Skip to main content

Mitos Kodok Ijo

Bagi tiap pendaki gunung ada pantangan yang musti di jauhi, yakni tak boleh menginjak kodok Ijo. Konon, kalau menginjak kodok ijo kelak akan mendapatkan pasangan yang buruk rupa.

Jumari pernah membuktikan hal ini. Ketika muda dia pernah naik gunung Merbabu bersama Mail dan Sholeh. Mereka mengambil rute utara dengan start dari wanawisata Kopeng, Salatiga.

Semua persiapan sudah lengkap dan masing-masing memanggul satu tas carrier yang besar melampaui kepala mereka dengan senter di tangan kiri dan golok tebas di tangan kanan. Agar jalan sepi, mereka berangkat tepat jam 12 malam.

Sial bagi Jumari, baru keluar dari hutan kopeng dia menginjak sesuatu yang setelah dia sorot ternyata kodok ijo. Dia mendiamkan hal ini karena nggak mau jadi bahan olok-olokan kawannya. Walau dia tak yakin dengan mitos kodok yang sering dia dengar dari kawan-kawan sesama pendaki namun ternyata dia keder juga. "Jangan-jangan istriku jelek, kelak" gumamnya.

Mereka tetap melanjutkan perjalanan. Walau trek licin sekitar jam 3 dini hari mereka sudah mencapai Watu Layar, pos transit menuju, puncak Merbabu.

Mereka memutuskan istirahat sejenak dan makan makanan ringan dari perbekalan mereka. Soleh duduk di sebuah batu besar sambil menikmati coklat batangan kesukaannya. Setelah setengah jam mereka sudah tak sabar melanjutkan perjalanan ingin segera melihat sunrise dari puncak Merbabu yang mengagumkan.

Baru beberapa langkah Soleh merasakan menginjak sesuatu. Karena kaget dia berteriak. Seekor kodok meloncat dari arah kakinya dan mendahuluinya. Jumari dan Mail menertawakan kejadian ini. "Masak gondrong, takut kodok," cela Jumari.

"Bojomu welek, cuk," Mail tak kalah sengit mengejek. Semua tertawan kecuali Soleh. Dia tetap terus berlalu.

Mereka mencapai puncak, menikmati sunrise dan turun gunung menggunakan jalur selatan yakni jalur Selo, Boyolali.

Hingga bawah hanya Mail yang selamat tanpa menginjak kodok ijo.


10 tahun kemudian.....



Tiga bersahabat ini bereuni. Anggotanya bertambah 3 orang karena ketiganya mengajak istri mereka. Jumari dan Mail bersama istrinya yang jelek sedang Soleh dengan istrinya yang cantik jelita.

"Wah kamu kena kutukan kodok ijo IL," kata Jumari.

"Lah, kamu kan tidak menginjak kodok kan? Tapi kok.." jawab Mail.

"Aku juga waktu itu nginjak kodok tapi tak aku ceritakan pada kalian sebelumnya," kata Jumari, "saat keluar dari Kopeng, kejadiannya." kata Jumari.

Usut punya usut mereka tenyata istri Soleh yang cantik juga senang naik gunung saat mudanya.

Dia langsung nyambung dengan obrolah Mail dan Jumari. "Aku juga kena kutukan kodok ijo. Sewaktu mendaki Lawu aku juga nginjak kodok dan sekarang hasilnya..." katanya.

Semua mata mengarah ke Soleh.


*Cerita ini bikinan belaka dan populer di kalangan pendaki gunung di Jawa.

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Ada al-Hallaj di Balik Dhani Ahmad

Oleh Mujtaba Hamdi dan Imam Shofwan Berbagai tudingan penghinaan agama menggempur Dhani Ahmad dan Dewa. Dhani tak memungkiri, inspirasi lirik-liriknya bermula dari wacana agama. Dhani bahkan menyukai tokoh-tokoh sufi kontroversial. HARI masih pagi. Cuaca belum begitu panas. Tapi kabar panas sudah muncul di acara infotainment televisi swasta itu. Kamera menyorot tajam segurat wajah yang berucap dengan tegas, “Beberapa lirik dan gambar yang dipakai Dewa dalam kasetnya diambil dari syair aliran sesat di Timur Tengah.” Di layar, tampak subtitle Pertahanan Ideologi Syariat Islam (Perisai). Sepertinya tidak main-main. Ridwan Saidi, sosok yang mewakili kelompok bernama Perisai tersebut, hari itu tengah melaporkan grup band Dewa ke Kejaksaan Agung. Ridwan seorang budayawan dan tokoh Betawi. Ridwan juga suka politik. Di masa Orde Baru, Ridwan sempat menclok di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu pindah ke Golongan Karya (Golkar), kemudian mendirikan Masyumi Baru. Di Era Reformasi, sa...