Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Truth or Consequence

By Imam Shofwan   She is said to have been breathtakingly beautiful, and even now, decades later, there are traces of what had made her so attractive to men: an oval face, cleft chin, eyes that slant upwards just so, and hair that is thick and wavy. When she was younger, her skin was also a smooth golden brown, her body slim yet full in the right places.  These days there are wrinkles around her eyes, but it is the weariness in her face and the slump in her shoulders that betray her age of 50 years – and what she has been through. Then again Lalerek Mutin, a small community east of the Timor Leste capital, isn’t known as “widow’s village” for nothing.  “My husband was kidnapped and killed by three soldiers when I was four months pregnant,” she tells me. “My child died of hunger. Now I raise my two kids from two of the three soldiers who committed sexual acts on me.” I had picked her out at random from among the 8,000 witnesses who testified before

Shariah Advocates Must Put Into Practice Its History of Tolerance

Imam Shofwan In August 2002, a number of Islam-based political parties demanded the Jakarta Charter be included in the Constitution, which would mean that Muslims in Indonesia would have the obligation to live according to the prescriptions of Shariah law.   The effort was supported by a large number of — mainly hard-line — Islamic organizations, but nevertheless failed to pass through the House of Representatives, in part due to opposition from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and the — also Islam-based — National Awakening Party (PKB).   The Islamists had to change strategy. In 2004 a new law on regional autonomy gave them the opportunity they had been hoping for. They set about implementing “Shariah from below” by advocating across the archipelago local Shariah laws, which often included rules such as women being required to wear the hijab, and couples wanting to marry needing to read the Koran.   Islamic groups have long argued that their brand of “Shariah from

Al-Hallaj behind Dhani Ahmad

A string of accusations on religious contempt are now being hurled at Dhani Ahmad and his rock band Dewa. Dhani does not deny that his lyrics began with an attempt to open up some kind of a religious discourse. In fact, he admits his fondness for controversial Sufi figures. It is still early in the morning. The day’s heat has yet to be felt. But not so in the infotainment programme on television. The camera is fixed on one man, and this man is announcing sternly, “A few of the lyrics and the pictures used by Dewa in their album have been taken from a poem by a heretical movement in the Middle East.” On the screen, you could read the caption which identifies them, Pertahanan Ideologi Syariat Islam (Perisai) [The Defence of the Islamic Ideology and Law]. This is not some kind of an innocent prank. Ridwan Saidi, the figure who claims to represent the aforementioned group called Perisai, is going to lodge a complaint on Dewa to the Attorney General. Ridwan is a Betawi cult

Write to Forget

Human right cases in Indonesia are never complete. Time and again fact–finding teams are formed and evidences is found. But the court have never successed in convicting those responsible. At most it is those in the field who get punished, while top brass remains untouchable, unaffected. It was goodly. Perperators of many human right in heavy weight instead taken look like immune. The preperators of the 1965 massacres, for example, have even still never been named, let alone brought to trial. This despite the fact that Sarwo Edhie Wibowo—President Susilo Bambang Yudhoyono’s father-in-law—has claimed that more than three milion people were killed in the at the time. Sarwo Edhie made this claim to Permadi, a legislator with Indonesian Democrat Party of Struggle (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDI-P). Sarwo Edhie himself led the communist ”cleansing” operations in Java and Bali as ordered by Presiden Suharto. But it was not only communists who were killed in these o

| Rilis Media Peringatan 7 Tahun Semburan Lumpur Lapindo |

TUJUH TAHUN LUMPUR LAPINDO, KORBAN INGATKAN PENTINGNYA PEMULIHAN KEHIDUPAN Porong, Sidoarjo – 29 Mei menjadi tanggal yang paling diingat oleh korban lumpur Lapindo. Tujuh tahun lalu, lumpur dan gas beracun mulai menyembur dari bumi Sidoarjo. Sejak itu, warga di tiga kecamatan, Porong, Tanggulangin dan Jabon, harus hidup bersama kehancuran yang ditimbulkan oleh lumpur panas Lapindo. Dalam rangka memperjuangkan pemulihan kehidupan dan mengingatkan publik luas bahwa kasus lumpur Lapindo belum tuntas, Rabu (29/5/2013), ratusan warga korban Lapindo dari berbagai desa yang tergabung dalam Korban Lumpur Menggugat (KLM), Komunitas Ar Rohmah, Sanggar Al Faz, dan Komunitas Jimpitan Sehat menggelar peringatan tujuh tahun semburan lumpur Lapindo. Mereka mengarak patung menyerupai Aburizal Bakrie di tanggul penahan lumpur. Di akhir prosesi mereka membuang patung itu ke dalam lumpur panas. Acara ini juga didukung oleh sejumlah lembaga antara lain: WALHI Jatim, JATAM

RILIS PERS

SEKRETARIS KABINET DIPO ALAM TAMPAK EMOSIONAL, SERANG PRIBADI PROF MAGNIS Jakarta 22 Mei 2013 - Sekretaris Kabinet Dipo Alam tampak emosi menanggapi surat pastor Franz Magnis-Suseno kepada Appeal of Conscience Foundation, yang mempertanyakan dasar penghargaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Dipo Alam dan bahkan Dino Djalal tak terima SBY disebut tak memperhatikan intoleransi yang dialami minoritas agama di Indonesia. “Saya merasa Dipo Alam salah memahami surat Romo Magnis. Jika Romo Magnis memberi kritik pada ACF bukanlah untuk mencerca, namun untuk koreksi bersama apakah SBY sudah layak mendapat penghargaan pembela toleransi?” kata Imam Shofwan, seorang pemuda yang berhasil menggalang 6000 lebih dukungan melalui petisi di www.change.org/natoSby . Bagi Imam, pernyataan Dipo Alam juga lebih emosional seperti terlihat pada kicauan twitter Dipo Alam @dipoalam49 , yang mengatakan, “Umaro, ulama dan umat Islam di Indonesia secara umum sudah baik, mari lihat ke depan, tid

Pekerjaan Berat Meliput Minoritas*

Apa yang musti dilakukan wartawan ketika meliput minoritas? Ketika ada pasal-pasal, fatwa-fatwa, tokoh-tokoh pemerintah dan keamanan, para ulama mendukung diskriminasi terhadap minoritas. Oleh: Imam Shofwan Dari "Bentrok" hingga "Sakit Jiwa" Haluan Padang memuat artikel berjudul Seminggu Ditahan, Aleksander Aan Minta diSyahadatkan, Januari lalu. Meidella Syahni, penulis artikel ini, membuat judul dari kutipan Nuraina, ibu Alek, sapaan akrab Aleksander Aan. Della juga mengutip pernyataan Adi Gunawan, bupati Dharmasraya, yang bilang Alek mungkin kini jiwanya terganggu. Aleksander Ann seorang calon pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Dharmasraya. Dia menghebohkan dunia jejaring sosial facebook karena status anti Tuhannya mendapat tanggapan keras. Pertengahan Januari lalu, dia ditangkap polisi karena tuduhan penodaan agama Islam. Tidak main-main dia menghadapi tuntutan pasal 156 a huruf a soal penodaan agama dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tent

Jemaat Ahmadiyah Diserang

“Menanti Penegakan Hukum Tanpa Diskriminasi”     Penyerangan terhadap Ngasiman Hadi Susanto yang di duga sebagai penganut Ahmadiyah, di Jorong Langanja II, Nagari Sipangkur, Kecamatan Tiumang, Kabupaten Darmasraya pada hari Minggu, 17 Februari 2013 menandai kondisi kerukunan umat beragama di Sumatera Barat semakin memprihatinkan. Sebagaimana diberitakan, penyerangan terhadap korban beserta keluarganya terjadi karena salah seorang warga Langanja II, Supriano, 24, mengikuti ajaran korban. Keluarga Supriano dan masyarakat yang tidak menerima keadaan tersebut melakukan pengrusakan terhadap rumah korban dan meminta korban bersama keluarganya untuk meninggalkan Jorong Langanja II. Karena merasa terancam, korban kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Kotobaru, dan hingga saat ini masih diamankan di Polsek tersebut.   Penyerangan terhadap korban Ngasiman, hanya merupakan satu diantara sekian banyak kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah di Indonesi

Valentine

Hi, Dua minggu yang lalu ada teman di kantor yang berkata bahwa dia harus pulang lebih sore karena holiday esok harinya. “Holiday apa?” saya bertanya. “Valentine's Day!” dia membalas. Saya tertawa. Teman saya, Kimberly (atau Kim), punya dua anak yang masih bersekolah SD. Dua-duanya anak perempuan dan Kim harus pulang lebih awal supaya bisa membantu membuat kartu, kue, dan persiapan lain untuk pesta Valentine yang akan diadakan di sekolah. Kim adalah salah satu bintang di Department Media and Public Affairs kami. Dia sangat pintar dan sangat baik hati juga. Dulu dia mendapatkan PhD-nya di department Ilmu Politik di Universitas Michigan, dan menulis tentang media dan opini publik. Bagi Kim ada tantangan menyeimbangkan urusan pekerjaan dengan urusan rumah, tetapi dua-duanya dilakukan dengan baik. Dua anaknya, Elly dan Willa, sangat pintar seperti ibunya. Untuk anak SD di Amerika, Valentine's Day adalah salah satu holiday yang cukup besar dan penting. Biasanya anak-anak memb

Chairul Saleh: Si Bengal Dari Lubuk Jantan

Berasal dari keluarga menak Minang. Ayah dan ibunya bercerai. Ia suka sa­bung ayam namun tak suka adat Minang yang meno­morduakan laki-laki. Cintanya pada Zus Yo membawanya ke Batavia. Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani prok­lamasi mewakili bangsa Indonesia karena usahanya. Chairul Saleh tak lama bersama-sama ibunya yang cantik bermata binar dan ayahnya yang dokter di Sawah Lunto. Usia dua tahun ayah dan ibunya memutuskan pisah. Chairul ikut ibunya ke Lintau. Di Lintau Zubaidah binti Ahmad Marzuki sakit-sakitan, dan jadi pendiam, Chairul ikut ibunya hingga usia 4 tahun dan ia lantas diasuh uwaknya Suleiman Rajo Mudo di Lubuk Jantan pada 1920. Ayahnya Achmad Shaleh membina keluarga baru dengan Nurisam dan tugas di Medan. Tanpa diawasi orang tua, Chairul main suka-suka, ia suka mengadu ayam jago. Jagoan kecil ini pandai berka­wan dan dia bisa bermain kapan saja dan di mana saja dia suka. Hal ini berlangsung hingga empat tahun, saat ayahnya memintanya pindah dari