Skip to main content

Jemaat Ahmadiyah Diserang


“Menanti Penegakan Hukum Tanpa Diskriminasi”
 
 
Penyerangan terhadap Ngasiman Hadi Susanto yang di duga sebagai penganut Ahmadiyah, di Jorong Langanja II, Nagari Sipangkur, Kecamatan Tiumang, Kabupaten Darmasraya pada hari Minggu, 17 Februari 2013 menandai kondisi kerukunan umat beragama di Sumatera Barat semakin memprihatinkan. Sebagaimana diberitakan, penyerangan terhadap korban beserta keluarganya terjadi karena salah seorang warga Langanja II, Supriano, 24, mengikuti ajaran korban. Keluarga Supriano dan masyarakat yang tidak menerima keadaan tersebut melakukan pengrusakan terhadap rumah korban dan meminta korban bersama keluarganya untuk meninggalkan Jorong Langanja II. Karena merasa terancam, korban kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Kotobaru, dan hingga saat ini masih diamankan di Polsek tersebut.
 
Penyerangan terhadap korban Ngasiman, hanya merupakan satu diantara sekian banyak kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Sebut saja penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Bandung pada bulan Oktober 2012 lalu yang pada saat itu bertepatan dengan hari raya Idul Adha, penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dan kasus-kasus lain yang terjadi di beberapa daerah lainnya.
 
Sumatera Barat juga tidak luput dari kejadian serupa. Dalam catatan LBH Padang Jemaat Ahmadiyah telah beberapa kali mengalami perlakuan diskriminatif dan intimidatif. Mirisnya, perlakuan tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah dan pihak-pihak tertentu yang melarang jemaat Ahmadiyag seperti SKB tiga menteri tentang pelarangan jemaah Amhadiyah, Peraturan Gubernur, fatwa-fatwa MUI dan lain sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut seringkali ditafsirkan secara salah oleh masyarakat dan justru dianggap sebagai legitimasi atas tindak kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah.
 
Kondisi tersebut, memperlihatkan lemahnya aktualisasi perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia khususnya terhadap Jemaat Ahmadiyah. Padahal UUD RI 1945 Pasal 28E, 29 UUD 1945 secara tegas menjamin hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warga negara, bahkan dalam Pasal 28 I tegas dikatakan bahwa hak kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sehingga siapapun tidak boleh menjadikan seseorang objek kekerasan atas nama agama. Di samping itu, Pasal 28G juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat yang merupakan asasi. Untuk menjawab amanat Konstitusi tersebut, negara dilengkapi dengan aparatur penegak hukum yang berfungsi dalam memberikan rasa aman bagi warganya dalam hal ini Kepolisian.
 
Berdasarkan hal di atas, LBH Padang menyatakan, pertama, mendesak kepada pihak Kepolisian untuk menindak tegas para pelaku pengrusakan dan pengancaman terhadap Ngasiman, sebab segala bentuk tindakan pengrusakan dan pengancaman tidak dapat dibenarkan atas dasar apapun. Kedua, mendesak Kepolisian memberikan perlindungan dan jaminan keamanan terhadap Ngasiman. Ketiga, mendesak Kepolisian untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif dalam penanganan kasus Ngasiman. Dalm hal ini, Kepolisian sebagai lembaga yang mewakili tugas negara dalam memberikan rasa aman, dan perlindungan kepada setiap warga negara dari segala bentuk tindak kekerasan dan ancaman, berkewajiban untuk menindak setiap tindakan dan perbuatan yang dapat menimbulkan rasa tidak aman tersebut, tanpa membedakan agama dan keyakinan seseorang, dalam hal ini pihak kepolisia harus memproses kasus ini secara adil profesional dan transparan. Di samping itu, LBH Padang juga meminta Pemerintah segera melakukan langkah-langkah preventif untuk menghentikan tindakan-tindakan intimidatif dan kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia khususnya di Sumbar.
 
Padang, 18 Februari 2013
Hormat kami,
LBH Padang
 
Vino Oktavia, S.H.
Direktur

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Dua Anak Serdadu

Oleh Imam Shofwan BEATRIZ Miranda Guterres berwajah oval, dagunya berbelah, bibir tipis, mata sipit dan rambut hitam berombak. Kulitnya halus sawo matang dan tubuhnya ramping. Namun karunia ini jadi malapetaka baginya. Para serdadu Indonesia, yang bertugas di kampungnya, Lalerek Mutin di Viqueque, tergiur dengan kecantikannya. Miranda dipaksa jadi gundik, berpindah dari satu tentara ke tentara lain. Para tentara itu sudah pulang ke Pulau Jawa, namun Miranda tak lupa wajah laki-laki yang pernah menyenggamainya. Dari hubungan “kawin paksa” dengan tiga serdadu, Miranda menanggung dua orang anak, yang hingga kini diasuhnya. “Yang pertama sudah kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama),” tutur Miranda pada saya. Saya menemui Miranda pada 22 Mei 2007 lalu di Lalerek Mutin. Anak-anak tanpa baju bermain di depan rumah-rumah kumuh dan kecil. Rumah-rumah itu beratap daun aren, atau uma tali, atau “rumah daun aren” dalam bahasa Tetun. Uma-uma tali itu berlantai tanah. Tidak ada listrik. Babi-bab...