Skip to main content

Posts

Showing posts from 2006

Feminis Jakarta Vs Feminis Aceh

Oleh Imam Shofwan P emberlakuan syariat Islam di Aceh, yang hanya soal perempuan tanpa jilbab atau muda-mudi berduaan, bikin feminis Jakarta waswas. Namun perempuan Aceh memilih bicara soal nasionalisme Aceh, harapannya Aceh bisa mengatur diri sendiri, urusan perempuan belakangan. “Dulu rakyat Aceh takut pada aparat TNI, sekarang mereka takut pada wilayatul hisbah (polisi syariat),” tutur Ratna Batara Munti dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Pasalnya, sejak adanya Qanun No. 10 tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam, secara resmi rakyat Aceh mulai menggunakan syariat Islam. Pengadilan Agama (Islam), di Aceh dikembangkan jadi Mahkamah Syar’iyah, dengan perluasan kewenangan di bidang perdata dan tambahan kewenangan di bidang pidana. Tambahan perdata meliputi sengketa permodalan, bagi hasil pertanian, kuasa, perkongsian, pinjam-meminjam, penyitaan harta, gadai, pembukaan lahan, tambang, barang temuan, perbankan, sewa-menyewa, asur

Seminar GAM soal Pemilihan Gubernur

Oleh Imam Shofwan Bagaimana membuat kriteria para pemilih dalam pemilihan Gubernur Aceh ketika ribuan warga masih mengungsi? Di Jakarta, setiap hari ada puluhan bahkan mungkin ratusan seminar, dari isu politik sampai kursus kepribadian, namun rasanya janggal kalau warga Jakarta mendengar Gerakan Aceh Merdeka juga ikut-ikutan bikin seminar. Judul seminarnya, “Pertemuan Pemangku Kepentingan Pilkada Aceh.” Hotelnya? Atlet Century Park Hotel, yang terletak dekat Plasa Senayan, tempat belanja paling mewah di metropolitan ini. Seminar diselenggarakan Komisi Independen Pemilihan, Aceh Monitoring Mission , DPRD Aceh, Komisi Pemilihan Umum Aceh , Forum Bersama, Forum LSM Aceh dan … GAM. Kalau GAM ikut seminar Selasa ini mestinya ada yang penting. Pasalnya, ada dua agenda besar pasca perjanjian Helsinki. Pertama, pembuatan Undang-undang Pemerintahan Aceh. Kedua, pemilihan kepala daerah. RUU Aceh dibahas di DPR oleh satu panitia berjumlah 50 orang dimana 16 di antaranya legislator Aceh

Mencatat untuk Melupakan

Oleh Imam Shofwan PENYELESAIAN kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia tak pernah tuntas. Berkali-kali tim pencari fakta dibentuk dan bukti-bukti pelanggaran ditemukan. Tapi pengadilan tak berhasil menghukum pelaku utamanya. Biasanya yang kena getah adalah para operator lapangan. Para prajurit rendahan sampai paling banter, perwira menengah. Perwira tinggi tak tersentuh sama sekali. Itu masih lumayan. Para pelaku sejumlah kasus HAM kelas berat malah terkesan kebal hukum. Pelaku pembantaian dalam Tragedi 1965, misalnya, sampai sekarang tak pernah terungkap atau diajukan ke pengadilan. Padahal Sarwo Edhie Wibowo, mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, menyebutkan sedikitnya tiga juta orang jadi korban di masa itu. Sebelum meninggal dunia, Sarwo Edhie mengungkapkan hal itu pada Permadi, salah seorang tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ia memimpin ‘pembersihan’ orang-orang komunis se-Jawa-Bali atas perintah mantan presiden Suharto. Tapi tak cum

Kuliah Sejarah Aceh di Senayan

Oleh Imam Shofwan Dua profesor Universitas Syiah Kuala datang ke Senayan dan memberi kuliah sejarah Aceh untuk 24 anggota panitia khusus Rancangan Undang-undang Aceh. Namun Prof. Ibrahim Hasan dan Prof. Syamsuddin Mahmud sebenarnya diundang Selasa lalu (14/3) dalam kapasitas sebagai mantan gubernur Aceh. Syamsuddin bergaya guru. Dia banyak bicara sejarah “kekhususan” Aceh. Gayanya mungkin sesuai dengan bagaimana dia memandang dirinya sendiri dalam biografinya, “ Biografi Seorang Guru di Aceh ” (2004). Sesuai perjanjian Helsinki Agustus lalu, antara Gerakan Acheh Merdeka dan Republik Indonesia, Aceh akan mendapatkan otonomi penuh, termasuk memiliki struktur pemerintahan sendiri, anggaran sendiri bahkan bendera dan lagu kebangsaan sendiri. Ia juga akan memiliki jabatan “ wali nanggroe ” sebagai kepala adat. Indonesia hanya mengatur enam masalah: pertahanan, moneter, hubungan luar negeri, fiskal, kehakiman, pertahanan dan praktek beragama. Artinya, Aceh mungkin akan menjadi “neg

Aceh ala Abas

Oleh Imam Shofwan Berbagai upaya ditempuh kelompok yang kecewa dengan RUU Aceh di Jakarta. Sejak Febuari lalu banyak tokoh Aceh berada di Jakarta. Mereka orang-orang yang berkepentingan dengan lolosnya RUU Pemerintahan Aceh, namun pihak yang menentang juga datang ke Jakarta. Di antaranya, lima ketua DPRD II dari Aceh, yaitu, Syukur Kobath, ketua DPRD II Aceh Tengah; Umuruddin, ketua DPRD II Aceh Tenggara; Chaliddin Munthe, ketua DPRD II Singkil; Mohammad Amru, ketua DPRD II Gayo Luewes; dan Tagore AB, ketua DPRD kabupaten Bener Meriah. Semuanya berasal dari Partai Golkar. Selain kelimanya, ketua-ketua DPRD dari wilayah Aceh Barat Selatan juga terlibat. Mereka antara lain ketua DPRD II Aceh Barat, Aceh Jaya, Seumelu, Aceh Selatan dan Nagan Raya. Mereka menginginkan wilayah Aceh Leuser Antara, kelima kabupaten pertama tadi, yang mereka singkat “ALA” dan Aceh Barat Selatan atau “Abas,” menjadi provinsi baru --terpisah dari Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak Minggu, 5 Maret, merek

Kejahatan Masa Lalu di Aceh

Oleh Imam Shofwan Kalau RUU Aceh lolos di Jakarta, boleh jadi, Letnan Kolonel Sudjono dan kawan-kawan akan tidur kurang nyenyak. Pasalnya, aturan ini akan memerintahkan diadakannya pengadilan hak asasi manusia serta pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Sistem ini membuat orang yang dulu dianggap terlibat pembunuhan, akan dicari dan diadili. Kalau rekonsiliasi, mereka bisa mendapat amnesti asal terbuka dan jujur mengakui kesalahannya. Kalau Aceh bisa mengadili penjahat kemanusiaan, teoritis Papua juga boleh mencari siapa pembunuh 100,000-an orang Papua sejak 1969 atau lebih dahsyat lagi, siapa pembunuh sejuta, dua juta atau mungkin tiga juta orang di Pulau Jawa pada 1965-1966. Marzuki Darusman, legislator Partai Golkar yang anggota panitia RUU Aceh, menganggap penyelesaian pelanggaran hak asasi di Aceh takkan berjalan mulus, “Kasus terlalu banyak dan tak mungkin lewat pengadilan-pengadilan normal.” Ganjalan lain juga ada. “Kalau masyarakat Aceh menganggap p