28 August 2008

Kerugian Ekonomi Yang Tidak Kunjung Pulih


Silahkan dilihat angka-angka ini, Rp 33,2 Triliun; Rp 27,4 triliun; dan Rp 32,8 triliun. Yah, luar biasa besar, bukan?
Dan angka-angka itu bukan angka kerugian investor akibat ribut-ribut ambruknya pasar saham dunia baru-baru ini.
Angka-angka itu adalah perkiraan kerugian ekonomi akibat bencana semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. 
Adalah lembaga-lembaga Greenomics, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melakukan kajian dampak ekonomi dan menemukan angka-angka fantastis diatas.
Senada dengan temuan ini, ekonom Kresnayana Yahya memperkirakan setiap hari sebesar Rp 300 miliar dana di Jatim tidak terpakai untuk kegiatan ekonomi akibat ketersendatan transportasi dan infrastruktur yang disebabkan oleh bencana ini.
Bagaimana mungkin semburan lumpur yang bagi sebagian pejabat sering dikecilkan artinya dengan hanya disebut berimbas kepada masyarakat Porong dan sekitarnya, yang hanya mengubur area kurang dari 2 persen dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Sidoarjo, bisa menimbulkan kerugian demikian besar?
Karena ternyata semburan lumpur ini tidak hanya menenggelamkan wilayah desa-desa di Porong saja. Ikut tenggelam juga adalah jalan tol, infrastruktur utama lainnya (listrik, gas, telepon dan PDAM) serta ketersendatan nadi utama jalur transportasi Jawa Timur yang menghubungkan Surabaya sebagai hub perdagangan nasional, bahkan internasional dengan kota-kota disekitarnya.
Tidak terhitung potensi kerugian akibat penurunan signifikan sektor usaha di Jatim akibat bencana lumpur ini. Misalnya sektor properti di Sidoarjo dan wilayah sekitarnya, Pariwisata di Pasuruan dan Malang, serta beberapa sentra industri di wilayah Pasuruan dan Mojokerto yang harus merelokasi usahanya.
Tetapi kali ini, kami tidak akan membahas mengenai dampak besar ekonomi akibat bencana lumpur. Yang akan kali ini kami angkat adalah, kerugian ekonomi yang dialami korban lumpur dan kegiatan ekonomi usaha rakyat lainnya akibat lumpur Lapindo.
Lumpur Datang, Ekonomi Melayang
Sebagai penopang utama Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, Kabupaten Sidoarjo merupakan wilayah yang cukup makmur secara ekonomi. Berbagai kegiatan ekonomi rakyat berkembang cukup pesat, termasuk diwilayah yang saat ini terdampak oleh lumpur.
Wilayah yang sudah tenggelam mencapai 824 ha., dimana kerugian ekonomi korban dibedakan menjadi kerugian ekonomi pribadi dan perusahaan.
  1. Kerugian ekonomi pribadi dialami oleh warga masyarakat yang daerahnya sudah tenggelam meliputi kehilangan aset berupa tanah dan bangunan dan kehilangan lapangan pekerjaan. Untuk hilangnya lapangan pekerjaan bisa dibagi menjadi beberapa kelompok lagi, yaitu mereka yang kehilangan pekerjaan di sektor formal (pekerja di pabrik yang sudah tenggelam, pemilik usaha dan para pekerjanya, para produsen kecil yang mengerjakan pesanan dari luar daerah dan sebagainya).
Sedangkan sektor informal misalnya pengrajin, toko peracangan, pedagang di pasar desa, warung nasi, tukang ojek, tukang becak, usaha kos-kosan yang menampung pekerja pabrik yang berada di desa2 tersebut, dan berbagai jenis usaha lainnya. Hilangnya pekerjaan juga diakibatkan oleh telah hilangnya ratusan hektar lahan pertanian baik untuk sawah, padi maupun perikanan darat (tambak) yang menyerap banyak tenaga kerja di desa.
  1. Disamping pemukiman, ikut tenggelam juga 28 perusahaan yang total menampung 2.935 orang pekerja. Sebagian pekerja berasal dari desa-desa sekitar yang sudah tenggelam, sebagian besar berasal dari wilayah lain di Kabupaten Sidoarjo, bahkan dari kabupaten lain di Jawa Timur. Sebagian besar perusahaan-perusahaan ini tidak lagi bisa beroperasi sejak awal semburan, dan hampir semuanya belum merelokasi usaha ke tempat baru akibat proses ganti rugi dengan skema business to business (B2B) yang berjalan lambat.
Disamping wilayah yang sudah tenggelam, belasan desa yang berada tepat di sekeliling area yang sudah tenggelam ini juga mengalami kerugian ekonomi yang cukup parah. Terputusnya jaringan jalan, sarana irigasi dan terus melebarnya luapan lumpur juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup penting bagi desa-desa yang berada di sekelilingnya.
Total area pertanian yang tidak berfungsi lagi akibat rusaknya saluran irigasi diperkirakan mencapai 792 ha. Ribuan hektar area tambak (umumnya untuk budidaya udang dan bandeng) juga mengalami dampak langsung akibat penurunan kualitas air. Disamping itu, terjadi penurunan kegiatan ekonomi wilayah2 desa yang terisolir akibat akses jalan ke desa mereka terputus akibat genangan lumpur ini.
Dampak Ikutan Lainnya
Dampak ekonomi lain juga dirasakan oleh kegiatan ekonomi rakyat disekitar lokasi semburan. Misalnya sentra industri tas dan kulit Tanggulangin, kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar pintu keluar tol gempol, penambang pasir disepanjang Kali Porong, serta sentra bordir di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan.
Sentra industri tas dan kulit Tanggulangin terkenal memproduksi tas dan berbagai produk kulit seperti dompet, ikat pinggang, jaket dan lain-lain. Sebelum lumpur jumlah pelaku usaha mencapai 852 unit dengan jumlah showroon mencapai 200 lebih, dengan pembeli sampai ke luar Jawa (Bali dan wilayah lain Indonesia Timur). Bencana lumpur ini telah memangkas 60 sampai 80 persen dari total pengusaha yang sebelumnya beroperasi.
Kegiatan ekonomi di sekitar pintu keluar tol Gempol memanfaatkan puluhan ribu kendaraan yang biasanya melewati pintu tol. Berbagai jenis usaha mulai dari makanan, oleh-oleh, kerajinan dan berbagai produk lainnya, tidak hanya berasal dari masyarakat sekitar, namun dari seluruh Jawa Timur. Sebelum bencana lumpur ini, diperkirakan 200 sampai 300 unit usaha, yang kini terpangkas hanya tinggal 20 sampai 30 persennya saja.
Kegiatan penambang pasir secara tradisional memanfaatkan sedimen Kali Porong untuk dijual sebagai bahan bangunan. Kegiatan ini melibatkan ribuan orang dari desa-desa disepanjang Kali Porong. Kini kegiatan tersebut terhenti total akibat endapan lumpur yang sangat tebal, sehingga tidak mungkin lagi menggali pasir.
Sentra pengrajin bordir di Kecamatan Bangil terkenal dengan berbagai hasil kerajinan bordir dan busana muslim wanita lainnya. Akibat tersendatnya jalur transportasi, pasar utama pembeli dan pedagang di sejumlah pasar grosir di Surabaya, menjadi enggan akibat naiknya biaya produksi dan harga jual, serta keterlambatan pengiriman. Asosiasi Pengusaha Bordir (Aspendir) Bangil yang berjumlah 110 pengusaha, mengalami penurunan omzet hingga 75 persen, dan yang mampu bertahan kini hanya tinggal 60 persennya saja.
***
Dua tahun setengah semburan lumpur Lapindo juga menjadi saksi ambruknya banyak sekali kegiatan ekonomi masyarakat. Tidak hanya mereka yang menjadi korban langsung (mereka yang rumahnya tenggelam), tetapi mereka yang tinggal disekitar lokasi semburan.
Sementara Lapindo dan pemerintah hanya fokus pada urusan penanggulangan dan jual beli aset, kerugian sektor ekonomi rakyat ini masih terabaikan. Dengan kondisi ekonomi nasional dan global yang kian sulit, upaya pemulihan yang mengandalkan sumber daya dari para pelaku usaha sendiri juga akan semakin berat. [win]

27 August 2008

Bakrie Protes Lapindo Dinominasikan Pelanggar Hak Pemukiman

Jakarta - Lapindo Brantas Inc dinominasikan oleh lembaga pemantau hak pemukiman atau Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE) sebagai pelanggar hak pemukiman warga. Keluarga Bakrie, pemilik perusahaan tersebut protes.

26 August 2008

retakan lumpur yang merongrong tanggul di sisi timur tanggul cincin Lapindo

Tanggul Cincin Lapindo Jebol
Catatan Imam Shofwan 26 Agustus 2008

Tiga bego, eskavator, berlomba menjulurkan lengan pengeruknya di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo. Satu bego mengeruk lumpur dari pusat semburan dan membuangnya di sisi timur tanggul sementara dua bego lainnya mengeruk tanah dan meninggikan tanggul. Pusat semburan ini biasa disebut lokasi tanggul cincin karena bentuk tanggulnya yang melingkar. Sisi timur tanggul ini jebol pada malam tadi.

25 August 2008

Tujuh Warga Mindi Diamankan Polsek Porong
Catatan Imam Shofwan 25 Agustus 2008

Magrib tadi tujuh warga Mindi yang ikut dalam aksi menutup tanggul lumpur Lapindo diamankan aparat. Mereka adalah Shohibul Izar warga RT 02 RW 01, Abdul Mukti warga RT 20 RW III, Muhammad Fatoni warga RT 07 RW III, Tri Joko Nugroho warga RT 21 RW III, Abdul Haris warga RT 14 RW II, Syamsul Ali warga RT 15 RW II, Boneran warga RT 14 RW II.
Reno Kenongo Segera Tenggelam
Oleh: Imam Shofwan, 26 Agustus-03 September 2008
Tanggul cincin Lapindo bagian timur jebol 26 Agustus 2008









Jebolnya tanggul cincin menyebabkan dua rekahan besar yang merembeskan air asin dan lumpur ke arah desa Reno Kenongo, Gelagah Arum dan beberapa desa lain di sebelah timur tanggul cincin.


















Beberapa hari setelah tidak segera ditangani:


















Desa Reno Kenongo jadi lautan air asin campur lumpur, yang susah orang kecil:


Renokenongo, 13 September 2008

Halaman Masjid dan Sekolah Khalid bin Walid Reno Kenongo, digenangi air lumpur Lapindo

Korban Lapindo menuntut Lapindo melunasi hutangnya

Ribuan Korban Lapindo Menutup Tanggul
Catatan Imam Shofwan, 24 Agustus 2008


Sejak subuh tadi Dumadi bersama dengan sekitar 470 warga Reno Kenongo yang tanahnya tergenang lumpur Lapindo menutup operasi penanggulan PT Minarak Lapindo Jaya. Mereka merasa masih memiliki tanah yang kini ditanggul. Mereka menutup pintu titik 43 yang letaknya tepat di bekas desa mereka alias Reno Kenongo.

20 August 2008

Menuntut Tanggung Jawab Lapindo

Warga berhak menuntut agar PT MLJ segera mematuhi perjanjian, sekaligus menuntut ganti rugi atas keterlambatan yang terjadi.

Agustus ini, masa kontrak rumah Multajam, 43 tahun, habis. “Sudah dua tahun,” ujar Multajam, korban lumpur Lapindo yang mengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (Perumtas II) sejak Agustus 2006 ini. Multajam berharap, ia bisa menyewa tempat tinggal lagi dengan uang 80 persen sisa pembayaran dari PT Minarak Lapindo (MLJ). Tapi Multajam kecewa, PT MLJ mangkir, tidak mau menyelesaian transaksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 yang menyatakan 80 persen akan dilunasi paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah habis.

Pasal 15 Perpres itu, ayat 1, secara gamblang telah menetapkan, Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.”

Masih pasal yang sama, ayat 2, tertulis, “Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.” Multajam, yang berasal dari Desa Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin ini, menandatangani kontrak jual-beli tanah dan bangunan dengan PT MLJ pada Agustus 2006. Seharusnya hari ini ia sudah menerima 80 persen, tapi kenyataannya ia belum menerima sepeser pun. Multajam memang hanya punya bukti Letter C. Rupanya, inilah yang menjadi alasan PT MLJ menolak melunasi 80 persen sisa pembayaran.

Bagi PT MLJ, surat bukti kepemilikan tanah selain sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) tidak bisa dibuat Akta Jual Beli (AJB). Andi Darussalam Tabusalla, Wakil Direktur Utama PT MLJ, beralasan, “Kami berpegangan pada Undang-Undang Pokok Agraria dan ketentuan dalam Perpres No 14 Tahun 2007,” katanya dalam website resmi MLJ. PT MLJ keliru. Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tanggal 24 Maret 2008 menjadi bukti kesalahan persepsi PT MLJ. Surat yang bertajuk Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo itu menyatakan, “Terdapat 4 (empat) mekanisme penyelesaian jual-beli antara masyarakat korban lumpur Sidoarjo dengan PT Lapindo Brantas yang masing-masing sesuai dengan lampiran surat ini.” Dalam lampiran itu, BPN menjelaskan secara rinci. Pertama, mekanisme jual beli untuk tanah bersertifikat hak milik, kedua untuk tanah dengan bukti Yasan, Letter C, Pethok D, Gogol, ketiga untuk tanah bersertifikat hak guna bangunan, dan keempat untuk tanah Pemerintah/Pemda.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi PT MLJ untuk tidak melunasi 80 persen. Tapi, PT MLJ malah berbelit dan mengajukan skema cash and resettlement untuk tanah dengan bukti Letter C, Pethok D, atau SK Gogol. Anehnya, skema ini seolah-olah merupakan permintaan warga korban dan bukan sodoran PT MLJ. Pada 25 Juni 2008 lalu, PT MLJ mampu membujuk sebagian warga korban untuk menandatangani kesepakatan cash and resettlement itu.

Dalam kesepakatan itu disebutkan, bangunan akan dibayar tunai, sedangkan tanah akan ditukar dengan tanah, satu banding satu. Tarif bangunan 1,5 juta per meter persegi, dan dibayar 2 bulan setelah warga membubuhkan tanda tangan persetujuan pola cash and resettlement. Tanah pekarangan akan ditukar dengan tanah kavling di kawasan Kahuripan Nirvana Village (KNV). Sementara, sawah akan ditukar dengan sawah di Desa Sambibulu, Kecamatan Sukodono. Uang 20 persen yang sudah diterima warga tidak dihitung, dianggap hibah.

Secara sekilas, pola ini sangat menguntungkan warga. Sudah dapat ganti tanah, bangunan dibeli secara tunai, dapat hibah pula. “Ini merupakan solusi jalan tengah yang melegakan kedua pihak, maka seyogyanya diterima dengan lapang dada dan terbuka,” kata Andi Darussalam kepada wartawan di Surabaya. Seorang budayawan malah sempat mengatakan di media, “MLJ itu bisa disebut malaikat. Masak ada setan yang mau hibah? Tentu, yang melakukan hibah adalah malaikat.”

Toh, tampak aneh ketika dalam kesepakatan tersebut, poin 5, terdapat semacam ancaman bagi pemilik tanah nonsertifikat, “PT Minarak Lapindo Jaya tidak akan melaksanakan pembayaran cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikannya Pethok D/Letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apa pun.”

Terhadap ancaman semacam itu, warga pun panik. Multajam tak urung juga sempat panik. Tapi dia tetap tidak mau menggunakan pola cash and resettlement. Pertama, soal pembayaran bangunan, ia harus rela menunda 2 bulan setelah penandatanganan. Padahal kalau menurut aturan Perpres, dia sudah harus dibayar kontan 80 persen, hari ini. “Orang yang sudah tanda

tangan cash and resettlemnent kemarin saja belum cair,” ujar Multajam, merujuk salah seorang temannya yang memilih skema tersebut.

Kedua, untuk tanah, tanah kavling yang tersedia 90 meter persegi dan 120 meter persegi. Sementara, tanah Multajam 213 meter persegi. “Kalau (luas) tanahnya kurang, hangus dan kalau tanahnya lebih (warga harus) nomboki, ini dipotong dari pembayaran bangunan,” jelas Multajam.

Amari, 34 tahun, warga Desa Renokenongo, bisa lebih parah nasibnya jika memilih cash and resettlement. “Saya sudah beli tanah dan rumah di desa lain. Buat apa saya beli tanah lagi?”n ujarnya. Warga korban yang mengambil pilihan semacam Amari sangat banyak, bahkan ada yang lebih parah. “Ada yang beli tanah dengan uang muka sekian persen, lalu bikin perjanjian

akan membayar setelah mendapat uang 80 persen,” tutur Ahmad Soetomo, salah seorang Ketua RT Desa Renokenongo.

Ada lagi yang sudah beli tanah dan sudah mendirikan bangunan. Cuma, dengan uang 20 persen jelas tidak mencukupi. Akhirnya mereka berhutang ke sana-sini, dengan janji akan membayarnya setelah memperoleh 80 persen. Maka itu sulit dibayangkan jika warga tidak

menerima 80 persen secara cash and carry. “Gepengo koyok ilir, sampai kapan pun, warga tetap menuntut cash and carry,” ucap Soetomo.

Karena itu bisa dibilang, skema cash and resettlement hanyalah akal-akalan PT MLJ untuk menghindar dari kewajiban. Bupati Sidoarjo Win Hendarso saja tidak mengakui adanya pola penyelesaian tersebut. “Saya tidak tahu apa itu cash and resettlement,” tegas Win ketika menerima audiensi warga korban Lapindo pada 6 Agustus lalu, yang juga dihadiri pihak BPLS dan BPN.

Dalam pertemua itu, terkait perumusan pola cash and resettlement, baik Bupati, BPLS, maupun BPN mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak tahu menahu. PT MLJ sendiri sebenarnya juga sudah menandatangani Risalah Pertemuan 2 Mei 2007 bersama Menteri Sosial, BPN, BPLS, dan perwakilan 4 desa dalam peta terdampak. Dalam risalah itu, PT MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres 14/2007.

“Warga sudah memegang kumpulan dokumen yang tepat. Ada tanda tangan saya, Pak Mensos, semua pihak. Semua lengkap. Semua berkomitmen pada penyelesaian menurut Perpres,” Win menambahkan.

Dalam risalah itu ditegaskan, Pethok D/Letter C/SK Gogol merupakan alat bukti kepemilikan yang sah dan diperlakukan sama dengan Sertifikat.

Meski begitu, hingga hari ini, pelunasan tanah dan bangunan warga belum dilakukan oleh PT MLJ. Bukankah dengan begitu, PT MLJ telah melakukan melakukan pelanggaran? “MLJ telah melakukan tindakan yang dikategori wanprestasi,” jelas Taufik Basari, ahli hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Jakarta. Akibat dari wanprestasi, atau melanggar perjanjian, warga berhak menuntut agar PT MLJ segera mematuhi perjanjian, sekaligus menuntut ganti rugi atas keterlambatan yang terjadi. “Warga sudah dirugikan dengan biaya-biaya yang seharusnya tidak dikeluarkan seandainya tidak terlambat,” tambah Taufik.

Andai 80 persen dibayar tepat waktu, warga tidak akan, misalnya, menggadaikan motornya untuk membiayai kontrak rumah, atau warga bisa memulai pekerjaan baru. Warga pun berhak menuntut penyitaan aset-aset PT MLJ. “Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) ini sama halnya dengan utang-piutang. Warga korban berhak memperoleh jaminan berupa penyitaan aset,” tandas master hukum dari Northwestern University, Chicago, ini (Ba,Mam,Re)

Artikel ini dicetak pada edisi perdana newsletter Kanal (klik, download, untuk versi aslinya)
7 Warga Mindi Diamankan Polsek Porong
Catatan Imam Shofwan 25 Agustus 2008


Magrib tadi tujuh warga Mindi yang ikut dalam aksi menutup tanggul lumpur Lapindo diamankan aparat. Mereka adalah Shohibul Izar warga RT 02 RW 01, Abdul Mukti warga RT 20 RW III, Muhammad Fatoni warga RT 07 RW III, Tri Joko Nugroho warga RT 21 RW III, Abdul Haris warga RT 14 RW II, Syamsul Ali warga RT 15 RW II, Boneran warga RT 14 RW II.

Sebelumnya, kesitar jam 4 sore, sekitar 10 orang warga Jatirejo memecahkan kaca bego, eskavator, yang diparkir di titik 25. Setelah aksi ini tiga orang warga Jatirejo yang diduga melakukan perusakan ditangkap aparat kepolisian dari polsek Porong dan Satuan Samapta Kepolisian Resort Sidoarjo.

Tak hanya melakukan penangkapan polisi juga membubarkan warga Siring yang melakukan aksi penutupan di pintu masuk ke pusat semburan. Aksi ini dilakukan karena Lapindo ingkar janji dalam pembayaran tanah, rumah dan sawah warga yang seharusnya dibayar bulan Juli lalu.

Kebanyakan warga baru dibayar 20 persen dan sebagian bahkan belum dibayar sama sekali.

Karena itulah warga korban Lapindo dari beberapa desa melakukan aksi menutup penanggulan sejak subuh tadi.

"Bayar dulu baru tanggul," begitu tulisan warga dalam spanduk-spanduk mereka.

Penutupan ini dilakukan warga di desa masing-masing; antara lain di desa Siring, Reno Kenongo, Jatirejo, Kedung Bendo dan Ketapang, Mindi (di Pejarakan dekat spill way) dan menimbulkan operasi penanggulan lumpur macet total.

Hingga siang aksi yang diamankan oleh aparat gabungan dari Polsek Porong dan Satuan Samapta ini berjalan tanpa kekerasan.

Kasat Samapta Polres Sidoarjo T Harahap yang saya temui saat mengamankan aksi di titik Reno Kenongo memahami tuntutan warga ini karena memang Lapindo belum membayar sisa utangnya. Dia bilang akan bersatu dengan warga untuk mengamankan aksi ini.

Sampai pada insiden perusakan kaca-kaca Bego di yang diparkir di dekat lokasi desa Jatirejo. Aksi ini dilakukan beberapa orang dan masa aksi tetap tenang di titik masing

Setelah itu polisi yang melakukan pengamanan mulai membubarkan masa aksi yang paling dekat dengan titik Jatirejo adalah Siring dan ini yang dibubarkan aparat. Sound sistem, spanduk dan terpal diangkut semua dalam truk polisi dan dibawa di Polsek Porong.

Meski kejadian pengerusakan di titik penutupan Jatirejo yang berdekatan dengan titik Siring tapi Polisi juga membubarkan aksi penutupan tanggul di dua titik lainnya yang jaraknya lebih dari 5 kilo meter dan tidak mengerti apa-apa dengan aksi pengerusakan ini. Dua titik tersebut adalah titik Renokenongo dan Mindi.

Tak hanya membubarkan aksi polisi juga mengangkut sound sitem dan sepanduk, terpal dari Reno Kenongo dan Di titik Mindi polisi membawa terpal. Tak hanya itu masa aksi yang saat pembubaran ini sedang bergantian untuk menunaikan shalat Magrib juga ditangkap polisi tanpa alasan yang jelas.

Saat saya temui ketujuh orang ini di Polsek Porong mereka masih belum tahu kesalahannya. Saat ditangkap mereka bilang polisi langsung datang satu truk dan bilang kalau waktu aksinya sudah habis.

Saat ketemu T Harahap di Polsek Porong dia hanya bilang polisi tidak menangkap tapi cuman meminta keterangan.

Tanggul Cincin Lapindo Jebol

Catatan Imam Shofwan 26 Agustus 2008

Tiga bego, eskavator, berlomba menjulurkan lengan pengeruknya di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo. Satu bego mengeruk lumpur dari pusat semburan dan membuangnya di sisi timur tanggul sementara dua bego lainnya mengeruk tanah dan meninggikan tanggul. Pusat semburan ini biasa disebut lokasi tanggul cincin karena bentuk tanggulnya yang melingkar. Sisi timur tanggul ini jebol pada malam tadi.

Awalnya cuman air di permukaan lumpur yang meluber di sisi timur tanggul lalu disusul dengan lumpur yang volumenya semakin meningkat karena operasi penanggulan sehari kemarin dihentikan oleh para korban Lapindo dari berbagai desa.

"Lumpur mulai meluber jam 8 malam kemarin dan ini yang merusak tanggul," tutur Ahmad Zulkarnain, corong Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo atau BPLS.

Warga menuntut supaya Lapindo segera melunasi hutang 80% dari harga pekarangan, rumah, dan sawah mereka yang tenggelam dalam lumpur. Harusnya Lapindo membayar bulan lalu namun ternyata mangkir dan warga menutup penanggulan karena merasa tanah yang ditanggul masih miliknya.

"Lapindo baru membayar dua puluh persen," tutur Dumadi, warga Reno Kenongo yang turut dalam aksi penutupan tanggul kemarin. Tak hanya itu warga Reno Kenongo yang tergabung dalam Pagar Rekontrak bahkan belum mendapat bayaran tanah dan bangunannya sepeserpun.

"Bayar dulu baru tanggul," demikian bunyi tuntutan di spanduk-spanduk warga.

Selain jebol di sisi timur cincin tanggul di sebelah timur cincin juga mulai retak. Retakannya lebih dari 10 meter dan lumpur mulai meluber dari dua retakan kecil. Retakan ini terdapat di tanggul tepat di tengah antara dukuh Wangkal, Sengon (desa Renokenongo) dengan perumtas Kedung Bendo.

Retakan ini jelas membahayakan warga-warga desa di sebelah timur tanggul. "Bukan tidak mungkin ada desa baru yang akan terdampak lumpur," jelas Zulkarnain.

TK Di Tengah Pasar

Oleh: Imam Shofwan

Mulanya anak-anak sering merengek dan minta kembali ke rumah setiap saat, lebih-lebih kalau malam. Ini bikin Lilik Kaminah, korban Lapindo asal desa Reno Kenongo di pengungsian pasar baru Porong, tambah senewen. Mereka sudah pusing memikirkan rumah dan tempat kerja mereka yang musnah diterjang lumpur. Akibatnya, anak-anak jadi dibiarkan main apa saja tanpa pengawasan. Mereka cari jalan mudah.

"Hidupe nggak normal, terlalu bebas, sing penting mburu menenge, lek nggak sumpek -hidupnya tidak normal, terlalu bebas, yang penting tidak menangis, biar tidak (makin) sumpek," tutur ibu 30 tahun yang biasa dipanggil Mbak Kami.

Desa Reno Kenongo punya lima dukuh, sejak meluapnya lumpur Lapindo Mei 2006, secara bertahap desa-desa ini terendam lumpur; pertama tiga dukuh; Balung Nongo, Wangkal dan Reno Mencil. Penduduknya lalu mengungsi di balai desa Reno Kenongo. Sementara dua dukuh lainnya; Sengon dan Reno masih bisa ditempati.

Namun setelah meledaknya pipa gas pertamina di dekat lokasi luapan lumpur pada 22 November 2006. Ledakan ini menyebabkan tanggul lumpur ambrol dan lima dukuh di Reno Kenongo tenggelam lumpur termasuk balai desa yang digunakan mengungsi. Orang-orang Balung Nongo, Wangkal dan Reno Mencil lantas terpencar mencari kontrakan sementara warga Sengon dan Reno mengungsi ke pasar Baru Porong. Beberapa media memberitakan ledakan ini mengakibatkan 8-14 orang meninggal namun banyak penduduk yang meyakini korbannya jauh lebih banyak.

Keadaan semacam ini berlangsung hingga satu tahun dan Lapindo belum punya kejelasan tanggungjawabnya atas musibah pada warga ini. Walau mumet dengan ketidakjelasan ini. Mereka tak ingin kehilangan semuanya. Paling tidak mereka ingin anak-anak mereka lebih baik dan tak ingin mereka juga larut dalam kepiluan.

Ide inilah yang kemudian melatarbelakangi pendirian TK Muhajirin di tengah-tengah pengungsian pasar baru Porong. Nama 'Muhajirin' dipilih untuk pengingat bahwa mereka hijrah (lebih tepatnya diusir) dari tempat tinggal mereka menuju pengungsian.
"Anak di pengungsian pasar baru Porong" (foto: Imam S)

Mereka hanya modal dengkul dan semangat waktu hendak mendirikan TK ini. Awalnya semua sekolah di Reno Kenongo tenggelam dalam lumpur Lapindo; SDN I dan II Reno Kenongo, SMP II Porong dan MI hingga MA milik yayasan Khalid bin Walid. Belakangan, MI-MA Khalid bin Walid masih bisa digunakan meski bangunannya sudah rusak berat. Sementara siswa dan siswi SD dan SMP sudah tidak bisa digunakan dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah lain.

SDN I Reno Kenongo dipindah ke SD Glagah Arum (SD Glagah meminjamkan ruangan dan siswa SDN I Reno masuk sore), SDN II Reno Kenongo pindah SDLB Juwet Kenongo (masuk pagi) dan SMP II Porong pindah ke SMP Satu (masuk sore).

"Yang SD dan SMP gedungnya pindah tapi murid dan gurunya tetep," tutur Ahmad Surotun Nizar, warga dukuh Reno pada saya.

Setelah tahun ajaran 2007, pengungsi-pengungsi di pasar Porong punya keluhan sama. Anak-anak usia TK mereka tak bisa sekolah. Lapindo juga belum memberikan ganti rugi sepeserpun.

"Kalau ke TK paling dekat di desa Gedang dan itu bayar empatratus ribu rupiah, kami tak punya duit," tutur Mbak Kami.

Para pengungsi ini mengorganisasikan diri dalam "Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak alias Pagar Rekontrak." Mereka didampingi beberapa aktivis dari Uplink (Urban Poor Linkage Indonesia), organisasi nirlaba yang mengurusi kaum miskin perkotaan.

Keluhan soal TK ini lalu dibahas dalam rapat pengurus Pagar Rekontrak dan didampingi beberapa pendamping dari Uplink dan karena kebutuhannya mendesak mereka lalu mendirikan TK Muhajirin ini dengan apa adanya.

"Ruangnya hanya disekat kain, meja-mejanya dari triplek, pendaftaran pertama ada 70 anak yang masuk, semuanya digratiskan," tutur Mbak Kami.

Mbak Kami punya putra berusia 5 tahun yang ikut masuk TK namanya Ahmad Fiqhi. Dia yang pernah punya pengalaman mengajar lalu didaulat untuk mengajar.

Tak ada target bisa membaca atau menghitung di TK ini. Tujuan pertama dan utama mereka supaya anak-anak tidak menangis. Mereka dibantu untuk mengungkapkan apa isi pikiran mereka dengan melukis. Mereka di kasih kertas dan pensil dan disarankan untuk melukis apa saja yang menarik menurut mereka.

Di luar dugaan, lukisan anak-anak ini berkisar pada rumah, lumpur, bulldozer, eskavator (istilah yang digunakan pengungsi bego) dan alat-alat berat di sekitar lumpur.
Tegar (Foto: Lala)
Selain melukis mereka juga menceritakan rumahnya di sana, mainnya di mana, bego yang di sana warna merah atau biru.

Kegiatan TK ini juga membantu Mbak Kami untuk melupakan sejenak persoalan berat yang dihadapinya karena Lapindo belum memberikan tanggungjawabnya setelah dua tahun.
Anak-anak TK menari di tengah pengungsian jadi hiburan tersendiri bagi pengungsi (Foto: Lala)

Pengungsi di Pasar Baru Porong belum mendapatkan uang pembelian tanahnya sepeserpun mereka hanya dapat uang jatah hidup dan dihentikan bulan Mei lalu. "Aku justru bingung kalau nggak ada kegiatan ini. Dengan anak-anak bawaannya kita bisa ketawa," tutur Mbak Kami getir.

Catatan 22 Agustus 2008
Link-link terkait:
* Menteri ESDM: Pipa Gas Meledak Akibat "Land Subsident"
* Pipa Gas Jatim Dikelola Anak Perusahaan Pertamina
* Polisi Hentikan Penyidikan Ledakan Pipa Gas
*
Warga Reno Kenongo Takut, Mulai Evakuasi Perabotan
* Tanggul Pond A Reno Kenongo Sengaja Tidak Diperbaiki
* Yang Bohong Soal Lumpur Porong

Gas Liar di Siring Barat


Foto dan teks: Imam Shofwan

Seumur hidup Sumargo (38 tahun) tak pernah membayangkan ada gas bisa keluar dari dalam rumahnya. Selama ini dia hidup tenang bersama istri tercintanya Muslimah (29 tahun) dan anaknya yang tampan Nur Mudian (11 tahun). Mereka menempati rumah kecil sederhana di RT 01/01 kelurahan Siring Barat, Porong, Sidoarjo.

Di Siring Barat ada empat RT 1, 2, 3 dan 12. Sementara delapan RT lainnya berada di Siring Timur. Antara Siring Timur dan Siring Barat dipisahkan oleh rel kereta api dan jalan tol yang menghubungkan kota Surabaya dan dengan kota Malang. Kini, pemisah mereka ditambah lagi satu yakni tanggul lumpur Lapindo tepat di sebelah rel.

Delapan RT di Siring Timur telah menjadi kampung mati karena terendam lumpur Lapindo. Para penduduknya telah tercecer ke mana-mana. Sedangkan empat RT ini masih bertahan hidup dengan lingkungan yang buruk. Air bersih tercemar dan bau lumpur menyengat dihirup warga empat RT ini. 8 RT ini masuk dalam peta yang tanahnya akan dibeli Lapindo sedang 4 RT tidak masuk peta.

Orang-orang di delapan RT tersebut baru mendapatkan ganti rugi 20% sementara 80%nya masih belum dibayar Lapindo. “Kami baru dibayar dua puluh persen, dan delapan puluh persennya masih gantung,” tutur Cak Rois, salah seorang warga Siring Timur yang rumahnya terendam lumpur.

Belakangan, di empat RT ini muncul semburan-semburan gas liar yang menakutkan warga karena terkadang disertai percikan api. Gas-gas ini muncul sembarangan bahkan sampai di dalam rumah warga salah satunya di dalam rumah Sumargo.
"gas liar yang mudah terbakar di rumah Sumargo"
Saya ketemu Sumargo sekeluarga, tadi pagi, dia menunjukkan tempat gas itu muncul, yakni tepat di depan pintu rumahnya. Gas ini keluar dari retakan kecil di lantai rumahnya yang diplaster. Awalnya mereka hanya mencium bau gas yang menyengat dan selanjutnya mereka takut menggunakan api, tak berani memasak di lantai. Kalau gas ini di sulut mereka akan keluar api. Sumargo mempraktekkannya dengan menyulutkan api dari korek dan api menyala persis kayak sulap. Saya terkejut.

Sejak gas liar itu keluar Sumargo menjadi was-was dan hidupnya dan keluarganya jadi tidak tenang. Sebelumnya semburan gas liar ini ditemukan di beberapa tempat di empat RT di Siring Barat. Salah satunya di tanah milik Amari, 200 meter dari rumah Sumargo, semburan gas di tempat ini lebih besar bahkan bisa digunakan untuk memasak.
"kegiatan berbahaya warga Siring Barat: menggunakan semburan gas liar untuk memasak"
Warga menjadi gelisah dan menuntut supaya pemerintah memperhatikan hal ini. Mereka menuntut diperlakukan sama dengan warga Siring Timur yang masuk peta dan mendapatkan ganti rugi. Berkali-kali mereka mengajukan tuntutan ke Bupati bahkan empat kali ke presiden namun tak juga ada respon balik.
"pipa yang digunakan untuk saluran gas ke kompor sudah berkarat tanpa ada pengaman"
Pada tanggal 19 Agustus 2008 kemarin semburan baru muncul Siring Barat. Tempatnya di perbatasan tanah milik Toni dan Hubyo.

Semburan gas ini mulai muncul setahun lalu dan penduduk Siring Barat sudah mengeluhkan hal ini pada pemerintah. Selama ini mereka bersabar menunggu dan mereka sudah jengkel. Mereka mengancam kalau misalnya dua bulan ke depan tidak ada kepastian dari pemerintah mereka akan turun ke jalan. Mereka berani mati untuk memperjuangkan hak mereka.

Wis rak wedi mati nek koyo ngene, sudah tidak takut mati kalau begini,” tutur Ibu Hartini 53 tahun warga Siring Timur pada saya.

Catatan 20 Agustus 2008
Berita-berita terkait:

*Di Siring Barat Porong Bubble Gas Kembali Muncul

*Api Berkobar di Siring Barat
*Semburan Gas Muncul Lagi di Siring Barat
*Siring Barat Tak Layak Huni

Ribuan Korban Lapindo Menutup Tanggul

Ribuan korban Lapindo menyetop penanggulan luapan lumpur dan menuntut supaya fihak Lapindo melunasi tanah warga yang terusir

Catatan Imam Shofwan, 24 Agustus 2008

Sejak subuh tadi Dumadi bersama dengan sekitar 470 warga Reno Kenongo yang tanahnya tergenang lumpur Lapindo menutup operasi penanggulan PT Minarak Lapindo Jaya. Mereka merasa masih memiliki tanah
yang kini ditanggul. Mereka menutup pintu titik 43 yang letaknya tepat di bekas desa mereka alias Reno Kenongo.

"Lapindo baru membayar dua puluh persen tanah kami, delapan puluh persennya tidak jelas," jelas Dumadi di pinggir luapan lumpur.

Selain Dumadi dan tetangganya, ribuan warga dari beberapa desa lainnya yang menjadi korban Lapindo juga melakukan aksi serupa yakni menduduki tanah mereka dan menyetop penanggulan.

Aksi ini dilakukan setelah Lapindo mengingkari janjinya untuk melunasi sisa pembayaran yang mustinya di bayar bulan lalu.

Aksi penutupan penanggulan ini dilakukan warga supaya mereka tidak merugikan orang lain. Sebelumnya mereka melakukan aksi penutup akses jalan raya Surabaya-Malang yang terletak di pinggir Tanggul.

"Kami warga kecil yang dirugikan dan kami tak ingin merugikan orang lain. Kami menutup penanggulan karena tanah ini masih milik kami," jelas Dumadi.

Entah Sampai Kapan?

Zoe Gray, Winarko dan Malavika Vartak (foto: Mujtaba Hamdi)

Oleh: Imam shofwan

Pagi tadi dua orang dari Cohre datang ke Posko; Malavika Vartak dan Zoe Gray. Cohre atau Centre on Housing Right and Evictions adalah organisasi nirlaba didirikan di Belanda namun dikendalikan dari kantor pusatnya
di Genewa, Switzerland. Sesuai namanya mereka mengkampanyekan kepemilikan rumah dan pencegahan pengusiran orang dari tempat tinggal mereka. Salah satu kegiatan berskala internasional mereka adalah Housing Right Award, meliputi 3 kategori: violator Award, protector Award, dan defender award.

Mereka berkunjung ke Posko kami karena mendapatkan rekomendasi dari beberapa organisasi non pemerintah, sejak Juni lalu, untuk menominasikan Lapindo sebagai penerima salah satu kategori award tersebut, yakni: Violator alias penjahat.

"Pengumumannya akan dirilis akhir tahun ini," jelas Zoe pada saya.

Mereka mengunjungi korban Lapindo untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut.

Beberapa kawan posko mendampingi mereka mengunjungi pengungsi di pasar baru Porong. Ada 2 wartawan australia dan 2 pendamping mereka yang ikut rombongan ini.

Para pengungsi sekitar 575 keluarga ini adalah bekas warga Renokenongo yang rumahnya dibanjiri lumpur Lapindo menyusul lekadakan pipa gas Lapindo 22 November 2006.

"anak di pengungsian di pasar baru Porong" (Foto: Mujtaba Hamdi)

5 jam kami di sana membicarakan beberapa hal seputar keseharian para korban. Mulai dari bagaimana awal rumah terkena lumpur dua tahun lalu hingga kehidupan berkomunitas mereka sekarang ini.

Awalnya kami ketemu Pak Pitanto, ketua DPD Renokenongo yang kini juga menjadi tokoh yang mempersatukan warga Renokenongo di Pasar Porong.

Pitanto menceritakan betapa sulitnya mengawasi anaknya untuk belajar. “Kalau di rumah dulu masih bisa mengawasi jam berapa mereka harus main, jam berapa mereka harus belajar. Tapi di sini semuanya tak bisa dijalankan,” tutur Pitanto.

pengungsi pasar baru Porong yang dihentikan jatah makannya bulan Mei 2008 (foto: Mujtaba Hamdi)


Malavika menanyakan apa saja fasilitas yang ada di pasar ini ada berapa toilet dan seterusnya. Masih ada listrik , tapi air sudah di putus. Dari 500 lebih keluarga mereka hanya punya 9 toilet.

Ini adalah kelompok yang punya tuntutan tertinggi diantara kelompok korban lapindo lainnya; Mereka menolak cash and carry dan cash and resettlement dengan pola cara lapindo yang bayarnya dicicil. Permintaan mereka sederhana: mereka ingin mereka di bayar lunas. Kalaupun dipindah mereka ingin dipindahkan kumpul dengan tetangga mereka.

Hingga saat ini warga pengungsi di Pasar Porong belum mendapatkan uang dari Lapindo sepeserpun. Mereka hanya mendapatkan jatah makan sekali 5000 rupiah sekali makan tiap orang. Itupun sudah dihentikan bulan Mei lalu.

Untuk mendidik anak-anak, ibu-ibu pengungsi mendirikan sebuah taman kanak-kanak sederhana. Saat ini, tak ada NGO internasional, yang membantu dan mendampingi para korban ini dan mereka berjuang sendiri. Pitoko bilang udah berusaha, mulai meminta tolong camat hingga menemui presiden. Setelah dua tahun bertahan dan pasokan makanan dihentikan, mereka tidak tahu kuat bertahan sampai kapan?

Catatan 19 Agustus 2008.

Tentang Pengungsi Pasar Porong:

*Listrik Putus di Pengungsian Pasar Porong

*Pengungsi Positif Demam Berdarah

*Pernikahan Mewah Adinda Bakrie & Bencana Kelaparan Korban Lapindo

Setelah Dua Tahun Ngontrak, Tinggal Di Mana?

Kontrak itu hampir habis kini, setelah dua tahun, dan pencairan kekurangan 80 persen juga tak kunjung dilunasi Lapindo. Warga bingung mau tinggal di mana selanjutnya

Selasa awal Agustus lalu Hari Suwandi didatangi oleh Aat, orang suruhan Ahmad Zahron, pemilik rumah yang kini dikontraknya. Bulan ini, kontrakan Hari habis dan pesuruh ini menanyakaan apakah Hari mau melanjutkan lagi.

Hari mengontrak dua tahun rumah dua kamar di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II setelah rumahnya di Kedung Bendo, ditenggelamkan lumpur Lapindo. Cak Hari, sapaan akrab Hari Suwandi, tak ada duit untuk memperpanjang kontrakan. Duit 20 persen dari rumahnya yang terpaksa dijual pada Lapindo sudah habis dan 80 persennya nunggak. Lapindo milik keluarga Bakrie itu enggan mengeluarkan duit untuk melunasinya.

Harusnya, seturut pasal 15 Perpres No. 14/2007, sisa 80 persen uang Hari dibayar sebulan sebelum masa kontrakanya habis. Tepatnya pada bulan Juli tahun ini. Cak Hari, yang gara-gara lumpur Lapindo tak hanya kehilangan rumah tapi juga pekerjaannya, pusing tujuh keliling. Nilai 20 persen yang diterima Cak Hari, yakni sebesar 31.268.000 rupiah, sudah habis untuk makan sehari-hari dan dibagikan pada tiga anaknya perempuannya yang sudah berkeluarga.

“Masing-masing saya bagi tiga jutaan,” tutur Hari.

Di Kedung Bendo rumahnya yang lama, Cak Hari dan sebelas anggota keluarganya, terdiri dari istri, 3 putrinya, 3 menantu, dan tiga cucu, menempati rumah seluas 54 meter di tanah seluas 75,34 meter. Setelah bencana lumpur Lapindo Cak Hari hanya bisa mengontrak rumah kecil dan tak cukup 11 orang. Keluarganya pecah.

“Anak-anak ada yang ngungsi ke mertuanya dan ada yang ngontrak sendiri,” kata Cak Hari, di rumah kontrakannya, di Blok S, yang habis masa sewanya itu.

Cak Hari, sebenarnya, sudah mempersiapkan uang untuk kontrakan ini, beberapa hari sebelum kontrakannya habis. Uang didapat dari hasil menggadaikan sepeda motor milik menantunya Ahmad Novik pada Bank Citra Abadi, bank simpan pinjam di dekat pom bensin Tanggulangin. “Saya tarik (gadaikan) dua juta,” tutur Cak Hari.

Setelah dapat uang Cak Hari akan menitipkan uang untuk kontrakan namun ditolak oran suruhan Ahmad Zuhron karena takut terpakai dan habis.

Beberapa hari setelah kedatangan pertama orang suruhan Zuhron datang dan uang tersebut sudah dipakai Cak Hari untuk makan. ”Sisanya tinggal tujuh ratus ribu,” kata Cak Hari.

Semua uang itu dikasihkan dan kurangnya Cak Hari minta waktu untuk cari pinjaman. Empat hari kemudian orang suruhan Ahmad Zuhron datang ke rumah Hari dan menagih pembayaran perlunasan. Cak Hari bilang cuma punya duit itu dan tidak bisa cari tambahan. Dengan duit 700 ribu Cak Hari meminta diizinkan ngontrak setengah tahun.

“Kalau tidak diperbolehkan, ya, balik ngungsi ke pasar atau tidur di tanggul,” tutur Cak Hari pasrah.

Nasib serupa juga dialami oleh Multajam, 43 tahun, dan keluarganya. Sama seperti Hari, sudah dua tahun Multajam menganggur. Pabrik sabun Debrima tempat dia bekerja tak lagi beroperasi karena digulung lumpur Lapindo. Sehari-hari biaya hidupnya dan kedua anaknya bergantung pada Taslimah, 37 tahun, istrinya, yang kerja di pabrik rokok Andalas. Per 1000 batang rokok yang diproduksi, Taslimah mendapat bayaran 2.400 rupiah.

Paling banter sehari dia menghasilkan 3000 batang. Kerjanya tak tentu, kadang dalam sebulan libur 3 minggu. Tergantung pada pesanan.

Multajam, yang dulu tinggal di Desa Kedung Bendo RT 05/RW 02 dengan aset rumah seukuran 110 meter di tanah seluas 213 meter ini, pusing. Uang 80 persen belum juga dibayarkan Lapindo. Di pihak lain, kebutuhannya tak bisa diajak kompromi. Ongkos sekolah

dua anaknya, Ahmad Ulum Fahrudin dan Ferry Afriyanto, di SMK dan SMP tak bisa ditunda.

Lebih pusing lagi, Multajam dihadapkan pada pola baru, cash and resettlement. Dengan skema ini, bangunan dibeli dan akan dibayar 2 bulan setelah penandatanganan, sementara tanah diganti tanah baru, satu banding satu. Multajam menolak.

“Kalau (luas) tanahnya kurang, hangus dan kalau tanahnya lebih (warga harus) nomboki, ini dipotong dari pembayaran bangunan,” jelas Multajam.

Pembayaran pertama 20 persen diterima Multajam pada Agustus 2006. Multajam tak punya sawah, hanya punya pekarangan dan bangunan. Totalnya dia menerima, 75,6 juta. Uang 20 persen pembayaran tanah dan bangunan ini lalu dipakai Multajam untuk mengontrak rumah di Perumahan Tanggul Angin Anggun Sejahtera. Karena khawatir pencairan keduanya sulit dia

memilih tipe yang murah di komplek Blok M 5/64. Dia mengontrak dua tahun. Kontrak itu habis kini, dan uang 80 persen belum dibayar oleh Lapindo. Multajam bingung mau tinggal di

mana selanjutnya. Karena sudah memasuki kepala empat dia juga kesulitan mendapat kerja.

Wis tuwek ngene arep kerjo opo? Kalah saingan karo sing nom-nom, sudah tua begini mau kerja apa? Kalah sama yang muda-muda,” tutur Multajam dengan logat Jawa Timuran.

Cak Hari dan Multajam disiksa Lapindo dengan pola cash and carry namun Lapindo juga menggantung nasib orang-orang yang memilih cash and resettlement.

Ini yang terjadi pada Juminah, 66 tahun, bukan nama sebenarnya, dan keluarganya yang memilih cash and resettlement.

Sebelum Lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya sekaligus tempat kerjanya di Kedung Bendo, RT 02 RW 01, Porong, Juminah adalah janda beranak enam. Hidupnya begantung pada usaha dompet yang dikelola Baskoro (bukan nama sebenarnya), anaknya 40 tahun. Tiap bulan, pendapatan Baskoro lima sampai enam juta rupiah. Juminah dan kedua anaknya, termasuk Baskoro dan istrinya, menempati rumah sederhana berukuran 75 meter. Rumah ini juga dijadikan tempat usaha. Walau tidak kaya kehidupan mereka tenang. Ketenangan ini terenggut setelah Lapindo gagal dalam pengeboran dan mengakibatkan ribuan warga belasan desa di tiga kecamatan di Sidoarjo kehilangan rumah tinggal, pekerjaan, semua harta milik dan kehidupan sosial mereka.

Baskoro sibuk mengungsikan keluarganya. Awalnya mereka mengungsi di balai desa, lalu pindah ke Tulangan dan terakhir di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (Perum TAS II) blok S7/39. Selama setahun Baskoro mengurusi pindah-pindah ini dan mengabaikan pekerjaannya.

Setahun pasca bencana dan setelah keluarganya aman di Perum TAS II Baskoro baru bisa memulai usaha dompetnya kembali. Selain memproduksi Baskoro juga memasarkan dompet-dompetnya dan ini bukan pekerjaan mudah untuk pengusaha yang vakum setahun.

Dia harus cari pelanggan-pelanggan baru. Tak hanya itu, omzetnya juga berkurang drastis hingga 50 persen. Kerugian macam ini tak dihitung oleh Lapindo saat membahas ganti rugi. Hanya usaha-usaha menengah ke atas yang dapat ganti rugi. Usaha-usaha kecil rumahan diabaikan. Akibatnya, banyak korban Lapindo kehilangan pekerjaan. Rata-rata mereka akhirnya jadi tukang ojek di lokasi bencana.

Bagi warga kecil macam Baskoro yang dihitung ganti ruginya hanyalah tanah, rumah dan sawah. Itu pun sebenarnya bukan ganti rugi, melainkan jual beli. Untuk sawah 120 ribu permeter, satu juta permeter untuk tanah, dan satu juta setengah per meter untuk rumah

Sedangkan kerugiannya atas penghasilan setahun serta penurunan omzetnya tak masuk hitungan.

Total harusnya Baskoro mendapat ganti rugi 187,5 juta. Namun ini tidak bayar kontan oleh Lapindo. Sebagai tahap awal Baskoro hanya mendapat 20 persen yakni 37,50 juta ini sesuai dengan hitungan cash and carry di pasal 15 Perpres No. 14/2007.

Belakangan, Lapindo tak menaati peraturan pemerintah ini dan membikin peraturan baru yakni cash and resettlement. Ini membingungkan warga, termasuk Baskoro, dan karena bingung dia memilih cash and resettlement.

Hitungannya tetap pada rumah yakni 1,5 juta rupiah per meter namun tanahnya diganti dengan tanah baru di tempat lain di wilayah Sidoarjo. Pilihan tanahnya ukuran 90 meter dan 120 meter. Untuk warga yang tanah kurang dari ukuran tesebut harus nomboki dan ini yang dialami Baskoro dan keluarga yang hanya memiliki tanah 75 meter persegi. Uang kekurangan ini dipotong langsung dari uang rumahnya. Ini tidak adil.

“Kami harus nomboki 15 juta,” tutur Baskoro.

Sementara, pembayaran atas bangunan oleh Lapindo baru dilakukan setelah dua bulan dari Agustus 2008. Itu pun jika Lapindo tidak mangkir. Baskoro gamang karena sebentar lagi hendak puasa di mana kebutuhan hidup melonjak dan kontrakannya pun akan segera habis. Dia tidak tahu, dengan cara apa harus memenuhi semua biaya itu. [mam]

Artikel ini dimuat di newsletter korban Lapindo Kanal (Versi aslinya silahkan klik: download)


18 August 2008

Tanggapan: Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo

Seminggu ini saya meliput lumpur Lapindo untuk situs korbanlumpur.info, korbanlapindo.net dan blog pribadi saya dan ngomong sama banyak korban yang bulan ini habis kontrak rumahnya. Mereka dipaksa menjual tanah, rumah, dan sawahnya karena kebocoran pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas dua tahun lalu.

Hanya tanah yang dibeli (dengan harga 1,5 juta untuk rumah, satu juta untuk pekarangan, dan seratus dua puluh ribu untuk persawahan) Lapindo tapi harga kemanusiaan dari korban yang dicerabut dari kehidupannya dan dipaksa memulai kehidupan baru dari titik nol tak dihitung sama sekali.

Sebelum sampai di Porong saya fikir kasus Lapindo ini sudah kelar dan masyarakat sudah mendapat ganti rugi yang layak dari Lapindo. Ternyata dari harga di atas baru dibayar 20% dan masyarakat sekarang menunggu 80%nya dengan resah. Kebutuhan mereka meningkat karena liburan sekolah dan menjelang bulan puasa.

Pagi ini saya mengunjungi pengungsi di pasar Baru Porong. Mereka, sekitar 575 keluarga, adalah warga Reno Kenongo yang terendam lumpur belakangan setelah ledakan pipa gas pada bulan 22 November 2006 yang menewaskan 13 warganya. Mereka belum mendapatkan sedikitpun ganti rugi dari Lapindo. Lapindo hanya memberikan jatah makan pada mereka tiap orang 8000 tiap hari. Inipun dihentikan pada bulan Mei lalu.

Tahun lalu saya kecewa sekali dengan Arif Budiman yang menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award sebelum kasus itu tuntas dan dan lagi hangat-hangatnya. Dan saya bangga dengan Romo Franz Magnis-Suseno yang berani berkata tidak untuk penghargaan ini. Sekedar memperingatkan Lapindo supaya segera menuntaskan urusan dengan korban-korbannya.

Tahun ini saya harus kecewa lagi karena Sutardji Calzoem Bachri mau menerima penghargaan Ahmad Bakrie award. Terlepas dari kualitas kepenyairan Sutardji, secara pribadi saya menjadi kurang hormat dengan beliau.

Saya mungkin tak begitu kecewa kalau saja tidak tahu Lapindo masih berhutang pada para korbannya.


Tema serupa:
Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo

Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo

SEBAGAI penyair, Sutardji Calzoem Bachri telah melakukan eksplorasi kata dalam puisi sehingga kata bergerak mencari kemungkinan arah dan tujuannya, saling membentur demi membentuk keseluruhan yang tak teramalkan. Sutardji menemukan kembali mantra, memulihkan kembali tenaga bahasa yang terlanjur dimelaratkan oleh komunikasi massa. Demikian salah satu alasan mengapa Freedom Institute memilih Sutardji sebagai penerima anugerah Bakrie Award 2008 Bidang Kesusastraan, seperti termaktub dalam website mereka www. freedom-instute. org.

Bakrie Award adalah sebuah anugerah tahunan yang dipilih oleh Freedom Institute, yang diberikan pada mereka yang dianggap telah menunjukkan dedikasinya dalam berbagai bidang, terutama kedokteran, sains, penelitian, sosial, dan kesusastraan. Bahkan, anugerah ini mengandaikan dirinya sebagai "Hadian Nobel"
Indonesia. Tradisi pemberian anugerah ini telah dimulai sejak 2003. Dalam bidang kesusastraan, Sutardji Calzoem Bachri adalah sastrawan keenam yang menerima anugerah Bakrie Award, setelah sebelumnya Sapardi Djoko Damono (2003), Goenawan Mohamad (2004), Budi Darma (2005), W.S. Rendra (2006), dan Putu Wijaya (2007).

Pandangan kritis terhadap Bakrie Award mulai muncul sejak 2006. Meski menerima anugerah tersebut, W.S. Renda dalam pidato penerimaannya dengan keras mengkritik penanganan dan pertanggungjawaban atas nasib ribuan rakyat di Sidoarjo. Pada tahun 2007, ketika kasus Lapindo makin mencuat ke permukaan, Bakrie Award pun kian mendapat sorotan. Apalagi setelah Frans Magnis Suseno yang terpilih sebagai penerima anugerah di Bidang Sosial menolak menerima anugerah tersebut. Lain halnya dengan Putu Wijaya yang menerimanya di tengah berbagai kritik.

Meski kasus Lapindo tidak lagi mencuat tajam seperti sebelumnya, sangat sulit memisahkan Bakrie Award 2008 yang diterima Sutardji Calzoem Bachri dengan kasus Lapindo. Tak sedikit publik sastra berharap bahwa Sutardji akan mengikuti jejak Frans Magnis Suseno ketimbang meniru Putu Wijaya. Namun, ternyata sang "presiden" penyair
Indonesia itu lebih memilih meniru Putu Wijaya, menerima anugerah itu dan uang Rp 150 juta!

**

TENTU saja ini menimbulkan berbagai tanggapan yang berbeda. Menurut kritikus Adi Wicaksono, berbicara kesusastraan
Indonesia sangatlah tidak mungkin meniadakan atau melewatkan nama Sutardji.

Tentang sikap Sutardji yang menerima Bakrie Award 2008 yang dihubungkan dengan kasus Lapindo, Adi menilai bahwa anugerah tersebut haruslah dilihat sebagai penghargaan atas karya dan dedikasi, bukan
penghargaan yang sifatnya politis. "Moralitas menerima atau menolak saya kira dalam konteks sekarang tidak lagi bisa dipakai seperti tahun lalu sebab sekarang kasus Lapindo bukan lagi jadi kasus utama, banyak kasus-kasus yang lain. Tidak seperti tahun yang lalu ketika kasus Lapindo benar-benar jadi pusat perhatian. Konteksnya berbeda kalau, misalnya, Tardji menerimanya tahun lalu ketika kasus Lapindo
jadi sorotan khalayak dan media. Saya tidak kecewa bahwa Tardji menerima anugerah itu, sebagai penghargaan sastra dia memang layak menerimanya, " ujarnya.

Senada dengan Adi Wicaksono, Agus R. Sarjono juga menyebut bahwa Sutardji pantas mendapatkan penghargaan sastra. Hanya saja lembaga pemberinya belumlah pantas memberinya karena ada yang lebih pantas diberi dan diurus, yakni korban lumpur Lapindo. Ia bisa memahami ketika Sutardji menerima anugerah tersebut, baik dalam konteks realitas finansial maupun bersebab pada langkanya penghargaan bagi sastrawan di negeri ini. Publik sastra
Indonesia mungkin ada yang berharap bahwa Sutardji akan menolak penghargaan tersebut.

"Namun, mereka juga tidak akan tega seandainya Tardji menolaknya. Saya tidak berharap Tardji menolak sebab secara finasial, orang-orang yang sebetulnya layak menolak pun ternyata tidak menolak," tutur Agus.

Dari Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor menyebut sangatlah wajar Sutardji merima anugerah itu, lepas dari soal lembaga yang memberinya. Pilihan Sutardji yang menerima anugerah tersebut tidaklah akan mengurangi sikap kritisnya terhadap kasus Lapindo. "Kasus lumpur Lapindo adalah persoalan, tetapi memberi penghargaan pada sastrawan adalah soal yang lain. Apalagi pemberian anugerah ini telah ada sebelum terjadinya kasus lumpur Lapindo. Persoalannya bukan berarti menerima penghargaan itu lantas sikap kita akan melemah. Rendra menerima, tetapi dengan sangat bagus dia melancarkan pidato yang penuh kritik terhadap kasus Lapindo. Namun, di luar itu semua, menerima atau menolak Bakrie Award, kepenyairan Sutardji tidak akan terganggu. Kepenyairannnya lebih besar ketimbang Bakrie Awad dan uang Rp 150 juta!" Katanya.

Pandangan berbeda muncul dari Afrizal Malna. Meski mengatakan, Sutadji layak menerima penghargaan itu, setelah sebelumnya Sutardji juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Riau, Afrizal memandang menerima award berkali-kali semacam itu tak ubahnya seperti gajian. Bukan pantas atau tidak Sutardji menerimanya, tetapi juga soalnya bagaimana award itu lahir dari kurasi yang dilakukan. Inilah yang membuat award sastra seperti arisan. Oleh karena itulah, di mata Afrizal, dunia sastra sekarang seperti hidup dalam kandang. Karya sastra tidak dipandang dalam fenomena kebudayaan umumnya.

Berbeda dengan Acep Zamzam Noor yang melihat bahwa kasus lumpur Lapindo dan Bakrie Award adalah persoalan yang berbeda, Afrizal justru memandang keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam konteks ini pula, ia menganggap bahwa wibawa kepenyairan Sutardji akan lebih besar seandainya ia menolak anugerah tersebut. "Yah, terserah dia kalau mau menggadaikan wibawa kepenyairannya pada uang 150 juta. Sebagai penyair seharusnya dia menghitung itu," ujar Afrizal.

**

ketika dihubungi, Jumat (15/8), Sutardji Calzoem Bachri yang pada 14 Agustus 2008 itu menerima dua penghargaan sekaligus, Penghargaan Budaya Bintang Parama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bakrie Award 2008, justru mempertanyakan mengapa orang tidak mempermasalahkan penghargaan yang diterimanya dari negara tapi justru mempermasalahkan Bakrie Award 2008?

"Mengapa kalau ada duitnya baru ribut? Apa karena penghargaan dari negara itu tak ada duitnya! Mengapa orang-orang melihat dengan cara yang berat sebelah? Saya muak dengan hal itu! " ujarnya.

Seolah menjawab pernyataan Afrizal, Sutardji menambahkan, "Saya tidak dibentuk oleh orang-orang yang menyukai atau oleh orang-orang yang membenci saya. Saya dibentuk oleh diri saya sendiri!"

Terhadap sejumlah pandangan yang mengkritik sikapnya menerima Bakrie Award 2008, Sutardji mengatakan, dalam sebuah anugerah tentu ada kebaikan dan keburukannya.

Lalu, seolah hendak menjawab para pengkritiknya yang mengaitkan anugerah tersebut dengan isu lumpur Lapindo, Sutardji menegaskan bahwa sejak dulu ia memutuskan sebagai penyair, ia bukanlah petarung sosial. Baginya, puisi dan kepenyairan tidaklah dimestikan sebagain reaksi atas realitas sosial yang tengah terjadi seperti kasus lumpur Lapindo.

"Kalau mau semacam itu sejak zaman Soeharto saya sudah ditangkap. Saya bukan petarung sosial, tapi petarung kata-kata. Pertarungan saya adalah dengan kata-kata, dengan ide dan air mata. Puisi saya bukan
puisi dekrit!" katanya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu 16 Agustus 2008

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...