20 January 2013

Chairul Saleh: Si Bengal Dari Lubuk Jantan

Berasal dari keluarga menak Minang. Ayah dan ibunya bercerai. Ia suka sa­bung ayam namun tak suka adat Minang yang meno­morduakan laki-laki. Cintanya pada Zus Yo membawanya ke Batavia. Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani prok­lamasi mewakili bangsa Indonesia karena usahanya.

Chairul Saleh tak lama bersama-sama ibunya yang cantik bermata binar dan ayahnya yang dokter di Sawah Lunto. Usia dua tahun ayah dan ibunya memutuskan pisah. Chairul ikut ibunya ke Lintau. Di Lintau Zubaidah binti Ahmad Marzuki sakit-sakitan, dan jadi pendiam, Chairul ikut ibunya hingga usia 4 tahun dan ia lantas diasuh uwaknya Suleiman Rajo Mudo di Lubuk Jantan pada 1920. Ayahnya Achmad Shaleh membina keluarga baru dengan Nurisam dan tugas di Medan.

Tanpa diawasi orang tua, Chairul main suka-suka, ia suka mengadu ayam jago. Jagoan kecil ini pandai berka­wan dan dia bisa bermain kapan saja dan di mana saja dia suka. Hal ini berlangsung hingga empat tahun, saat ayahnya memintanya pindah dari kampung ke kota Medan. Ia lantas dimasukkan ke Europese Lagere School (se­macam SD).

Di Lintau dia bisa berbuat sesukanya namun tidak di Medan. Ada banyak peraturan di kota, ia harus bisa sopan santun plus bahasa Belanda.

Suatu ketika ayahnya pulang kerja dan dia ditanya apa sudah makan. Chairul menjawab, “ik niet…ik mag niet”  dan dia tak boleh bilang itu, jawabnya mustinya “nog niet.” bukan “tidak boleh” namun “belum.” Ia lantas mengulang-ulang nog niet dan dalam waktu tak lama ia mampu berdialog Belanda.

Chairul kecil tak nyaman di rumah Medan. Di samping banyak aturan dia sering mendengar ibunya digun­jingkan, ia juga tak suka budaya Minang yang mendidik laki-laki menjadi tidak jantan. Hal ini ditutup dengan kelembutan Nurisam yang tak membedakan Chairul dengan anak-anak kandungnya. Ia mendongeng untuk semuanya ketika anak-anak hendak tidur.

Ada satu hal yang tak dilupakan dalam keluarga ini ketika Chairul kecil. Suatu musim hujan ia mengingini buah pepaya masak di pekarangan rumahnya. Ia tak diperbolehkan memanjatkan karena bajunya akan kotor. Chairul tak kehabisan akal, ia memanjat dengan telanjang bulat. Kejadian ini diketahui oleh ayahnya saat bangun dari tidur siang. Pantatnya dicambuk dengan kembang sepatu hingga merah biru seperti habis dikerok.

Walau dikenal keras hati dan melakukan apa saja yang dia ingini namun di mata adik-adiknya Chairul adalah kakak pelindung. Ia tak mau adik-adiknya diperlakukan keras seperti dia. Suatu ketika dia bilang pada ayahnya, “dulu kami begitu takut padamu, kayak lihat harimau! Hafidz (salah satu adiknya) jangan Papa hajar seperti saya ya, Pa?”

Chairul saleh pindah Euro­pese Largere School di Bukit Tinggi saat ayahnya pindah tugas. Bangunan sekolah ini ada di dekat jam gadang. Di sini ia sudah tidak dikeloni mamanya. Dia tak suka de­ngan anak-anak Belanda dan sering berkelahi dengan me­reka. Lulus dari ELS ia pindah ke Hoge Burgerlijke School (HBS) di Pasti Alam, Medan. Ia masih menunjukkan sayang pada adik-adiknya saat re­maja. Ia kasih kopernya buat Hafidz dan juga beri minyak rambut paling keren saat itu Stacomb.

Di buku Chairul Saleh Tokoh Kontoversial karya Irna H.N. Hadi Soewito, menulis Chairul remaja suka mengerjai adiknya, salah satu yang paling diingat Ayi (salah satu adiknya) adalah saat Chairul bangun tidur. Ia meminta Ayi beli makan:

“Tolong dong Yi beli nasi,”
“Mana uangnya?”
“Di kantong”
“Di kantong mana?”
“Ya di situ.” Ayi lantas merogoh kantong dan merasakan sesuatu yang aneh.
“Hai ini apa?” Tanya Ayi ingin tahu.
“Oh, itu kalau pilek, taruh hidung.”

Ayi lantas mendekatkan barang itu ke hidung. “Ditaruh begini,” kata Ayi sembari mendekatkan ke hidungnya. “Jangan! Jangan!” Kata Chai­rul. Setelah beberapa tahun Ayi baru tahu kalau itu kon­dom.

Bila libur tiba Chairul pulang ke Bukittinggi, ia suka menghabiskan waktu berenang di sungai Tabang. Ia suka saat seperti itu karena banyak pelajar yang belajar di Jawa juga pulang. Salah satunya adalah Yohana Siti Menara Saidah, gadis manis putri Tuan Lanjumin Datuk Tumanggung dengan Masnin. Gadis ini sekolah di Batavia.

Perkenalan dengan Yohana ini bikin Chairul tak bergairah sekolah di Medan, ia lantas pindah ke Batavia di sekolah Koning Willem Drie (KW III) atau HBS 5 tahun, di jalan Salemba.
Ia hanya punya tiga stel pakaian namun selalu rapi dan memakai sepeda butut namun di mata perempuan dia adalah sosok yang menarik, kecuali tubuhnya yang gemuk, bibir tebal dan mata sedikit juling.

Di Batavia hubungannya dengan Yohana semakin lengket. Namun tak direstui orang tua Yohana. Orang tua Yohana bilang kalau keluarga Chairul punya penyakit jiwa keturunan. Belakangan diketahui masalahnya adalah persaingan dua keluarga ini memperebutkan posisi anggota Volksraad. Ceritanya, dokter Saleh yang nasionalis dicalonkan sebagai anggota namun yang jadi Datuk Tumenggung.

Pada 1940 Chairul dan Zus Yo, sapaan akrab Yohana, berbulat tekat untuk menikah. Mereka melangsungkannya di rumah uwaknya Datuk Sulai­man Rajo Mudo di Lubuk Jantan. Tak seorang sauda­ranya yang datang. Saat itu papanya sedang sakit.

Sejak saat itu dia ia tak lagi dapat kiriman uang dari ayahnya. Untuk kebutuhan sehari-hari ia mengandalkan kiriman dari kakeknya dan adik papanya. Pengalaman pahit masa kanak-kanak menjadikannya berwatak keras dan teguh pendirian. Ia tampak jelas pada sikap-sikapnya saat dewasa.

Dari Teks Proklamasi Hingga Batas Laut

Saat Jepang kalah dari Sekutu, Chairul Saleh adalah tokoh pemuda yang sangat menonjol di angkatan 45. Dia bersama Sukarni adalah pa­sa­­ngan yang memegang pera­nan penting dalam penentuan jalannya proklamasi kemer­dekaan Indonesia. Chairul Saleh menggerakkan massa pemuda pelajar untuk mematangkan situasi, sedang Sukarni menggerakkan para perwira Peta untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Otak penculikan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok adalah mereka berdua.

Sukarni dan Chairul me­na­warkan teks proklamasi sebagai berikut, “Bahwa de­ngan ini menyatakan kemer­dekaannya. Segala badan-badan pemerintah yang ada harus direbut oleh rakyat, dari orang-orang asing yang masih mempertahankannya.”

Teks ini tak memuaskan Sukarno-Hatta. Alasannya, mereka khawatir Jepang akan menghajar rakyat habis-habisan. Sayuti Malik yang mengetik naskah itu dan akhirnya teksnya menjadi:
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemer­dekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain dise­lenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Chairul dan Sukarni ingin perebutan total kemerdekaan oleh rakyat namun Soekarno mempertimbangkan reaksi Jepang bila hal itu dilakukan. Tak hanya soal paragraf proklamasi yang jadi perdebatan, namun juga siapa yang akan menandatangani teks proklamasi.

Untuk penandatanganan, Chairul Saleh, sesuai rapat sebelumnya di Manggarai menunjuk enam namauntuk menandatangani, namun rapat proklamasi menghendaki semua yang hadir untuk tandatangan. Sukarni kebe­ratan mencampurkan enam orang tadi dengan mere­ka yang namanya berhu­bungan denganJepang. Ia lantas meng­usulkan Sukarno-Hatta untuk menandatangani. Usul ini yang dipakai.

Chairul Saleh terkenal tak mau kompromi dengan prinsipnya. Saat konferensi meja bundar misalnya, ia tak sepakat dengan hasil konferensi ini yang dianggap merugikan Indonesia. Chairil lantas masuk hutan memimpin laskar rakyat berjuang melawan Republik Indonesia Serikat. Pada 1950 Chairul ditangkap kolonel Nasution dan dibuang ke Jerman. Di sana ia sekolah Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat 1952-1955. Di sini, ia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Ia pulang saat Bung Karno mengawali Demokrasi Ter­pim­pin.

Selama bersama Sukarno ia menduduki banyak jaba­tan, mulai menteri veteran, menteri perindustrian dasar dan pertambangan hingga wakil perdana menteri III. Ia juga pernah diangkat jadi ketua MPRS.
Prinsip negara kepulauan dengan batas teritorial 12 mil laut adalah idenya yang di­sahkan pada 13 Desember 1957. Prinsip ini disahkan internasional jadi hukum laut di Montego, Jamaika pada 1982, setelah Chairul Saleh meninggal dan memerlukan waktu 25 tahun. Ia tak mem­punyai keturunan bersama Zus Yo. ***

Dipublikasin di harian Haluan, Minggu, 20 Januari 2013.









No comments:

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...