13 May 2008

Anak Berbakti

SOLEH, Anas, Amir, dan Yono janjian mengadakan reuni pasca-lebaran di sebuah restoran. Sambil makan, mereka berbincang sembari bernostalgia. Setelah makan, Soleh pamit meninggalkan teman-temannya sebentar untuk nyanyi karaoke, "Minta lagu apa, Coy? Cucak Rowo, ok?"

Sambil mendengarkan Soleh bernyanyi, teman-temannya melanjutkan obrolan mereka.

"Bagaimana anak-anakmu, Nas, habis lebaran kemarin?" tanya Amir.

"oo, baik-baik saja, anakku kan dua. Yang cewek ikut suaminya jadi kapolres di Medan. Sedangkan yang cowok sudah jadi bos, pabriknya dua, pabrik sepatu dan pabrik mi." Cerita Anas, "tapi ya gitu, saya yang jadi bapaknya saja tak pernah dibelikan motor sama sekali, paling baju buat lebaran. Eh, pas kemarin pacarnya ulang tahun dibelikan BMW 318i gress."

"La kalau anakmu, Mir" Amir pun bercerita, "Anakku tiga, cowok semua, yang dua kerja di Amerika, yang bontot sekarang jadi direktur developer rumah. Tapi agak gendeng juga bontotku ini. Rumah bapaknya sudah doyong dibiarkan aja, tapi waktu kemarin pacarnya ulang tahun dibelikan rumah baru."

"Kalau kabar anakmu bagaimana Yon?" Sekarang Yono cerita, "Anakku empat, cowok satu, cewek tiga. Sekarang sudah pada mandiri. Yang paling sukses si sulung cewek. Dia sekarang jadi pialang saham. Cuma rese juga. La, aku ini nggak pernah dikasih duit, tapi kemarin waktu pacarnya ulang tahun dikasih deposito 100 juta."

Setelah Yono cerita, Soleh selesai karaoke, "Cerita apa sih kalian?"

"Ini lo, Leh, pada nyeritain anaknya, gimana anakmu Leh?" Yono bertanya.

Setelah menyalakan rokok, Soleh mulai cerita, "Anakku cuma satu, tapi payah. Aku ingin dia jadi ABRI, eh malah jadi bencong. Sudah lima tahun dia buka salon, dari dulu sampai sekarang ya tetep aja nyalon. Tapi meskipun bencong, dia tetap anakku. Apalagi dasar anak baik, pergaulannya luas dan sayang sama bapaknya. Setiap dapat rezeki, aku pasti diberi. Kemarin pas dia ulang tahun, ada temannya yang ngado BMW 318i gress, rumah baru, dan deposito 100 juta. Dia bilang semua buat bapak saja, dia tetep seneng buka salon katanya."

CERITA INI HASIL REKAAN DAN FIKSI BELAKA. MOHON MAKLUM KALAU ADA KESAMAAN YANG DIALAMI SEBAGIAN PEMBACA
DALAM DUNIA NYATA.

Sumber: Selilit Syirah November 2004.

Danau Ajaib

Jumari, Saleh dan Mail tahu betul seluk beluk di Gunung Ungaran. Mereka sudah terbiasa naik dari berbagai jalur. Dari Boja, Medini, lalu Pelumasan atau dari jalur Candi Gedong Songo sudah berkali-kali mereka lalui.

Namun mereka belum pernah menemukan Danau Ajaib yang konon bisa ditemui kalau menempuh jalur Gedong Songo. Danau itu dipercaya oleh orang sekitar dapat mengabulkan semua permintaan. Tinggal sebut permintaan sambil menceburkan diri ke danau maka permintaan pun segera terkabul.

Karena penasaran ketiganya berusaha untuk menemukan danau tersebut. Mail yang paling semangat, "Aku tak akan pulang kalau belum ketemu danau tersebut," tandas Mail.

Mereka memulai perjalanan dari bandungan. Setelah makan kenyang di sebuah pemancingan ikan Bandungan yang indah dengan latar gunung Ungaran yang tampak kokoh. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Candi Gedung Songgo.

Dari sini petualangan mereka mulai. Semua perlengkapan untuk logistik sebulan mereka siapkan. Sehari, seminggu mereka tak jua menemukan danau ajaib tersebut. Setelah hampir 15 hari mereka akhirnya ketemu juga dengan danau tersebut. Terletak di tengah padang edelweis yang luas.

Mereka girang betul dan mulai memikirkan permintaan: Jumari yang pertama, karena ngefans sama Slash, gitaris Guns n Roses, dia menceburkan diri sambil meneriakkan nama gitaris pujaannya. Byurrrr. Jumari keluar dari danau dan berubah total jadi Slash.

Lalu Soleh menyusul dan menerikan 'Didi Kempot' dan dia keluar dari danau dan menjadi Didi Kempot.

Mail jadi girang dengan pencapaian kawan-kawannya. Dia buru-buru menceburkan diri.
Belum sempat menceburkan diri dia tersandung akar dan terjatuh ke danau sambil mengumpat, "kunyuk."

Si Mail pun keluar menjadi kunyuk alias monyet. [end]

*cerita ini rekaan belaka dan populer di kalangan orang-orang yang suka naik gunung.

“Jangan Ajak Dia, Nanti Dia Marah”


Ini satu kisah parodi. Tentang seorang ustad yang ingin masuk surga sendiri dan memvonis orang yang berbeda dengannya akan masuk neraka, termasuk agama lain. Baginya, orang yang berbeda dengannya adalah sesat, penuh bid’ah dan tak pantas masuk surga. Fiksi ini pernah dikisahkan Gus Dur, mantan ketua PBNU.

Tersebutlah seorang bernama ustad Jumari. Dalam ceramah-ceramahnya, ustad ini selalu menekankan supaya orang Islam waspada terhadap propaganda agama lain. “Saat ini marak terjadi pemurtadan terhadap orang Islam,” ucapnya, suatu ketika.

Ustad Jumari memang terkenal keras dengan agama-agama lain, dia paling anti dengan acara doa antar-agama, dialog antar-agama, atau apa pun yang berbau antar-agama. Dia marah besar suatu ketika saat panitia “antar-agama” mengundangnya.

Menurut Ustad tadi, Surga hanya untuk orang Islam. “Karena agama yang direstui Allah hanya Islam. Ayatnya inna al-dina inda allahi al-islam,” katanya. Tegas. “Sebagai orang Islam harus keras kepada non-Islam dan lembut sesama orang Islam.”

Di akhirat, keinginan Sang ustadz terkabul, dia masuk surga. Ustad Jumari kaget bukan kepalang. Di surga tak hanya dengan kaumnya. Ternyata romo, biksu, pastur juga masuk surga. Beberapa kyai yang sering dia kritik karena suka ikut acara berlabel “antar-agama” juga masuk surga.

“Wah… ini pasti ada yang salah,” fikirnya. Namun, dia tak bisa protes. Untung para malaikat mengetahui kekecewaannya. Dia diberi ruang khusus, yang terpisah dari orang-orang yang dibencinya.

Waktu makan malam pun tiba. Para malaikat memanggil semua penduduk surga untuk makan bersama. Dan pemuka agama dikumpulkan di tempat tersendiri. Para kiai, pendeta, pastur, dan biksu mengelilingi sebuah meja makan penuh hidangan menggiurkan.

Seorang biksu (versi Syir’ah kyai) bertanya, “Malaikat, Ustad Jumari kok enggak ada. Apa dia enggak diajak kumpul sama kita?”

“Ups…pelan… nanti dia marah,” bisik malaikat. “Dia kan paling tak suka acara antar-agama.”[end]
 
Sumber: Selilit Syir’ah edisi Januari 2006

Coblosan Hati Nurani

MEMILIH capres dan cawapres sesuai dengan hati nurani diartikan Rahman sebagai panduan utama memilih presiden. Pria berusia 30 tahun ini mengisahkan kepada syir’ah dua hari setelah pencoblosan.

Ceritanya, Senin pagi 5 Juli, Rahman, bersama tetangga dekatnya Yusuf, berjalan semangat menuju bilik suara yang tak jauh dari rumahnya. Sepanjang perjalanan, kedua warga Madura yang bermukim di Yogyakarta ini memperbincangkan siapa pilihannya.

Dialog singkat berlogat Madura pun terjadi sepanjang perjalanan:

“Kamu milih apa Sup?” tanya Rahman.

“Aku pilih SBY saja lah,” jawab Yusup enteng.

“Kamu ini gimana! Kita kan orang Madura, masa milih SBY,” tentang Rahman.

“Lo, kan ibu kota kita Surabaya, pas kan kalau milih SBY? Coba kepanjangan SBY itu apa kalau bukan Surabaya?” kilah Yusup sengit.

“Tapi SBY kan bukan orang NU?”

Gak peduli NU atau bukan. Yang penting sesuai dengan hati nurani! Kalau kamu pilih siapa?” Tanya Yusup.

“Sesuai dengan hati nuraniku, aku tetep pilih Gus Dur to,” jawab Rahman, mantap.

Kon goblok yo? Gus Dur kan tidak bisa maju jadi presiden. Gimana mau nyoblos dia?” komentar Yusup sembari terkekeh-kekeh.

“Nggak ada urusan, yang penting sesuai dengan hati nurani!”

“Iya tapi gimana mau pilih Gus Dur kalau gambarnya aja tidak ada.”

Rahman lalu mengeluarkan foto Gus Dur dari sakunya.

Singkat cerita, Rahman hanya ingin tetap menjaga hati nuraninya agar tidak memilih kandidat presiden lain. Karenanya, dia mempersiapkan foto Gus Dur dan dia bawa masuk bilik suara, dia pasang di kartu tanda gambar yang akan dipilih.

Akhirnya, kesampaian juga niat memilih kandidat presiden pilihan hati nuraninya. Sesudah mendapat giliran mencoblos, di dalam bilik suara Rahman melaksanakan aksinya. Ia memang langsung membuka lembar tanda gambar. Namun, ia tidak langsung menusuk salah satu dari lima pasangan yang ada. Sebelum menusuk, Rahman merogoh foto Gus Dur di saku lalu menempelkan foto Gus Dur dengan lem yang sudah dipersiapkannya.

Sejenak berfikir, ia lalu memasang foto Gus Dur persis pada gambar Wiranto, "Wah, pas ini, pasangan orang NU, keturunan kyai, bernama Wahid lagi!" fikirnya. Dengan senyum puas gambar Gus Dur pun dicoblos. Bles, sesuai dengan hati nuraninya.[end] FM

Sumber: humorina Syir’ah edisi Agustus 2004

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...