Skip to main content

Coblosan Hati Nurani

MEMILIH capres dan cawapres sesuai dengan hati nurani diartikan Rahman sebagai panduan utama memilih presiden. Pria berusia 30 tahun ini mengisahkan kepada syir’ah dua hari setelah pencoblosan.

Ceritanya, Senin pagi 5 Juli, Rahman, bersama tetangga dekatnya Yusuf, berjalan semangat menuju bilik suara yang tak jauh dari rumahnya. Sepanjang perjalanan, kedua warga Madura yang bermukim di Yogyakarta ini memperbincangkan siapa pilihannya.

Dialog singkat berlogat Madura pun terjadi sepanjang perjalanan:

“Kamu milih apa Sup?” tanya Rahman.

“Aku pilih SBY saja lah,” jawab Yusup enteng.

“Kamu ini gimana! Kita kan orang Madura, masa milih SBY,” tentang Rahman.

“Lo, kan ibu kota kita Surabaya, pas kan kalau milih SBY? Coba kepanjangan SBY itu apa kalau bukan Surabaya?” kilah Yusup sengit.

“Tapi SBY kan bukan orang NU?”

Gak peduli NU atau bukan. Yang penting sesuai dengan hati nurani! Kalau kamu pilih siapa?” Tanya Yusup.

“Sesuai dengan hati nuraniku, aku tetep pilih Gus Dur to,” jawab Rahman, mantap.

Kon goblok yo? Gus Dur kan tidak bisa maju jadi presiden. Gimana mau nyoblos dia?” komentar Yusup sembari terkekeh-kekeh.

“Nggak ada urusan, yang penting sesuai dengan hati nurani!”

“Iya tapi gimana mau pilih Gus Dur kalau gambarnya aja tidak ada.”

Rahman lalu mengeluarkan foto Gus Dur dari sakunya.

Singkat cerita, Rahman hanya ingin tetap menjaga hati nuraninya agar tidak memilih kandidat presiden lain. Karenanya, dia mempersiapkan foto Gus Dur dan dia bawa masuk bilik suara, dia pasang di kartu tanda gambar yang akan dipilih.

Akhirnya, kesampaian juga niat memilih kandidat presiden pilihan hati nuraninya. Sesudah mendapat giliran mencoblos, di dalam bilik suara Rahman melaksanakan aksinya. Ia memang langsung membuka lembar tanda gambar. Namun, ia tidak langsung menusuk salah satu dari lima pasangan yang ada. Sebelum menusuk, Rahman merogoh foto Gus Dur di saku lalu menempelkan foto Gus Dur dengan lem yang sudah dipersiapkannya.

Sejenak berfikir, ia lalu memasang foto Gus Dur persis pada gambar Wiranto, "Wah, pas ini, pasangan orang NU, keturunan kyai, bernama Wahid lagi!" fikirnya. Dengan senyum puas gambar Gus Dur pun dicoblos. Bles, sesuai dengan hati nuraninya.[end] FM

Sumber: humorina Syir’ah edisi Agustus 2004

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Dua Anak Serdadu

Oleh Imam Shofwan BEATRIZ Miranda Guterres berwajah oval, dagunya berbelah, bibir tipis, mata sipit dan rambut hitam berombak. Kulitnya halus sawo matang dan tubuhnya ramping. Namun karunia ini jadi malapetaka baginya. Para serdadu Indonesia, yang bertugas di kampungnya, Lalerek Mutin di Viqueque, tergiur dengan kecantikannya. Miranda dipaksa jadi gundik, berpindah dari satu tentara ke tentara lain. Para tentara itu sudah pulang ke Pulau Jawa, namun Miranda tak lupa wajah laki-laki yang pernah menyenggamainya. Dari hubungan “kawin paksa” dengan tiga serdadu, Miranda menanggung dua orang anak, yang hingga kini diasuhnya. “Yang pertama sudah kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama),” tutur Miranda pada saya. Saya menemui Miranda pada 22 Mei 2007 lalu di Lalerek Mutin. Anak-anak tanpa baju bermain di depan rumah-rumah kumuh dan kecil. Rumah-rumah itu beratap daun aren, atau uma tali, atau “rumah daun aren” dalam bahasa Tetun. Uma-uma tali itu berlantai tanah. Tidak ada listrik. Babi-bab...