Skip to main content

Truth or Consequence

By Imam Shofwan
 
She is said to have been breathtakingly beautiful, and even now, decades later, there are traces of what had made her so attractive to men: an oval face, cleft chin, eyes that slant upwards just so, and hair that is thick and wavy. When she was younger, her skin was also a smooth golden brown, her body slim yet full in the right places. 

These days there are wrinkles around her eyes, but it is the weariness in her face and the slump in her shoulders that betray her age of 50 years – and what she has been through. Then again Lalerek Mutin, a small community east of the Timor Leste capital, isn’t known as “widow’s village” for nothing. 

“My husband was kidnapped and killed by three soldiers when I was four months pregnant,” she tells me. “My child died of hunger. Now I raise my two kids from two of the three soldiers who committed sexual acts on me.”

I had picked her out at random from among the 8,000 witnesses who testified before the Commission of Acceptance, Truth, and Reconciliation of Timor Leste or CAVR, its acronym in Portuguese. The testimonies were given voluntarily. Later, these were compiled in a 2,500-paged book entitled “Chega!” or “Enough!” in Portuguese, where the identities of the witnesses and their alleged abusers were concealed behind code names. 

The woman I would meet in Lalerek Mutin went by the code name “MI” in the book, which lists crimes against humanity committed in East Timor from August 1974, more than a year before the invasion and occupation of Timor Leste by Indonesia, to 1999, when the Indonesian forces departed after the U.N.-sponsored referendum.

The witnesses came from the 13 districts across Timor Leste. They told of the human-rights violations they experienced or had seen, where and when these happened, who were involved. The atrocities enumerated in Chega! range from detention to torture, to rape and sexual slavery, to murder. In all, some 183,000 people are estimated to have died in East Timor during the 25 years of Indonesian occupation.

Most of the victims were East Timorese. Some of the alleged perpetrators, meanwhile, were from militia formed by local political parties like Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente (Fretilin), Uniao Democrattica Timorense (UDT), and Associacao Popular Democratica (Apodeti). 

But majority of those said to have committed the crimes belonged to the Indonesian Armed Forces and the militia they themselves had formed. I felt scared when I learned that most of the crimes were being blamed on members of the Indonesian military, which had also been a constant presence while I was growing up in Rembang, studying in Semarang, and later working in Jakarta.

Read more...

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Dua Anak Serdadu

Oleh Imam Shofwan BEATRIZ Miranda Guterres berwajah oval, dagunya berbelah, bibir tipis, mata sipit dan rambut hitam berombak. Kulitnya halus sawo matang dan tubuhnya ramping. Namun karunia ini jadi malapetaka baginya. Para serdadu Indonesia, yang bertugas di kampungnya, Lalerek Mutin di Viqueque, tergiur dengan kecantikannya. Miranda dipaksa jadi gundik, berpindah dari satu tentara ke tentara lain. Para tentara itu sudah pulang ke Pulau Jawa, namun Miranda tak lupa wajah laki-laki yang pernah menyenggamainya. Dari hubungan “kawin paksa” dengan tiga serdadu, Miranda menanggung dua orang anak, yang hingga kini diasuhnya. “Yang pertama sudah kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama),” tutur Miranda pada saya. Saya menemui Miranda pada 22 Mei 2007 lalu di Lalerek Mutin. Anak-anak tanpa baju bermain di depan rumah-rumah kumuh dan kecil. Rumah-rumah itu beratap daun aren, atau uma tali, atau “rumah daun aren” dalam bahasa Tetun. Uma-uma tali itu berlantai tanah. Tidak ada listrik. Babi-bab...