Oleh Imam Shofwan
Berbagai upaya ditempuh kelompok yang kecewa dengan RUU Aceh di Jakarta.
Sejak Febuari lalu banyak tokoh Aceh berada di Jakarta. Mereka orang-orang yang berkepentingan dengan lolosnya RUU Pemerintahan Aceh, namun pihak yang menentang juga datang ke Jakarta.
Di antaranya, lima ketua DPRD II dari Aceh, yaitu, Syukur Kobath, ketua DPRD II Aceh Tengah; Umuruddin, ketua DPRD II Aceh Tenggara; Chaliddin Munthe, ketua DPRD II Singkil; Mohammad Amru, ketua DPRD II Gayo Luewes; dan Tagore AB, ketua DPRD kabupaten Bener Meriah. Semuanya berasal dari Partai Golkar.
Selain kelimanya, ketua-ketua DPRD dari wilayah Aceh Barat Selatan juga terlibat. Mereka antara lain ketua DPRD II Aceh Barat, Aceh Jaya, Seumelu, Aceh Selatan dan Nagan Raya.
Mereka menginginkan wilayah Aceh Leuser Antara, kelima kabupaten pertama tadi, yang mereka singkat “ALA” dan Aceh Barat Selatan atau “Abas,” menjadi provinsi baru --terpisah dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Sejak Minggu, 5 Maret, mereka meninggalkan pekerjaan mereka dan datang ke Jakarta khusus untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Di Hotel Treva Jakarta mereka menginap, berkumpul dan menyusun strategi. Banyak acara yang mereka agendakan selama berada di Jakarta, mulai seminar sampai menemui tokoh-tokoh di Jakarta.
Seminar bertajuk “Penguatan Parlemen Lokal dalam RUU PA,” adalah acara pertama mereka. Acara tersebut digelar di lantai 12 Hotel Treva. Acara ini menghadirkan Hery Yuherman dari Departemen Dalam Negeri, Azhari dan Bivitri Susanti dari Jaringan Demokrasi Aceh.
RUU Aceh oleh kelompok “Ala dan Abas” dianggap tak mewakili aspirasi dari 11 kabupaten mereka karena dalam rancangan tidak ada klausul “pemekaran” Aceh. “Tanpa klausul tersebut kami tidak mengawal RUU PA,” tegas Syukur Kobath.
RUU ini adalah hasil dari rancangan para legislator Aceh yang diajukan kepada Departemen Dalam Negeri di Jakarta, dan setelah dipermak Departemen, RUU tersebut diserahkan ke parlemen untuk dibahas dan disahkan. Majalah Acehkita menyebut perubahan tersebut “pengkhianatan Jakarta” terhadap perjanjian Helsinki.
Mulai akhir Febuari, RUU ini pun dibahas di parlemen Indonesia, sebagai kelanjutan dari kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Sejak pembahasan RUU ini, banyak tokoh Aceh datang ke Jakarta, mulai dari pemimpin GAM hingga Gubernur Aceh Mustafa Abu Bakar, dari aktivis NGO hingga mahasiswa Aceh. Mereka mendukung RUU Aceh. Usaha mereka tidak mudah karena ditentang oleh banyak pensiunan jendral, politisi “nasionalis” Indonesia serta akademisi Pulau Jawa. Penentangan juga dilakukan oleh kelompok ketua-ketua DPRD II dari 11 kabupaten itu: Ala dan Abas.
Menurut mereka, Ala layak menjadi provinsi baru, dengan pertimbangan luas wilayah Aceh. Menurut Syukur Kobath, dari Banda Aceh ke Singkil jaraknya 1,000 km dan kalau menempuh jalur darat harus memutar lewat Sumatra Utara.
Begitu juga dari Gayo Luewes (Blangkejeren) ke Banda Aceh, harus lewat Medan. Kalau lewat darat, itu membutuhkan waktu delapan jam dan dari Medan ke Banda memakan waktu 12 Jam. Ini tidak efektif untuk koordinasi pemerintahan.
Masyarakat di Aceh Tengah dengan ibukota Takengon, menurut Syukur, jadinya lebih terbelakang, “Kita ingin memperpendek rentang kendali pemerintahan.”
Syukur lalu membandingkan dengan jarak di Pulau Jawa, antara Banten dan Banyuwangi, yang punya jarak sama-sama 1,000 km. “Dari Banten sampai Banyuwangi ada enam provinsi, kenapa di Aceh cuman satu?”
Rencana provinsi baru sebenarnya rencana lama Syukur dan kawan-kawan, sejak lahirnya UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Puncaknya, pada 4 Desember 2005, mereka mengadakan deklarasi terbentuknya provinsi Ala dan Abas di stadion Senayan Jakarta.
Tanggal “4 Desember” adalah hari penting untuk kebanyakan orang Aceh karena pada 4 Desember 1976, Hasan di Tiro menyatakan juga kemerdekaan Aceh dari “Republik Jawa-Indonesia.”
Proses pemekaran ternyata tak mudah. Mereka hanya bisa mengajukan permohonan “mekar” ke Departemen Dalam Negeri bila ada tanda tangan persetujuan Gubernur Aceh dan ketua DPRD Aceh. Keduanya menolak. Maka, dua hari setelah deklarasi, Aliansi Mahasiswa Leuser Antara dan Masyarakat Aceh Leuser Antara melakukan demonstrasi Departemen Dalam Negeri dan menuntut pembagian Aceh jadi dua.
Sesudah tsunami, orang-orang Ala dan Abas ini juga kecewa, karena masyarakat internasional membantu GAM berunding dengan Indonesia di Helsinki. Perjanjiannya, mengamanatkan pembentukan UU Aceh. Maka rancangan pun dibuat, pertama oleh akademisi dari Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar Raniry di Banda Aceh serta Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
Draft disusun berdasarkan masukan dari masyarakat lewat seminar di tiga universitas itu. Para pejuang pemekaran tak mau ketinggalan. Mereka usul klausul pemekaran wilayah dimasukkan. “Saat seminar raya usulan kami diterima, namun ketika sudah menjadi draft, usulan tersebut tidak tertuang dalam draft.”
Alasannya, baik GAM maupun Indonesia tak mau membongkar kesepakatan Helsinki dimana batas wilayah Aceh sudah disepakati. Memecah Aceh, menurut Bahtiar Abdulah dari GAM, bisa dilakukan bila semua kesepakatan Helsinki sudah dijalankan.
Namun Syukur dan kawan-kawan tidak rela. Mereka meninggalkan kantornya di Aceh dan datang ke Jakarta serta bermarkas di Hotel Treva.
Wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah, daerah asal Syukur, adalah wilayah yang dianggap pro Indonesia. Sekitar 35 persen dari 270,000 penduduknya berasal dari Pulau Jawa atau keturunannya. Mereka sering dimusuhi GAM yang menganggap “bangsa Aceh” jajahan “bangsa Jawa.” Sekitar 120,000 orang Aceh keturunan Jawa mengungsi keluar dari Aceh antara 1999 dan 2005.
Memang Syukur memusuhi GAM. “Kami frontal terhadap GAM, kami sangat nasionalis dengan Jawa.”
Sejak tsunami, prioritas Jakarta adalah “wilayah GAM” dari Lhokseumawe hingga Banda Aceh. Padahal daerah Ala dan Abas, yang setia mengikuti Jawa, malah tidak diperhatikan. Dia merasa terpojok karena tidak diperhatikan Jakarta dan di Aceh sendiri dimusuhi GAM.
Pada Maret 2003, Takengon adalah kota pertama dimana kantor Henry Dunant Center diserang dan dibakar milisi pro Indonesia. HDC memulai proses perdamaian di Aceh zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Pembakaran kantor mereka memicu keputusan Jakarta tarik mundur dari perdamaian. Jakarta menyatakan perang lagi dengan GAM pada Mei 2003.
Kini, bagi Syukur, satu-satunya jalan adalah memisahkan diri. Syukur datang ke Jakarta dengan banyak agenda, antara lain, memberi masukan kepada panitia RUU Aceh. Ternyata mereka ditolak dengan alasan teknis: belum ada jadwalnya.
Tidak puas, Syukur dan kawan-kawan mengagendakan ketemu Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Syukur juga ingin bertemu Habib Riziek Syihab dari Front Pembela Islam serta mantan presiden Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid.
Syukur dan kawan-kawannya telah mengambil posisi berseberangan dengan GAM dan dia tidak mau setengah-setengah. “Terlanjur basah, mandi sekalian,” tegas Syukur.
Naskah ini diterbitkan, pada 9 Maret 2006, di Sindikasi Pantau
Berbagai upaya ditempuh kelompok yang kecewa dengan RUU Aceh di Jakarta.
Sejak Febuari lalu banyak tokoh Aceh berada di Jakarta. Mereka orang-orang yang berkepentingan dengan lolosnya RUU Pemerintahan Aceh, namun pihak yang menentang juga datang ke Jakarta.
Di antaranya, lima ketua DPRD II dari Aceh, yaitu, Syukur Kobath, ketua DPRD II Aceh Tengah; Umuruddin, ketua DPRD II Aceh Tenggara; Chaliddin Munthe, ketua DPRD II Singkil; Mohammad Amru, ketua DPRD II Gayo Luewes; dan Tagore AB, ketua DPRD kabupaten Bener Meriah. Semuanya berasal dari Partai Golkar.
Selain kelimanya, ketua-ketua DPRD dari wilayah Aceh Barat Selatan juga terlibat. Mereka antara lain ketua DPRD II Aceh Barat, Aceh Jaya, Seumelu, Aceh Selatan dan Nagan Raya.
Mereka menginginkan wilayah Aceh Leuser Antara, kelima kabupaten pertama tadi, yang mereka singkat “ALA” dan Aceh Barat Selatan atau “Abas,” menjadi provinsi baru --terpisah dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Sejak Minggu, 5 Maret, mereka meninggalkan pekerjaan mereka dan datang ke Jakarta khusus untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Di Hotel Treva Jakarta mereka menginap, berkumpul dan menyusun strategi. Banyak acara yang mereka agendakan selama berada di Jakarta, mulai seminar sampai menemui tokoh-tokoh di Jakarta.
Seminar bertajuk “Penguatan Parlemen Lokal dalam RUU PA,” adalah acara pertama mereka. Acara tersebut digelar di lantai 12 Hotel Treva. Acara ini menghadirkan Hery Yuherman dari Departemen Dalam Negeri, Azhari dan Bivitri Susanti dari Jaringan Demokrasi Aceh.
RUU Aceh oleh kelompok “Ala dan Abas” dianggap tak mewakili aspirasi dari 11 kabupaten mereka karena dalam rancangan tidak ada klausul “pemekaran” Aceh. “Tanpa klausul tersebut kami tidak mengawal RUU PA,” tegas Syukur Kobath.
RUU ini adalah hasil dari rancangan para legislator Aceh yang diajukan kepada Departemen Dalam Negeri di Jakarta, dan setelah dipermak Departemen, RUU tersebut diserahkan ke parlemen untuk dibahas dan disahkan. Majalah Acehkita menyebut perubahan tersebut “pengkhianatan Jakarta” terhadap perjanjian Helsinki.
Mulai akhir Febuari, RUU ini pun dibahas di parlemen Indonesia, sebagai kelanjutan dari kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Sejak pembahasan RUU ini, banyak tokoh Aceh datang ke Jakarta, mulai dari pemimpin GAM hingga Gubernur Aceh Mustafa Abu Bakar, dari aktivis NGO hingga mahasiswa Aceh. Mereka mendukung RUU Aceh. Usaha mereka tidak mudah karena ditentang oleh banyak pensiunan jendral, politisi “nasionalis” Indonesia serta akademisi Pulau Jawa. Penentangan juga dilakukan oleh kelompok ketua-ketua DPRD II dari 11 kabupaten itu: Ala dan Abas.
Menurut mereka, Ala layak menjadi provinsi baru, dengan pertimbangan luas wilayah Aceh. Menurut Syukur Kobath, dari Banda Aceh ke Singkil jaraknya 1,000 km dan kalau menempuh jalur darat harus memutar lewat Sumatra Utara.
Begitu juga dari Gayo Luewes (Blangkejeren) ke Banda Aceh, harus lewat Medan. Kalau lewat darat, itu membutuhkan waktu delapan jam dan dari Medan ke Banda memakan waktu 12 Jam. Ini tidak efektif untuk koordinasi pemerintahan.
Masyarakat di Aceh Tengah dengan ibukota Takengon, menurut Syukur, jadinya lebih terbelakang, “Kita ingin memperpendek rentang kendali pemerintahan.”
Syukur lalu membandingkan dengan jarak di Pulau Jawa, antara Banten dan Banyuwangi, yang punya jarak sama-sama 1,000 km. “Dari Banten sampai Banyuwangi ada enam provinsi, kenapa di Aceh cuman satu?”
Rencana provinsi baru sebenarnya rencana lama Syukur dan kawan-kawan, sejak lahirnya UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Puncaknya, pada 4 Desember 2005, mereka mengadakan deklarasi terbentuknya provinsi Ala dan Abas di stadion Senayan Jakarta.
Tanggal “4 Desember” adalah hari penting untuk kebanyakan orang Aceh karena pada 4 Desember 1976, Hasan di Tiro menyatakan juga kemerdekaan Aceh dari “Republik Jawa-Indonesia.”
Proses pemekaran ternyata tak mudah. Mereka hanya bisa mengajukan permohonan “mekar” ke Departemen Dalam Negeri bila ada tanda tangan persetujuan Gubernur Aceh dan ketua DPRD Aceh. Keduanya menolak. Maka, dua hari setelah deklarasi, Aliansi Mahasiswa Leuser Antara dan Masyarakat Aceh Leuser Antara melakukan demonstrasi Departemen Dalam Negeri dan menuntut pembagian Aceh jadi dua.
Sesudah tsunami, orang-orang Ala dan Abas ini juga kecewa, karena masyarakat internasional membantu GAM berunding dengan Indonesia di Helsinki. Perjanjiannya, mengamanatkan pembentukan UU Aceh. Maka rancangan pun dibuat, pertama oleh akademisi dari Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar Raniry di Banda Aceh serta Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
Draft disusun berdasarkan masukan dari masyarakat lewat seminar di tiga universitas itu. Para pejuang pemekaran tak mau ketinggalan. Mereka usul klausul pemekaran wilayah dimasukkan. “Saat seminar raya usulan kami diterima, namun ketika sudah menjadi draft, usulan tersebut tidak tertuang dalam draft.”
Alasannya, baik GAM maupun Indonesia tak mau membongkar kesepakatan Helsinki dimana batas wilayah Aceh sudah disepakati. Memecah Aceh, menurut Bahtiar Abdulah dari GAM, bisa dilakukan bila semua kesepakatan Helsinki sudah dijalankan.
Namun Syukur dan kawan-kawan tidak rela. Mereka meninggalkan kantornya di Aceh dan datang ke Jakarta serta bermarkas di Hotel Treva.
Wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah, daerah asal Syukur, adalah wilayah yang dianggap pro Indonesia. Sekitar 35 persen dari 270,000 penduduknya berasal dari Pulau Jawa atau keturunannya. Mereka sering dimusuhi GAM yang menganggap “bangsa Aceh” jajahan “bangsa Jawa.” Sekitar 120,000 orang Aceh keturunan Jawa mengungsi keluar dari Aceh antara 1999 dan 2005.
Memang Syukur memusuhi GAM. “Kami frontal terhadap GAM, kami sangat nasionalis dengan Jawa.”
Sejak tsunami, prioritas Jakarta adalah “wilayah GAM” dari Lhokseumawe hingga Banda Aceh. Padahal daerah Ala dan Abas, yang setia mengikuti Jawa, malah tidak diperhatikan. Dia merasa terpojok karena tidak diperhatikan Jakarta dan di Aceh sendiri dimusuhi GAM.
Pada Maret 2003, Takengon adalah kota pertama dimana kantor Henry Dunant Center diserang dan dibakar milisi pro Indonesia. HDC memulai proses perdamaian di Aceh zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Pembakaran kantor mereka memicu keputusan Jakarta tarik mundur dari perdamaian. Jakarta menyatakan perang lagi dengan GAM pada Mei 2003.
Kini, bagi Syukur, satu-satunya jalan adalah memisahkan diri. Syukur datang ke Jakarta dengan banyak agenda, antara lain, memberi masukan kepada panitia RUU Aceh. Ternyata mereka ditolak dengan alasan teknis: belum ada jadwalnya.
Tidak puas, Syukur dan kawan-kawan mengagendakan ketemu Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Syukur juga ingin bertemu Habib Riziek Syihab dari Front Pembela Islam serta mantan presiden Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid.
Syukur dan kawan-kawannya telah mengambil posisi berseberangan dengan GAM dan dia tidak mau setengah-setengah. “Terlanjur basah, mandi sekalian,” tegas Syukur.
Naskah ini diterbitkan, pada 9 Maret 2006, di Sindikasi Pantau
Comments