Skip to main content

Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo

SEBAGAI penyair, Sutardji Calzoem Bachri telah melakukan eksplorasi kata dalam puisi sehingga kata bergerak mencari kemungkinan arah dan tujuannya, saling membentur demi membentuk keseluruhan yang tak teramalkan. Sutardji menemukan kembali mantra, memulihkan kembali tenaga bahasa yang terlanjur dimelaratkan oleh komunikasi massa. Demikian salah satu alasan mengapa Freedom Institute memilih Sutardji sebagai penerima anugerah Bakrie Award 2008 Bidang Kesusastraan, seperti termaktub dalam website mereka www. freedom-instute. org.

Bakrie Award adalah sebuah anugerah tahunan yang dipilih oleh Freedom Institute, yang diberikan pada mereka yang dianggap telah menunjukkan dedikasinya dalam berbagai bidang, terutama kedokteran, sains, penelitian, sosial, dan kesusastraan. Bahkan, anugerah ini mengandaikan dirinya sebagai "Hadian Nobel"
Indonesia. Tradisi pemberian anugerah ini telah dimulai sejak 2003. Dalam bidang kesusastraan, Sutardji Calzoem Bachri adalah sastrawan keenam yang menerima anugerah Bakrie Award, setelah sebelumnya Sapardi Djoko Damono (2003), Goenawan Mohamad (2004), Budi Darma (2005), W.S. Rendra (2006), dan Putu Wijaya (2007).

Pandangan kritis terhadap Bakrie Award mulai muncul sejak 2006. Meski menerima anugerah tersebut, W.S. Renda dalam pidato penerimaannya dengan keras mengkritik penanganan dan pertanggungjawaban atas nasib ribuan rakyat di Sidoarjo. Pada tahun 2007, ketika kasus Lapindo makin mencuat ke permukaan, Bakrie Award pun kian mendapat sorotan. Apalagi setelah Frans Magnis Suseno yang terpilih sebagai penerima anugerah di Bidang Sosial menolak menerima anugerah tersebut. Lain halnya dengan Putu Wijaya yang menerimanya di tengah berbagai kritik.

Meski kasus Lapindo tidak lagi mencuat tajam seperti sebelumnya, sangat sulit memisahkan Bakrie Award 2008 yang diterima Sutardji Calzoem Bachri dengan kasus Lapindo. Tak sedikit publik sastra berharap bahwa Sutardji akan mengikuti jejak Frans Magnis Suseno ketimbang meniru Putu Wijaya. Namun, ternyata sang "presiden" penyair
Indonesia itu lebih memilih meniru Putu Wijaya, menerima anugerah itu dan uang Rp 150 juta!

**

TENTU saja ini menimbulkan berbagai tanggapan yang berbeda. Menurut kritikus Adi Wicaksono, berbicara kesusastraan
Indonesia sangatlah tidak mungkin meniadakan atau melewatkan nama Sutardji.

Tentang sikap Sutardji yang menerima Bakrie Award 2008 yang dihubungkan dengan kasus Lapindo, Adi menilai bahwa anugerah tersebut haruslah dilihat sebagai penghargaan atas karya dan dedikasi, bukan
penghargaan yang sifatnya politis. "Moralitas menerima atau menolak saya kira dalam konteks sekarang tidak lagi bisa dipakai seperti tahun lalu sebab sekarang kasus Lapindo bukan lagi jadi kasus utama, banyak kasus-kasus yang lain. Tidak seperti tahun yang lalu ketika kasus Lapindo benar-benar jadi pusat perhatian. Konteksnya berbeda kalau, misalnya, Tardji menerimanya tahun lalu ketika kasus Lapindo
jadi sorotan khalayak dan media. Saya tidak kecewa bahwa Tardji menerima anugerah itu, sebagai penghargaan sastra dia memang layak menerimanya, " ujarnya.

Senada dengan Adi Wicaksono, Agus R. Sarjono juga menyebut bahwa Sutardji pantas mendapatkan penghargaan sastra. Hanya saja lembaga pemberinya belumlah pantas memberinya karena ada yang lebih pantas diberi dan diurus, yakni korban lumpur Lapindo. Ia bisa memahami ketika Sutardji menerima anugerah tersebut, baik dalam konteks realitas finansial maupun bersebab pada langkanya penghargaan bagi sastrawan di negeri ini. Publik sastra
Indonesia mungkin ada yang berharap bahwa Sutardji akan menolak penghargaan tersebut.

"Namun, mereka juga tidak akan tega seandainya Tardji menolaknya. Saya tidak berharap Tardji menolak sebab secara finasial, orang-orang yang sebetulnya layak menolak pun ternyata tidak menolak," tutur Agus.

Dari Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor menyebut sangatlah wajar Sutardji merima anugerah itu, lepas dari soal lembaga yang memberinya. Pilihan Sutardji yang menerima anugerah tersebut tidaklah akan mengurangi sikap kritisnya terhadap kasus Lapindo. "Kasus lumpur Lapindo adalah persoalan, tetapi memberi penghargaan pada sastrawan adalah soal yang lain. Apalagi pemberian anugerah ini telah ada sebelum terjadinya kasus lumpur Lapindo. Persoalannya bukan berarti menerima penghargaan itu lantas sikap kita akan melemah. Rendra menerima, tetapi dengan sangat bagus dia melancarkan pidato yang penuh kritik terhadap kasus Lapindo. Namun, di luar itu semua, menerima atau menolak Bakrie Award, kepenyairan Sutardji tidak akan terganggu. Kepenyairannnya lebih besar ketimbang Bakrie Awad dan uang Rp 150 juta!" Katanya.

Pandangan berbeda muncul dari Afrizal Malna. Meski mengatakan, Sutadji layak menerima penghargaan itu, setelah sebelumnya Sutardji juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Riau, Afrizal memandang menerima award berkali-kali semacam itu tak ubahnya seperti gajian. Bukan pantas atau tidak Sutardji menerimanya, tetapi juga soalnya bagaimana award itu lahir dari kurasi yang dilakukan. Inilah yang membuat award sastra seperti arisan. Oleh karena itulah, di mata Afrizal, dunia sastra sekarang seperti hidup dalam kandang. Karya sastra tidak dipandang dalam fenomena kebudayaan umumnya.

Berbeda dengan Acep Zamzam Noor yang melihat bahwa kasus lumpur Lapindo dan Bakrie Award adalah persoalan yang berbeda, Afrizal justru memandang keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam konteks ini pula, ia menganggap bahwa wibawa kepenyairan Sutardji akan lebih besar seandainya ia menolak anugerah tersebut. "Yah, terserah dia kalau mau menggadaikan wibawa kepenyairannya pada uang 150 juta. Sebagai penyair seharusnya dia menghitung itu," ujar Afrizal.

**

ketika dihubungi, Jumat (15/8), Sutardji Calzoem Bachri yang pada 14 Agustus 2008 itu menerima dua penghargaan sekaligus, Penghargaan Budaya Bintang Parama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bakrie Award 2008, justru mempertanyakan mengapa orang tidak mempermasalahkan penghargaan yang diterimanya dari negara tapi justru mempermasalahkan Bakrie Award 2008?

"Mengapa kalau ada duitnya baru ribut? Apa karena penghargaan dari negara itu tak ada duitnya! Mengapa orang-orang melihat dengan cara yang berat sebelah? Saya muak dengan hal itu! " ujarnya.

Seolah menjawab pernyataan Afrizal, Sutardji menambahkan, "Saya tidak dibentuk oleh orang-orang yang menyukai atau oleh orang-orang yang membenci saya. Saya dibentuk oleh diri saya sendiri!"

Terhadap sejumlah pandangan yang mengkritik sikapnya menerima Bakrie Award 2008, Sutardji mengatakan, dalam sebuah anugerah tentu ada kebaikan dan keburukannya.

Lalu, seolah hendak menjawab para pengkritiknya yang mengaitkan anugerah tersebut dengan isu lumpur Lapindo, Sutardji menegaskan bahwa sejak dulu ia memutuskan sebagai penyair, ia bukanlah petarung sosial. Baginya, puisi dan kepenyairan tidaklah dimestikan sebagain reaksi atas realitas sosial yang tengah terjadi seperti kasus lumpur Lapindo.

"Kalau mau semacam itu sejak zaman Soeharto saya sudah ditangkap. Saya bukan petarung sosial, tapi petarung kata-kata. Pertarungan saya adalah dengan kata-kata, dengan ide dan air mata. Puisi saya bukan
puisi dekrit!" katanya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu 16 Agustus 2008

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Ada al-Hallaj di Balik Dhani Ahmad

Oleh Mujtaba Hamdi dan Imam Shofwan Berbagai tudingan penghinaan agama menggempur Dhani Ahmad dan Dewa. Dhani tak memungkiri, inspirasi lirik-liriknya bermula dari wacana agama. Dhani bahkan menyukai tokoh-tokoh sufi kontroversial. HARI masih pagi. Cuaca belum begitu panas. Tapi kabar panas sudah muncul di acara infotainment televisi swasta itu. Kamera menyorot tajam segurat wajah yang berucap dengan tegas, “Beberapa lirik dan gambar yang dipakai Dewa dalam kasetnya diambil dari syair aliran sesat di Timur Tengah.” Di layar, tampak subtitle Pertahanan Ideologi Syariat Islam (Perisai). Sepertinya tidak main-main. Ridwan Saidi, sosok yang mewakili kelompok bernama Perisai tersebut, hari itu tengah melaporkan grup band Dewa ke Kejaksaan Agung. Ridwan seorang budayawan dan tokoh Betawi. Ridwan juga suka politik. Di masa Orde Baru, Ridwan sempat menclok di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu pindah ke Golongan Karya (Golkar), kemudian mendirikan Masyumi Baru. Di Era Reformasi, sa...