Oleh Imam Shofwan
Dari Kuba mereka memberi cinta dan cara bertahan hidup dalam suasana darurat
LOUIS Chaviano baru tiga hari berada di rumahnya, di Ave 38 Y Final, Sanatorio Pabellion, Cienfuegos, Kuba. Chaviano sedang melepas kangen pada istri dan anaknya, Liliana Chaviano setelah selama enam bulan berada di Khasmir, Pakistan, bersama rekan-rekannya. Di sana, mereka membantu korban gempa.
Sore itu, di paro akhir Mei 2006, ia hanya duduk-duduk saja menonton acara televisi. Tapi sebuah siaran berita menggugah nuraninya. Lagi-lagi soal gempa, dan kali ini diberitakan melanda Yogyakarta. Indera Chaviano menangkap bagian-bagian mengerikan: ribuan orang meninggal dunia dan puluhan ribu orang lainnya luka-luka.
Chaviano merasa dirinya harus segera terbang ke Yogyakarta. Namun dia tidak sampai hati untuk menyampaikan perasaannya itu kepada anggota keluarganya. Dia khawatir merusak suasana kebersamaan mereka. Sampai malam, Chaviano berusaha untuk menutupi kegelisahannya.
Seseorang dari Departemen Kesehatan Kuba menelepon Chaviano, esoknya sekira pukul 10.00. Chaviano masih tidur bersama istrinya. Dugaan Chaviano benar, pemerintah meminta kesediaannya untuk di berangkatkan ke Yogyakarta, membantu korban gempa. Chaviano siap dengan tugas itu namun dia menjawab akan membicarakannya dengan istri dan anaknya. “Kalau bersedia, silahkan kumpul di istana kepresidenan di Havana. Berangkat hari ini juga,” suara telepon ditutup.
“Aku akan mempersiapkan keperluan-keperluanmu, kamu segera ke Havana saja,” tutur istri Chaviano. Rupanya istri Chaviano sudah mendengar isi pembicaraan telepon tadi. Berat hati Chaviano untuk meninggalkan istri dan anaknya. Dengan izin dan pengertian sang istri, Chaviano akhirnya mempersiapkan diri untuk berangkat ke Havana.
Kuba adalah negeri kepulauan terbesar di lautan Karibia. Dari udara, bentuknya menyerupai buaya sedang tidur, memanjang seperti pulau Jawa. Chaviano berasal dari provinsi Cienfuegos. Jarak antara Cienfuegos dan Havana, kalau kita lihat di peta, seperti jarak antara kota Surabaya dan Jakarta. Chaviano berangkat dari kotanya di Cienfuegos ke Havana menggunakan bis umum. Ada beberapa relawan yang sedaerah dengan Chaviano. Mereka bertemu di istana kepresidenan Kuba di Havana pada 30 Juni 2006.
Di istana kepresidenan, para relawan yang akan diberangkatkan ke Yogyakarta berkumpul untuk mendapatkan pengarahan sehari. Fidel Castro turun tangan sendiri dalam memberikan pengarahan tersebut. Materinya seputar kondisi geografis Indonesia dan tipikal masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.
Dari situ Chaviano tahu Indonesia termasuk negara miskin. Dia senang dengan Indonesia yang tropis. Namun, dia berpikir macam-macam tentang Indonesia yang mayoritas muslim. Seperti pengalamannya di Khasmir, dia membayangkan akan bertemu perempuan-perempuan bercadar. Dokter-dokter akan kesulitan memeriksa pasien perempuan, apalagi melakukan operasi.
“Saya terbayang penerapan Syariat Islam yang strict di Pakistan,” tutur Chaviano.
Chaviano adalah pegawai pemerintah. Latar belakang Chaviano bukan medis sebetulnya. Dia seorang insinyur energi otomatik kontrol. Pemerintah Kuba mendaulatnya sebagai kepala tim medis Bencana Alam Internasional (Medical Team Leader for International Natural Disaster).
Untuk Yogyakarta, Chaviano berangkat bersama dengan 135 personel, yang terdiri atas 124 orang dokter – mulai dokter umum, bedah, hingga ortopedi. Kru lainnya adalah perawat, teknisi dan tukang masak.
Tanggung jawab Chaviano tidak ringan. Dia punya beban tugas untuk mengontrol operasi peralatan-peralatan medis.
Tim harus berangkat pada 1 Juni 2006.
Istri Chaviano bertindak sigap. Ia mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa suaminya membantu korban bencana alam. Ia menyiapkan seperangkat peralatan pemberian pemerintah untuk keperluan itu, mulai dua ransel (satu berukuran kecil, satu lagi ransel gunung besar), satu kompor kecil, celana jeans, T-shirt warna merah, dan sepatu boot hitam. Dia sudah hafal apa yang diperlukan suaminya karena sebelumnya pernah dua kali menjalani misi yang sama: di Zimbabwe dua tahun dan di Pakistan enam bulan.
MALAM hari, didampingi anggota keluarga masing-masing, mereka berkumpul di Bandara Havana untuk berangkat. Keluarga mereka bangga anggotanya hendak membantu korban bencana alam. Liliana, anak Chaviano, juga bangga pada ayahnya yang waktu itu berangkat dengan diantarkan Menteri Luar Negeri Kuba, Felipe Perez Roque. Sebelum berangkat, Liliana memesani ayahnya untuk membeli boneka dan baju saat pulang nantinya.
Komunikasi dengan Jakarta terus mereka lakukan. Ada sedikit ganjalan. Rencana awal, semua bantuan dari mereka akan di pusatkan di Yogyakarta yang menjadi episentrum gempa. Namun, pemerintah Jakarta dan pemerintah propinsi Yogyakarta rupanya masih bersitegang. Mereka berdebat soal status gempa: bencana lokalkah atau bencana nasional. Pemerintah Yogyakarta menganggap gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006 sebagai bencana lokal dan cukup diselesaikan secara lokal. Mereka menolak bantuan-bantuan asing.
Fidel Castro turun tangan. Dia menelepon presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicarakan masalah ini. Akhirnya, keduanya bersepakat bantuan dipusatkan di Kabupaten Klaten yang terkena gempa paling parah. Malam itu juga akhirnya tim medis Kuba diberangkatkan dengan pesawat Cubana dari bandara Havana.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 jam dan melakukan tiga kali transit di Lisabon, Istambul dan Calcuta, pada 3 Juni 2006 siang pesawat yang membawa mereka mendarat di Bandara Adi Sumarmo, Solo. Mereka disambut oleh Jorge Leon, duta besar Kuba untuk Indonesia.
Sesampainya di Solo, Louis Chaviano senang melihat perempuan-perempuan mengenakan rok pendek, bekerja di toko dan bersepeda motor. Bayangan wanita muslim bercadar yang pernah dia temui di Khasmir tidak dia temukan di Solo.
“Saya langsung bernapas lega,” tutur Chaviano.
Dari bandara Solo, mereka mampir ke kantor bupati Klaten untuk beramah tamah. Tuntas itu, mereka menginap di Quality Hotel Solo. Suwarna SE, bupati Klaten menawarkan dua tempat untuk pusat kegiatan dokter Kuba ini: di Kecamatan Gantiwarno dan Prambanan.
Di Gantiwarno, mereka mendapat tempat di halaman sebuah SD. Sementara di Prambanan, mereka mendapat tempat di sebuah tanah lapang milik Hariadi --dulunya tanah itu digunakan untuk depot pasir.
Malam itu juga Chaviano ditemani beberapa orang menyurvai kedua tempat tersebut. Mereka menganggap kedua tempat itu layak.
Pagi harinya, 60 ton peralatan dan obat-obatan sampai di bandara Adi Sumarmo. Para anggota tim check out dari hotel untuk mendirikan tenda-tenda dan mengurus obat-obatan dan peralatan.
Pertama kali mereka mendirikan tenda-tenda di Gantiwarno lalu di Prambanan. Seharian berpanas-panasan, akhirnya tenda-tenda ukuran besar ini berdiri. Dua tenda untuk ruang rawat inap, laki-laki dan perempuan, ruang operasi, ruang gawat darurat, laboratorium dan ruang menginap para penerjemah. Selain itu, mereka juga mendirikan tenda-tenda kecil untuk menginap para anggota tim. Satu tenda ditempati dua orang.
Malam harinya Louis Chaviano menginstal peralatan-peralatan medis, mulai mesin rongent, mesin pendeteksi suara, mesin pendeteksi darah sampai alat-alat komunikasi. Louis dan kawan-kawannya bekerja cepat. Esoknya, 5 Juni, rumah sakit itu mulai beroperasi.
Tidak ada pesta pembukaan.
Untuk menginformasikan keberadaan kedua rumah sakit ini kepada masyarakat, mereka hanya memasang umbul-umbul bertuliskan “Pengobatan dan Operasi Gratis untuk Rakyat Indonesia dari Tim Medis Kuba” di antara bendera Kuba dan bendera Indonesia. Selain itu, secara bergantian dokter-dokter Kuba itu mengunjungi desa-desa untuk mengobati korban-korban gempa sambil terus menginformasikan keberadaan kedua rumah sakit itu.
TIM Chaviano bernama Brigade Medis Henry Reave. Mereka siap setiap saat untuk diterbangkan membantu korban bencana alam di seluruh dunia. Mereka sudah bekerja membantu korban bencana dan konflik di lebih dari 60 negara, termasuk Indonesia dan tetangganya di Timor Leste.
Chaviano menceritakan banyak hal pada saya, tentang pengalaman-pengalamannya selama ini, terutama sewaktu bertugas di Zimbabwe dan Khasmir, sistem pendidikan dan kesehatan di Kuba sampai tokoh idolanya Che Guevara. Dia senang bisa melakukan hal yang sama dengan sang idola, berkeliling dunia untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
“Che melakukan apa saja di tempat mana saja yang membutuhkan,” tutur Chaviano pada saya.
Sekilas, wajah Louis Chaviano rasanya mirip juga dengan Che Guevara, yang tergambar di kaos tanpa lengan yang dia kenakan siang itu. Rambutnya berombak sebahu dan kulitnya coklat khas Amerika latin. Saya bertemu dengannya pada 23 Agustus lalu, di Klaten, atau setelah hampir tiga bulan dia bekerja di sana bersama relawan medis Kuba.
Nuansa Che terlihat di hampir setiap tempat. Yang paling dominan tentu saja di sebuah ruangan yang bersinar agak redup, tempat peralatan rongent tersimpan. Di sana terpampang poster-poster Che Guevara, selain Fidel castro, di dinding tenda. Tak hanya poster, sesungguhnya. Tapi juga tampilan para dokternya. Seperti juga Chaviano, sebagian dokter laki-laki memiliki rambut panjang, ikon rambut yang mengingatkan orang pada Che Guevara.
Che Guevara yang dimaksud adalah salah satu pahlawan revolusi Kuba. Sejak tahun 1956, Che, bersama Fidel Castro dan Raul Castro, mengorganisasi petani Kuba untuk bergerilya melawan Diktator Fulgencio Batista.
Guevara dan Fidel Castro antara lain berjanji untuk menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai pilar utama Kuba setelah revolusi. Selama gerilya, para petani melihat kesungguhan para pemimpin mereka. Guevara sendiri, yang memang dasarnya seorang dokter, mengobati sendiri para gerilyawan yang terluka. Selain itu, pada saat senggang, Guevara mengajar membaca pada para pengikutnya yang rata-rata buta huruf.
“Pendidikan tidak hanya berfungsi vertikal namun juga horisontal.” Jargon ini sering diucapkan Che. Pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mencapai kekuasaan dan uang, tapi juga untuk fungsi sosial dan kemanusiaan.
Tahun 1959 Kuba lepas dari Batista. Fidel Castro berusaha melaksanakan janji-janjinya. Dan berhasil. Menurut Juan Casassus, anggota tim dari the Latin American Laboratory for Evaluation and Quality of Education at UNESCO Santiago, prestasi tinggi Kuba dalam pendidikan ini merupakan hasil dari komitmen kuat pemerintahan Kuba, yang menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas teratas selama 40 tahun sesudah revolusi. Pemerintah Kuba memang mengganggarkan sekitar 6,7 persen dari GNP untuk sektor ini, dua kali lebih besar dari anggaran pendidikan di seluruh negara Amerika Latin.
Dengan anggaran sebesar itu, pemerintah Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan, mulai level sekolah dasar hingga universitas. Bebas biaya pendidikan diberlakukan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional. "Everyone is educated there. Everyone has access to higher education. Most Cubans have a college degree," ujar Rose Caraway, salah satu mahasiswa AS yang ikut progam studi banding di Kuba, pada 2005. Kebijakan ini menjadikan rakyat Kuba sebagai penduduk yang paling terdidik dan paling terlatih di seluruh negara Amerika Latin. Saat ini saja ada sekitar 700 ribu tenaga profesional yang bekerja di Kuba.
Tetapi, kebijakan menggratiskan biaya pendidikan ini tampaknya kurang mencukupi. Sejak tahun 2000, pemerintah Kuba mencanangkan program yang disebut “University for All.” Tujuan dari program ini adalah untuk mewujudkan mimpi menjadikan Kuba sebagai “a nation becomes a university.”
Melalui program ini seluruh rakyat Kuba (tua-muda, laki-perempuan, sudah berkeluarga atau bujangan) memperoleh kesempatan yang sama untuk menempuh jenjang pendidikan universitas. Caranya, pihak universitas bekerjasama dengan Cubavision and Tele Rebelde, menyelenggarakan program pendidikan melalui televisi. Saat ini media televisi Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya. Jumlah ini sekitar 63 persen dari total jam tayang televisi Kuba. Sejak program on-air ini, pada 2 Oktober 2000, ada sekitar 775 profesor yang datang dari universitas-universitas besar di Kuba yang aktif terlibat dalam program ini.
Program kesehatan bisa dikatakan sebagai dampak dari pembangunan pendidikan Kuba itu. Cliff Durand, profesor emeritus filsafat di Morgan State University, Baltimore, AS, mengungkapkan, saat ini rata-rata tingkat kematian dini di Kuba hanya 5,8 kematian dalam satu tahun untuk 1.000 kelahiran. Angka ini adalah yang terendah di kawasan Amerika Latin, bahkan lebih rendah dari yang terjadi di Amerika Serikat.
Jumlah tenaga dokter per kapita Kuba jauh lebih banyak dibandingkan negara mana pun di dunia. Saat ini saja, ada sekitar 130.000 tenaga medis profesional. Sebanyak 25.845 tenaga dokter Kuba bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara, 450 di antaranya bekerja di Haiti, negara termiskin di benua Amerika. Sebagian lainnya bekerja di kawasan-kawasan miskin di Venezuela. Ketika terjadi bencana topan Katrina di New Orleans, beberapa waktu lalu, Presiden Fidel Castro berinisiatif mengirimkan 1.500 tenaga dokter. Tapi, inisiatif ini ditolak oleh pemerintah AS dengan alasan yang sifatnya politis.
Tidak hanya untuk rakyat Kuba, kini melalui Latin American School of Medicine, pemerintah Kuba memberikan beasiswa untuk pendidikan kesehatan kepada ratusan kaum muda miskin dari seluruh negara Amerika Latin, Afrika, bahkan Amerika Serikat. Yang menarik, di Kuba pengajaran kesehatan tidak hanya menyangkut soal ilmu pengetahuan dan seni pengobatan tapi, juga nilai-nilai pelayanan sosial terhadap kemanusiaan. Seperti dikemukakan Castro, ketika mewisuda 1.610 mahasiswa pada musim panas Oktober 2005,
“Modal manusia (human capital) jauh lebih bernilai ketimbang modal kapital (financial capital). Modal manusia meliputi tidak hanya pengetahuan, tapi juga – dan ini yang sangat mendasar – kesadaran, etika, solidaritas, rasa kemanusiaan yang sejati, semangat rela berkorban, kepahlawanan, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam jangka panjang.”
MEREKA bekerja dengan mengenakan jins dan T-shirt, sementara dokter perempuannya banyak yang mengenakan tang top. Pembawaan mereka umumnya ramah-ramah. Saya tertawa sendiri mendengar dialog salah satu dokter dengan pasien. Walau ditemani para penerjemah, mereka mencoba untuk berbicara Bahasa Jawa.
“Matur nuwun, terima kasih”
“Sami-sami, sama-sama”
Beberapa pasien perempuan dan anak-anak saya lihat tergeletak di bangsal-bangsal panas di ruang rawat inap perempuan. Dua orang pasien telah menjalani operasi cesar, seorang menjalani perawatan setelah operasi tumor, dan seorang ibu baru saja bersalin.
Ginem termasuk salah seorang yang bersyukur dengan kedatangan dokter-dokter Kuba ini. Dia datang ke rumah sakit untuk melahirkan anak keduanya.
Ginem bercerita kalau sebelumnya dia telah memeriksakan kandungannya di rumah sakit Bethesda, Yogyakarta. Dia disarankan untuk melakukan persalinan dengan cesar, karena kandungannya telah telat dua minggu. Ini berarti, kata Ali Yani, suami Ginem, mereka harus menyiapkan uang minimal Rp 7 juta. Jumlah sebesar ini tentu berat baginya, yang sehari-hari hanya buruh di sebuah swalayan di Yogyakarta.
“Walaupun panas, saya tidak apa-apa yang penting anak saya selamat,” tutur Ginem.
Saya tidak tahan menyaksikan para pasien ini di rawat di tenda-tenda yang panas. Saya lalu meminta Chaviano untuk melanjutkan ke ruangan lain. Kami lalu mengunjungi laboratorium. Hanya tenda-tenda tempat menginap mereka yang tidak boleh saya kunjungi.
“Itu adalah satu-satunya tempat pribadi kami,” tutur Chaviano.
Saking asyiknya mengobati pasien mereka lupa kalau mereka tinggal di lapangan yang tidak punya fasilitas untuk mandi. Pada minggu pertama, walau capek setelah seharian mengobati pasien, mereka mendirikan sendiri kamar mandi sederhana berdinding seng.
Hari sudah mulai sore. Saya kembali ke hotel yang berjarak tiga kilo meter dari rumah sakit Kuba di Kecamatan Prambanan. Di sana, saya mandi dan makan malam.
CHAVIANO dan anggota Brigade bagi Anangga Kurniawan (22) adalah kawan-kawan yang menyenangkan. Kurniawan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta, penerjemah di rumah sakit tenda tersebut. Dia mendampingi mereka, mulai saat mengobati pasien hingga saat mereka mengadakan kunjungan ke desa-desa di sekitar Klaten.
Sejak menjadi relawan di Kuba, Kurniawan tinggal di sebuah tenda besar di lokasi rumah sakit tenda Kuba di Kecamatan Prambanan. Ada dua tenda bagi Kurniawan dan kawan-kawan: satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan. Semua kebutuhannya selama di tenda ditanggung oleh rumah sakit Kuba.
Dari interaksi antara pasien-pasien dengan para dokter, Kurniawan tahu bagaimana mereka bersungguh-sungguh dalam menangani pasien. Dalam menangani penyakit tertentu, bahkan ada tujuh dokter sekaligus yang menangani satu pasien. Mereka berdiskusi dengan Bahasa Spanyol, Kurniawan tidak tahu pasti apa maksudnya, namun dari tindakan para dokter itu, dia tahu kalau mereka serius menangani para pasien.
Aktivitas Kurniawan biasanya dia mulai pada jam enam pagi. Dia dan kawan-kawannya mulai mempersiapkan pendaftaran pasien-pasien. Jam pendaftaran mulai pukul 07.00 sampai pukul 10.00. “Biasanya tiap hari ada sekitar 350 pasien,” tutur Kurniawan.
Setelah mendaftar, pasien mereka sebagian menemani dokter di rumah sakit, sebagian lagi menemani para dokter untuk berkeliling desa-desa untuk mencari pasien yang tidak bisa datang ke rumah sakit. Biasanya, kunjungan berlangsung hingga pukul 09.00 pagi hingga pukul 13.00. Mereka kembali ke rumah sakit dan membantu para dokter yang ada di sana.
Kurniawan punya pengalaman yang menarik perhatiannya. Suatu hari, sehabis mengadakan kunjungan ke desa, para dokter itu hendak belanja. Sejak dua bulan menjadi penerjemah, ajakan belanja itu adalah yang pertama baginya. Mereka mengatakan hendak mencari sepatu anak dan kaos. Kurniawan senang, lalu mengajak mereka ke Swalayan Matahari, Klaten, yang merupakan tempat belanja terbesar di Klaten.
Karena sudah lama tak belanja, Kurniawan membayangkan mereka akan belanja habis-habisan seperti bule-bule yang biasa ia temani saat jadi guide wisata. Perkiraan Kurniawan meleset. Mereka hanya belanja barang yang disebutkan yaitu sebuah T-shirt dan sepatu anak. Itupun mereka mencari yang paling murah atau yang diskonan. Setelah membeli kaos dan sepatu anak, mereka langsung pulang. Kurniawan masgul karena – lagi-lagi --tidak ada acara makan-makan setelah belanja.
Sebenarnya Kurniawan sudah curiga kalau dokter-dokter Kuba itu hanya dokter-dokter miskin. Setiap hari, mereka hanya mengenakan dua kaos secara bergantian. Kalau tidak merah, ya hijau. Selain itu, mereka tidak pernah makan di luar dan sangat hati-hati menggunakan uang. “Kalau belanja, paling-paling cuman beli teh,” tutur Kurniawan.
Dengan segala kederhanaan ini mereka sungguh-sungguh membantu para korban bencana. “Kami hanya dari negara miskin. Kami hanya membantu sesuai dengan apa yang telah kami kuasai,” kata Chaviano.
Pada dua bulan pertama, Kurniawan menyaksikan sendiri bagaimana mereka bekerja penuh dalam seminggu tanpa hari libur, 24 jam mereka melayani pasien. Menjelang bulan ketiga, mereka libur di hari minggu.
SUBANDI (56) duduk di atas batu hitam, di antara pohon kelapa dan pohon Trembesi di sudut tanah lapang di pinggir ruas jalan Yogya-Solo. Di depannya berbaris sepuluh tenda rumah sakit, dan dua puluh tenda tempat tinggal para dokter. Sisanya dua tenda untuk para penerjemah dari Universitas Negari Surakarta.
Tenda-tenda warna putih rumah sakit, tertutup debu dan menjadi coklat. Panas dan pengap suasana dalam tenda tersebut. Subandi termasuk pasien kepanasan. Dia memilih duduk di luar tenda.
“Planangan kulo sakit lan panas menawi kerjo berat,” tutur Subandi kepasa saya. (Kemaluan saya sakit dan panas kalau bekerja berat).
Dua tahun kemaluan Subandi bengkak menjadi dua kali lipat. Menurut pemeriksaan dokter, dia menderita penyakit Hernia. Istilah lokalnya usus ting planangan atau kontol landung (kemaluan besar) untuk istilah kasarnya. Selama itu, dia tidak memeriksakan penyakit yang dideritanya. Untuk mengurangi rasa sakit, biasanya dia melakukan pijat urut sewaktu penyakitnya kambuh.
Subandi belajar dari pengalaman para tetangga yang menderita penyakit serupa. Penyakit semacam itu akan sembuh kalau dioperasi. Subandi harus mengubur keinginannya untuk operasi karena biaya yang besar. Biaya yang besar itu menurutnya lebih baik digunakan untuk biaya pendidikan anak perempuannya, Tri Suwanti (24). Tri kuliah di Fakultas Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surakarta, “Cita-cita saya, kalau Tri lulus akan mengumpulkan uang untuk operasi,” tutur Subandi.
Tri Suwanti telah lulus kuliah, Subandi pun mengumpulkan uang untuk operasi. Sebagai petani dia berencana untuk operasi setelah panen padi. Namun rencana itu segera punah saat gempa bumi 5,9 Skala Richter menghajar Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian Selatan, pada 27 Mei 2006. Tanaman padinya rusak dan rencana untuk operasi juga gagal.
Subandi mengetahui para dokter-dokter Kuba bisa meredakan derita Subandi. Ia pergi ke sana untuk mengoperasi penyakitnya. Kemungkinan untuk sembuh kembali tumbuh. Dia segera mendatangai rumah sakit Kuba di Jalan Solo-Yogya, Klaten, pada Agustus.
“Semuanya lancar, saya tinggal mengungkapkan keluhan saya dan menerjemah akan menyampaikannya ke dokter,” tutur Subandi. Enam hari berselang, operasinya penyakit Subandi dilaksananakan.
“Sekarang sudah baik, sudah kempes, tinggal periksa rutin,” tutur Subandi.
Di ruang rawat inap, saya bertemu pasien lain. Namanya Ginem (42). Dia tampak berseri-seri karena telah berhasil melakukan operasi Cesar. Sebelumnya dia telah dua minggu telat melahirkan. Dia bersyukur dan berterima kasih pada dokter kuba yang telah menyelamatkan nyawanya.
Sebelumnya, Ginem selalu memeriksakan kandungannya ke Rumah Sakit Bethesda, namun karena tidak mampu membayar enam juta untuk operasi cesar akhirnya dia pindah ke rumah sakit Kuba. “Panas-panas saya nggak papa, yang penting saya selamat anak saya selamat,” tutur Ginem.
Ginem dan pasien-pasien lain merasa heran ketika mendengar bahwa dokter-dokter Kuba itu pada akhirnya disuruh meninggalkan Yogyakarta lantaran ada keluhan dari institusi kesehatan. Mungkin mereka kekurangan pasien karena semuanya tersedot ke rumah sakit tenda. “Masak masih banyak pasien kayak gini pemerintah tega mengusir para dokter yang rencananya enam bulan menjadi tiga bulan,” ujar Prasetya, suami Ginem.
Dia, bersama sejumlah pasien, kemudian menuliskan protes mereka di kertas-kertas plano dan memasangnya di pagar masuk rumah sakit. Sebagian bertuliskan: “Dibantu kok ngusir”, “biarkan Kuba membantu rakyat”.
Prasetya dan kawan-kawannya tidak yakin tulisannya akan dilihat pemerintah, sekaligus mencegah kepergian mereka. *
--Pernah dimuat majalah Playboy, edisi November 2006.
Dari Kuba mereka memberi cinta dan cara bertahan hidup dalam suasana darurat
LOUIS Chaviano baru tiga hari berada di rumahnya, di Ave 38 Y Final, Sanatorio Pabellion, Cienfuegos, Kuba. Chaviano sedang melepas kangen pada istri dan anaknya, Liliana Chaviano setelah selama enam bulan berada di Khasmir, Pakistan, bersama rekan-rekannya. Di sana, mereka membantu korban gempa.
Sore itu, di paro akhir Mei 2006, ia hanya duduk-duduk saja menonton acara televisi. Tapi sebuah siaran berita menggugah nuraninya. Lagi-lagi soal gempa, dan kali ini diberitakan melanda Yogyakarta. Indera Chaviano menangkap bagian-bagian mengerikan: ribuan orang meninggal dunia dan puluhan ribu orang lainnya luka-luka.
Chaviano merasa dirinya harus segera terbang ke Yogyakarta. Namun dia tidak sampai hati untuk menyampaikan perasaannya itu kepada anggota keluarganya. Dia khawatir merusak suasana kebersamaan mereka. Sampai malam, Chaviano berusaha untuk menutupi kegelisahannya.
Seseorang dari Departemen Kesehatan Kuba menelepon Chaviano, esoknya sekira pukul 10.00. Chaviano masih tidur bersama istrinya. Dugaan Chaviano benar, pemerintah meminta kesediaannya untuk di berangkatkan ke Yogyakarta, membantu korban gempa. Chaviano siap dengan tugas itu namun dia menjawab akan membicarakannya dengan istri dan anaknya. “Kalau bersedia, silahkan kumpul di istana kepresidenan di Havana. Berangkat hari ini juga,” suara telepon ditutup.
“Aku akan mempersiapkan keperluan-keperluanmu, kamu segera ke Havana saja,” tutur istri Chaviano. Rupanya istri Chaviano sudah mendengar isi pembicaraan telepon tadi. Berat hati Chaviano untuk meninggalkan istri dan anaknya. Dengan izin dan pengertian sang istri, Chaviano akhirnya mempersiapkan diri untuk berangkat ke Havana.
Kuba adalah negeri kepulauan terbesar di lautan Karibia. Dari udara, bentuknya menyerupai buaya sedang tidur, memanjang seperti pulau Jawa. Chaviano berasal dari provinsi Cienfuegos. Jarak antara Cienfuegos dan Havana, kalau kita lihat di peta, seperti jarak antara kota Surabaya dan Jakarta. Chaviano berangkat dari kotanya di Cienfuegos ke Havana menggunakan bis umum. Ada beberapa relawan yang sedaerah dengan Chaviano. Mereka bertemu di istana kepresidenan Kuba di Havana pada 30 Juni 2006.
Di istana kepresidenan, para relawan yang akan diberangkatkan ke Yogyakarta berkumpul untuk mendapatkan pengarahan sehari. Fidel Castro turun tangan sendiri dalam memberikan pengarahan tersebut. Materinya seputar kondisi geografis Indonesia dan tipikal masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.
Dari situ Chaviano tahu Indonesia termasuk negara miskin. Dia senang dengan Indonesia yang tropis. Namun, dia berpikir macam-macam tentang Indonesia yang mayoritas muslim. Seperti pengalamannya di Khasmir, dia membayangkan akan bertemu perempuan-perempuan bercadar. Dokter-dokter akan kesulitan memeriksa pasien perempuan, apalagi melakukan operasi.
“Saya terbayang penerapan Syariat Islam yang strict di Pakistan,” tutur Chaviano.
Chaviano adalah pegawai pemerintah. Latar belakang Chaviano bukan medis sebetulnya. Dia seorang insinyur energi otomatik kontrol. Pemerintah Kuba mendaulatnya sebagai kepala tim medis Bencana Alam Internasional (Medical Team Leader for International Natural Disaster).
Untuk Yogyakarta, Chaviano berangkat bersama dengan 135 personel, yang terdiri atas 124 orang dokter – mulai dokter umum, bedah, hingga ortopedi. Kru lainnya adalah perawat, teknisi dan tukang masak.
Tanggung jawab Chaviano tidak ringan. Dia punya beban tugas untuk mengontrol operasi peralatan-peralatan medis.
Tim harus berangkat pada 1 Juni 2006.
Istri Chaviano bertindak sigap. Ia mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa suaminya membantu korban bencana alam. Ia menyiapkan seperangkat peralatan pemberian pemerintah untuk keperluan itu, mulai dua ransel (satu berukuran kecil, satu lagi ransel gunung besar), satu kompor kecil, celana jeans, T-shirt warna merah, dan sepatu boot hitam. Dia sudah hafal apa yang diperlukan suaminya karena sebelumnya pernah dua kali menjalani misi yang sama: di Zimbabwe dua tahun dan di Pakistan enam bulan.
MALAM hari, didampingi anggota keluarga masing-masing, mereka berkumpul di Bandara Havana untuk berangkat. Keluarga mereka bangga anggotanya hendak membantu korban bencana alam. Liliana, anak Chaviano, juga bangga pada ayahnya yang waktu itu berangkat dengan diantarkan Menteri Luar Negeri Kuba, Felipe Perez Roque. Sebelum berangkat, Liliana memesani ayahnya untuk membeli boneka dan baju saat pulang nantinya.
Komunikasi dengan Jakarta terus mereka lakukan. Ada sedikit ganjalan. Rencana awal, semua bantuan dari mereka akan di pusatkan di Yogyakarta yang menjadi episentrum gempa. Namun, pemerintah Jakarta dan pemerintah propinsi Yogyakarta rupanya masih bersitegang. Mereka berdebat soal status gempa: bencana lokalkah atau bencana nasional. Pemerintah Yogyakarta menganggap gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006 sebagai bencana lokal dan cukup diselesaikan secara lokal. Mereka menolak bantuan-bantuan asing.
Fidel Castro turun tangan. Dia menelepon presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicarakan masalah ini. Akhirnya, keduanya bersepakat bantuan dipusatkan di Kabupaten Klaten yang terkena gempa paling parah. Malam itu juga akhirnya tim medis Kuba diberangkatkan dengan pesawat Cubana dari bandara Havana.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 jam dan melakukan tiga kali transit di Lisabon, Istambul dan Calcuta, pada 3 Juni 2006 siang pesawat yang membawa mereka mendarat di Bandara Adi Sumarmo, Solo. Mereka disambut oleh Jorge Leon, duta besar Kuba untuk Indonesia.
Sesampainya di Solo, Louis Chaviano senang melihat perempuan-perempuan mengenakan rok pendek, bekerja di toko dan bersepeda motor. Bayangan wanita muslim bercadar yang pernah dia temui di Khasmir tidak dia temukan di Solo.
“Saya langsung bernapas lega,” tutur Chaviano.
Dari bandara Solo, mereka mampir ke kantor bupati Klaten untuk beramah tamah. Tuntas itu, mereka menginap di Quality Hotel Solo. Suwarna SE, bupati Klaten menawarkan dua tempat untuk pusat kegiatan dokter Kuba ini: di Kecamatan Gantiwarno dan Prambanan.
Di Gantiwarno, mereka mendapat tempat di halaman sebuah SD. Sementara di Prambanan, mereka mendapat tempat di sebuah tanah lapang milik Hariadi --dulunya tanah itu digunakan untuk depot pasir.
Malam itu juga Chaviano ditemani beberapa orang menyurvai kedua tempat tersebut. Mereka menganggap kedua tempat itu layak.
Pagi harinya, 60 ton peralatan dan obat-obatan sampai di bandara Adi Sumarmo. Para anggota tim check out dari hotel untuk mendirikan tenda-tenda dan mengurus obat-obatan dan peralatan.
Pertama kali mereka mendirikan tenda-tenda di Gantiwarno lalu di Prambanan. Seharian berpanas-panasan, akhirnya tenda-tenda ukuran besar ini berdiri. Dua tenda untuk ruang rawat inap, laki-laki dan perempuan, ruang operasi, ruang gawat darurat, laboratorium dan ruang menginap para penerjemah. Selain itu, mereka juga mendirikan tenda-tenda kecil untuk menginap para anggota tim. Satu tenda ditempati dua orang.
Malam harinya Louis Chaviano menginstal peralatan-peralatan medis, mulai mesin rongent, mesin pendeteksi suara, mesin pendeteksi darah sampai alat-alat komunikasi. Louis dan kawan-kawannya bekerja cepat. Esoknya, 5 Juni, rumah sakit itu mulai beroperasi.
Tidak ada pesta pembukaan.
Untuk menginformasikan keberadaan kedua rumah sakit ini kepada masyarakat, mereka hanya memasang umbul-umbul bertuliskan “Pengobatan dan Operasi Gratis untuk Rakyat Indonesia dari Tim Medis Kuba” di antara bendera Kuba dan bendera Indonesia. Selain itu, secara bergantian dokter-dokter Kuba itu mengunjungi desa-desa untuk mengobati korban-korban gempa sambil terus menginformasikan keberadaan kedua rumah sakit itu.
TIM Chaviano bernama Brigade Medis Henry Reave. Mereka siap setiap saat untuk diterbangkan membantu korban bencana alam di seluruh dunia. Mereka sudah bekerja membantu korban bencana dan konflik di lebih dari 60 negara, termasuk Indonesia dan tetangganya di Timor Leste.
Chaviano menceritakan banyak hal pada saya, tentang pengalaman-pengalamannya selama ini, terutama sewaktu bertugas di Zimbabwe dan Khasmir, sistem pendidikan dan kesehatan di Kuba sampai tokoh idolanya Che Guevara. Dia senang bisa melakukan hal yang sama dengan sang idola, berkeliling dunia untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
“Che melakukan apa saja di tempat mana saja yang membutuhkan,” tutur Chaviano pada saya.
Sekilas, wajah Louis Chaviano rasanya mirip juga dengan Che Guevara, yang tergambar di kaos tanpa lengan yang dia kenakan siang itu. Rambutnya berombak sebahu dan kulitnya coklat khas Amerika latin. Saya bertemu dengannya pada 23 Agustus lalu, di Klaten, atau setelah hampir tiga bulan dia bekerja di sana bersama relawan medis Kuba.
Nuansa Che terlihat di hampir setiap tempat. Yang paling dominan tentu saja di sebuah ruangan yang bersinar agak redup, tempat peralatan rongent tersimpan. Di sana terpampang poster-poster Che Guevara, selain Fidel castro, di dinding tenda. Tak hanya poster, sesungguhnya. Tapi juga tampilan para dokternya. Seperti juga Chaviano, sebagian dokter laki-laki memiliki rambut panjang, ikon rambut yang mengingatkan orang pada Che Guevara.
Che Guevara yang dimaksud adalah salah satu pahlawan revolusi Kuba. Sejak tahun 1956, Che, bersama Fidel Castro dan Raul Castro, mengorganisasi petani Kuba untuk bergerilya melawan Diktator Fulgencio Batista.
Guevara dan Fidel Castro antara lain berjanji untuk menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai pilar utama Kuba setelah revolusi. Selama gerilya, para petani melihat kesungguhan para pemimpin mereka. Guevara sendiri, yang memang dasarnya seorang dokter, mengobati sendiri para gerilyawan yang terluka. Selain itu, pada saat senggang, Guevara mengajar membaca pada para pengikutnya yang rata-rata buta huruf.
“Pendidikan tidak hanya berfungsi vertikal namun juga horisontal.” Jargon ini sering diucapkan Che. Pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mencapai kekuasaan dan uang, tapi juga untuk fungsi sosial dan kemanusiaan.
Tahun 1959 Kuba lepas dari Batista. Fidel Castro berusaha melaksanakan janji-janjinya. Dan berhasil. Menurut Juan Casassus, anggota tim dari the Latin American Laboratory for Evaluation and Quality of Education at UNESCO Santiago, prestasi tinggi Kuba dalam pendidikan ini merupakan hasil dari komitmen kuat pemerintahan Kuba, yang menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas teratas selama 40 tahun sesudah revolusi. Pemerintah Kuba memang mengganggarkan sekitar 6,7 persen dari GNP untuk sektor ini, dua kali lebih besar dari anggaran pendidikan di seluruh negara Amerika Latin.
Dengan anggaran sebesar itu, pemerintah Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan, mulai level sekolah dasar hingga universitas. Bebas biaya pendidikan diberlakukan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional. "Everyone is educated there. Everyone has access to higher education. Most Cubans have a college degree," ujar Rose Caraway, salah satu mahasiswa AS yang ikut progam studi banding di Kuba, pada 2005. Kebijakan ini menjadikan rakyat Kuba sebagai penduduk yang paling terdidik dan paling terlatih di seluruh negara Amerika Latin. Saat ini saja ada sekitar 700 ribu tenaga profesional yang bekerja di Kuba.
Tetapi, kebijakan menggratiskan biaya pendidikan ini tampaknya kurang mencukupi. Sejak tahun 2000, pemerintah Kuba mencanangkan program yang disebut “University for All.” Tujuan dari program ini adalah untuk mewujudkan mimpi menjadikan Kuba sebagai “a nation becomes a university.”
Melalui program ini seluruh rakyat Kuba (tua-muda, laki-perempuan, sudah berkeluarga atau bujangan) memperoleh kesempatan yang sama untuk menempuh jenjang pendidikan universitas. Caranya, pihak universitas bekerjasama dengan Cubavision and Tele Rebelde, menyelenggarakan program pendidikan melalui televisi. Saat ini media televisi Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya. Jumlah ini sekitar 63 persen dari total jam tayang televisi Kuba. Sejak program on-air ini, pada 2 Oktober 2000, ada sekitar 775 profesor yang datang dari universitas-universitas besar di Kuba yang aktif terlibat dalam program ini.
Program kesehatan bisa dikatakan sebagai dampak dari pembangunan pendidikan Kuba itu. Cliff Durand, profesor emeritus filsafat di Morgan State University, Baltimore, AS, mengungkapkan, saat ini rata-rata tingkat kematian dini di Kuba hanya 5,8 kematian dalam satu tahun untuk 1.000 kelahiran. Angka ini adalah yang terendah di kawasan Amerika Latin, bahkan lebih rendah dari yang terjadi di Amerika Serikat.
Jumlah tenaga dokter per kapita Kuba jauh lebih banyak dibandingkan negara mana pun di dunia. Saat ini saja, ada sekitar 130.000 tenaga medis profesional. Sebanyak 25.845 tenaga dokter Kuba bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara, 450 di antaranya bekerja di Haiti, negara termiskin di benua Amerika. Sebagian lainnya bekerja di kawasan-kawasan miskin di Venezuela. Ketika terjadi bencana topan Katrina di New Orleans, beberapa waktu lalu, Presiden Fidel Castro berinisiatif mengirimkan 1.500 tenaga dokter. Tapi, inisiatif ini ditolak oleh pemerintah AS dengan alasan yang sifatnya politis.
Tidak hanya untuk rakyat Kuba, kini melalui Latin American School of Medicine, pemerintah Kuba memberikan beasiswa untuk pendidikan kesehatan kepada ratusan kaum muda miskin dari seluruh negara Amerika Latin, Afrika, bahkan Amerika Serikat. Yang menarik, di Kuba pengajaran kesehatan tidak hanya menyangkut soal ilmu pengetahuan dan seni pengobatan tapi, juga nilai-nilai pelayanan sosial terhadap kemanusiaan. Seperti dikemukakan Castro, ketika mewisuda 1.610 mahasiswa pada musim panas Oktober 2005,
“Modal manusia (human capital) jauh lebih bernilai ketimbang modal kapital (financial capital). Modal manusia meliputi tidak hanya pengetahuan, tapi juga – dan ini yang sangat mendasar – kesadaran, etika, solidaritas, rasa kemanusiaan yang sejati, semangat rela berkorban, kepahlawanan, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam jangka panjang.”
MEREKA bekerja dengan mengenakan jins dan T-shirt, sementara dokter perempuannya banyak yang mengenakan tang top. Pembawaan mereka umumnya ramah-ramah. Saya tertawa sendiri mendengar dialog salah satu dokter dengan pasien. Walau ditemani para penerjemah, mereka mencoba untuk berbicara Bahasa Jawa.
“Matur nuwun, terima kasih”
“Sami-sami, sama-sama”
Beberapa pasien perempuan dan anak-anak saya lihat tergeletak di bangsal-bangsal panas di ruang rawat inap perempuan. Dua orang pasien telah menjalani operasi cesar, seorang menjalani perawatan setelah operasi tumor, dan seorang ibu baru saja bersalin.
Ginem termasuk salah seorang yang bersyukur dengan kedatangan dokter-dokter Kuba ini. Dia datang ke rumah sakit untuk melahirkan anak keduanya.
Ginem bercerita kalau sebelumnya dia telah memeriksakan kandungannya di rumah sakit Bethesda, Yogyakarta. Dia disarankan untuk melakukan persalinan dengan cesar, karena kandungannya telah telat dua minggu. Ini berarti, kata Ali Yani, suami Ginem, mereka harus menyiapkan uang minimal Rp 7 juta. Jumlah sebesar ini tentu berat baginya, yang sehari-hari hanya buruh di sebuah swalayan di Yogyakarta.
“Walaupun panas, saya tidak apa-apa yang penting anak saya selamat,” tutur Ginem.
Saya tidak tahan menyaksikan para pasien ini di rawat di tenda-tenda yang panas. Saya lalu meminta Chaviano untuk melanjutkan ke ruangan lain. Kami lalu mengunjungi laboratorium. Hanya tenda-tenda tempat menginap mereka yang tidak boleh saya kunjungi.
“Itu adalah satu-satunya tempat pribadi kami,” tutur Chaviano.
Saking asyiknya mengobati pasien mereka lupa kalau mereka tinggal di lapangan yang tidak punya fasilitas untuk mandi. Pada minggu pertama, walau capek setelah seharian mengobati pasien, mereka mendirikan sendiri kamar mandi sederhana berdinding seng.
Hari sudah mulai sore. Saya kembali ke hotel yang berjarak tiga kilo meter dari rumah sakit Kuba di Kecamatan Prambanan. Di sana, saya mandi dan makan malam.
CHAVIANO dan anggota Brigade bagi Anangga Kurniawan (22) adalah kawan-kawan yang menyenangkan. Kurniawan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta, penerjemah di rumah sakit tenda tersebut. Dia mendampingi mereka, mulai saat mengobati pasien hingga saat mereka mengadakan kunjungan ke desa-desa di sekitar Klaten.
Sejak menjadi relawan di Kuba, Kurniawan tinggal di sebuah tenda besar di lokasi rumah sakit tenda Kuba di Kecamatan Prambanan. Ada dua tenda bagi Kurniawan dan kawan-kawan: satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan. Semua kebutuhannya selama di tenda ditanggung oleh rumah sakit Kuba.
Dari interaksi antara pasien-pasien dengan para dokter, Kurniawan tahu bagaimana mereka bersungguh-sungguh dalam menangani pasien. Dalam menangani penyakit tertentu, bahkan ada tujuh dokter sekaligus yang menangani satu pasien. Mereka berdiskusi dengan Bahasa Spanyol, Kurniawan tidak tahu pasti apa maksudnya, namun dari tindakan para dokter itu, dia tahu kalau mereka serius menangani para pasien.
Aktivitas Kurniawan biasanya dia mulai pada jam enam pagi. Dia dan kawan-kawannya mulai mempersiapkan pendaftaran pasien-pasien. Jam pendaftaran mulai pukul 07.00 sampai pukul 10.00. “Biasanya tiap hari ada sekitar 350 pasien,” tutur Kurniawan.
Setelah mendaftar, pasien mereka sebagian menemani dokter di rumah sakit, sebagian lagi menemani para dokter untuk berkeliling desa-desa untuk mencari pasien yang tidak bisa datang ke rumah sakit. Biasanya, kunjungan berlangsung hingga pukul 09.00 pagi hingga pukul 13.00. Mereka kembali ke rumah sakit dan membantu para dokter yang ada di sana.
Kurniawan punya pengalaman yang menarik perhatiannya. Suatu hari, sehabis mengadakan kunjungan ke desa, para dokter itu hendak belanja. Sejak dua bulan menjadi penerjemah, ajakan belanja itu adalah yang pertama baginya. Mereka mengatakan hendak mencari sepatu anak dan kaos. Kurniawan senang, lalu mengajak mereka ke Swalayan Matahari, Klaten, yang merupakan tempat belanja terbesar di Klaten.
Karena sudah lama tak belanja, Kurniawan membayangkan mereka akan belanja habis-habisan seperti bule-bule yang biasa ia temani saat jadi guide wisata. Perkiraan Kurniawan meleset. Mereka hanya belanja barang yang disebutkan yaitu sebuah T-shirt dan sepatu anak. Itupun mereka mencari yang paling murah atau yang diskonan. Setelah membeli kaos dan sepatu anak, mereka langsung pulang. Kurniawan masgul karena – lagi-lagi --tidak ada acara makan-makan setelah belanja.
Sebenarnya Kurniawan sudah curiga kalau dokter-dokter Kuba itu hanya dokter-dokter miskin. Setiap hari, mereka hanya mengenakan dua kaos secara bergantian. Kalau tidak merah, ya hijau. Selain itu, mereka tidak pernah makan di luar dan sangat hati-hati menggunakan uang. “Kalau belanja, paling-paling cuman beli teh,” tutur Kurniawan.
Dengan segala kederhanaan ini mereka sungguh-sungguh membantu para korban bencana. “Kami hanya dari negara miskin. Kami hanya membantu sesuai dengan apa yang telah kami kuasai,” kata Chaviano.
Pada dua bulan pertama, Kurniawan menyaksikan sendiri bagaimana mereka bekerja penuh dalam seminggu tanpa hari libur, 24 jam mereka melayani pasien. Menjelang bulan ketiga, mereka libur di hari minggu.
SUBANDI (56) duduk di atas batu hitam, di antara pohon kelapa dan pohon Trembesi di sudut tanah lapang di pinggir ruas jalan Yogya-Solo. Di depannya berbaris sepuluh tenda rumah sakit, dan dua puluh tenda tempat tinggal para dokter. Sisanya dua tenda untuk para penerjemah dari Universitas Negari Surakarta.
Tenda-tenda warna putih rumah sakit, tertutup debu dan menjadi coklat. Panas dan pengap suasana dalam tenda tersebut. Subandi termasuk pasien kepanasan. Dia memilih duduk di luar tenda.
“Planangan kulo sakit lan panas menawi kerjo berat,” tutur Subandi kepasa saya. (Kemaluan saya sakit dan panas kalau bekerja berat).
Dua tahun kemaluan Subandi bengkak menjadi dua kali lipat. Menurut pemeriksaan dokter, dia menderita penyakit Hernia. Istilah lokalnya usus ting planangan atau kontol landung (kemaluan besar) untuk istilah kasarnya. Selama itu, dia tidak memeriksakan penyakit yang dideritanya. Untuk mengurangi rasa sakit, biasanya dia melakukan pijat urut sewaktu penyakitnya kambuh.
Subandi belajar dari pengalaman para tetangga yang menderita penyakit serupa. Penyakit semacam itu akan sembuh kalau dioperasi. Subandi harus mengubur keinginannya untuk operasi karena biaya yang besar. Biaya yang besar itu menurutnya lebih baik digunakan untuk biaya pendidikan anak perempuannya, Tri Suwanti (24). Tri kuliah di Fakultas Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surakarta, “Cita-cita saya, kalau Tri lulus akan mengumpulkan uang untuk operasi,” tutur Subandi.
Tri Suwanti telah lulus kuliah, Subandi pun mengumpulkan uang untuk operasi. Sebagai petani dia berencana untuk operasi setelah panen padi. Namun rencana itu segera punah saat gempa bumi 5,9 Skala Richter menghajar Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian Selatan, pada 27 Mei 2006. Tanaman padinya rusak dan rencana untuk operasi juga gagal.
Subandi mengetahui para dokter-dokter Kuba bisa meredakan derita Subandi. Ia pergi ke sana untuk mengoperasi penyakitnya. Kemungkinan untuk sembuh kembali tumbuh. Dia segera mendatangai rumah sakit Kuba di Jalan Solo-Yogya, Klaten, pada Agustus.
“Semuanya lancar, saya tinggal mengungkapkan keluhan saya dan menerjemah akan menyampaikannya ke dokter,” tutur Subandi. Enam hari berselang, operasinya penyakit Subandi dilaksananakan.
“Sekarang sudah baik, sudah kempes, tinggal periksa rutin,” tutur Subandi.
Di ruang rawat inap, saya bertemu pasien lain. Namanya Ginem (42). Dia tampak berseri-seri karena telah berhasil melakukan operasi Cesar. Sebelumnya dia telah dua minggu telat melahirkan. Dia bersyukur dan berterima kasih pada dokter kuba yang telah menyelamatkan nyawanya.
Sebelumnya, Ginem selalu memeriksakan kandungannya ke Rumah Sakit Bethesda, namun karena tidak mampu membayar enam juta untuk operasi cesar akhirnya dia pindah ke rumah sakit Kuba. “Panas-panas saya nggak papa, yang penting saya selamat anak saya selamat,” tutur Ginem.
Ginem dan pasien-pasien lain merasa heran ketika mendengar bahwa dokter-dokter Kuba itu pada akhirnya disuruh meninggalkan Yogyakarta lantaran ada keluhan dari institusi kesehatan. Mungkin mereka kekurangan pasien karena semuanya tersedot ke rumah sakit tenda. “Masak masih banyak pasien kayak gini pemerintah tega mengusir para dokter yang rencananya enam bulan menjadi tiga bulan,” ujar Prasetya, suami Ginem.
Dia, bersama sejumlah pasien, kemudian menuliskan protes mereka di kertas-kertas plano dan memasangnya di pagar masuk rumah sakit. Sebagian bertuliskan: “Dibantu kok ngusir”, “biarkan Kuba membantu rakyat”.
Prasetya dan kawan-kawannya tidak yakin tulisannya akan dilihat pemerintah, sekaligus mencegah kepergian mereka. *
--Pernah dimuat majalah Playboy, edisi November 2006.
Comments
"Dibantu kok ngusir" :(