Skip to main content

Anak-Anak Muhajirin

Desa Renokenongo punya lima dukuh. Sejak meluapnya lumpur Lapindo Mei 2006,
secara bertahap desa-desa ini terendam lumpur. Pertama tiga dukuh: Balungnongo,
Wangkal dan Renomencil. Penduduknya lalu mengungsi di balai desa Renokenongo.
Sementara dua dukuh lainnya, Sengon dan Renokenongo masih bisa ditempati.

Namun setelah meledaknya pipa gas pertamina di dekat lokasi luapan lumpur pada
22 November 2006, tanggul lumpur ambrol dan lima dukuh di Renokenongo tenggelam,
termasuk balai desa yang digunakan mengungsi. Orang-orang Balungnongo, Wangkal
dan Renomencil lantas terpencar mencari kontrakan. Sementara warga Sengon dan Renokenongo
mengungsi ke pasar Baru Porong. Beberapa media memberitakan ledakan ini
mengakibatkan 8-14 orang meninggal namun banyak penduduk yang meyakini
korbannya jauh lebih banyak.

 

Keadaan semacam ini berlangsung hingga satu tahun dan Lapindo belum punya
kejelasan tanggungjawabnya atas musibah pada warga ini. Walau mumet
dengan ketidakjelasan ini, mereka tak ingin kehilangan semuanya. Paling tidak
mereka ingin anak-anak mereka lebih baik dan tak ingin mereka juga larut dalam
kepiluan.

Ide inilah yang kemudian melatarbelakangi pendirian Taman Kanak-Kanak Muhajirin
di tengah-tengah pengungsian Pasar Baru Porong. Nama ‘Muhajirin’ dipilih untuk
pengingat bahwa mereka hijrah (lebih tepatnya diusir) dari tempat tinggal
mereka menuju pengungsian.
Mereka hanya modal dengkul dan semangat waktu
hendak mendirikan TK ini. Awalnya semua sekolah di Renokenongo tenggelam dalam
lumpur Lapindo: SDN I dan II Renokenongo, SMP II Porong dan MI hingga MA milik Yayasan
Khalid bin Walid. Belakangan, MI-MA Khalid bin Walid masih bisa digunakan meski
bangunannya sudah rusak berat. Sementara SD dan SMP sudah tidak bisa digunakan
dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah lain.
SDN I Renokenongo dipindah ke SD Glagaharum (SD Glagah meminjamkan ruangan dan
siswa SDN I Renokenongo masuk sore), SDN II Renokenongo pindah SDLB Juwet Kenongo
(masuk pagi) dan SMP II Porong pindah ke SMP I (masuk sore).
"Yang SD dan SMP gedungnya pindah tapi murid dan gurunya tetep,"
tutur Ahmad Surotun Nizar, warga dukuh Reno pada saya.
Setelah tahun ajaran 2007, pengungsi-pengungsi
di pasar Porong punya keluhan sama. Anak-anak usia TK mereka tak bisa sekolah.
Lapindo juga belum memberikan ganti rugi sepeserpun.
"Kalau ke TK paling dekat di desa Gedang dan itu bayar empatratus ribu
rupiah, kami tak punya duit," tutur Mbak Kami.
Para pengungsi ini mengorganisasikan diri dalam "Paguyuban Rakyat
Renokenongo Menolak Kontrak alias Pagar Rekontrak." Mereka didampingi
beberapa aktivis dari Uplink (Urban Poor Linkage Indonesia),
organisasi nirlaba yang mengurusi kaum miskin perkotaan.
Keluhan soal TK ini lalu dibahas dalam rapat pengurus Pagar Rekontrak dan
didampingi beberapa pendamping dari Uplink dan karena kebutuhannya mendesak
mereka lalu mendirikan TK Muhajirin ini dengan apa adanya.
"Ruangnya hanya disekat kain, meja-mejanya dari triplek, pendaftaran
pertama ada 70 anak yang masuk, semuanya digratiskan," tutur Mbak Kami.
Mbak Kami punya putra berusia 5 tahun yang ikut masuk TK namanya Ahmad Fiqhi. Mbak
Kami yang pernah punya pengalaman mengajar lalu didaulat untuk mengajar.


Tak ada target bisa membaca atau menghitung di TK ini. Tujuan pertama dan utama
mereka supaya anak-anak tidak menangis. Mereka dibantu untuk mengungkapkan apa
isi pikiran mereka dengan melukis. Mereka di kasih kertas dan pensil dan
disarankan untuk melukis apa saja yang menarik menurut mereka.
Di luar dugaan, lukisan anak-anak ini berkisar pada rumah, lumpur, bulldozer, bego
(istilah yang digunakan pengungsi untuk menyebut eskavator) dan alat-alat berat
di sekitar lumpur.
Selain melukis mereka juga menceritakan
rumahnya di sana, mainnya di mana, bego yang di sana warna merah atau
biru.
Kegiatan TK ini juga membantu Mbak Kami untuk melupakan sejenak persoalan berat
yang dihadapinya karena Lapindo belum memberikan tanggungjawabnya setelah dua
tahun.
Pengungsi di Pasar Baru Porong belum
mendapatkan uang pembelian tanahnya sepeserpun mereka hanya dapat uang jatah
hidup dan dihentikan bulan Mei lalu. "Aku justru bingung kalau nggak ada
kegiatan ini. Dengan anak-anak bawaannya kita bisa ketawa," tutur Mbak
Kami getir.
*
FOTO-FOTO: LALA/UPLINK, IMAM S 

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Brigade Dokter Kuba

Oleh Imam Shofwan Dari Kuba mereka memberi cinta dan cara bertahan hidup dalam suasana darurat LOUIS Chaviano baru tiga hari berada di rumahnya, di Ave 38 Y Final, Sanatorio Pabellion, Cienfuegos, Kuba. Chaviano sedang melepas kangen pada istri dan anaknya, Liliana Chaviano setelah selama enam bulan berada di Khasmir, Pakistan, bersama rekan-rekannya. Di sana, mereka membantu korban gempa. Sore itu, di paro akhir Mei 2006, ia hanya duduk-duduk saja menonton acara televisi. Tapi sebuah siaran berita menggugah nuraninya. Lagi-lagi soal gempa, dan kali ini diberitakan melanda Yogyakarta. Indera Chaviano menangkap bagian-bagian mengerikan: ribuan orang meninggal dunia dan puluhan ribu orang lainnya luka-luka. Chaviano merasa dirinya harus segera terbang ke Yogyakarta. Namun dia tidak sampai hati untuk menyampaikan perasaannya itu kepada anggota keluarganya. Dia khawatir merusak suasana kebersamaan mereka. Sampai malam, Chaviano berusaha untuk menutupi kegelisahannya. Seseorang dari Departe...

Ada al-Hallaj di Balik Dhani Ahmad

Oleh Mujtaba Hamdi dan Imam Shofwan Berbagai tudingan penghinaan agama menggempur Dhani Ahmad dan Dewa. Dhani tak memungkiri, inspirasi lirik-liriknya bermula dari wacana agama. Dhani bahkan menyukai tokoh-tokoh sufi kontroversial. HARI masih pagi. Cuaca belum begitu panas. Tapi kabar panas sudah muncul di acara infotainment televisi swasta itu. Kamera menyorot tajam segurat wajah yang berucap dengan tegas, “Beberapa lirik dan gambar yang dipakai Dewa dalam kasetnya diambil dari syair aliran sesat di Timur Tengah.” Di layar, tampak subtitle Pertahanan Ideologi Syariat Islam (Perisai). Sepertinya tidak main-main. Ridwan Saidi, sosok yang mewakili kelompok bernama Perisai tersebut, hari itu tengah melaporkan grup band Dewa ke Kejaksaan Agung. Ridwan seorang budayawan dan tokoh Betawi. Ridwan juga suka politik. Di masa Orde Baru, Ridwan sempat menclok di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu pindah ke Golongan Karya (Golkar), kemudian mendirikan Masyumi Baru. Di Era Reformasi, sa...