Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2008
Senyum Terakhir Oleh Daris Senin pagi selalu dibuka dengan upacara bendera di sekolahku. Namun rutinitas itu tak lagi bisa dilakukan sejak lumpur Lapindo menggenangi halaman sekolahku, sekira Mei 2006. Aku tak lagi bisa membaca do’a penutup upacara yang selalu jadi tugas rutinku. Sahabatku Zahroh yang biasanya membacakan teks proklamasi dengan suaranya yang lembut namun dibikin tegas juga tak lagi bisa aku dengarkan. Aku siswi kelas III C Sekolah Menengah Pertama Negeri Porong. Sekolahku terletak di desa Renokenongo. Sekolah di sini sangat menyenangkan pada awalnya hingga musibah lumpur Lapindo merusak semuanya. Aku masih ingat lumpur itu, awalnya, hanya sebuah bau busuk yang menyengat. Saat itu, Bu Etik, guru bahasa daerahku sedang mengajar di depan kelas. Bu Etik guru yang penyabar, selembar kain yang selalu menempel di kepalanya selalu mengesankanku. Karena kesabarannya murid-muridnya biasanya berani gaduh saat dia mengajar, seperti pagi itu, sejak Bu Etik masuk
Asal Bau Itu Oleh Zahroh Geger antara Pak Suryawan dan murid-murid yang terlambat sekolah adalah ritual pembuka sekolahku. Karena hadiah khususnya, macam push up , loncat-jongkok, lari-lari keliling lapangan. Teman-teman sekolahku menamai guru biologi ini sebagai the killer teacher . Saya selalu datang ke sekolah lebih awal agar tidak berhadapan dengan Pak Surya. Baru melihat Pak Surya saja saya sudah keder apalagi kalau dapat sarapan pagi dari Pak Surya. Amit-amit. Pagi itu, akhir Mei 2006, di depan sekolah sudah banyak anak-anak ramai dan ada Pak Surya pula. Aku sudah takut karena mengira sudah terlambat sekolah. Segera aku percepat kayuhan sepedaku di pojok parkir sekolah. Di tempat parkir, aku bertemu Nia, teman sekelasku. Setelah basa-basi sebentar aku tanya dia. “Kamu telat juga? Banyak ya yang telat ya hari ini?” “ Nggak kok, kan belum jam masuk?” Jawab Nia. Karena aku takut sama Pak Surya aku jadi aku tak sempat melihat jam tangan dan memang benar
Aku Juga Mau Disyuting Oleh: Hanum Nafasku tersengal seiring dengan langkah kaki yang kupacu. Pak Sur, guru paling galak di SMP 2 Porong, berdiri di ujung koridor membuat langkahku gentar. Sapaanku yang kupaksakan dibalas dengan anggukan muka masam. Setelah melewatinya dan hampir sampai di pintu kelas kurapikan jilbabku yang berantakan. Aku terlambat lagi dan aku berusaha tidak mengulanginya tapi percuma aku tetep aku dengan kebiasaan burukku. Sekolahku di desa Renokenongo. Aku menyukai sekolah ini karena banyak pohon besarnya dan letaknya tak terlalu jauh dari tempat tinggalku di Perumahan Tanggulangin Sejahtera. Karena letaknya di dekat areal persawahan Renokenongo orang sering meledeknya dengan sekolah mewah alias mepet sawah. Aku juga suka tinggal di perumahan tempatku tinggal karena akrab suasanya, tetangga yang akrab. Namaku Hanum Anggraini Azkawati. Para tetangga, teman sekolah dan keluargaku biasa memanggilku Hanum. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Sebentar l