Skip to main content

Write to Forget

Human right cases in Indonesia are never complete. Time and again fact–finding teams are formed and evidences is found. But the court have never successed in convicting those responsible. At most it is those in the field who get punished, while top brass remains untouchable, unaffected. It was goodly. Perperators of many human right in heavy weight instead taken look like immune.

The preperators of the 1965 massacres, for example, have even still never been named, let alone brought to trial. This despite the fact that Sarwo Edhie Wibowo—President Susilo Bambang Yudhoyono’s father-in-law—has claimed that more than three milion people were killed in the at the time. Sarwo Edhie made this claim to Permadi, a legislator with Indonesian Democrat Party of Struggle (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDI-P). Sarwo Edhie himself led the communist ”cleansing” operations in Java and Bali as ordered by Presiden Suharto. But it was not only communists who were killed in these operations, but also common people with little involvement in or understanding of politics whatever. This tragedy represents one of the greatest genocides witnessed in human history.

Lately demands circulate quite widely for Suharto to be held responsible for his wrongdoing, yet the 1965 massacre almost never gets mentioned in this context; instead it is the more commonplace charge of corruption that is so obsessively discussed. The genocide of 1965 remains a shadow in our national history our history. Never mind the fact that only recently President SBY requested Justice Agung Abdurraahman Saleh put aside even the corruption charges against Suharto.

What happens in the case of other humans rights violations? Most are equally disappointing. Every one of the military defendants on trial for the gross human rights abuses in Timor Lorosa’e, as well as all the military officers involved in the Tanjung Priok case have been freed, and this has had a dramatic impact as well on people’s faith in the the court system as well as the government.

Even the most basic internationally-acknowledged rights of victims are systematically ignored by the Indonesian state and legal apparatus. In fact, there are three fundamental rights which must maintain in the cases of victims of gross human rights violation. First, every victim is entitled to know the facts of the incident as thoroughly as possible. The government is thus responsible for investigation, protection of witnesses as well as victims, and for assuring access to all archival material related to the human-rights incident.

Second, the victim has a right to justice. This involves two further principles, viz people protection from reconciliation effort dan forgive effort who intent on preserve impunity also state duty for doing court administration.

Read more..

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Dua Anak Serdadu

Oleh Imam Shofwan BEATRIZ Miranda Guterres berwajah oval, dagunya berbelah, bibir tipis, mata sipit dan rambut hitam berombak. Kulitnya halus sawo matang dan tubuhnya ramping. Namun karunia ini jadi malapetaka baginya. Para serdadu Indonesia, yang bertugas di kampungnya, Lalerek Mutin di Viqueque, tergiur dengan kecantikannya. Miranda dipaksa jadi gundik, berpindah dari satu tentara ke tentara lain. Para tentara itu sudah pulang ke Pulau Jawa, namun Miranda tak lupa wajah laki-laki yang pernah menyenggamainya. Dari hubungan “kawin paksa” dengan tiga serdadu, Miranda menanggung dua orang anak, yang hingga kini diasuhnya. “Yang pertama sudah kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama),” tutur Miranda pada saya. Saya menemui Miranda pada 22 Mei 2007 lalu di Lalerek Mutin. Anak-anak tanpa baju bermain di depan rumah-rumah kumuh dan kecil. Rumah-rumah itu beratap daun aren, atau uma tali, atau “rumah daun aren” dalam bahasa Tetun. Uma-uma tali itu berlantai tanah. Tidak ada listrik. Babi-bab...