bandung pada Febuari 2004 itu menyertakan karya berjudul Siklus Abu. Tisna menyebut metodenya self body print, dengan menggunakan abu bekas pembakaran.
Perupa asal Bali, Made Wianta, beberapa bulan sebelum acara sudah ada di Magelang untuk pameran itu. Wianta memasang daun tembakau berukuran besar pada langit-langit tempat pameran. Wianta menyebut karyanya sebagai “Sambutan dari Atap Cinta.”
Total ada sekitar 100 seniman yang kebanyakan dari Jogjakarta terlibat untuk menyulap gudang tembakau milik Oei menjadi tempat pesta pernikahan yang mewah.
Namanya saja hajatan juragan tembakau. Tajuk pamerannya saja “Seni dan Tembakau.” Pameran itu memang sekaligus jamuan pernikahan putra pertama Oei. Hadirin pesta itu sekitar 8.000 orang. Kebanyakan dari mereka pelaku seni rupa Indonesia, mulai dari pelukis, pematung, pemilik galeri sampai para kolektor.
Kalau soal pesta pernikahan, banyak yang bisa melakukan yang lebih mewah. Tapi jamuan pernikahan dengan bertabur ratusan karya seniman, hanya orang seperti Oei yang mampu. Oei Hong Djien adalah nama yang dihormati di jagat seni rupa Indonesia. Bukan sekadar karena dia kolektor berkocek tebal. Tapi cintanya pada dunia seni rupa.
CINTA Oei pada seni rupa terlihat pada sebuah bangunan berlantai berlantai dua seluas 200 m2 di sebelah rumahnya yang asri di Kwarasan, Magelang. Letaknya sekitar 500 meter arah utara obyek wisata Kyai Langgeng. Museum pribadi itu dibangun Oei tahun 1997 ketika koleksinya mencapai seribu lukisan hingga dinding rumahnya tak tersedia celah pajangan lagi.
Saya berkunjung ke sana pertengahan November lalu. Saya menuju ruangan berdinding kaca di depan museum yang jalan masuknya dipagari sebuah kolam. Di tengah kolam ada sebuah patung kura-kura karya G Sidharta. Di ruangan itu Oei sedang bersama 11 orang. Seluruhnya wanita. Rupanya petang itu jadwal Oei berlatih dansa. Di bawah arahan seorang pelatih line dance (dansa masal tidak berpasangan) Oei berdansa lebih dari 20 lagu. Dari salsa, rhumba, cha cha, jive sampai dangdut.
Pada usianya yang ke 67 gerakan Oei masih terlihat berenergi. Para wanita satu per satu menjadi mitra Oei berdansa. Dari gerakan mereka yang lentur dan teratur tampak kalau mereka terlatih. Nama klub dansa itu OHD. Lekas terkesan nama itu disingkat dari Oei Hong Djien. “OHD maksudnya Olahraga Harian Duda,” kata Oei tertawa lebar.
Masih mengucur peluh dari tubuhnya, tapi selekas latihan Oei mengajak saya melihat koleksi lukisannya. Museum Oei menampung 294 lukisan dan 24 empat patung. Pintu masuknya dibuat oleh Yayat Surya. Patung dari Syahrizal Koto, lukisan S Teddy D dan sebuah asbak logam dari Yusra Martunis menjadi karya penyambut sejak masuk pintu museum.
Ruang kaca tersebut didesain seperti teras beratap yang terletak di depan bangunan dua lantai yang menjadi ruang utama. Di sana terdapat lukisan-lukisan karya pelukis-pelukis kontemporer Indonesia. Setelah tiga karya penyambut, terdapat lukisan berukuran besar yang dibuat Nasirun tahun 2005. Pada kanvasnya tertulis karya itu diilhami karya Hendra Gunawan Pertiwi Hormat. Juga ada karya instalasi pematung Nyoman Nuarta berjudul Ground Zero.
Memasuki lantai dua, ada empat kanvas lukis karya pelukis muda Jogjakarta, Bayu Yuliansyah. Sekilas tampak biasa saja, masing-masing kanvas menggambarkan sebatang rokok menyala dalam posisi berdiri. Cerita, kalaupun itu ada, pada lukisan itu adalah pada perubahan bentuk asapnya. Pada kanvas keempat batang rokok semakin pendek tersisa dan asapnya membentuk sosok tubuh wanita telanjang. Lukisan itu dibuat Yuliansyah belum lama ini, ketika marak wacana RUU Antipornografi dan Pornoaksi.
Masih banyak karya lain yang tidak bisa terpajang di museum Oei. “Di museum hanya 25 persen dari koleksi saya, sebagian besar yang lain masih di gudang,” kata dia.
Oei masih memiliki banyak koleksi lain yang kalau periodenya dirunut dimulai dari karya para pelukis awal masa kemerdekaan. Mulai dari aliran ekspresionis dan impresionis yang dimotori oleh Affandi, Hendra Gunawan, S Sudjojono dan Lee Man-Fong. Lalu generasi pelukis lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)—kini jadi Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta—kemudian generasi pelukis dari Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), dari Institut Kesenian Jakarta, hingga generasi pelukis kontemporer Jogjakarta yang mengusung aliran metarealisme, simbolisme, abstrak, dan ekspresionis.
Oei juga mengoleksi karya-karya pelukis Belanda yang pernah bermukim di Indonesia seperti Walter Sipes, Pieter Ouborg, dan Jan Frank.
Dari koleksi Oei bisa ditilik catatan sejarah tentang peranan para pelukis pada zamannya, dari membantu propaganda kemerdekaan hingga saksi sejarah atas kekejaman PKI atas seniman-seniman LEKRA. Misalnya karya pelukis Trubus Soedarsono yang meninggal saat kudeta PKI 1965 juga tersimpan di museum tersebut. Trubus dan Hendra Gunawan adalah pengajar Djoko Pekik, pelukis Selain itu murid Trubus yaitu pematung Soetopo yang karya-karyanya menyebar di seluruh Indonesia juga disimpan di sana. Karya-karya Soetopo antara lain: Monumen Tugu Muda di Semarang, Monumen Brawijaya di Surabaya, Monumen Jaman Ginting di Medan, di hotel Indonesia di Jakarta, dan di hotel Ambarukmo di Jogjakarta.
Koleksi-koleksi Oei juga menjadi saksi berbagai organisasi seniman di Indonesia dan peranannya dalam masyarakat. Sejak Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada zaman Belanda para senimannya mereka menggelorakan perlawanan dengan jargon Mooi Indie, kemudian organisasi Poetra (pusat kegiatan rakyat), kemudian saat revolusi dimana para seniman membentuk SIM (Seniman Indonesia Muda), hingga organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) pada tahun 1950 hingga 1960an.
Di belakang rumahnya Oei menyimpan koleksi klasik karya maestro-maestro lukis Indonesia. Seperti Affandi, Widayat, dan S. Sudjojono. “Tiga pelukis ini adalah favorit dan sahabat saya,” tutur Oei.
Oei juga menaruh minat pada lukisan wanita telanjang. Di kamarnya dia dia menggantung tiga lukisan wanita telanjang dari S. Sudjojono, Antonio Blanco dan Lee Man Fong. “Belakangan karya Sudjojono saya ganti dengan Karya Hendra yang telanjang juga,” tutur Oei.
Walaupun semua ruangan rumahnya sudah dipenuhi dengan lukisan dan bahkan banyak yang tak terpajang, Oei masih rajin memburu lukisan. Sampai ke mancanegara sekalipun. Ketika istrinya, Wilowati Surjanto, masih hidup ada yang bertindak sebagai pengontrol kegilaannya pada lukisan. Wilowati meninggal pada 1992.
“Sejak istri saya meninggal tidak ada lagi rem,” kata Oei.
OEI Hong Djien lahir di Magelang pada 5 April 1939. Dia putra kedua dari tiga anak pasangan Oei Kok Hie dan Tjan Marie Giam Nio. Oei kecil terbiasa melihat lukisan-lukisan tua peninggalan Belanda milik ayahnya. Begitu pula ketika dia SD di Semarang. Di sana dia tinggal di rumah neneknya yang juga menyukai lukisan. Oei masih menyimpan beberapa dari lukisan milik ayah dan neneknya.
Oei hidup berpindah-pindah, tapi rumah yang ditinggalinya selalu dihiasi lukisan. Tak terkecuali saat dia di Jakarta untuk belajar di SMP Katolik Aloysius I. Di kelas tiga dia pindah ke Bandung dan tinggal di kediaman Kwi Sian Yok, sepupunya. Kwi Sian adalah kritikus seni di mingguan Star Weekly dan lulusan sekolah gambar Teken Akademi, Bandung, angkatan pertama.
Dari perkenalan dengan beberapa pelukis Bandung macam Umar Sudjoko, Mochtar Apin, yang juga teman seangkatan sepupunya, kegemaran Oei pada lukisan semakin membuncah. Oei Kok Hie mendambakan anaknya menjadi dokter. Juragan tembakau di Magelang ini lantas mengirim Oei ke Jakarta lagi untuk belajar kedokteran di Universitas Indonesia.
Ketika belajar di UI Oei giat mengikuti perkembangan seni rupa Indonesia dan rajin mengunjungi pameran. “Waktu itu hanya lihat-lihat saja belum mampu beli,” kenang Oei.Lulus dari UI, Oei berangkat ke Belanda, belajar spesialis patologi anatomi di Catholic University, Nijmegen. Oei rajin melihat pameran lukisan dan menyambangi berbagai museum di negeri kincir angin ini. Sangat ingin dia memiliki lukisan asli, tapi apa boleh buat, statusnya yang masih mahasiswa. “Saya hanya mampu membeli reproduksinya,” tutur dr Oei.
Tahun 1968, pulang dari Belanda Oei bekerja di Balai Pengobatan Pancasila, organisasi Gereja Katolik yang membantu pengobatan untuk masyarakat kurang mampu. Wilayah kerja Oei meliputi daerah-daerah terpencil di Kabupaten Temanggung.
Sepuluh tahun bekerja, Oei belum mampu membeli lukisan tapi dia punya banyak waktu luang bertandang le galeri-galeri atau mengikuti seminar seni rupa. Dia semakin paham karya-karya yang bagus dan ingin memilikinya. Oei juga mulai mengenal banyak pelukis dan bersahabat dengan mereka. Tahun 1979 dia mulai mengelola gudang tembakau yang diwariskan ayahnya. Tak hanya harta Oei juga mewarisi bakat ayahnya sebagai grader (ahli tes tembakau).
Setelah tiga tahun menjadi grader PT Djarum Kudus, Oei mengalami panen tembakau yang melimpah akibat musim kemarau yang panjang. Harga satu kilogram tembakau setara dengan tiga gram emas murni. Oei pun berkesempatan mewujudkan impiannya membeli lukisan. Tidak tanggung-tanggung dia membeli tiga karya maestro lukis Indonesia Affandi berjudul Perahu Madura, Adu Ayam dan lukisan yang paling populer Potret Diri. Karena kenal dengan Affandi, Oei bisa membayar dengan mencicil. Jumlahnya Rp. 1 juta, dilunasi dalam setahun.
Setelah memiliki tiga lukisan itu, Oei kian keranjingan dengan dengan karya-karya Affandi lainnya. Bahkan setelah Affandi meninggal dunia. Tak sulit bagi Oei untuk mengetahui siapa saja orang yang memiliki karya-karya Affandi, bahkan yang di luar negeri. Salah satunya adalah Yoseas Leao, mantan duta besar Brazil untuk Indonesia. Leao jua menggemari karya-karya S Sudjojono dan Widayat.
Setelah Leao meninggal koleksi dilelang. Oei terbang ke Rio de Janeiro. Dia memborong 20 lukisan koleksi Leao karya ketiga maestro lukis Indonesia tersebut.
Oei menyukai semua jenis lukisan dari realis, abstrak, surealis, ekspresionis, dekoratif sampai kontemporer. Kriterianya lukisan yang menarik baginya sangat sederhana, yang mampu menyentuh perasaannya. “Pendeknya yang mampu menyentuh rasa saya, saya ambil. Walaupun itu karya pelukis-pelukis muda,” tutur dr Oei.
Menemukan karya-karya besar dari para pelukis berbakat yang belum terkenal adalah kenikmatan tersendiri bagi Oei dan sangat menantang naluri seninya. Oei menyebut orang-orang berbakat ini dengan istilah “the future” atau pelukis muda yang akan muncul. Kebanggaannya semakin berlipat ketika pelukis-pelukis tersebut tenar dan Oei telah memiliki karyanya.
“Itu baru tantangan yang nikmat,” tutur dr Oei.
Tidak hanya sekali dua kali dr Oei merasakan kenikmatan macam ini. Nasirun contohnya. Oei langsung jatuh cinta pada Perjalanan Absurd karya Nasirun saat pertama kali melihatnya. Itu terjadi tahun 1995, setahun setelah Nasirun lulus dari Institut Seni Rupa (ISI) Jogjakarta.
Oei menyebut pelukis kelahiran Cilacap tahun 1965 ini dengan satu kata “unik”. Kultur Jawa yang kuat yang menjadi latar belakang Nasirun, menurut Oei, membuat karya-karya Nasirun tidak dapat dicipta seniman-seniman barat.
Ibarat sastrawan yang sarat perbendaharaan kata, Nasirun bagi Oei adalah kamus seni lukis. Setiap karyanya selalu menampilkan perbedaan detail walaupun temanya dekat.
Selain itu, latar belakang seni kriya yang dia pelajari saat di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) juga menyebabkan goresan kuas Nasirun selalu khas. “Nasirun mampu menampilkan gabungan antara surealisme, ekspresionisme, dan dekoratif dalam tiap lukisannya. Dia favorit saya,” tutur dr Oei.
Oei juga berperan dalam membesarkan nama I Made Djirna dan Entang Wiharso. Keduanya kini sering berpameran di luar negeri. Oei juga sering meminjamkan koleksinya untuk dipamerkan di galeri-galeri. Pameran macam itu yang mengangkat nama para pelukis muda.
Oei menjadi semacam pengarah tren dalam pasar seni rupa Indonesia. Karena ketajaman penilaian dan prediksinya pada bakat seniman muda, banyak kolektor lain datang padanya untuk berkonsultasi.
Memang trend bisa direkayasa, nilai karya pelukis muda bisa “digoreng” oleh orang seperti Oei yang dipercaya oleh kolektor maupun “kolekdol”. Kolekdol sebutan bagi kolektor yang semata-mata menempatkan karya seni rupa sebagai investasi, dibeli untuk dijual lagi.
Oei tidak pernah meniatkan untuk menjual lukisan. Kecuali dia tidak lagi cinta dengan salah satu koleksinya. Itupun jarang dia lakukan. Kalau sudah tidak suka lagi, paling-paling dia menghadiahkan pada orang lain.
Integritas Oei dalam dunia koleksi materi seni rupa pernah dituliskan oleh Eddy Soetriyono, seorang kritikus seni rupa dan penyair. Oei yakin dengan penilaian estetisnya sendiri, dia berani mengatakan tak suka meski pada sebuah karya yang “berhasil” menjadi mahal.
“Coba bandingkan kekayaan dan mutu artistik koleksi Oei Hong Djien dengan koleksi museum pemerintah. Juga, bagaimana dengan tegas ia tidak mengoleksi lukisan penari-penari dan barong Bali karya Sunaryo yang meskipun laris dengan harga ratusan juta rupiah tapi secara kualitas artistik di mata Oei Hong Djien ‘jauh di bawah pencapaian lukisan abstraknya.”
Oei Hong Djien juga menghargai tinggi lukisan-lukisan periode kubis dan horizon karya Srihadi Sudarsono, tapi dengan lantang menilai rendah estetika para penari karya Srihadi. Yang harganya pernah mencapai Rp 1 miliar dan laris manis di pasaran itu. Sungguh suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang otaknya hanya berisi gumpalan ‘uang’ dan ‘untung’….’ Tulis Soetriyono.
Museum Oei adalah rujukan para kolektor lain tentang karya pelukis muda yang layak dikoleksi. Kolektor yang berorientasi untung biasanya akan mendatangi pelukis itu untuk membeli seluruh karyanya atau mengontraknya untuk membuat sejumlah lukisan dalam waktu tertentu. Tisna Sanjaya, dalam artikelnya di Majalah Playboy, menyebutkan setelah lukisannya dibeli Oei dia dikejar-kejar para kolektor yang menginginkan karyanya. Kalau kolektor sudah memasuki dapur seniman, besar kemungkinan proses kreatif seniman akan terganggu.
BIANTORO Santoso, pemilik Nadi Galeri, Jakarta, mengatakan sejarah seni rupa terutama seni lukis Indonesia ada pada koleksi dua orang. Soekarno dan Oei. “Kalau koleksi keduanya digabungkan maka lengkaplah sejarah seni lukis Indonesia,” kata Biantoro.
Biantoro menjelaskan di negara-negara lain ada tiga pasar seni rupa, yakni kolektor perorangan, perusahaan dan Museum. “Museum biasanya kuat dan lengkap karena didanai pemerintah dan biasanya ditangani oleh tim kurator yang profesional. Sedangkan kolektor dan perusahaan lebih berdasarkan kesukaan pemilik perusahaan dan sang kolektor,” kata dia.
Di Indonesia sampai zaman pemerintahan Soekarno yang ada hanya kolektor perorangan termasuk Soekarno sendiri, sedang museum dan perusahaan tidak memperhatikan seni. Oei menurut Biantoro sangat berjasa dalam mengumpulkan karya-karya seni yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Biantoro juga memaklumi kalau koleksi-koleksi Oei sangat tergantung pada seleranya. “Sangat subyektif jadinya, dan sangat suka-suka dr Oei,” kata Biantoro.
Bagi Biantoro, kelebihan Oei adalah kontinuitas mengkoleksi lukisan selama lebih dari 25 tahun. Hebatnya lagi dia tidak membatasi koleksi hanya pada Maestro namun dia juga menggemari lukisan-lukissan dari pelukis-pelukis muda. “Tak banyak orang yang mampu melakukan hal ini, disela-sela kesibukannya dia selalu meluangkan waktu untuk membeli lukisan,” tutur Biantoro.
Banyak yang telah merasakan manfaat dari koleksi lukisan Oei. Salah satunya adalah DR Helena Spanjaard, ahli sejarah seni Indonesia asal Belanda. Dia mempelajari seni rupa di seluruh Indonesia dan menemukan banyak sumber dan contoh lukisan yang dia cari dari koleksi-koleksi dr Oei. Dalam buku Exsploring Modern Indonesian Art, the Collection from Oei Hai Djien, Spanjaard merekomendasikan pada orang yang hendak mempelajari seni rupa modern Indonesia supaya mendatangi museum Oei.
Sejarah seni rupa Indonesia mencerminkan sejarah nasional Indonesia. Setelah Belanda memperkenalkan cat minyak pada masa penjajahan. Banyak pelukis Indonesia mengabadikan masa kolonial lewat lukisan.
Pada tahun 1950an, tak banyak orang yang mau membeli lukisan. Ketika dalam proses penemuan gaya dan identitas seni lukis modern, produktivitas para pelukis dipacu oleh Soekarno. Soekarno adalah kolektor seni sejati. Dia membeli karya seni karena kecintaan terhadap seni, bukan untuk dijual lagi.
Menurut Oei koleksi Soekarno telah terhenti sampai pada tahun 1950an Terbukti dengan tidak adanya koleksi dari tidak adanya karya Widayat dan generasi yang lebih muda darinya, dalam koleksi Soekarno. “Saya ingin meneruskan Soekarno. Saya ingin membikin suatu koleksi yang representatif dan the highest quality,” tutur Oei.
Pada tahun 2001, setahun sebelum meninggal dunia, Widayat pernah menulis dua permohonan pada Tuhan. Pertama, dia ingin Oei bisa menikmati umur panjang agar bisa melanjutkan kecintaannya terhadap perkembangan seni rupa dan menambah koleksi museumnya dengan karya-karya dari pelukis-pelukis muda. Yang kedua, adalah agar kedua putra Oei mewarisi kecintaan yang sama dengan Oei akan seni dan karya-karya seni, agar koleksi dr Oei aman pada kemudian hari.
Ada kekhawatiran dalam tulisan Widayat tentang masa depan koleksi Oei setelah dia meninggal. Oei juga faham dengan kekhawatiran tersebut. Dia telah belajar banyak dari pengalaman Yoseas Leao. “Dia adalah kolektor hebat, banyak karya-karya pelukis hebat Indonesia yang dibawa pulang ke Rio de Janeiro. Namun setelah dia meninggal dia koleksi-koleksi tersebut dijual semua,” tutur Oei.
Menurut Oei dia sudah melatih dua putranya untuk mencintai seni dengan mengenalkan mereka para seniman-seniman hebat seperti Widayat dan Affandi. Dia yakin kalau anaknya juga suka seni, “waktu kecil saja mereka memilih (karya) Affandi daripada BMW.”
LIMA belas menit dari kediaman Oei ke arah timur atau Kopeng, Boyolali, ada desa Sorobayan, Magelang. Di sanalah gudang tembakau milik Oei. Puluhan petani, para tengkulak tembakau serta pekerja gudang sedang berkumpul saat saya memasuki pekarangan gudang. “Juragane bako di ruang kaca,” seseorang menjawab, beberapa orang menunjuk sebuah ruangan disamping gudang.
Saya menuju ruangan yang dituntuk dan mendapati Oei sedang asyik dengan tembakau hasil rajangan berbentuk kubus. Oei menyebutnya sebagai “monster” atau contoh. Tiap monster mewakili satu keranjang tembakau. Tembakau ini berwarna hijau bercampur kuning , Oei mencomot satu monster kemudian dia mencium aromanya berkali-kali. Dia pungut rontokan tembakau dan melintingnya dengan selembar kertas rokok. Ujung lintingan dia bakar dan menghisap asapnya perlahan.
“Tunggu sebentar nanti saya ambil tembakau srintil,” tutur dr Oei, dia berlalu menuju lemari kayu. Dia berjalan ke arah saya dan membuka bungkusan kertas warna kuning. Aroma selai pisang meruap. Isinya tembakau warna hitam. Ketika saya sentuh terasa lengket.
“Ini adalah tembakau kwalitas terbaik,” tutur Oei.
Oei menjelaskan bagaimana menilai tembakau dan cara memanennya. Ada sembilan derajat kualitas tembakau, kelas A, B, C, D, sampai I. Srintil adalah kwalitas dengan nilai I. Tembakau kualitas A berasal dari daun tembakau paling bawah, saat kering berwarna hijau. Tembakau kualitas B berasal dari daun ke-7 sampai ke-10 dihitung dari tanah. Warnanya kuning. Tembakau petikan ketiga biasanya berwarna merah kuningan saat kering dan berasal dari daun ke-11 sampai ke-15 dari tanah. Sedang daun ke-15 sampai ke-20 dari tanah biasanya berwarna merah kehitaman. Kualitas E ini lebih pekat lagi, bisanya dari daun ke-20 sampai 25. Kwalitas D dan E bisa menjadi kwalitas F, G, H, dan I. Tergantung pada daerah dan musimnya.
Kualitas I kadar nikotinnya paling tinggi dan berwarna hitam. Semakin kurang hitam atau masih terdapat warna hijau atau kuning berarti kualitas tembakaunya lebih rendah.
Tembakau kualitas I biasanya berasal dari daerah Weleri, Kendal dan Kali Bongkeng, Muntilan. Tidak setiap tahun tembakau macam ini bisa di panen. “Hanya 6 tahun sekali muncul,” tutur Oei.
Setelah tahun 1982, harga tembakau srintil kembali mengalami masa kejayaan pada tahun 1992. Harga tiap kilogramnya setara dengan 2 gram emas murni. “Orang jual 2 keranjang (40-50 kg per keranjang) aja bisa beli mobil saat itu,” kata Oei.
Oei enggan menceritakan besar pendapatannya sebagai Grader tembakau. Dia memiliki banyak tengkulak tembakau. Tengkulak mendapat komisi Rp 500-1000 dari tiap kilogram. Oei mengatakan, dalam setahun dia hanya bekerja saat panen.
Dalam setahun, tiga bulan Oei bekerja. Selebihnya untuk berburu lukisan.
Tulisan ini dimuat di Majalah Playboy edisi Januari 2007. Tiga lukisan dalam tulisan ini dibikin Agus Suwage.
Comments