9 June 2015

Kau Sesat Maka Kau Pasti Salah!

Apa jadinya kalau semua profesi membela agamanya? Tukang pos Islam tak mau mengantar surat orang Kristen karena ia beda agama. Dokter Kristen tak mau mengobati pasien Muslim karena ia beda agama. Wartawan Sunni tak mau menyuarakan orang Syi’ah yang didzalimi karena ia beda keyakinan atau seorang Hakim Sunni tak memberi keadilan pada korban Syi’ah yang dibakar rumah dan sekolahnya dan diusir dari tempat tinggalnya, serta dibunuh pengikutnya karena keyakinan berbeda.

Kita patut was-was karena bangunan kebangsaan kita terancam. Ia akan kembali ke zaman siapa kuat ia menang. Yang mayoritas membantai yang minoritas. Bukankah bukan begitu tujuan kita bernegara? Negara wajib melindungi semua warganya. Memberi keadilan.

Wartawan dan hakim yang didikte agamanya bukan rekaan, ia benar-benar terjadi di kasus pemimpin Syi’ah Tajul Muluk, Sampang Madura. Di mana wartawan tak menjalankan fungsinya dengan independen, menjadi anjing penjaga penguasa yang dzalim, menyuarakan korban dengan mengumpulkan sebanyak mungkin fakta untuk membantu masyarakat bikin keputusan yang bermutu. Tajul Muluk diusir dari tempat yang ditinggalinya sejak 1980. Rumah dan sekolahnya dibakar. Pengikutnya disiksa dan dibunuh. Tak hanya itu, sebagai korban, ia malah dihukum 2 tahun oleh pengadilan Sampang dan ditambah dua tahun lagi oleh pengadilan tinggi di Surabaya.

Banyak kejanggalan di sepanjang persidangan. Mulai dari hakim yang berfihak pada kelompok Sunni, ia mengarahkan kesaksian para saksi dan memperlakukan bukti-bukti untuk menyalahkan para korban dari kelompok Syi’ah. Kejanggalan-kejanggalan ini tak tertangkap media. Mereka melaporkan kasus ini dipermukaannya dan tak jarang berfihak pada mayoritas Sunni, ikut menyesatkan Syi’ah, dan tidak kritis ketika para korban yang justru dijebloskan ke penjara.

Ia bukan kasus pertama media dan para hakim berfihak sama mayoritas dan menindas minoritas. Kasus-kasus Ahmadiyah di Cikeusik, kasus Lia Aminuddin juga sama. Media dan hakim gagal menjalankan fungsinya dengan baik dan independen. Ia didekte keyakinannya untuk berfihak.
Tulisan ini hendak menyoroti kejanggalan-kejanggalan di sidang kasus Tajul Muluk di pengadilan Sampang yang lepas dari sorotan media, ia didasarkan pada notulensi persidangan. Supaya urut saya mencoba mengelompokkannya menjadi beberapa pointer:

Pertama keberfihakan hakim terhadap kelompok Sunni yang ditunjukkan pada beberapa tingkatan: hakim memperlakukan tak sama terhadap saksi-saksi penasehat hukum (Syi’ah) dan saksi-saksi penuntut umum (Sunni). Misal terhadap saksi Muhyin, hakim mempersoalkan saksi Muhyin karena punya nama alias. Tak hanya itu, hakim juga memarahi saksi Muhyin dan saksi Sunadi yang juga didatangkan oleh penasehat hukum. Terhadap saksi Sunadi, hakim mengatakan dalam bahasa Madura. “sampean nekah edingagin gellun oreng acaca. Tak nyambung jewebennah  sampean, enggi paham? Edingagin oreng gellun atanyah jek karabbeh dibik. (Anda itu dengarkan dulu kalau orang berbicara. Jawaban anda tidak nyambung, faham kan? Dengarkan dulu orang yang bertanya jangan mengambil seenaknya sendiri).” Hakim juga mengintimidasi saksi dengan ancaman berbohong.

Kebalikannya, hakim memperlakukan saksi-saksi atau ahli dari penuntut umum berbeda dengan saksi-saksi dari penasehat hukum. Hakim melindungi saksi-saksi dan ahli penuntut umum, tak memarahinya dan juga mengiyakan saja ketika ahli tak mau menjawab pertanyaan penasehat hukum.

Misalnya, saat penasehat hukum menanyakan pada saksi Abdul Halim Subahar tentang dasar rumusan rukun iman? Abdul Halim bilang menurut hadist Rosul. Ketika penasehat hukum meminta Halim menunjukkan hadist itu hakim bilang, “aa, begini, jadi tak usah begitu. Hadist Rasul mengatakan seperti itu.” Usaha penasehat hukum untuk menggali akar persoalan dihentikan hakim dengan pernyataan ini.

Hakim mengingatkan penasehat hukum waktu penasehat hukum menyebut ahli  dari penuntut umum dengan sebutan “anda” sebagai kasar namun hakim sendiri memanggil ahli dari penasehat hukum dengan sebutan “anda.”

Ketika saksi penasehat hukum tidak hafal rukun Islam dan Iman hakim memarahinya namun ketika saksi-saksi penuntut umum tidak hafal juga hakim membelanya.

Dalam bahasa Madura hakim mengatakan pada saksi dari penasehat hukum, Sunandi, “anda mengaku Islam, mengaku Syi’ah tapi ditanya rukun Islam rukun iman tidak tahu, itu dasar itu.” Namun ketika saksi penuntut umum Muhammad Hasyim tak juga hafal hakim melanjutkan pertanyaan.
Hakim bilang, “rukun iman ada berapa?”

“Ada lima,” jawab Hasyim.

“Sebutkan satu persatu.” “Sampean tak hafal?” Tanya hakim.

“Tidak hafal,” jawab Hasyim.

“Rukun Islam ada berapa?”

bedheh bellu (ada delapan)” kata Hasyim.

Kedua, asas keadilan tak dijunjung tinggi oleh hakim. Ia banyak melakukan intervensi pada penasehat hukum. Dalam pemeriksaan ahli Abdussomad Bukhori, misalnya, penasehat hukum mempertanyakan apakah perkawinan mut’ah termasuk pokok agama atau cabang agama. Hakim memotong penjelasan ahli dengan memutuskan ia pokok agama. Penasehat hukum tak leluasa menggali keterangan ahli lebih lanjut soal ini. Begitupun ketiga penasehat hukum menyoal tentang apakah ajaran Syi’ah sesat? Penasehat hukum tak diberi kesempatan menggali lebih dalam dari ahli dan hakim menyela dengan mengatakan. “Jadi buktinya 10 kriteria dan itu bisa salah satu aja yang diikutkan dan itu bisa.”

Usaha penasehat hukum untuk mengungkap fakta sering dipotong oleh hakim dan diminta mengganti dengan pertanyaan lain. Akibatnya, penasehat hukum tak maksimal melakukan pembelaan.
Ketiga, hakim menunjukkan sikap kalau terdakwa bersalah dan ajaran Tajul Muluk sesat. Pertanyaan seperti, “kenapa saudara ikut ajaran sesat?” beberapa kali keluar dari mulut hakim ketika menanyai saksi selama persidangan.

Selama persidangan hakim juga melebarkan persoalan di luar dakwaan, seperti poligami, tarawih, puasa, buka puasa. Namun hakim tak menemukan perbedaan ibadah-ibadah itu di Sunni dan Syi’ah.
Keempat, ada kewajiban undang-undang, jika seseorang tak faham bahasa Indonesia hakim harus menunjuk juru bahasa yang disumpah namun, hakim tidak menjalankan prosedur itu, ia tak menunjuk penerjemah yang bersumpah dan menginterpretasikan sendiri keterangan dari bahasa lokal sesuai pandangannya. Parahnya hakim tak menulis keterangan saksi yang tidak berbahasa Indonesia dan tak ada keterangan diterjemahkan.

Selain empat hal itu, ada kejanggalan-kejanggalan lain selama persidangan yang tak tertangkap media, seperti, hakim mengarahkan saksi untuk mengubah jawaban, hakim membatasi keberatan penasehat hukum, tak menyumpah saksi sedarah, hakim membiarkan saksi beropini, hakim juga mengeluarkan kata-kata menghina terdakwa, hakim juga menyimpulkan saat pemeriksaan saksi, hakim juga membiarkan keterangan kontradiktif dari saksi di berita acara pemeriksaan.

Menulis ini mengingatkan saya pada kasus konflik Islam-Kristen di Ambon 1999-2001, dimana media tak netral dan ikut mengobarkan konflik Ambon. Masyarakat terbelah menjadi desa Islam dan desa Kristen, angkot Islam dan angkot Kristen, perahu Islam dan perahu Kristen. Media yang harusnya tak memihak juga terbelah menjadi media Islam dan media Kristen. Tak perduli salah-benar mereka membela agama masing-masing dan menyalahkan agama lain. Ia jadi pertikaian agama yang panjang dan memakan banyak korban. Rumah, masjid, gereja dibakar. Semua fihak rugi besar dan perlu waktu lama untuk pemulihan.

Saya khawatir dan masih bertanya, apa jadinya jika semua profesi membela agamanya? Saya membayangkan kerusakan yang luar biasa. [Imam Shofwan]

Dimuat di Majalah Ideas, Jember edisi April 2015.

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...