Skip to main content

RILIS PERS

SEKRETARIS KABINET DIPO ALAM TAMPAK EMOSIONAL, SERANG PRIBADI PROF MAGNIS
Jakarta 22 Mei 2013 - Sekretaris Kabinet Dipo Alam tampak emosi menanggapi surat pastor Franz Magnis-Suseno kepada Appeal of Conscience Foundation, yang mempertanyakan dasar penghargaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Dipo Alam dan bahkan Dino Djalal tak terima SBY disebut tak memperhatikan intoleransi yang dialami minoritas agama di Indonesia.

“Saya merasa Dipo Alam salah memahami surat Romo Magnis. Jika Romo Magnis memberi kritik pada ACF bukanlah untuk mencerca, namun untuk koreksi bersama apakah SBY sudah layak mendapat penghargaan pembela toleransi?” kata Imam Shofwan, seorang pemuda yang berhasil menggalang 6000 lebih dukungan melalui petisi di www.change.org/natoSby.

Bagi Imam, pernyataan Dipo Alam juga lebih emosional seperti terlihat pada kicauan twitter Dipo Alam @dipoalam49, yang mengatakan, “Umaro, ulama dan umat Islam di Indonesia secara umum sudah baik, mari lihat ke depan, tidak baik pimpinannya dicerca oleh non-muslim FMS.”

“Sebagai orang Islam, saya sedih baca kicauan seorang pejabat negara, seakan di Indonesia ini hanya ada Umat Islam dan harus tersinggung dengan masukan dari Pastor Franz Magnis-Suseno,” kata Imam Shofwan, “Indonesia adalah negeri multi agama. Tidak pantas kicauan itu muncul dari orang semacam Dipo Alam.”  

Ribuan dukungan petisi berasal dari berbagai propinsi. Imam menyesalkan, Dipo Alam maupun duta besar Indonesia di AS, Dino P. Djalal, tak melihat realitas utuh. Dipo Alam mengatakan kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah terjadi sejak era Jepang. “Dipo benar namun dia tak melihat bahwa kekerasan tersebut meningkat drastis sejak Presiden Yudhoyono menguatkan aturan batasan kegiatan Ahmadiyah pada Juni 2008” lanjut Imam.

“Soalnya bukan melihat sejarah sebagai pembenaran atas kekerasan hari ini. Tapi maukah kita belajar dari sejarah yang berdarah tersebut dan mengatur kehidupan hari ini dengan dasar kemanusiaan yang beradab?” kata Imam Shofwan, putra seorang kyai Nahdlatul Ulama, yang mengajak publik mendukung petisi www.change.org/natoSBY 

Sejak jadi presiden akhir 2004, Imam menilai terjadi peningkatan infrastruktur hukum yang memperlakukan minoritas agama --baik dari minoritas Muslim macam Ahmadiyah dan Syiah maupun minoritas non-Muslim macam Bahai, Kristen dan ratusan agama-agama tradisional-- sebagai warga negara kelas dua.

Menurut Setara Institute, kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat dari hanya tiga kasus pada 2006 menjadi 50 kasus pada 2010 dan 114 pada 2011. Diskriminasi adalah legitimasi buat kaum militan untuk membenarkan tindakan main hakim sendiri. Sejak 2008 hingga sekarang sudah 50 masjid Ahmadiyah disegel, dibakar dan diserang.

Kekerasan atas nama agama memang bukan barang baru. Soal Sunni-Syiah juga dimulai sejak kematian menantu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali, pertengahan abad VII. Kekerasan antara Islam dan Kristen juga terjadi berabad-abad lalu.

Dipo Alam berpendapat ia hal biasa karena semua negara juga begitu. Dipo Alam tampaknya perlu belajar dari walikota New York Michael Bloomberg yang taat hukum soal pembangunan rumah ibadah, termasuk masjid di Ground Zero, walau ada protes dari kalangan Kristen.

SBY berpidato di sidang kabinet soal toleransi agama. Namun pidato takkan menyelesaikan masalah. Masalah intoleransi itu ada di Mataram, Cikeusik, Sampang, GKI Yasmin, HKBP Filadelfia. Jawa Barat adalah provinsi dengan kekerasan atas nama agama paling tinggi. Presiden harus turun tangan langsung, terutama ke Jawa Barat, untuk mengatasi kekerasan atas nama agama. Menurut UU Otonomi Daerah, ada enam masalah yang tak didelegasikan ke daerah: diplomasi luar negeri; pertahanan; keamanan; peradilan; keuangan; dan agama.

Pada tahun 2006, pemerintahan Yudhoyono mengeluarkan aturan membangun rumah ibadah, yang memakai pendekatan minoritas-mayoritas, sedemikian rupa sehingga ia menjadi sangat sulit untuk agama minoritas membangun rumah ibadah. Dampaknya, lebih dari 430 gereja ditutup sejak SBY jadi presiden. GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia hanya dua dari ratusan gereja yang diserang, disegel, dibakar dan ditelantarkan dengan dasar Peraturan Bersama Menteri buatan 2006.

Pada 2009-2010, pemerintahan SBY juga membela pasal penodaan agama di Mahkamah Konstitusi ketika berapa tokoh Islam --termasuk Gus Dur dan Dawam Rahardjo-- minta agar pasal tersebut dihapus dari hukum Indonesia karena tak sesuai dengan UUD 1945. SBY bahkan minta agar “blasphemy law” dijadikan protokol hukum internasional Oktober 2012 di Sidang Umum PBB New York. Gus Dur adalah panutan banyak warga Nahdlatul Ulama. Dawam Rahardjo seorang cendekiawan Muhammadiyah.

Soal apakah pendapat Romo Magniz didengar atau tidak oleh Appeal of Conscience Foundation, ia tak begitu penting, karena ia juga organisasi abal-abal di New York, namun pendapat Romo Magniz didengar oleh masyarakat Indonesia lewat dukungan mereka terhadap petisi menolak penghargaan. Pendukungnya bahkan lebih dari enam ribu orang.[end]

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Ada al-Hallaj di Balik Dhani Ahmad

Oleh Mujtaba Hamdi dan Imam Shofwan Berbagai tudingan penghinaan agama menggempur Dhani Ahmad dan Dewa. Dhani tak memungkiri, inspirasi lirik-liriknya bermula dari wacana agama. Dhani bahkan menyukai tokoh-tokoh sufi kontroversial. HARI masih pagi. Cuaca belum begitu panas. Tapi kabar panas sudah muncul di acara infotainment televisi swasta itu. Kamera menyorot tajam segurat wajah yang berucap dengan tegas, “Beberapa lirik dan gambar yang dipakai Dewa dalam kasetnya diambil dari syair aliran sesat di Timur Tengah.” Di layar, tampak subtitle Pertahanan Ideologi Syariat Islam (Perisai). Sepertinya tidak main-main. Ridwan Saidi, sosok yang mewakili kelompok bernama Perisai tersebut, hari itu tengah melaporkan grup band Dewa ke Kejaksaan Agung. Ridwan seorang budayawan dan tokoh Betawi. Ridwan juga suka politik. Di masa Orde Baru, Ridwan sempat menclok di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu pindah ke Golongan Karya (Golkar), kemudian mendirikan Masyumi Baru. Di Era Reformasi, sa...