19 December 2010

Haji Singapura

 Majalah Historia

Sambungan Calo-calo Haji

Si Gapoeng, perempuan Melayu yang berganti nama Halimatusa’diyah setelah hajjah, juga menumpang kapal Samoa, kapal carteran J.G.M. Herklots saat pulang ke tanah air. Kala badai menghajar Samoa pada 14 Agustus 1893, dia selamat namun harus kehilangan suami dan harta bendanya, antara lain satu peti besar berisi pakaian, 21 karung goni berisi perbekalan, dan uang tunai sebesar f.150. Dalam kesaksian yang disimpan di Arsip Nasional RI sebagaimana dikutip Dien Majid, dia berkisah:

“...Kira-kira soedah 7 hari berlajar satoe malam dapat angin besar sampei hampir-hampir terbalik kapal itoe dan ajer masuk kadalam kapal sampai pagi-pagi di tjari saja poenja laki tiada lagi dan barang-barang saja itoe joega semoea soedah habis roepanja djatoeh masok laoet sama laki saja barang dan oewang saja jang habis itoe ada kira-kira f.150 bersama-sama pekirim orang djoega tjoema tertinggal badan saja sadja dengan sehelei badjoe jang soedah robek-robek begimana.”

Untuk makan di sisa perjalanan 42 hari, setelah badai, dia mengandalkan belas kasihan dari penumpang lain, “Dari makanan selama dalam kapal djikaloe ada orang jang soedah dapat nasi jang ada kasihan dia beri sedikit-sedikit baharoe saja makan, kalo tiada kasihan orang-orang itoe tiadalah saja makan.”

Kritik keras terhadap kapal-kapal carteran Herklots datang dari agen-agen haji pesaingnya seperti agen pelayaran Nederland, Borneo Company Limited, Rotterdam Lloyd dan Ocean, Firma Gellatly Henkey Sewell & Co, Firma Aliste, Jawa & Co. Agen-agen haji ini tergabung dalam wadah: Kongsi Tiga.

J.G.M. Herklots dan Kongsi Tiga adalah agen-agen haji generasi pertama yang dilibatkan pemerintah Hindia Belanda dalam pengurusan ibadah haji setelah melonjaknya jumlah jamaah haji tahun 1893. Di bagian dua Indisch Verslag dicatat jumlah jemaah haji tahun itu sebanyak 8092 jamaah, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 6841 jamaah.

Dalam surat protesnya kepada Menteri Luar Negeri Nederland, Rotterdam Lloyd and Ocean mengatasnamakan agen-agen haji yang tergabung dalam Kongsi Tiga menuduh Herklots tak paham undang-undang kapal penumpang pribumi yang termaktub dalam Native Passagers Ships Act 15 Febuari 1884.

Surat yang emosional ini menyindir dengan mengatakan: seluruh orang Belanda di mana pun dia berada pasti memahami Peraturan ini. Pokok utama yang dipersoalkan Lloyd adalah kapal Samoa, yang dicarter Herklots untuk pemulangan jamaah, adalah kapal pengangkut batubara dan tidak dirancang sebagai kapal penumpang.

Dua persyaratan dalam Passagers Ships Act yang dilanggar Herklots, pertama: Kapal yang memiliki berdek kayu yang dibolehkan mengangkut jamaah. Untuk tiang tiap dek harus terbuat dari besi. Seluruh dek harus ditutup kayu. Kedua: para jamaah yang berada di dalam kapal tujuan Hindia Belanda itu harus cukup mendapat kayu bakar dan tidak melebihi jumlah penumpang.

Parahnya lagi, Samoa tanpa dilengkapi kayu pembatas pada seluruh dek dan kuat dugaan bahwa kapal Samoa ini kelebihan muatan. Lloyd minta Menteri Luar Negeri segera mengambil tindakan terhadap Herklots atas pelanggaran-pelanggaran itu.

Tahun 1893 memang bukan tahun yang mujur bagi agen-agen haji dari Kongsi tiga. Kapal-kapal mereka hanya bisa mengangkut sedikit jamaah yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Kapal api Drenta milik Rotterdamsche Lloyd yang bisa memuat 830 penumpang hanya mengangkut 115 jamaah. Sementara kapal Lyilops milik Ocean Line hanya mengangkut 22 jamaah. Kapal Sentor milik Ocean hanya memuat 268 penumpang. Bahkan kapal Sunda milik Nederlandsche Lloyd yang menggratiskan biaya angkut barang dan hanya bertarif f.14, hanya mampu menjaring 100 penumpang, padahal kapasitasnya 614 penumpang.

Martin van Bruinessen dalam tulisannya “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji” mencatat, orang Nusantara punya minat tinggi untuk pergi haji. Pada akhir abad ke-19 jumlah jamaah haji Nusantara berkisar antara 10-20 persen dari seluruh jamaah haji asing. Angka melonjak, sebagaimana data Indisch Verslag, hingga 50 persen, menjadi 28.427 jamaah dari total 56.855 jamaah pada musim haji 1913/14.

Perangsangnya adalah status sosial yang tinggi yang akan diperoleh sepulang haji ditopang hasil panen yang melimpah pada tahun-tahun tertentu. Ibadah yang butuh modal besar ini tak hanya merangsang golongan atas begitu pula golongan bawah. Mereka yang punya pertanian luas membayar dengan hasil panen, sementara yang pertaniannya sempit menabung berpuluh-puluh tahun.

Pangeran Aria Ahcmad Djajadiningrat, asisten wedana Cilegon dalam buku Herinneringen van Pangeran Achmad Djajadiningrat mencatat saat-saat wawancara calon haji yang mengajukan pas-haji. Ketika seorang calon haji diminta untuk menunjukkan uang sebesar f.500, sebagaimana disyaratkan untuk mendapat pas-haji, dia bilang perlu dua hari untuk bisa menunjukkan uang tersebut.

“Uang sejumlah itu semua terdiri dari sen yang ia tanam pada berbagai tempat dalam kebun dukunya. Ia harus menggali terlebih dahulu uang itu. Selanjutnya, ia harus mempunyai sebuah gerobak untuk mengangkut uang itu dari desanya ke tempat tinggal saya dan dari sana ke Cilegon untuk sedapat mungkin uang ditukar dengan uang perak atau uang kertas.”

Belakangan diketahui, calon haji ini bekerja sejak muda sebagai penjual kayu bakar dan menabung 5-10 sen per hari dari penghasilannya yang hanya 15-20 sen. Setelah 25 tahun tabungannya mencapai 50.000 sen atau f.500.

Banyak pula yang menjual tanah dan sebagian lagi nekat berhutang untuk bisa berangkat haji.

Agen perjalanan haji menangkap fenomena tersebut sebagai peluang usaha yang menggiurkan. Agen-agen haji ini melakukan berbagai cara untuk merayu, dengan berbagai kemudahan, para jamaah. Salah satunya memberikan pinjaman pada jamaah yang tak berduit –sering disebut arme pelgrims alias haji miskin.

Pinjaman diberikan berdasarkan kontrak dengan jaminan dibayar dengan tanah atau bekerja. Dengan perjanjian ini agen-agen haji meraih keuntungan karena memperoleh banyak tanah subur di Banten dan pekerja yang bisa dibayar murah.  

Tajuddin Brother, sebuah agen yang fokus pada peminjaman biaya haji dan juga adviseur Kongsi Tiga, contohnya. Setelah musim haji 1925/1926, agen ini memperoleh sejumlah tanah pertanian subur di Banten sebagai tebusan atas hutang biaya haji yang waktu pengembaliannya lewat. “Ini mengakibatkan pemiskinan para haji setelah dari Makkah karena kehilangan sumber kehidupan utama,” tulis Vredenbreght dalam bukunya The Haddj.

Agen-agen haji di Kongsi tiga, di berbagai referensi haji di masa kolonial, terkenal bagus pelayanan kapalnya. Namun mereka terlibat dalam penyediaan biaya haji yang tak punya duit ini. Agen-agen haji ini biasanya bekerjasama dengan para syekh.

Bagi mereka yang berhutang dengan calo haji dan tak punya tanah untuk menebus utang biasanya membayar dengan bekerja atau jadi onderneming di perkebunan sawit milik Fa. Assegaf, seorang syekh Arab di Singapura yang sering merekrut jemaah haji untuk disalurkan pada agen-agen haji tertentu, di Deli, Semenanjung Malaya, dan Singapura hingga utang mereka lunas. Mereka yang berangkat ke Mekkah atau kembali dari haji dengan terlebih dahulu bekerja di Singapura, sesampainya di tanah air biasa mendapatkan julukan “Haji Singapura.” [IMAM SHOFWAN]

No comments:

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...