Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit "mewah".
Tokoh yang pendiam itu telah meninggal dalam insiden kendaraan bermotor di kawasan Pancoran, pada 30 Desember 2005. Pak Masykur, guru, teman, dan sahabat yang sangat saya hormati dan cintai itu telah meninggalkan kita untuk selamanya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.....
Masykur Maskub, atau Pak Masykur --begitu kawan-kawan muda NU kerap menyapanya-- bukanlah tokoh yang "cemlorot" dan terkenal. Dia nyaris tak pernah muncul di TV, pernyataan-pernyataannya jarang dikutip media, dan kehadirannya mungkin hanyalah dirasakan "bermakna" buat kalangan terbatas yang mengenalnya dari dekat. Dia bukanlah Gus Dur yang kehadirannya nyaris "pervasive" dan ada di mana-mana. Pak Masykur mung tampak hadir hanya buat segelintir orang, tetapi, believe me, kehadirannya yang terbatas itu mempunyai makna yang mendalam, bukan saja buat teman-temannya, tetapi lebih besar lagi buat NU. Dialah orang yang, di mata saya, melakukan "silent transformation" (perubahan diam-diam). Jika tak khawatir menimbulkan efek berbihan, saya hampir saja mengatakan "revolusi diam-diam".
Usahanya, tentu bersama kawan-kawannya yang lain, untuk menegakkan institusi lembaga riset, kajian dan pengembangan sumber daya manusia NU, yakni Lakpesdam-NU, serta membangun sistem yang kredibel dan bermartabat dalam lembaga itu, jarang dikenal oleh banyak orang, bahkan di lingkungan NU sendiri. Tetapi, berkat usahanya itu, Pak Masykur telah menjadikan Lakpesdam-NU sebagai salah satu lembaga NU yang berjalan normal sebagaimana laiknya sebuah institusi modern. Dia bekerja dari balik layar, wajahnya jarang, atau nyaris tak pernah, disorot oleh kamera, dan sosoknya hanya disadari oleh sejumlah orang di NU dalam kesempatan yang terbatas. Tentu dia hadir dalam setiap event besar NU, tetapi jarang orang menyadari bahwa dia telah melakukan hal yang "besar" buat NU. Dan saya kira, figur-figur yang bekerja dengan diam-diam untuk NU semacam ini bertebaran di seluruh daerah, dari mulai PB hingga ke pengurus ranting. Orang jarang mengenal mereka, dan mereka tentu tak risau jika tak banyak orang mengetahui apa yang telah mereka kerjakan untuk institusi yang mereka cintai lahir-batin, Nahdlatul Ulama. Saya kira, umur NU bisa panjang karena "tangan dingin" dan keikhlasan yang nyaris tanpa pamrih dari orang-orang semacam Pak Masykur ini.
Di kalangan anak-anak muda NU, terutama teman-teman yang sering mendefinisikan diri mereka sebagai "NU kultural", Pak Masykur dianggap sebagai pelindung dan pengayom. Meskipun jarang atau tidak banyak bicara, tetapi kehadiran Pak Masykur sangat berarti buat teman-teman itu. Dia, mungkin seperti garam: tidak terlihat di mangkuk waktu Anda menyantap bakso, tetapi jika bahan itu tak ada di
Perkenalan saya dengan Pak Masykur berlangsung secara pelan-pelan, dan itu terjadi mula-mula pada 1983 di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati. Madrasah ini dipimpin oleh KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, atau Kiai Sahal, sebagaimana kami dulu sering menyebut beliau. Saat itu, saya duduk di kelas 3 Tsanawiyah. Pada pandangan pertama, penampilan Pak Masykur sebagai seorang guru tak begitu meyakinkan. Pembawaannya terlalu "lembut" untuk mata pelajaran yang dia pegang saat itu, yakni "Kewarganegaraan
Tetapi, pelan-pelan, kesan saya berubah total saat pelajaran sudah berjalan jauh. Meskipun Pak Masykur bukanlah seorang guru yang pandai berbicara, tetapi cara dia membangkitkan rasa ingin tahu di kalangan murid luar biasa. Salah satu momen yang paling tidak saya lupa adalah saat dia menjelaskan secara detil, walaupun dengan terengah-engah, sejarah sekitar kemerdekaan
Belakangan saya kemudian tahu bahwa Pak Masykur rupanya bekerja sebagai seorang "social volunteer" untuk program pengembangan pesantren yang dilakukan oleh LP3ES, dan karena itulah dia mendapat kiriman rutin jurnal Prisma dan buku-buku terbitan LP3ES yang lain. Dari segi bacaan, Pak Masykur saat itu mendahului ratusan langkah dari guru-guru lain di madrasah saya. Karena cara dia mengajar yang hidup inilah saya menjadi tertarik dengan kelas dia. Setiap masuk kelas, selalu ada hal baru yang dia bawa yang tak ada dalam buku teks pelajaran. Dia selalu membawa hal-hal baru yang segar. Dunia saya sebagai seorang murid madrasah kampung yang sempit saat itu seperti diperluas cakrawalanya oleh penjelasan-penjelasan dia yang bersumber dari bahan bacaan yang kaya.
Udangan ini langsung saya sambut dengan suka cita. Jarak antara rumah saya dan rumah Pak Masykur yang berada di desa Sumerak (sekitar 7 kilo ke arah selatan dari
Di samping mengajar di madrasah asuhan Kiai Sahal itu, Pak Masykur juga terlibat dalam sebuah LSM yang berada di bawah naungan Pesantren Maslakul Huda, asuhan Kiai Sahal. Nama LSM itu adalah BPPM, Badan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. BPPM adalah salah satu mitra kerja LP3ES, dan belangan P3M, dalam program pengembangan pesantren dan masyarakat. Dekade 80-an adalah periode "romantis" LSM di Indonesia. Saat itu, banyak kalangan kritis yang merintis sejumlah LSM di Jakarta percaya bahwa perubahan sosial bisa terjadi lewat jalur yang non-developmentalis, yakni di luar jalur pembangunan yang ditempuh oleh pemerintah dengan ciri utamanya adalah pendekatan "top down": pemerintah memutuskan, rakyat tinggal manut saja. Pendekatan itu dikritik sebagai sumber kegagalan pembangunan saat itu. Oleh karena itu, harus dicari alternatif perubahan sosial yang lain. Timbullah gagasan tentang perubahan yang "bottom-up", dari bawah ke atas, dengan pendekatan yang saat itu dikenal sebagai metode partisipatoris. Karena pesantren dianggap sebagai lembaga pribumi yang berkembang dari bawah, maka banyak kalangan percaya bahwa perubahan sosial alternatif bisa ditempuh lewat peran pesantren. Ramailah orang menoleh ke pesantren, dan disertasi Zamakhsyari Dhofier yang diterbitkan oleh LP3ES saat itu dengan judul "Tradisi Pesantren" menjadi bacaan yang populer.
Sebagai seorang santri madrasah, saya tak sepenuhnya memahami konsep-konsep yang rumit itu. Saya membacai banyak buletin dan terbitan-terbitan yang dikelola baik oleh LP3ES atau P3M yang dikirim ke BPPM. Semuanya mungkin karena kedekatan saya dengan Pak Masykur. Saat itu, saya bukan santri Maslakul Huda, sebab saya mondok di pesantren yang dikelola oleh ayah saya sendiri, Pesantren Mansajul Ulum di desa Cebolek. Tetapi, kedekatan saya dengan Pak Masykur memungkinkan saya untuk mengakses sumber-sumber bacaan yang dimiliki oleh BPPM yang berafiliasi dengan Pesantren Maslakul Huda itu.
Buat saya, dan saya kira juga buat murid-murid lain yang seangkatan dengan saya di Madrasah Mathali'ul Falah saat itu, Pak Masykur adalah layaknya sebuah "jendela" dari mana kami bisa menjenguk ke dunia luar. Bagi kami, Pak Masykur persis menempati posisi yang pada dekade 80-an dikenal sebagai "cultural broker" -- istilah yang dikenalkan oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, dan sangat populer di kalangan sarjana yang mengamati pesantren saat itu. Pak Masykur adalah "jembatan budaya" yang menghubungkan kami di madrasah dengan dunia luar yang tak kami kenal dengan baik saat itu.
Tahun 1987, kalau tak salah, Pak Masykur pindah ke
Sebagai orang yang tumbuh dalam kultur NU, tentu Pak Masykur sangat menghormati figur kiai. Bahkan, sebagaimana ia kisahkan secara pribadi pada saya, beberapa keputusan penting dalam hidupnya selalu ia ambil setelah berkonsultasi dengan seorang kiai sepuh yang sangat dia hormati, yakni allah yarham KH. Abdullah Salam, Kajen, yang di daerah kami dikenal dengan Mbah Dullah. Pak Masykur menaruh hormat yang dalam dan tulus pada kiai-kiai sepuh di NU. Tetapi, dia juga sadar bahwa NU harus ditegakkan bukan semata-mata atas dasar kharisma kiai sepuh. Sebagai lembaga modern, NU harus membangun sistem dan manajemen organisasi yang baik dan berjalan dengan normal. Dalam hal ini, Pak Masykur mengagumi figur lain dalam NU yang, secara kebetulan, mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dia: yakni kesederhanaan serta kesadaran yang tinggi tentang pentingnya sistem dan manajemen. Tokoh itu tak lain adalah almarhum Fahmi Saifuddin, putera dari mantan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Dalam istilah yang dikenal selama ini di kalangan NU, Pak Masykur menghendaki agar NU tidak berhenti sebagai 'jama'ah' atau kumpulan biasa, tetapi juga meningkat sebagai 'jam'iyyah', yakni organisasi yang ditegakkan atas dasar aturan main dan sistem yang kokoh. Dedikasi Pak Masykur yang berlangsung lebih dari 15 tahun di Lakpesdam dikerahkan, antara lain, untuk membangun "jam'iyyah" itu, lewat institusi Lakpesdam. Bersama teman-teman lain seperti Lukman Saifuddin, Mufid A. Busyairi, Helmi Ali, Muntajid Billah, Yahya Ma'shum, Pangcu Driantoro, Masrur Ainun Najih, Lilis N. Husna, dan senior-senior lain sepeti MM Billah dan Said Budairi, Pak Masykur telah menjadi bagian dari arus penting untuk men-jam'iyyahkan NU.
Saya tahu, cinta pertama dan terakhir Pak Masykur adalah NU dan kiai. Oleh karena itu, seluruh orbit kehidupan dia berputar di sekiar pesantren, NU dan kiai. Dia tak pernah lepas dari dunia para kiai itu. Salah satu etos yang begitu menonjol dan dilihat secara mencolok oleh teman-teman NU pada figur Pak Masykur, dan terutama di Lakpesdam, adalah etos kesederhanaan dan kejujuran -- salah satu etos yang diajarkan di pesantren. Pertama kali saya bertemu dengan dia di luar kantor adalah di rumahnya yang sangat sederhana di kawasan Pancoran. Rumah kontrakan itu hanya mempunyai dua kamar yang sempit, dengan keadaan bangunan yang sangat sederhana. Lokasi rumah agak menjorok ke dalam, dinaungi oleh pohon sawo yang rimbun. Selama bertahun-tahun Pak Masykur tinggal di rumah sederhana itu. Baru beberapa tahun belakangan, Pak Masykur memutuskan untuk membeli rumah sendiri --rumah kecil yang terletak tak jauh dari rumah kontrakannya yang lama. Rumah yang ia beli sendiri ini jauh dari kesan mewah, dan letaknya agak jauh dari jalan utama. Untuk mencapai ke
Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit "mewah". Meskipun tak ada sesuatu yang sepenuhnya salah dalam perkembangan seperti ini, tetapi perubahan
Setelah usai menjabat sebagai Direktur Lakpesdam, dia aktif di lembaga baru yang didirikan oleh sejumlah anak-anak muda NU, di bawah asuhan Kiai A Mustofa Bisri, atau lebih dikenal dengan Gus Mus, yaitu "Mata Air" yang kantornya terletal di kawasan Tebet. Lagi-lagi, Pak Masykur tidak bisa bergerak jauh dari dunia kiai. Kantor lembaga itu memang tak terlalu jauh dari rumah dia, kira-kira 15 menit. Dia sering berangkat, pulang-pergi, ke kantor baru itu dengan mengendarai sepeda motor. Dia tampaknya menjadi salah satu tumpuan Gus Mus untuk menjalankan lembaga baru itu. Kesederhanaan dan kejujuran Pak Masykur nyaris seperti "mata air" di NU.
Walau nama dia tak hingar-bingar dikenal oleh kalangan luas, baik di NU atau di luarnya, tetapi Pak Masykur telah menjaid ilham untuk beberapa anak muda di NU, sekurang-kurangnya buat saya dan teman-teman saya sekelas di Mathali'ul Falah dan teman-teman muda lain di Lakpesdam. Dengan caranya sendiri, dan dengan pembawaannya yang sangat halus, dia telah melakukan transformasi diam-diam dalam tubuh pesantren dan NU.
*versi aslinya tulisan ini ada di situs Jaringan Islam Liberal