15 May 2008
Mitos Kodok Ijo
Jumari pernah membuktikan hal ini. Ketika muda dia pernah naik gunung Merbabu bersama Mail dan Sholeh. Mereka mengambil rute utara dengan start dari wanawisata Kopeng, Salatiga.
Semua persiapan sudah lengkap dan masing-masing memanggul satu tas carrier yang besar melampaui kepala mereka dengan senter di tangan kiri dan golok tebas di tangan kanan. Agar jalan sepi, mereka berangkat tepat jam 12 malam.
Sial bagi Jumari, baru keluar dari hutan kopeng dia menginjak sesuatu yang setelah dia sorot ternyata kodok ijo. Dia mendiamkan hal ini karena nggak mau jadi bahan olok-olokan kawannya. Walau dia tak yakin dengan mitos kodok yang sering dia dengar dari kawan-kawan sesama pendaki namun ternyata dia keder juga. "Jangan-jangan istriku jelek, kelak" gumamnya.
Mereka tetap melanjutkan perjalanan. Walau trek licin sekitar jam 3 dini hari mereka sudah mencapai Watu Layar, pos transit menuju, puncak Merbabu.
Mereka memutuskan istirahat sejenak dan makan makanan ringan dari perbekalan mereka. Soleh duduk di sebuah batu besar sambil menikmati coklat batangan kesukaannya. Setelah setengah jam mereka sudah tak sabar melanjutkan perjalanan ingin segera melihat sunrise dari puncak Merbabu yang mengagumkan.
Baru beberapa langkah Soleh merasakan menginjak sesuatu. Karena kaget dia berteriak. Seekor kodok meloncat dari arah kakinya dan mendahuluinya. Jumari dan Mail menertawakan kejadian ini. "Masak gondrong, takut kodok," cela Jumari.
"Bojomu welek, cuk," Mail tak kalah sengit mengejek. Semua tertawan kecuali Soleh. Dia tetap terus berlalu.
Mereka mencapai puncak, menikmati sunrise dan turun gunung menggunakan jalur selatan yakni jalur Selo, Boyolali.
Hingga bawah hanya Mail yang selamat tanpa menginjak kodok ijo.
10 tahun kemudian.....
Tiga bersahabat ini bereuni. Anggotanya bertambah 3 orang karena ketiganya mengajak istri mereka. Jumari dan Mail bersama istrinya yang jelek sedang Soleh dengan istrinya yang cantik jelita.
"Wah kamu kena kutukan kodok ijo IL," kata Jumari.
"Lah, kamu kan tidak menginjak kodok kan? Tapi kok.." jawab Mail.
"Aku juga waktu itu nginjak kodok tapi tak aku ceritakan pada kalian sebelumnya," kata Jumari, "saat keluar dari Kopeng, kejadiannya." kata Jumari.
Usut punya usut mereka tenyata istri Soleh yang cantik juga senang naik gunung saat mudanya.
Dia langsung nyambung dengan obrolah Mail dan Jumari. "Aku juga kena kutukan kodok ijo. Sewaktu mendaki Lawu aku juga nginjak kodok dan sekarang hasilnya..." katanya.
Semua mata mengarah ke Soleh.
*Cerita ini bikinan belaka dan populer di kalangan pendaki gunung di Jawa.
Cinta Modern
Penyatuan dengan kekasihnya adalah segalanya
Matanya tak lagi miliknya
Darah hingga nafasnya buat kekasihnya
Demi kekasihnya dia abaikan kedirian
Tak peduli sekitar
Tak butuh apapun selain kekasihnya
Tak gentar dera siksa
Tak Silau gemerlap surga
Kenikmatan tertinggi baginya adalah kekasihnya
Dalam dirinya hanya ada satu ketakutan
Bukan pada tajamnya pedang
Bukan pula pada lezat markisa
Teror baginya adalah perpisahan dengan kekasihnya
Pecinta dari anak benua punya kisahnya sendiri
Cintanya melampaui batas kecerdasannya
Dia menjadi ‘tolol’
Umum menyebutnya ‘gila’
Bagaimana tidak,
Tiap suara yang keluar dari mulutnya adalah nama kekasihnya
Dia mudah berurai air mata
Hanya karena lalat mendarat di rambut kekasihnya
Izinkan aku mengajukan proposal cintaku
Tak sama dengan cinta mereka
Cintaku cinta modern
Dimana kejujuran dan verifikasi menjadi pilar
Rendah hati fondasi, kesetaraan temboknya,
Payungnya kebersamaan
Kau tahu aku takut mati
Aku ingin menemanimu hingga tua
Aku tahu kamu tahu asalnya
Terinspirasi dari percintaan klasik para sufi. Terima kasih pada Rabi’ah, Al- Hallaj, Nizami, dan Helen.
Inspirasiku
Itu kata buku
Aku tak percaya
Namun tanda-tandanya melekat padaku
Aku bisa bersemangat
Bahkan sangat
Tentu aku akrab
Karena sering dapat
Tahun-tahun lalu ketika saat ini tiba
Aku jadi tak tenang
Berhari mata tak bisa pejam
Fikirku tak lepas dari sumbernya
Sering merangsang gesa
Otakku memburu cara
Ingin segera menuntaskannya
Entah karena kawan
Atau rahasia waktu
Aku tak tahu
Curigaku keduanya bersekutu
Kawanku bilang, “tak baik terlalu berapi, mudah padam atau dipadamkan,”
Aku tak percaya
Tapi selalu terganggu
Bajingannya pengalaman membenarkan
Lebih buruk, fakta menggerogoti keyakinanku
Kau tahu betapa sulitnya menguasai diriku?
Sampai saat inipun aku tak yakin mampu
Aku baru bisa mengenali dan mencoba memanfaatkan dayanya
Aku tak menyalahkanmu karena mengobarkannya
Tak jua memintamu memadamkannya
Aku hanya ingin kau mengenalnya
Selebihnya biarkan menjadi daya luar biasa.
14 May 2008
Oleh: Imam Shofwan
Tenggat waktu pendirian Pengadilan Ham dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh telah terlampaui. Bagaimana masa depan perdamaian di Aceh?more
Oleh: A. Mustofa Bisri
Renungan Gus Mus, di GusMus.net, soal Ahmadiah ini cocok untuk menjadi bahan bacaan bagi sebagian Muslim yang mudah marah, gampang memberi cap sesat, serta hobi merusak harta benda milik sesamanya.
dikirim oleh Imam Shofwan | 8:50 PM
0 tanggapan
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
Lek Masykur atau Lek Kur, panggilan akrab Masykur Maskub di keluarga saya, adalah orang baik. Terimakasih untuk Ulil Abshar-Abdalla yang mengabadikan Lek Kur, di situs islamlib, dalam tulisan sebagaimana Lek Kur abadi di hati saya.
Saya selalu merindukan orang-orang seperti Lek Kur, baik untuk keluarga kecil saya di Pati ataupun keluarga besar saya di NU.
Kenangan yang Tak Memudar*
Oleh: Liza Desylanhi
Dea, sebutan akrab Liza Desylanhi, menulis soal keluarga para korban kekejaman rezim, di situs Voice of Human Right, yang selalu rindu dengan anggota keluarganya yang hilang.
Dulu Daerah Modal Kini Daerah Model
Oleh: Imam Shofwan
Tenggat waktu pendirian Pengadilan Ham dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh telah terlampaui. Bagaimana masa depan perdamaian di Aceh?more
Blogger Pluralism and Indonesian State
By Imam Shofwan
One blogger can discourage a politician. How if hundreds of bloggers together?more
Maaf, Ini Tempat Pangeran
Oleh: Imam Shofwan
Kisah Rabu malam di rumah Iwan Fals di Leuwinanggung, Depok.more
Seribu Kanvas Juragan Tembakau
Oleh: Imam Shofwan
Sebatang rokok terselip di bibir Munir Thalib. Sebelum hidupnya dijegal ajal yang dipaksakan, pejuang hak asasi manusia itu tidak lagi berstatus sebagai perokok berat. Tapi Agus Suwage memilih melukis Munir dengan rokok.more
"Syir'ah cover/Taufiqurrahnman"
Al Hallaj behind Dhani Ahmad
By Mujtaba Hamdi and Imam Shofwan
A string of accusations on religious contempt are now being hurled at Dhani Ahmad and his rock band Dewa.more
Oleh: Imam Shofwan
Wawancara dengan Fabianus Tibo, terpidana mati kasus kerusuhan Poso 1999, ini pernah di muat di majalah Playboy.more
Write to Forget
By Imam Shofwan
Human right cases in Indonesia are never complete.more
Mencatat untuk Melupakan
Oleh: Imam Shofwan
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia tak pernah tuntas.more
Oleh: Imam Shofwan
Dari Kuba mereka mengunjungi korban gempa Jogja, memberikan cinta dan cara bertahan pada kondisi darurat.more
Doctor Brigade (revision)
By Imam Shofwan
From Cuba they give love and way to survive in emergency situation.more
"Lonely Child" By Ambar
Dua Anak Serdadu
Oleh: Imam Shofwan
Kisah perempuan Timor Leste yang menanggung anak dari tentara Indonesia.more
Past Crime in Aceh
By Imam Shofwan
If the Aceh bill is passed in Jakarta, lieutenant colonel Sudjono and his associates would probably have difficulties sleeping.more
Kejahatan Masa Lalu di Aceh
Oleh: Imam Shofwan
Kalau RUU Aceh lolos di Jakarta, boleh jadi, Letnan Kolonel Sudjono dan kawan-kawan akan tidur kurang nyenyak.more
Tesaurus Moko
Oleh: Imam Shofwan
Untuk pertama kalinya sebuah Tesaurus Bahasa Indonesia dirilis di Jakarta, pembuatnya adalah Eko Hedratmoko.more
Terhormat Tanpa Jilbab
Oleh: Banani Bahrul Hasan dan Imam Shofwan
Pandangan Najwa Shihab soal jilbab, menurutnya hati yang berjilbab lebih baik dari pada jilbab fisik.more
Depan Belakang Oke
Oleh: Imam Shofwan
Fatwa MUI digunakan untuk memberangus kelompok-kelompok Islam yang dianggap "menyimpang"salah satunya JIL (Jaringan Islam Liberal).more
Jalan Mendaki Penyuka Whisky
Oleh: Imam Shofwan
Perjalanan Johnny Guntoro, seorang seniman pemabuk, yang ‘ditobatkan’ Arifin Ilham. Sesederhana itukah?more
Tuan
Kami kurus bukan karena kurang makan
Tapi tak ada yang kami makan
Kami bodoh memang tak mampu bayar sekolahan
Kami sakit-sakitan memang rumah sakit mataduitan
Kami tak ada pekerjaan
Mungkin dalam hidup tuan tak pernah merasakan
Pagi
Warung menolak hutang makanan
Di rumah ibu terbaring tanpa pengobatan
Adik-adik merengek ingin disekolahkan
Tuan...
Esok hari
Daun kamipun tak lagi berisi nasi
Ibu kami segera mati
Adik-adik sama bodohnya dengan kami
Kalau sudah begini
Kami pakai baju merah, baju yang selama ini ditakuti ibu kami
Tak ada lagi yang mencegah kami
Yang selama ini hanya bisa dibayangkan akan terjadi
Kami tak ingin bodoh begini
Kami ingin gemuk kembali
Kebayoran Lama, 3 Juni 2008
Terinspirasi dari ”Lidah Tuan”-nya Klara Akustia.
Profesor Doktor Insinyur
Gara-garanya dia lari karena ketakutan di kejar srigala. Dia berada di tengah hutan dan di apit dua sungai.
Saat lari, dari arah depannya ada seeokor singa kelaparan. Dia lalu tengak-tengok ke kiri kanan. Yang tampak olehnya hanya rawa-rawa yang penuh dengan buaya.
Profesor tersebut terkepung dan bingung. Pertanyaannya: bagaimana dia bisa meloloskan diri dengan selamat?
Mail: ya terjun ke rawa dan berenang?
Ustadz Jumari: Salah? bisa dihabisi buaya dia. Apa jawabnya, Leh?
Soleh: Nggak tahu.
Ustadz: Dasar kamu memang selalu nggak tahu.
Mail: trus, jawabnya apa?
Ustadz: mana aku tahu. Orang yang profesor doktor aja bingung. Gemana aku yang smp aja nggak lulus.
Serius Banget, Cuma Bercanda Kok
Suatu ketika dia tersesat dari kawan-kawannya sesama pendaki, sewaktu mendaki gunung Lawu.
Sudah seminggu terpisah dari kelompoknya. Dia tersesat dan kehabisan logistik. Dalam hati dia nggedumel "daripada tersesat dan kelaparan begini mending mati dikeroyok monyet," begitu kira-kira dumelannya.
Selang beberapa detik puluhan rombongan monyet melintas. Kontan dia ketakutan dan berlari. Rombongan monyet memburunya.
Saat terengah-engah dia sempat ngomel lagi: "Uwallah, serius banget, cuma bercanda kok."
13 May 2008
Anak Berbakti
Sambil mendengarkan Soleh bernyanyi, teman-temannya melanjutkan obrolan mereka.
"Bagaimana anak-anakmu, Nas, habis lebaran kemarin?" tanya Amir.
"oo, baik-baik saja, anakku kan dua. Yang cewek ikut suaminya jadi kapolres di Medan. Sedangkan yang cowok sudah jadi bos, pabriknya dua, pabrik sepatu dan pabrik mi." Cerita Anas, "tapi ya gitu, saya yang jadi bapaknya saja tak pernah dibelikan motor sama sekali, paling baju buat lebaran. Eh, pas kemarin pacarnya ulang tahun dibelikan BMW 318i gress."
"La kalau anakmu, Mir" Amir pun bercerita, "Anakku tiga, cowok semua, yang dua kerja di Amerika, yang bontot sekarang jadi direktur developer rumah. Tapi agak gendeng juga bontotku ini. Rumah bapaknya sudah doyong dibiarkan aja, tapi waktu kemarin pacarnya ulang tahun dibelikan rumah baru."
"Kalau kabar anakmu bagaimana Yon?" Sekarang Yono cerita, "Anakku empat, cowok satu, cewek tiga. Sekarang sudah pada mandiri. Yang paling sukses si sulung cewek. Dia sekarang jadi pialang saham. Cuma rese juga. La, aku ini nggak pernah dikasih duit, tapi kemarin waktu pacarnya ulang tahun dikasih deposito 100 juta."
Setelah Yono cerita, Soleh selesai karaoke, "Cerita apa sih kalian?"
"Ini lo, Leh, pada nyeritain anaknya, gimana anakmu Leh?" Yono bertanya.
Setelah menyalakan rokok, Soleh mulai cerita, "Anakku cuma satu, tapi payah. Aku ingin dia jadi ABRI, eh malah jadi bencong. Sudah lima tahun dia buka salon, dari dulu sampai sekarang ya tetep aja nyalon. Tapi meskipun bencong, dia tetap anakku. Apalagi dasar anak baik, pergaulannya luas dan sayang sama bapaknya. Setiap dapat rezeki, aku pasti diberi. Kemarin pas dia ulang tahun, ada temannya yang ngado BMW 318i gress, rumah baru, dan deposito 100 juta. Dia bilang semua buat bapak saja, dia tetep seneng buka salon katanya."
CERITA INI HASIL REKAAN DAN FIKSI BELAKA. MOHON MAKLUM KALAU ADA KESAMAAN YANG DIALAMI SEBAGIAN PEMBACA
DALAM DUNIA NYATA.
Sumber: Selilit Syirah November 2004.
Danau Ajaib
Namun mereka belum pernah menemukan Danau Ajaib yang konon bisa ditemui kalau menempuh jalur Gedong Songo. Danau itu dipercaya oleh orang sekitar dapat mengabulkan semua permintaan. Tinggal sebut permintaan sambil menceburkan diri ke danau maka permintaan pun segera terkabul.
Karena penasaran ketiganya berusaha untuk menemukan danau tersebut. Mail yang paling semangat, "Aku tak akan pulang kalau belum ketemu danau tersebut," tandas Mail.
Mereka memulai perjalanan dari bandungan. Setelah makan kenyang di sebuah pemancingan ikan Bandungan yang indah dengan latar gunung Ungaran yang tampak kokoh. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Candi Gedung Songgo.
Dari sini petualangan mereka mulai. Semua perlengkapan untuk logistik sebulan mereka siapkan. Sehari, seminggu mereka tak jua menemukan danau ajaib tersebut. Setelah hampir 15 hari mereka akhirnya ketemu juga dengan danau tersebut. Terletak di tengah padang edelweis yang luas.
Mereka girang betul dan mulai memikirkan permintaan: Jumari yang pertama, karena ngefans sama Slash, gitaris Guns n Roses, dia menceburkan diri sambil meneriakkan nama gitaris pujaannya. Byurrrr. Jumari keluar dari danau dan berubah total jadi Slash.
Lalu Soleh menyusul dan menerikan 'Didi Kempot' dan dia keluar dari danau dan menjadi Didi Kempot.
Mail jadi girang dengan pencapaian kawan-kawannya. Dia buru-buru menceburkan diri.
Belum sempat menceburkan diri dia tersandung akar dan terjatuh ke danau sambil mengumpat, "kunyuk."
Si Mail pun keluar menjadi kunyuk alias monyet. [end]
*cerita ini rekaan belaka dan populer di kalangan orang-orang yang suka naik gunung.
“Jangan Ajak Dia, Nanti Dia Marah”
Sumber: Selilit Syir’ah edisi Januari 2006
Coblosan Hati Nurani
Ceritanya, Senin pagi 5 Juli, Rahman, bersama tetangga dekatnya Yusuf, berjalan semangat menuju bilik suara yang tak jauh dari rumahnya. Sepanjang perjalanan, kedua warga Madura yang bermukim di Yogyakarta ini memperbincangkan siapa pilihannya.
Dialog singkat berlogat Madura pun terjadi sepanjang perjalanan:
“Kamu milih apa Sup?” tanya Rahman.
“Aku pilih SBY saja lah,” jawab Yusup enteng.
“Kamu ini gimana! Kita kan orang Madura, masa milih SBY,” tentang Rahman.
“Lo, kan ibu kota kita Surabaya, pas kan kalau milih SBY? Coba kepanjangan SBY itu apa kalau bukan Surabaya?” kilah Yusup sengit.
“Tapi SBY kan bukan orang NU?”
“Gak peduli NU atau bukan. Yang penting sesuai dengan hati nurani! Kalau kamu pilih siapa?” Tanya Yusup.
“Sesuai dengan hati nuraniku, aku tetep pilih Gus Dur to,” jawab Rahman, mantap.
“Kon goblok yo? Gus Dur kan tidak bisa maju jadi presiden. Gimana mau nyoblos dia?” komentar Yusup sembari terkekeh-kekeh.
“Nggak ada urusan, yang penting sesuai dengan hati nurani!”
“Iya tapi gimana mau pilih Gus Dur kalau gambarnya aja tidak ada.”
Rahman lalu mengeluarkan foto Gus Dur dari sakunya.
Singkat cerita, Rahman hanya ingin tetap menjaga hati nuraninya agar tidak memilih kandidat presiden lain. Karenanya, dia mempersiapkan foto Gus Dur dan dia bawa masuk bilik suara, dia pasang di kartu tanda gambar yang akan dipilih.
Akhirnya, kesampaian juga niat memilih kandidat presiden pilihan hati nuraninya. Sesudah mendapat giliran mencoblos, di dalam bilik suara Rahman melaksanakan aksinya. Ia memang langsung membuka lembar tanda gambar. Namun, ia tidak langsung menusuk salah satu dari lima pasangan yang ada. Sebelum menusuk, Rahman merogoh foto Gus Dur di saku lalu menempelkan foto Gus Dur dengan lem yang sudah dipersiapkannya.
Sejenak berfikir, ia lalu memasang foto Gus Dur persis pada gambar Wiranto, "Wah, pas ini, pasangan orang NU, keturunan kyai, bernama Wahid lagi!" fikirnya. Dengan senyum puas gambar Gus Dur pun dicoblos. Bles, sesuai dengan hati nuraninya.[end] FM
Sumber: humorina Syir’ah edisi Agustus 2004
12 May 2008
11 May 2008
Meet a Smile in Myanmar's diaspora
Ati Nurbaiti
Nai Nai, her friend said, "is worried sick again." The young woman is busy collecting donations to send to family and friends in Yangon, the old capital stuck in the middle of the area hardest hid by the cyclone, the Irrawaddy Delta.
With her friends at the Bangkok office where she works at a media organization, Nai Nai had just heard the news that barely two weeks after the Cyclone Nargis hit her homeland, further rain storms had been predicted, while survivors still had no proper shelter. The other day she sounded gay on the phone, saying she had heard good news from home -- only the roof had flown off in the disaster.
On a daily basis, Nai Nai, 32, is indeed a cheerful woman.
But behind the friendly eyes and smiles on the faces of Myanmarese living overseas, is a sense of their resignation to being unable to help. When the cyclone hit, a few million exiles, migrants, refugees and others on the run had to bear the pain of waiting for news to arrive from home.
One email sent to The Jakarta Post from a Bangkok-based researcher began on a happy note. "My parents in Rangoon (Yangon) are fine," it said. "But I don't know about my relatives in Bogalay." He was referring to the coastal town where authorities said 95 percent of homes were destroyed.
One family's story reveals further just what separation means for those in diaspora. On the surface, the educated among them, not the refugees and migrant workers, have comfortable lives in cities in Thailand, Australia, the United States and other countries. For Nai Nai, migration meant dashed dreams, and more.
"My father had to officially separate from my mother," she said. Divorce became the only way to save everyone, as her father was a party executive within the National League for Democracy.
Nai Nai herself is not in exile, but she will only give me her nickname.
She graduated from high-school with flying colors, consistent with her earlier grades, her father said. Her goal was to continue on to medical school and become a surgeon -- but the authorities, who considered her family a political enemy, got wind of her aspirations.
"They approached me," says Zin Linn, her father.
"They said your daughter can enter medical school if you quit politics." He decided he could not leave the party that had swept to victory in the 1990 elections, which lead to the subsequent house arrest of chairwoman Aung San Syu Kyi.
Her father's refusal ended Nai Nai's dreams, and she said she was "very angry" when she found about the situation later from her mother. She took up studying English instead, "but I never had time for class, I copied my friends' notes," she said. Skipping classes was no fun; Nai Nai had to work.
"She became the family breadwinner," Zin Linn said.
Zin Linn was taken to jail, and her mother could not continue teaching. Not unlike under Indonesia's New Order, the government creatively and effectively used family harassment against dissidents.
"My mother's students were intimidated," Nai Nai said, and they stopped coming.
The family home in Yangon moved from time to time; as a "political family" which would bring trouble, landlords would ask them to leave, or extort them with higher rent fees, Nai Nai said.
Eventually, Nai Nai joined her father in Thailand; and achieved a scholarship for a masters degree in education.
"I spend weekends with him, we just talk," she said. She said one sister had fortunately managed to get a passport, and that occasionally half of the family reunited.
She said her mother gradually began to teach again. "The monks come to our house to learn English," Nai Nai said, adding that her sisters are now helping to teach.
"They teach children of (former and current) political prisoners," Nai Nai said. It was the least they could do, having known the hardship of such stigmatized families.
Fragmenting the populace is always an effective way for abusive rulers, and in Myanmar, one method to achieve this is by nurturing the mindset that some are less loyal to the motherland than others.
Even if Nai Nai's family had more political awareness than others, they were still of the dominant ethnic group, the Burmese -- who were taught that the minorities forever demanding autonomy were a "threat" to the union of Myanmar.
"I never knew about this ethnic issue," Nai Nai said. Then, one day, as she was about to take up further university studies, she said a fellow student found she was Burmese -- "and she wouldn't speak to me again." It turned out the other student was from one of the minority ethnic groups.
Most Burmese remain similarly oblivious of decades-old simmering resentment against them, she said.
"I only understood how the Shan (minority) suffered at the hands of the military from my aunt, who volunteered to teach there."
The Karens, the Shan, the Mon and many other groups accuse the junta of "ethnic genocide", which is achieved through forced expulsion of whole communities whenever the military decides to take over their land, either for their food supplies or their projects.
A book was recently published on the "Burmanization" of the Muslim minorities, mainly the Rohingya near the border with Bangladesh.
But Nai Nai remembers her student days when poetry, plays and newspapers were heavily censored.
It's not only the ethnic groups' identity the junta wants to wipe out, she said. The regime "wants to end Burmese culture."
Experts in Bangkok explained the values instilled in the populace, including the belief that only the military can protect Myanmar, coupled with the fear of outward dissent.
Nai Nai says she has no idea what the future holds for her.
But then her name means "nine nine" -- a lucky number in Myanmar.
She said her parents hoped her nickname would help her "pass all obstacles" -- and a grin spread across her face.[end]
The writer recently participated in a fellowship covering Myanmar as part of the Bangkok-based Southeast Asian Press Alliance. This article published on The Jakarta Post, Sun, 06/01/2008
10 May 2008
SKB Soal Ahmadiyah
Berikut keenam isi keputusan tersebut:
1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 2005 tentang pencegahan penodaan agama.
2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi seusai peraturan perundangan.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.
5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapai dikenai sanksi sesuai perundangan yang berlaku.
6. Memerintahan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini. [end]
9 May 2008
Yang Sesat dan Yang Ngamuk*
Oleh: A. Mustofa Bisri
Karena melihat sepotong, tidak sejak awal, saya mengira massa yang ditayangkan TV itu adalah orang-orang yang sedang kesurupan masal. Soalnya, mereka seperti kalap. Ternyata, menurut istri saya yang menonton tayangan berita sejak awal, mereka itu adalah orang-orang yang ngamuk terhadap kelompok Ahmadiyah yang dinyatakan sesat oleh MUI.
Saya sendiri tidak mengerti kenapa orang -yang dinyatakan- sesat harus diamuk seperti itu? Ibaratnya, ada orang Semarang bertujuan ke Jakarta, tapi ternyata tersesat ke Surabaya, masak kita -yang tahu bahwa orang itu sesat- menempelenginya. Aneh dan lucu.
Konon orang-orang yang ngamuk itu adalah orang-orang Indonesia yang beragama Islam. Artinya, orang-orang yang berketuhanan Allah Yang Mahaesa dan berkemanusiaan adil dan beradab. Kita lihat imam-imam mereka yang beragitasi dengan garang di layar kaca itu kebanyakan mengenakan busana Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Kalau benar mereka orang-orang Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, mengapa mereka tampil begitu sangar, mirip preman? Seolah-olah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka, Rasulullah SAW.
Kalau massa yang hanya makmum, itu masih bisa dimengerti. Mereka hanyalah mengikuti telunjuk imam-imam mereka. Tapi, masak imam-imam -yang mengaku pembela Islam itu- tidak mengerti misi dan ciri Islam yang rahmatan lil ’aalamiin, tidak hanya rahmatan lithaaifah makhshuushah (golongan sendiri). Masak mereka tidak tahu bahwa pemimpin agung Islam, Rasulullah SAW, adalah pemimpin yang akhlaknya paling mulia dan diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Masak mereka tidak pernah membaca, misalnya ayat "Ya ayyuhalladziina aamanuu kuunuu qawwamiina lillah syuhadaa-a bilqisthi…al-aayah" (Q. 5: 8). Artinya, wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu penegak-penegak kebenaran karena Allah dan saksi-saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum menyeret kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa. Takwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan.
Apakah mereka tidak pernah membaca kelembutan dan kelapangdadaan Nabi Muhammad SAW atau membaca firman Allah kepada beliau, "Fabimaa rahmatin minaLlahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhal qalbi lanfaddhuu min haulika… al-aayah" (Q. 3: 159). Artinya, maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berperangai lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau kasar dan berhati kejam, niscaya mereka akan lari menjauhimu…"
Tak Mengerti
Sungguh saya tidak mengerti jalan pikiran atau apa yang merasuki pikiran mereka sehingga mereka tidak mampu bersikap tawaduk penuh pengayoman seperti dicontoh-ajarkan Rasulullah SAW di saat menang. Atau, sekadar membayangkan bagaimana seandainya mereka yang merupakan pihak minoritas (kalah) dan kelompok yang mereka hujat berlebihan itu mayoritas (menang).
Sebagai kelompok mayoritas, mereka tampak sekali -seperti kata orang Jawa- tidak tepa salira. Apakah mereka mengira bahwa Allah senang dengan orang-orang yang tidak tepo saliro, tidak menenggang rasa? Yang jelas Allah, menurut Rasul-Nya, tidak akan merahmati mereka yang tidak berbelas kasihan kepada orang.
Saya heran mengapa ada -atau malah tidak sedikit- orang yang sudah dianggap atau menganggap diri pemimpin bahkan pembela Islam, tapi berperilaku kasar dan pemarah. Tidak mencontoh kearifan dan kelembutan Sang Rasul, pembawa Islam itu sendiri. Mereka malah mencontoh dan menyugesti kebencian terhadap mereka yang dianggap sesat.
Apakah mereka ingin meniadakan ayat dakwah? Ataukah, mereka memahami dakwah sebagai hanya ajakan kepada mereka yang tidak sesat saja?
Atau? Kelihatannya kok tidak mungkin kalau mereka sengaja berniat membantu menciptakan citra Islam sebagai agama yang kejam dan ganas seperti yang diinginkan orang-orang bodoh di luar sana. Tapi…[end]
*Naskah asli tulisan ini dimuat di situs GusMus.NET
7 May 2008
Masykur Maskub: Penggerak "Silent Transformation" di NU*
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit "mewah".
Tokoh yang pendiam itu telah meninggal dalam insiden kendaraan bermotor di kawasan Pancoran, pada 30 Desember 2005. Pak Masykur, guru, teman, dan sahabat yang sangat saya hormati dan cintai itu telah meninggalkan kita untuk selamanya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.....
Masykur Maskub, atau Pak Masykur --begitu kawan-kawan muda NU kerap menyapanya-- bukanlah tokoh yang "cemlorot" dan terkenal. Dia nyaris tak pernah muncul di TV, pernyataan-pernyataannya jarang dikutip media, dan kehadirannya mungkin hanyalah dirasakan "bermakna" buat kalangan terbatas yang mengenalnya dari dekat. Dia bukanlah Gus Dur yang kehadirannya nyaris "pervasive" dan ada di mana-mana. Pak Masykur mung tampak hadir hanya buat segelintir orang, tetapi, believe me, kehadirannya yang terbatas itu mempunyai makna yang mendalam, bukan saja buat teman-temannya, tetapi lebih besar lagi buat NU. Dialah orang yang, di mata saya, melakukan "silent transformation" (perubahan diam-diam). Jika tak khawatir menimbulkan efek berbihan, saya hampir saja mengatakan "revolusi diam-diam".
Usahanya, tentu bersama kawan-kawannya yang lain, untuk menegakkan institusi lembaga riset, kajian dan pengembangan sumber daya manusia NU, yakni Lakpesdam-NU, serta membangun sistem yang kredibel dan bermartabat dalam lembaga itu, jarang dikenal oleh banyak orang, bahkan di lingkungan NU sendiri. Tetapi, berkat usahanya itu, Pak Masykur telah menjadikan Lakpesdam-NU sebagai salah satu lembaga NU yang berjalan normal sebagaimana laiknya sebuah institusi modern. Dia bekerja dari balik layar, wajahnya jarang, atau nyaris tak pernah, disorot oleh kamera, dan sosoknya hanya disadari oleh sejumlah orang di NU dalam kesempatan yang terbatas. Tentu dia hadir dalam setiap event besar NU, tetapi jarang orang menyadari bahwa dia telah melakukan hal yang "besar" buat NU. Dan saya kira, figur-figur yang bekerja dengan diam-diam untuk NU semacam ini bertebaran di seluruh daerah, dari mulai PB hingga ke pengurus ranting. Orang jarang mengenal mereka, dan mereka tentu tak risau jika tak banyak orang mengetahui apa yang telah mereka kerjakan untuk institusi yang mereka cintai lahir-batin, Nahdlatul Ulama. Saya kira, umur NU bisa panjang karena "tangan dingin" dan keikhlasan yang nyaris tanpa pamrih dari orang-orang semacam Pak Masykur ini.
Di kalangan anak-anak muda NU, terutama teman-teman yang sering mendefinisikan diri mereka sebagai "NU kultural", Pak Masykur dianggap sebagai pelindung dan pengayom. Meskipun jarang atau tidak banyak bicara, tetapi kehadiran Pak Masykur sangat berarti buat teman-teman itu. Dia, mungkin seperti garam: tidak terlihat di mangkuk waktu Anda menyantap bakso, tetapi jika bahan itu tak ada di
Perkenalan saya dengan Pak Masykur berlangsung secara pelan-pelan, dan itu terjadi mula-mula pada 1983 di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati. Madrasah ini dipimpin oleh KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, atau Kiai Sahal, sebagaimana kami dulu sering menyebut beliau. Saat itu, saya duduk di kelas 3 Tsanawiyah. Pada pandangan pertama, penampilan Pak Masykur sebagai seorang guru tak begitu meyakinkan. Pembawaannya terlalu "lembut" untuk mata pelajaran yang dia pegang saat itu, yakni "Kewarganegaraan
Tetapi, pelan-pelan, kesan saya berubah total saat pelajaran sudah berjalan jauh. Meskipun Pak Masykur bukanlah seorang guru yang pandai berbicara, tetapi cara dia membangkitkan rasa ingin tahu di kalangan murid luar biasa. Salah satu momen yang paling tidak saya lupa adalah saat dia menjelaskan secara detil, walaupun dengan terengah-engah, sejarah sekitar kemerdekaan
Belakangan saya kemudian tahu bahwa Pak Masykur rupanya bekerja sebagai seorang "social volunteer" untuk program pengembangan pesantren yang dilakukan oleh LP3ES, dan karena itulah dia mendapat kiriman rutin jurnal Prisma dan buku-buku terbitan LP3ES yang lain. Dari segi bacaan, Pak Masykur saat itu mendahului ratusan langkah dari guru-guru lain di madrasah saya. Karena cara dia mengajar yang hidup inilah saya menjadi tertarik dengan kelas dia. Setiap masuk kelas, selalu ada hal baru yang dia bawa yang tak ada dalam buku teks pelajaran. Dia selalu membawa hal-hal baru yang segar. Dunia saya sebagai seorang murid madrasah kampung yang sempit saat itu seperti diperluas cakrawalanya oleh penjelasan-penjelasan dia yang bersumber dari bahan bacaan yang kaya.
Udangan ini langsung saya sambut dengan suka cita. Jarak antara rumah saya dan rumah Pak Masykur yang berada di desa Sumerak (sekitar 7 kilo ke arah selatan dari
Di samping mengajar di madrasah asuhan Kiai Sahal itu, Pak Masykur juga terlibat dalam sebuah LSM yang berada di bawah naungan Pesantren Maslakul Huda, asuhan Kiai Sahal. Nama LSM itu adalah BPPM, Badan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. BPPM adalah salah satu mitra kerja LP3ES, dan belangan P3M, dalam program pengembangan pesantren dan masyarakat. Dekade 80-an adalah periode "romantis" LSM di Indonesia. Saat itu, banyak kalangan kritis yang merintis sejumlah LSM di Jakarta percaya bahwa perubahan sosial bisa terjadi lewat jalur yang non-developmentalis, yakni di luar jalur pembangunan yang ditempuh oleh pemerintah dengan ciri utamanya adalah pendekatan "top down": pemerintah memutuskan, rakyat tinggal manut saja. Pendekatan itu dikritik sebagai sumber kegagalan pembangunan saat itu. Oleh karena itu, harus dicari alternatif perubahan sosial yang lain. Timbullah gagasan tentang perubahan yang "bottom-up", dari bawah ke atas, dengan pendekatan yang saat itu dikenal sebagai metode partisipatoris. Karena pesantren dianggap sebagai lembaga pribumi yang berkembang dari bawah, maka banyak kalangan percaya bahwa perubahan sosial alternatif bisa ditempuh lewat peran pesantren. Ramailah orang menoleh ke pesantren, dan disertasi Zamakhsyari Dhofier yang diterbitkan oleh LP3ES saat itu dengan judul "Tradisi Pesantren" menjadi bacaan yang populer.
Sebagai seorang santri madrasah, saya tak sepenuhnya memahami konsep-konsep yang rumit itu. Saya membacai banyak buletin dan terbitan-terbitan yang dikelola baik oleh LP3ES atau P3M yang dikirim ke BPPM. Semuanya mungkin karena kedekatan saya dengan Pak Masykur. Saat itu, saya bukan santri Maslakul Huda, sebab saya mondok di pesantren yang dikelola oleh ayah saya sendiri, Pesantren Mansajul Ulum di desa Cebolek. Tetapi, kedekatan saya dengan Pak Masykur memungkinkan saya untuk mengakses sumber-sumber bacaan yang dimiliki oleh BPPM yang berafiliasi dengan Pesantren Maslakul Huda itu.
Buat saya, dan saya kira juga buat murid-murid lain yang seangkatan dengan saya di Madrasah Mathali'ul Falah saat itu, Pak Masykur adalah layaknya sebuah "jendela" dari mana kami bisa menjenguk ke dunia luar. Bagi kami, Pak Masykur persis menempati posisi yang pada dekade 80-an dikenal sebagai "cultural broker" -- istilah yang dikenalkan oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, dan sangat populer di kalangan sarjana yang mengamati pesantren saat itu. Pak Masykur adalah "jembatan budaya" yang menghubungkan kami di madrasah dengan dunia luar yang tak kami kenal dengan baik saat itu.
Tahun 1987, kalau tak salah, Pak Masykur pindah ke
Sebagai orang yang tumbuh dalam kultur NU, tentu Pak Masykur sangat menghormati figur kiai. Bahkan, sebagaimana ia kisahkan secara pribadi pada saya, beberapa keputusan penting dalam hidupnya selalu ia ambil setelah berkonsultasi dengan seorang kiai sepuh yang sangat dia hormati, yakni allah yarham KH. Abdullah Salam, Kajen, yang di daerah kami dikenal dengan Mbah Dullah. Pak Masykur menaruh hormat yang dalam dan tulus pada kiai-kiai sepuh di NU. Tetapi, dia juga sadar bahwa NU harus ditegakkan bukan semata-mata atas dasar kharisma kiai sepuh. Sebagai lembaga modern, NU harus membangun sistem dan manajemen organisasi yang baik dan berjalan dengan normal. Dalam hal ini, Pak Masykur mengagumi figur lain dalam NU yang, secara kebetulan, mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dia: yakni kesederhanaan serta kesadaran yang tinggi tentang pentingnya sistem dan manajemen. Tokoh itu tak lain adalah almarhum Fahmi Saifuddin, putera dari mantan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Dalam istilah yang dikenal selama ini di kalangan NU, Pak Masykur menghendaki agar NU tidak berhenti sebagai 'jama'ah' atau kumpulan biasa, tetapi juga meningkat sebagai 'jam'iyyah', yakni organisasi yang ditegakkan atas dasar aturan main dan sistem yang kokoh. Dedikasi Pak Masykur yang berlangsung lebih dari 15 tahun di Lakpesdam dikerahkan, antara lain, untuk membangun "jam'iyyah" itu, lewat institusi Lakpesdam. Bersama teman-teman lain seperti Lukman Saifuddin, Mufid A. Busyairi, Helmi Ali, Muntajid Billah, Yahya Ma'shum, Pangcu Driantoro, Masrur Ainun Najih, Lilis N. Husna, dan senior-senior lain sepeti MM Billah dan Said Budairi, Pak Masykur telah menjadi bagian dari arus penting untuk men-jam'iyyahkan NU.
Saya tahu, cinta pertama dan terakhir Pak Masykur adalah NU dan kiai. Oleh karena itu, seluruh orbit kehidupan dia berputar di sekiar pesantren, NU dan kiai. Dia tak pernah lepas dari dunia para kiai itu. Salah satu etos yang begitu menonjol dan dilihat secara mencolok oleh teman-teman NU pada figur Pak Masykur, dan terutama di Lakpesdam, adalah etos kesederhanaan dan kejujuran -- salah satu etos yang diajarkan di pesantren. Pertama kali saya bertemu dengan dia di luar kantor adalah di rumahnya yang sangat sederhana di kawasan Pancoran. Rumah kontrakan itu hanya mempunyai dua kamar yang sempit, dengan keadaan bangunan yang sangat sederhana. Lokasi rumah agak menjorok ke dalam, dinaungi oleh pohon sawo yang rimbun. Selama bertahun-tahun Pak Masykur tinggal di rumah sederhana itu. Baru beberapa tahun belakangan, Pak Masykur memutuskan untuk membeli rumah sendiri --rumah kecil yang terletak tak jauh dari rumah kontrakannya yang lama. Rumah yang ia beli sendiri ini jauh dari kesan mewah, dan letaknya agak jauh dari jalan utama. Untuk mencapai ke
Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit "mewah". Meskipun tak ada sesuatu yang sepenuhnya salah dalam perkembangan seperti ini, tetapi perubahan
Setelah usai menjabat sebagai Direktur Lakpesdam, dia aktif di lembaga baru yang didirikan oleh sejumlah anak-anak muda NU, di bawah asuhan Kiai A Mustofa Bisri, atau lebih dikenal dengan Gus Mus, yaitu "Mata Air" yang kantornya terletal di kawasan Tebet. Lagi-lagi, Pak Masykur tidak bisa bergerak jauh dari dunia kiai. Kantor lembaga itu memang tak terlalu jauh dari rumah dia, kira-kira 15 menit. Dia sering berangkat, pulang-pergi, ke kantor baru itu dengan mengendarai sepeda motor. Dia tampaknya menjadi salah satu tumpuan Gus Mus untuk menjalankan lembaga baru itu. Kesederhanaan dan kejujuran Pak Masykur nyaris seperti "mata air" di NU.
Walau nama dia tak hingar-bingar dikenal oleh kalangan luas, baik di NU atau di luarnya, tetapi Pak Masykur telah menjaid ilham untuk beberapa anak muda di NU, sekurang-kurangnya buat saya dan teman-teman saya sekelas di Mathali'ul Falah dan teman-teman muda lain di Lakpesdam. Dengan caranya sendiri, dan dengan pembawaannya yang sangat halus, dia telah melakukan transformasi diam-diam dalam tubuh pesantren dan NU.
*versi aslinya tulisan ini ada di situs Jaringan Islam Liberal
'Beta Mo Tidur Deng Bapa'
Ilustrasi oleh Gery Paulandhika Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...
-
By Mujtaba Hamdi And Imam Shofwan A string of accusations on religious contempt are now being hurled at Dhani Ahmad and his rock band Dewa. ...
-
Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Ti...
-
Oleh Mujtaba Hamdi dan Imam Shofwan Berbagai tudingan penghinaan agama menggempur Dhani Ahmad dan Dewa. Dhani tak memungkiri, inspirasi li...