20 August 2008

TK Di Tengah Pasar

Oleh: Imam Shofwan

Mulanya anak-anak sering merengek dan minta kembali ke rumah setiap saat, lebih-lebih kalau malam. Ini bikin Lilik Kaminah, korban Lapindo asal desa Reno Kenongo di pengungsian pasar baru Porong, tambah senewen. Mereka sudah pusing memikirkan rumah dan tempat kerja mereka yang musnah diterjang lumpur. Akibatnya, anak-anak jadi dibiarkan main apa saja tanpa pengawasan. Mereka cari jalan mudah.

"Hidupe nggak normal, terlalu bebas, sing penting mburu menenge, lek nggak sumpek -hidupnya tidak normal, terlalu bebas, yang penting tidak menangis, biar tidak (makin) sumpek," tutur ibu 30 tahun yang biasa dipanggil Mbak Kami.

Desa Reno Kenongo punya lima dukuh, sejak meluapnya lumpur Lapindo Mei 2006, secara bertahap desa-desa ini terendam lumpur; pertama tiga dukuh; Balung Nongo, Wangkal dan Reno Mencil. Penduduknya lalu mengungsi di balai desa Reno Kenongo. Sementara dua dukuh lainnya; Sengon dan Reno masih bisa ditempati.

Namun setelah meledaknya pipa gas pertamina di dekat lokasi luapan lumpur pada 22 November 2006. Ledakan ini menyebabkan tanggul lumpur ambrol dan lima dukuh di Reno Kenongo tenggelam lumpur termasuk balai desa yang digunakan mengungsi. Orang-orang Balung Nongo, Wangkal dan Reno Mencil lantas terpencar mencari kontrakan sementara warga Sengon dan Reno mengungsi ke pasar Baru Porong. Beberapa media memberitakan ledakan ini mengakibatkan 8-14 orang meninggal namun banyak penduduk yang meyakini korbannya jauh lebih banyak.

Keadaan semacam ini berlangsung hingga satu tahun dan Lapindo belum punya kejelasan tanggungjawabnya atas musibah pada warga ini. Walau mumet dengan ketidakjelasan ini. Mereka tak ingin kehilangan semuanya. Paling tidak mereka ingin anak-anak mereka lebih baik dan tak ingin mereka juga larut dalam kepiluan.

Ide inilah yang kemudian melatarbelakangi pendirian TK Muhajirin di tengah-tengah pengungsian pasar baru Porong. Nama 'Muhajirin' dipilih untuk pengingat bahwa mereka hijrah (lebih tepatnya diusir) dari tempat tinggal mereka menuju pengungsian.
"Anak di pengungsian pasar baru Porong" (foto: Imam S)

Mereka hanya modal dengkul dan semangat waktu hendak mendirikan TK ini. Awalnya semua sekolah di Reno Kenongo tenggelam dalam lumpur Lapindo; SDN I dan II Reno Kenongo, SMP II Porong dan MI hingga MA milik yayasan Khalid bin Walid. Belakangan, MI-MA Khalid bin Walid masih bisa digunakan meski bangunannya sudah rusak berat. Sementara siswa dan siswi SD dan SMP sudah tidak bisa digunakan dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah lain.

SDN I Reno Kenongo dipindah ke SD Glagah Arum (SD Glagah meminjamkan ruangan dan siswa SDN I Reno masuk sore), SDN II Reno Kenongo pindah SDLB Juwet Kenongo (masuk pagi) dan SMP II Porong pindah ke SMP Satu (masuk sore).

"Yang SD dan SMP gedungnya pindah tapi murid dan gurunya tetep," tutur Ahmad Surotun Nizar, warga dukuh Reno pada saya.

Setelah tahun ajaran 2007, pengungsi-pengungsi di pasar Porong punya keluhan sama. Anak-anak usia TK mereka tak bisa sekolah. Lapindo juga belum memberikan ganti rugi sepeserpun.

"Kalau ke TK paling dekat di desa Gedang dan itu bayar empatratus ribu rupiah, kami tak punya duit," tutur Mbak Kami.

Para pengungsi ini mengorganisasikan diri dalam "Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak alias Pagar Rekontrak." Mereka didampingi beberapa aktivis dari Uplink (Urban Poor Linkage Indonesia), organisasi nirlaba yang mengurusi kaum miskin perkotaan.

Keluhan soal TK ini lalu dibahas dalam rapat pengurus Pagar Rekontrak dan didampingi beberapa pendamping dari Uplink dan karena kebutuhannya mendesak mereka lalu mendirikan TK Muhajirin ini dengan apa adanya.

"Ruangnya hanya disekat kain, meja-mejanya dari triplek, pendaftaran pertama ada 70 anak yang masuk, semuanya digratiskan," tutur Mbak Kami.

Mbak Kami punya putra berusia 5 tahun yang ikut masuk TK namanya Ahmad Fiqhi. Dia yang pernah punya pengalaman mengajar lalu didaulat untuk mengajar.

Tak ada target bisa membaca atau menghitung di TK ini. Tujuan pertama dan utama mereka supaya anak-anak tidak menangis. Mereka dibantu untuk mengungkapkan apa isi pikiran mereka dengan melukis. Mereka di kasih kertas dan pensil dan disarankan untuk melukis apa saja yang menarik menurut mereka.

Di luar dugaan, lukisan anak-anak ini berkisar pada rumah, lumpur, bulldozer, eskavator (istilah yang digunakan pengungsi bego) dan alat-alat berat di sekitar lumpur.
Tegar (Foto: Lala)
Selain melukis mereka juga menceritakan rumahnya di sana, mainnya di mana, bego yang di sana warna merah atau biru.

Kegiatan TK ini juga membantu Mbak Kami untuk melupakan sejenak persoalan berat yang dihadapinya karena Lapindo belum memberikan tanggungjawabnya setelah dua tahun.
Anak-anak TK menari di tengah pengungsian jadi hiburan tersendiri bagi pengungsi (Foto: Lala)

Pengungsi di Pasar Baru Porong belum mendapatkan uang pembelian tanahnya sepeserpun mereka hanya dapat uang jatah hidup dan dihentikan bulan Mei lalu. "Aku justru bingung kalau nggak ada kegiatan ini. Dengan anak-anak bawaannya kita bisa ketawa," tutur Mbak Kami getir.

Catatan 22 Agustus 2008
Link-link terkait:
* Menteri ESDM: Pipa Gas Meledak Akibat "Land Subsident"
* Pipa Gas Jatim Dikelola Anak Perusahaan Pertamina
* Polisi Hentikan Penyidikan Ledakan Pipa Gas
*
Warga Reno Kenongo Takut, Mulai Evakuasi Perabotan
* Tanggul Pond A Reno Kenongo Sengaja Tidak Diperbaiki
* Yang Bohong Soal Lumpur Porong

No comments:

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...