Warga berhak menuntut agar PT MLJ segera mematuhi perjanjian, sekaligus menuntut ganti rugi atas keterlambatan yang terjadi.
Agustus ini, masa kontrak rumah Multajam, 43 tahun, habis. “Sudah dua tahun,” ujar Multajam, korban lumpur Lapindo yang mengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (Perumtas II) sejak Agustus 2006 ini. Multajam berharap, ia bisa menyewa tempat tinggal lagi dengan uang 80 persen sisa pembayaran dari PT Minarak Lapindo (MLJ). Tapi Multajam kecewa, PT MLJ mangkir, tidak mau menyelesaian transaksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 yang menyatakan 80 persen akan dilunasi paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah habis.
Pasal 15 Perpres itu, ayat 1, secara gamblang telah menetapkan, “Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.”
Masih pasal yang sama, ayat 2, tertulis, “Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.” Multajam, yang berasal dari Desa Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin ini, menandatangani kontrak jual-beli tanah dan bangunan dengan PT MLJ pada Agustus 2006. Seharusnya hari ini ia sudah menerima 80 persen, tapi kenyataannya ia belum menerima sepeser pun. Multajam memang hanya punya bukti Letter C. Rupanya, inilah yang menjadi alasan PT MLJ menolak melunasi 80 persen sisa pembayaran.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi PT MLJ untuk tidak melunasi 80 persen. Tapi, PT MLJ malah berbelit dan mengajukan skema cash and resettlement untuk tanah dengan bukti Letter C, Pethok D, atau SK Gogol. Anehnya, skema ini seolah-olah merupakan permintaan warga korban dan bukan sodoran PT MLJ. Pada 25 Juni 2008 lalu, PT MLJ mampu membujuk sebagian warga korban untuk menandatangani kesepakatan cash and resettlement itu.
Secara sekilas, pola ini sangat menguntungkan warga. Sudah dapat ganti tanah, bangunan dibeli secara tunai, dapat hibah pula. “Ini merupakan solusi jalan tengah yang melegakan kedua pihak, maka seyogyanya diterima dengan lapang dada dan terbuka,” kata Andi Darussalam kepada wartawan di
Toh, tampak aneh ketika dalam kesepakatan tersebut, poin 5, terdapat semacam ancaman bagi pemilik tanah nonsertifikat, “PT Minarak Lapindo Jaya tidak akan melaksanakan pembayaran cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikannya Pethok D/Letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apa pun.”
Terhadap ancaman semacam itu, warga pun panik. Multajam tak urung juga sempat panik. Tapi dia tetap tidak mau menggunakan pola cash and resettlement. Pertama, soal pembayaran bangunan, ia harus rela menunda 2 bulan setelah penandatanganan. Padahal kalau menurut aturan Perpres, dia sudah harus dibayar kontan 80 persen, hari ini. “Orang yang sudah tanda
tangan cash and resettlemnent kemarin saja belum cair,” ujar Multajam, merujuk salah seorang temannya yang memilih skema tersebut.
Amari, 34 tahun, warga Desa Renokenongo, bisa lebih parah nasibnya jika memilih cash and resettlement. “Saya sudah beli tanah dan rumah di desa lain. Buat apa saya beli tanah lagi?”n ujarnya. Warga korban yang mengambil pilihan semacam Amari sangat banyak, bahkan ada yang lebih parah. “
akan membayar setelah mendapat uang 80 persen,” tutur Ahmad Soetomo, salah seorang Ketua RT Desa Renokenongo.
menerima 80 persen secara cash and carry. “Gepengo koyok ilir, sampai kapan pun, warga tetap menuntut cash and carry,” ucap Soetomo.
Karena itu bisa dibilang, skema cash and resettlement hanyalah akal-akalan PT MLJ untuk menghindar dari kewajiban. Bupati Sidoarjo Win Hendarso saja tidak mengakui adanya pola penyelesaian tersebut. “Saya tidak tahu apa itu cash and resettlement,” tegas Win ketika menerima audiensi warga korban Lapindo pada 6 Agustus lalu, yang juga dihadiri pihak BPLS dan BPN.
Dalam pertemua itu, terkait perumusan pola cash and resettlement, baik Bupati, BPLS, maupun BPN mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak tahu menahu. PT MLJ sendiri sebenarnya juga sudah menandatangani Risalah Pertemuan 2 Mei 2007 bersama Menteri Sosial, BPN, BPLS, dan perwakilan 4 desa dalam peta terdampak. Dalam risalah itu, PT MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres 14/2007.
“Warga sudah memegang kumpulan dokumen yang tepat.
Dalam risalah itu ditegaskan, Pethok D/Letter C/SK Gogol merupakan alat bukti kepemilikan yang sah dan diperlakukan sama dengan Sertifikat.
Meski begitu, hingga hari ini, pelunasan tanah dan bangunan warga belum dilakukan oleh PT MLJ. Bukankah dengan begitu, PT MLJ telah melakukan melakukan pelanggaran? “MLJ telah melakukan tindakan yang dikategori wanprestasi,” jelas Taufik Basari, ahli hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat,
Artikel ini dicetak pada edisi perdana newsletter Kanal (klik, download, untuk versi aslinya)
Comments