3 August 2007

Musdah Mulia di antara Sepuluh Perempuan Pemberani

Imam Shofwan
Sepuluh perempuan pemberani berkumpul di satu ruang di kantor menteri luar negeri Amerika Serikat di Washington pada 7 Maret lalu.
Mereka sengaja diundang oleh Condoleezza Rice, menteri luar negeri AS, untuk menerima penghargaan Internasional Women Encourage Award. Untuk pertama kalinya penghargaan ini diberikan pada perempuan-perempuan yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan hak-hak perempuan di negaranya masing-masing.
“Mereka (dipilih) dari 80 wanita luarbiasa berani,” menurut rilis yang dikeluarkan oleh Senior Coordinator for Intenational Women’s Issues, “yang diajukan oleh kedutaan-kedutaan besar Amerika di seluruh dunia karena berbagai kontribusi mereka untuk kemerdekaan, keadilan, perdamaian dan kesetaraan.”
Para aktivis hak-hak perempuan Indonesia umumnya bergembira dan bangga karena salah satu penghargaan ini diberikan Siti Musdah Mulia, seorang profesor pemikiran Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang getol memperjuangkan hak-hak perempuan terutama lewat Counter Legal Draft (CLD) Hukum Islam yang disusunnya sebagai pengembangan Kompilasi Hukum Islam yang telah ada.
Dalam CLD ini Musdah memasukkan pembelaannya terhadap hak-hak perempuan seperti pelarangan poligami, pelarangan perkawinan di bawah umur, pelarangan perkawinan yang tidak dicatatkan. Karena prestasinya ini dia mendapatkan penghargaan tersebut dan aktivis perempuan Indonesia menyambut dengan gembira.
Sebagai bentuk kegembiraan sebuah acara Malam Apresiasi Untuk Perempuan bertajuk “Menghargai Karya Perempuan dan Mengakhiri Budaya Bisu,” digelar di Universitas Paramadina, Jakarta, pada 30 Maret lalu.
“Harusnya acara ini digelar minggu lalu, tapi diundur karena Bu Musdah ikut test anggota Komnasham,” tutur Romo Heri Susatyo, aktivis dialog antar agama, pada saat jumpa pers sesaat sebelum acara dimulai merujuk pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Musdah Mulia yang juga hadir dalam jumpa pers tersebut menjelaskan tentang pengalamannya selama di Amerika dan bercerita tentang beberapa kawannya yang mendapat penghargaan.
“Mereka berasal dari negara berkembang. Lima Muslim dan lima non Muslim,” tuturnya.
Sara Susana del Valle Trimarco de Veron kawan, sesama penerima penghargaan dari Argentina Musdah Mulia yang sangat berkesan baginya. “Dia berhasil membongkar kejahatan mafia (human) trafficking,” tutur Musdah Mulia menginggriskan istilah perdagangan manusia.
Veron adalah ibu dari seorang putri bernama Marita Veron, gadis berusia 23 tahun yang diculik di jalan San Miguel de Tucuman, Argentina, pada awal April 2002.
Veron yakin kalau anaknya diculik oleh sindikat pedagang perempuan untuk dieksploitasi secara seksual dan diperdagangkan. Maka dia pun menyambangi bar-bar, mengunjungi tempat-tempat pelacuran untuk mengumpulkan informasi soal keberadaan putrinya.
Hingga kini Veron belum menemukan Marita. Namun tak berarti pencarian Veron percuma sama sekali. Menurut USINFO, program informasi internasional US, berkat usahanya mengumpukan informasi dan mengunjungi tempat-tempat hiburan dia berhasil membongkar jaringan perdagangan manusia di lima provinsi di Argentina; La Rioja, Tucuman, Buenos Aires, Cordoba, dan Santa Cruz dan menyelamatkan tidak kurang dari 100 gadis yang hendak dijual.
Selain Veron, penerima dari Saudi Arabia, Samia al-Amoudi, diberi julukan “breaking silence” oleh Musdah Mulia, julukan ini kemudian diartikannya sebagai “membongkar tradisi diam” yang ada di Arab Saudi.
Julukan ini bukan tanpa alasan, al-Moudi, seorang dokter obstetrikus-geneologis dan mantan wakil dekan di College of Medicine and Allied Science di Universitas King Abdulaziz di Jedah, pada Maret tahun lalu menemukan sebuah benjolan kanker pada payudaranya.
Awalnya, al-Moudi, sempat panik karena orang-orang di Arab biasanya menganggap kangker sebagai penyakit yang mematikan dan mereka enggan untuk membicarakannya apalagi penyakit tersebut terdapat di dada perempuan.
Sebagai umat Tuhan, Al-Amoudi merasa diagnosanya adalah cara Tuhan untuk mengatakan padanya bahwa sebagai dokter dia bertanggung jawab untuk mendidik masyarakat dan meningkatkan kewaspadaan terhadap kangker. Sesuatu yang dianggap tabu untuk dibicarakan di Arab pun dicoba disiasatinya. Caranya: menggunakan kolom koran untuk mendiskusikan penyakit ini.
Dalam kolom ini al-Moudi bercerita soal bagaimana dia pertama kali menemukan benjolan, bagaimana dia menceritakan hal ini kepada anaknya, lalu bagaimana dia panik karena rambutnya rontok akibat kemoterapi yang dijalaninya untuk pengobatan. Dengan kolom ini pula dia menuturkan betapa pentingnya mendiskusikan kanker payudara pada laki-laki dan yang paling penting dia juga memaparkan banyak contoh bahwa penyakit ini bisa diobati dan banyak orang yang selamat dari kanker payudara.
“Perawatan kesehatan perempuan sering bergantung pada laki-laki, karena wanita tak boleh membuat janji dengan dokter sendiri, dan tak boleh diobati dokter laki-laki kecuali kalau suaminya mengizinkan,” tutur al-Amoudi, saat penyerahan penghargaan, pada USINFO.
Kolom ini banyak menyadarkan laki-laki Arab akan penyakit kanker payudara dan menyadarkan mereka untuk mendampingi pengobatan bagi keluarga perempuan mereka.
Selain Veron dan al-Amoudi adapula Mariya Ahmed Didi, seorang anggota parlemen, dari Maldives; Mary Akrami dan Aziza Siddiqui, dua pejuang persamaan hak-hak perempuan, dari Afganistan; Jennifer Louise William, aktivis perempuan, dari Zimbabwe; Ilze Jaunalksne, seorang wartawan cantik dari Latvia.
Selain kedelapan perempuan ini Menteri Luar Negeri Amerika Serikat juga memberikan penghargaan ini kepada dua aktivis perempuan dari negara jajahannya, Irak. Mereka adalah Sundus Abbas dan Shatha Abdul Razak Abbousi.
Sundus Abbas adalah direktur eksekutif Women Leadership Institute di Baghdad. Dalam sebuah wawancara dengan USINFO dia mengatakan “Selama 35 tahun Perempuan Irak absen dalam proses pengambilan keputusan, kini perempuan Irak berpartisipasi.”
Bukti nyatanya Shatha Abdul Razak Abbousi, seorang anggota Iraqi Counsil of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat). Dari 275 dewan ini 80 orang adalah perempuan dan Shatha mendapat penghargaan sebagai wanita pemberani dari Condoleezza Rice.
Namun 80 orang perempuan yang menjadi legislator dan yang salah seorang di antaranya diberi penghargaan internasional sebagai wanita pemberani ini tentu saja tidak menutup kenyataan bahwa ribuan perempuan Irak lainnya ketakutan untuk keluar rumah dan harus mencukupi kebutuhan seluruh anggota rumah tangga akibat perang yang dikobarkan Amerika.
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat ini, diakui Mulia, buruk khususnya terhadap Irak. Namun Mulia menerima penghargaan ini dan tidak menolaknya untuk presure agar menghentikan pendudukan Amerika di Irak. Menurut Mulia, dengan begitu, dia bisa katakan pada Rice supaya menghentikan kebijakan luar negeri yang merugikan umat manusia, khususnya umat Islam.
Keputusan untuk menerima penghargaan ini juga berdasarkan saran dari Azyumardi Azra, mantan rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, yang meminta Mulia untuk menerimanya.
Sepulang dari Washington selain disambut gembira oleh kawan-kawannya sesama aktivis perempuan Mulia juga mendapatkan tuduhan, dari sekelompok orang yang tidak dia sebutkan, kalau dia menerima uang ribuan dolar dari Rice dan dia menolak tuduhan ini saat wawancara dengan penulis.
“Dulu (saat menyusun CLD) saya dituduh sebagai ”Agen of America”, “Agen of Yahudi,” dan sebagainya. Kini saya dituduh menerima ribuan dolar. Semua ini tidak benar,” tutur Mulia.

Tulisan ini dimuat di Syir'ah online pada 2-4-2007

No comments:

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...