11 January 2008

“Orang Islam Takut Profesi Musik”

Wawancara dengan Anne K Rasmussen, PH.D, Associate professor musik dan etnomusikologi di the College of William and Marry Williamsburg, Virginia.
Oleh Mujtaba Hamdi dan Imam Shofwan

Nasyid pesat di Indonesia. Dapatkah anda petakan nasyid dengan musik Islam lain…

Saya pernah mendengar nasyid Raihan. Meski liriknya salawat, namun saya tidak menemukan hubungan Raihan dengan jenis musik Arab mana pun. Kalau mau jujur, daripada mendengar Raihan saya lebih tertarik mendengar musik berbahasa Arab. Apakah mereka pakai Bahasa Arab agar terkesan bernafaskan Islam, atau hanya tambahan supaya berwarna Islam.

Islam kerap identik dengan Arab. Apa sebenarnya citra yang ingin ditampilkan dari musik bernuansa Arab?
Kalau saya memimpin orkestra musik Timur Tengah, orang Amerika langsung berpikir musik yang dibawakan adalah musik Islam. Saya selalu harus menjelaskan musik kami dari kebudayaan Arab, ada Islam, Yahudi, Nasrani. Campur baur. Sejarah Yahudi dan Kristen sangat kaya dengan musik. Berbeda dengan orang Islam, karena orang Islam sangat takut dengan profesi musik. Jadi, lebih banyak orang Yahudi dan Kristen yang bermusik karena tidak dilarang.

Bisa anda jelaskan hubungan lagu dengan agama?

Melihat tradisi agama, di Islam ada seni baca Al-Quran, di Yahudi juga ada seni baca Taurat. Kalau kita masuk gereja Meroic atau Melkait di Lebanon, misalnya, akan mendengar musik suci dari Gereja Meroic, mirip sekali dengan alunan ayat Al-Quran. Karena kebudayaannya berasal dari tempat yang sama; dari perspektif musik agama, dari sudut syair religi dan melodi saja. Perumpamaannya, kalau kita tinggal di daerah hanya ada pisang, pasti semua orang makan pisang, Yahudi makan pisang, Islam makan pisang, kaya-miskin, kulit hitam-putih, tempat yang sama pasti akan sama pula kebiasaannya, termasuk bermusik.
Orang Islam banyak yang bermain musik akapela. Sebenarnya mereka mencari sesuatu yang Islami; bersenandung tanpa alat musik…

Kalau mendengar akapela, saya langsung teringat tradisi Kristen, karena istilah ‘a’ dan ‘capela’ maksudnya dari gereja. Akapela maksudnya tidak pakai instrumen, sudah menjadi tidak hanya lagu gereja tapi juga koor, juga gaya seperti Snada. Asal musik semacam itu dari orang Hitam-Amerika. Kalau mendengar lagu-lagu Snada, saya langsung ingat akarnya, yaitu dari tradisi kristen Amerika-Afrika. Kini orang Islam senang membawakan lagu-lagu akapela. Mereka merasa cocok dengan akapela lalu diambil, mereka dari orientasi pop, global pop culture, kadang saya tidak bisa membedakan kalau saya mendengarkan musik dari negara lain dengan bahasa lain, tapi kita bisa menebak makna lirik dan konteksnya. Memang dalam bahasa asing kadang kita tidak paham maknanya tapi kekuatan liriknya kita bisa pahami maksudnya.

Apakah ada kesamaan akar, antara musik-musik islami, seperti Debu misalnya?

Bagi saya, Debu adalah fenomena di luar kebudayaan Indonesia. Mereka orang asing dari wilayah Texas di Amerika Serikat, mesti ada beberapa orang Indonesia. Mereka memainkan banyak instrumen yand digabung, ada yang main satur (alat musik dari Iran). Dan mereka tidak mewakili satu kebudayaan mana pun. Sebenarnya mereka baru belajar. Kalau orang Amerika ke sini, mereka memproduk sesuatu harus punya suport dana. Mereka bagus, kreatif, menarik, tapi tidak merepresentasikan tradisi tertentu, ada pengaruh musik country, ada pengaruh musik Timur Tengah. Mereka meracik secara otodidak. Pasti mereka belum belajar musik Indonesia. Kalau musik di Indonesia pasti agak terpengaruh oleh musik tradisional seperti keroncong atau gamelan.

Wawancara ini mengisi boks dalam rubrik Syir’atuna, laporan utama, majalah Syir’ah, edisi November 2004.

Gaya Musik Islam Menafsir Yang Haram

Oleh Banani Bahrul-Hassan dan Imam Shofwan

Aula yang tak begitu besar itu penuh penonton, di panggung sebaris personel kelompok musik beraksi. Vokalisnya bergerak lincah. Kostumnya kemeja hitam bergambar kepala singa berbulu pirang, nyaris sama dengan warna rambutnya. Mustafa, pria itu, adalah vokalis utama kelompok musik Debu.


Debu pentas di Wisma Grafika, 17 Minggu 17 Oktober lalu. Beragam lantunan alat musik mengiringi lagu demi lagu. Alat musik, bagi Mustafa, bukanlah barang haram yang tak boleh dimainkan.
“Alat musik itu adalah anugerah Allah, sejak Nabi Daud telah tercipta alat musik,” kata Mustafa.

Debu, salah satu dari banyak kelompok yang menyemarakkan belantika musik Tanah Air. Kelompok yang gemar melantunkan syair-syair religi ini punya pandangan berbeda dengan kelompok musik lain. Tengok saja pandangan kelompok nasyid Azzam. Pendatang baru di jagad nasyid ini adalah kontestan dalam ajang pergelaran mencari bakat bertajuk ‘Konser Bintang Nasyid, Tausiyah dan Qiraah’ di TV7.

Azzam, lahir pada 1999, emoh memainkan alat musik apa pun. “Nasyid tidak mementingkan musik, karena alat musik bukanlah faktor dominan, tapi nasyid mengandalkan lirik,” ujar salah seorang personelnya Langgeng Jatmiko alias Koko.

Lirik pun, lanjut Koko, bukan sembarang lirik. Lirik dalam nasyid mengutamakan cinta pada Allah dan Rasul. “Inilah yang membedakan nasyid dan lagu band yang mengagungkan cinta kepada sesama manusia, atau kepada lawan jenis, cinta yang belum dirangkai dalam ikatan sah,” kata Koko yang mengaku pernah memiliki grup band. “Nasyid memberi alternatif cinta sejati, cinta kepada Pencipta,” timpal Febri Adan Pangestu, personel Azzam juga.

Namun, Azzam rupanya juga membutuhkan variasi untuk mempertahankan audiennya. Awalnya, Azzam bernasyid dengan gaya haroki, yang mirip lagu-lagu mars kebangsaan, tapi kini beralih ke akapela.
“Awalnya kami membawakan lagu-lagu haroki dengan irama penuh semangat. Semakin ke sini, karena permintaan pengundang, kita membawakan akapela,” kata Koko.

Alat musik, kata Koko, masih banyak perbedaan pendapat di antara ulama. Karena itu kita berusaha untuk berhati-hati tidak menggunakan instrumen.

Pada konser di TV7 lalu, Azzam pun menampilkan variasi baru. Lihatlah, meski telah menetapkan prinsip untuk berhati-hati menggunakan instrumen musik, Azzam tak menolak Ozenk Percussion mengiringi penampilannya.

Lain Azzam, lain pula Al-Kahfi. Kelompok nasyid asal Lampung yang juga ikut dalam festival di TV7 ini punya pendapat yang sedikit berbeda dengan Azzam. Lirik yang Islami, bagi Al-Kahfi, bukanlah monopoli nasyid. “Lagu pop dapat sesuai syar’i kalau liriknya Islami,” kata pentolah Kahfi Taufiq Qodri pada syir’ah.
Al-Kahfi sendiri dalam album perdananya menggunakan instrumen. “Dari sepuluh lagu dalam album kami, hanya beberapa yang akapela. Kebanyakan pakai instrumen, seperti keyboard, gitar juga biola. Albumnya dibikin minus one dan kami tinggal mengisi suara,” kata Qodri yang saat wawancara ditemani personel Al-Kahfi lainnya.

Kenapa mau menggunakan alat musik, apakah tidak melanggar syari’at? Qodri rupanya punya jawaban. Para penemu alat musik, kata Qodri, adalah orang Islam. Yang pertama tahu akapela juga orang Islam. Sebenarnya nasyid (yang) seperti akapela itu bukan dari gereja, yang pertama tahu musik itu orang Islam,” papar Qodri.

Menanggapi pendapat Qodri Anne K Rasmussen, associate profesor musik dan etnomusikologi di The College of William and Mary Williamsburg, Virginia, punya jawaban. Menurutnya, saat ia mendengar istilah akapela, ia langsung ingat tradisi Kristen, karena istilah ‘a’ dan ‘capela’ maksudnya dari gereja.

“Asal musik macam itu dari orang hitam-Amerika. Kalau mendengar lagu Snada (satu grup nasyid) saya langsung ingat akarnya yakni dari tradisi Kristen Afroamerica,” tuturnya pada Syir’ah.

Menanggapi banyaknya orang Islam yang menggunakan aliran akapela untuk berdakwah, menurut Rasmussen, adalah wajar karena orientasi mereka pop.

“Ini adalah gejala global pop kultur,” tandas Rasmussen.

Definisi musik sesuai dengan syariat bagi kelompok musik ternama, Raihan, berbeda lagi. Grup musik nasyid asal Malaysia ini adalah biang nasyid. Para munsyid, penyanyi lagu jenis nasyid, tanah air banyak terinspirasi dengan grup yang berdiri pada 1996 ini.

Ukuran musik syari’at bagi Raihan sederhana saja, yang terpenting adalah pesan yang disampaikan lewat lirik lagu. “Dalam penyampaian hiburan, yang utama adalah pesan,” kata Abu Bakar MD Yatim ketika berbincang dengan Syir’ah selepas tampil sebagai bintang tamu pembukaan Festival Nasyid Indonesia, 15 Oktober lalu.

Kata Abu Bakar, pesan tersebut mesti memberi peringatan kepada diri sendiri dan orang lain agar tidak terbuai oleh hiburan. Itu sebenarnya tujuan utama bermusik. “Soal bagaimana cara mempersembahkan, mengolah, itu tergantung kreativitas masing-masing,” kata pria asal Johor Baru ini. Kreativitas Raihan selain pada lirikm juga pada iringan komposisi suara perkusi yang dominan. Dalam lima album Raihan selalu diiringi musik, terutama perkusi.

Dari segi musik pengiring, Raihan tidak selengkap Hard, grup musik religi asal Indonesia. Meski hard menolak disebut nasyid, namun warna musiknya mirip nasyid. Mereka menyebut groupnya beraliran pop-religi, musik pop berisi syair-syair yang syarat dengan pesan keagamaan. Hard membidik kalangan muslim yang belum bisa menerima nasyid sebagai pilihan konsumsi musik. Karena Hard berkeyakinan, tak semua generasi muda Islam suka nasyid.

Kelompok ini juga punya patokan tersendiri soal musik yang sesuai dengan syariat. Menurut Reza Syarif, vokalis Hard, wilayah seni itu tidak benar salah. “Biar wilayah seni itu abu-abu, asal jangan sampai hitam,” ujarnya.

Dalam Islam, menurut Syarif, tak ada larangan secara definitif terhadap musik. Musik yang sesuai syariat, bagi Syarif, adalah yang tidak membawa ke jalur maksiat, tak membikin orang lalai, serta musik dijadikan cara saling menasehati.

Personil Hard terdiri dari Hasan, Alfian, Reza, dan Djay. Empat orang ini semuanya sebagai vokalis, kala tampil alat musik dimainkan kelompok lain sebagai pengiring. Berbeda dengan debu yang tampil utuh, vokalis plus orkestranya. Debu memiliki personil tak kurang dari 24 orang yang berasal dari Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Malaysia, dan Indonesia.

Sedikitnya dua hal yang membedakan Debu dengan kelompok musik Islam lain. Debu menggunakan banyak alat musik dan tak membedakan kemahiran personil pria dan perempuan, termasuk dalam olah vokal. Lengkingan suara perempuan, yang katanya aurat nan haram, dapat dinikmati dalam setiap konser debu.
Bagi Debu, kata Mustafa, tak ada larangan bermusik dalam Al-Qur’an dan Hadis. Dan suara kaum hawa bukanlah aurat yang perlu dijaga,”.

Mustafa meyakini sebuah prinsip; “al-ashlu fi al-asya’ al-ibahah”, sebuah kaidah pokok hukum Islam yang dianut madzhab Syafi’i, “segala sesuatu boleh selama tak ada nash Al-Quran dan Hadis yang memvonis haram,” kata Mustafa.

Ulama sekaliber Al-Ghazali menjadi inspirator Mustafa. “Barangsiapa tak terharu oleh musim semi dengan bunga-bunganya, atau gambus dengan senarnya, maka komposisi kemanusiaan orang itu tidak sempurna,” sindir Mustafa mengutip Al-Ghazali.

Pendapat Debu soal definisi musik islam, bagi banyak orang, sudah bisa dinilai sangat lentur. Tapi, Novi Budianto, pendiri grup gamelan Kiai Kanjeng, memiliki pandangan berbeda. Musik yang sesuai dengan syariat atau Islami, menurut Novi, tidak hanya monopoli lagu berbahasa Arab. Yang terpenting adalah spirit bermusiknya. Makanya Kiai Kanjeng menerapkan prinsip ma’iyah (kebersamaan) dalam bermusik.
Menurut Budianto, musik sesuai dengan syariat itu luas, asal berdasar pada ajaran Allah, tidak yang identik dengan Arab, tidak menggunakan idiom Arab.

Bermain musik, bagi Kyai Kanjeng, tidak berhenti pada hiburan. “Bermusik musti punya tiga unsur; keasyikan, kekhusukan, dan ilmu,” ujar Budianto. Menghibur sekaligus mencipta kekhusyukan dan sarana mencari ilmu bukanlah hal mudah. Kyai Kanjeng tak hanya menggunakan alat musik lokal, macam saron, bonang, dan gong. Kyai Kanjeng harus mendatangkan alat musik Barat. “Kami tak menganggap alat musik modern adalah lambang kekafiran. Pengertian Islami bukan jenis alat musik, tapi seberapa jauh kami menggunakannya untuk menimbulkan spirit islami.”

“Dalam prinsip kami,” kata Budianto, “tak ada istilah alat musik ini boleh dan yang itu tak boleh.”
Fadilah, vokalis Wahana Ria, kasidah asal Pedurungan Semarang, malah berpendapat lebih nyeleneh. Penggunaan instrumen, bagi grup ini, sama sekali tak menyalahi aturan agama. Justru, peralatan musik macam suling, biola, ataupun gambus itulah alat-alat musik islami.

“Yang disebut sesuai syariat dan islami itu, yang menggunakan alat musik seperti biola, gambus, dan seruling. Berisi nasihat amar makruf nahi munkar dan salawat-salawat,” papar Fadilah.

Selain tiga alat musik tadi, Wahana Ria juga menggunakan gendang, organ, gitar, drum, dan biola saat pentas. Tak hanya itu, mereka juga harus hafal lagu-lagu dangdut yang lagi populer, “ini untuk persiapan kalau ada permintaan penonton,” tuturnya.

Artikel ini dimuat dalam rubrik Syir’atuna, laporan utama, majalah Syir’ah, edisi November 2004.

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...