Skip to main content

Posts

Showing posts from 2008

Sekolah Khalid bin Walid Akhirnya Pindah

“Senin baru bisa masuk,”  tutur Tri Ari Wilujeng, guru biologi Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid. Setelah luapan lumpur ini, dua tahun lalu, sekolah ini berjalan dengan tidak normal. Siswa-siswanya menjadi sulit dikontrol kedatangannya ke sekolah. “Hari ini anak ini yang datang besok orang lain. Saya jadi kesulitan mengingat siswa saya,” tutur Sudiono Akhmad  Rofiq, guru sosiologi MA dan juga korban lumpur Lapindo dari desa Glagaharum RT 04/01. Hal ini dimaklumi oleh Rofiq karena memang kebanyakan siswa dari keluarga para korban yang mengungsi ke berbagai tempat di Sidoarjo sampai Pasuruan dan ini menjadi kesulitan tersendiri bagi para siswa karena musti mengeluarkan biaya tambahan untuk datang ke sekolah. Rofiq tahu betul banyak korban yang kehilangan pekerjaan dan ganti rugi dari Lapindo juga tak kunjung jelas juntrungannya . Tak hanya itu, karena tiga kali kena banjir lumpur dan air asin, buku-buku pelajaran milik sekolah ini juga dititipkan ke beberapa rumah

Lumpur Juga Rusak Sekolah-Sekolah

Biasanya Umi Sa’diyah (17 tahun) berangkat sekolah dengan Ayu Anita. Keduanya bersahabat, rumah mereka di dusun Renokenongo, Porong, bersebelahan. Sekolah mereka juga sama. Tak jauh dari desa mereka. Biasanya, keduanya berangkat boncengan naik sepeda jenki punya Umi. Perkawanan mereka retak sejak bencana lumpur Lapindo, dua tahun setengah tahun lalu. Desa mereka terendam lumpur dan mereka ikut orang tua mereka mengungsi di Pasar Baru, Porong. Jaraknya dari sekolah sekira 2 kilo. “Saat di desa, kita hanya butuh sepuluh menit ke sekolah,” tutur Umi. Umi kelas III Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid sedang Ayu yang lebih muda masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). Berangkat sekolah dari pengungsian menjadi masalah yang berat bagi kedua siswa ini. “Ya, jaraknya jauh, naik sepeda pancal,” tutur Umi. Jarak ini pula yang memicu rusaknya perkawanan Umi dan Ayu. Awalnya, sepeda ontel Umi rusak kemudian dia berangkat sendiri nebeng kawannya. Ayu lantas tak masuk sekolah karen

Pembayaran Yang Tak Kunjung Lunas

Berbagai kelompok korban lumpur mengalami nasib yang sama sialnya. Pasalnya, PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), penanggungjawab pembayaran tanah dan bagunan milik korban lumpur yang dibikin PT Lapindo Brantas, tak juga menuntaskan tanggungjawabnya. Kelompok-kelompok korban ini merasa dikibulin MLJ karena tidak mengindahkan kesepakatan bikinan korban lumpur dan MLJ. Salah satu kelompok kecewa ini, sebut saja, Tim 16 Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Tim 16 Perum TAS I). Orang-orang Tim 16 ini kecewa karena pada 4 Desember lalu mereka bikin kesepakatan dengan Nirwan Bakrie, bos Lapindo Brantas sekaligus adik Menkokesra; Abu Rizal Bakrie. Isinya soal penyelesaian pembayaran 80 persen tanah korban yang telah molor berbulan-bulan. Nirwan sepakat untuk membayar 80 persen ini dengan cara dicicil. Kesepakatan ini dicapai setelah, sehari sebelumnya (3/12), ratusan massa Tim 16 mendemo istana presiden untuk mendesak penyelesaian pembayaran 80 persen sesuai dengan Peraturan Presiden 14

Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie

Tayangan perdana ANTV bertajuk Empat Lawan Satu mendapat tanggapan sinis dari korban Lapindo. Maklum acara yang menampilkan Abu Rizal Bakrie, menkokesra -cum -bos group Bakrie, membicarakan banyak hal soal nasib korban Lapindo. Imam (30 tahun),korban asal Jatirejo, bahkan hafal apa saja yang dibicarakan Bakrie dalam acara tersebut. Setidaknya ada enam perkataan Bakrie yang dia garisbawahi; (bencana Lapindo) karena fenomena Alam, para korban yang tidak punya surat dikasih rumah, waktu Bakrie datang ke Sidoarjo dicium tangannya, putusan pengadilan menetapkan Lapindo tidak bersalah, ada provokasi pada korban, dan yang dilakukan keluarga Bakrie sesuai dengan Keputusan Presiden. Satu-persatu pernyataan Bakrie ini ditanggapi oleh Imam. Menurutnya, tidak benar kalau bencana ini adalah fenomena alam, ini karena kesalahan tehnis pengeboran. Lebih lanjut menurut Imam, dari awal Lapindo ingin membeli tanah para korban. "Pernah ditawar tapi tidak dikasihkan, izinnya buat peternakan,&quo

Perempuan-Perempuan Tangguh

 Oleh: Imam Shofwan Bagaimana nasib satu keluarga patrilinial di desa; jika suami, sebagai tulang punggung keluarga, tak berfungsi dengan baik atau lumpuh sama sekali. Bagaimana keluarga ini melanjutkan hidup sehari-hari? Bagaimana sekolah anak-anak mereka? Bagaimana kalau mereka sakit? Dan daftar pertanyaan panjang lainnya yang masih bisa diuraikan dengan jawaban yang terbata-bata. Pertanyaan lebih nakalnya: bagaimana jika kelumpuhan ini terjadi masal? Anda pasti membayangkan hal-hal yang buruk. Tapi ini bukan bayangan, ini adalah fakta yang sudah dua tahun setengah ini berlangsung di dekat kita. Sangat dekat. Ini adalah kisah ribuan suami yang pekerjaannya direnggut oleh bencana Lapindo dan istri-istri dan anak-anak perempuan, dengan segala keterbatasannya, dipaksa untuk menanggung beban keluarga semuanya. Ya, semuanya. Perempuan pertama bernama Asfeiyah (45 tahun), ibu rumah tangga di pasar baru Porong. Suaminya Sanep (45 tahun), sebelum bencana Lapindo, adalah seorang

Kesehatan Korban Lumpur Lapindo Terabaikan

Menurut Peraturan Presiden 14 Tahun 2007, Besuki termasuk wilayah luar peta dan semua akibat semburan lumpur dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Khaiyya sakit darah tinggi sebelum kejadian itu dan penyakitnya kian parah. “Kencing manis, darah tinggi, linu, lumpuh, dan perut kanker,” tutur Khaiyya. Tak hanya itu, menurut Dokter Doni, dokter umum yang memeriksanya Khaiyya juga menderita sesak nafas karena penyakit paru-paru. “Saya mau periksa di puskesmas tapi kalau pagi tidak ada yang mengantar jadi periksa di dokter umum, tiap periksa saya bayar 25 ribu (Rupiah),” tutur Khaiyya. Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang paling banyak diderita pengungsi di tol Porong-Gempol. Menurut catatan pasien Puskesmas Jabon sejak 11 Febuari 2008 jumlah penderita ISPA terus meningkat tiap bulannya mulai 60 pasien, 114 pasien, 131 hingga 164 pasien pada bulan Mei 2008. Selain ISPA radang lambung alias maag juga menjadi penyakit

PT LAPINDO BRANTAS MAKES THINGS CLEAR AS MUD IN INDONESIA

By Bret Mattes On May 29, 2006, PT Lapindo Brantas, an Indonesian energy company, was drilling a wildcat well, the Banjar-Panji-1. The driller had struggled through 2,500 feet of clays, underlain by gritty sands and volcaniclastics, and decided to drill ahead into porous limestone below 9,000 feet without stopping to set casing. That was a mistake. At about 5 a.m., a fissure opened about 600 feet from the wellhead, and steam, water, hydrogen sulphide, and methane began to escape. Shortly afterwards, hot viscous mud began to flow rapidly from the fissure. It has been flowing ever since, taking with it homes, factories, livelihoods, crops, roads, railways, and reputations, and creating a huge industrial scandal that will have serious repercussions. The Banjar well is one of the most environmentally destructive oil and gas wells ever drilled. The toxic mud has been flowing for 18 months now ? and could flow for decades to come ? at rates of up to 150,000 cubic meters per day. To

Ketidakjelasan Nasib Korban di Luar Peta

Salah satu keunikan bencana semburan Lumpur Lapindo adalah, terus berlangsungnya semburan setelah lebih dari dua tahun. Volume semburan juga tetap stabil dengan perkiraan antara 100 – 150 ribu m3 perhari. Sementara, tidak ada satupun ahli yang bisa memprediksikan berapa lama semburan itu akan berlangsung. Pada pertengahan 2007, BPLS dan Lapindo mengeluarkan data tabel perkiraan volume semburan dan luas area terdampak setelah 2 dan 3 tahun. Data tersebut memperkirakan bahwa luas area terdampak akan semakin meningkat seiring dengan terus keluarnya semburan (lihat tabel). Tabel 1 Perkiraan volume dan luas area terdampak *) Lama Waktu Area (ha) Volume (m3) Rate (m3/hari) 1 bulan Juni 2006 111 1,117,282 50,785 2 bulan Juli 2006 179 2,457,422 44,671 1 tahun Mei 2007 628 37,324,748 111,042 1,5 tahun Desember 2007 832 57,756,556 2 tahun Juni 2008 960 78,077,323 2,5 tah

Hidup Sengsara di Tengah Ladang Gas

Siang itu, cuaca sangat terik. Mobil yang kami tumpangi melaju pelan membelah Desa Siring, Kecamatan Porong, yang cukup asri itu. Sekilas, tidak ada yang aneh dengan desa di tepi jalan raya Porong itu. Beberapa ibu berkumpul di beranda salah seorang warga. Tampak pula sejumlah anak-anak yang bersepeda beriringan sambil bercengkerama. Keanehan baru terasa ketika rombongan kami membuka pintu mobil. Bau menyengat seperti bau belerang dan (ma’af), bau kentut langsung menyergap penciuman kami. Setelah beberapa kali keliling ke desa-desa sekeliling tanggul, rasanya saya sudah mulai terbiasa dengan bau sangat tidak sedap itu. Tapi dua orang anggota rombongan kami siang itu, para peneliti dari Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE) jelas jauh dari terbiasa. Seperti halnya banyak orang yang baru pertama masuk ke desa ini, mereka kontan menutup hidung dengan sapu tangan. Dan setelah beberapa menit, mereka mengaku merasa pusing dan mual-mual. Entah kenapa, kondisi ini tampaknya tidak terl