Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2007

Dua Anak Serdadu

Oleh Imam Shofwan BEATRIZ Miranda Guterres berwajah oval, dagunya berbelah, bibir tipis, mata sipit dan rambut hitam berombak. Kulitnya halus sawo matang dan tubuhnya ramping. Namun karunia ini jadi malapetaka baginya. Para serdadu Indonesia, yang bertugas di kampungnya, Lalerek Mutin di Viqueque, tergiur dengan kecantikannya. Miranda dipaksa jadi gundik, berpindah dari satu tentara ke tentara lain. Para tentara itu sudah pulang ke Pulau Jawa, namun Miranda tak lupa wajah laki-laki yang pernah menyenggamainya. Dari hubungan “kawin paksa” dengan tiga serdadu, Miranda menanggung dua orang anak, yang hingga kini diasuhnya. “Yang pertama sudah kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama),” tutur Miranda pada saya. Saya menemui Miranda pada 22 Mei 2007 lalu di Lalerek Mutin. Anak-anak tanpa baju bermain di depan rumah-rumah kumuh dan kecil. Rumah-rumah itu beratap daun aren, atau uma tali, atau “rumah daun aren” dalam bahasa Tetun. Uma-uma tali itu berlantai tanah. Tidak ada listrik. Babi-bab

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi

Brigade Dokter Kuba

Oleh Imam Shofwan Dari Kuba mereka memberi cinta dan cara bertahan hidup dalam suasana darurat LOUIS Chaviano baru tiga hari berada di rumahnya, di Ave 38 Y Final, Sanatorio Pabellion, Cienfuegos, Kuba. Chaviano sedang melepas kangen pada istri dan anaknya, Liliana Chaviano setelah selama enam bulan berada di Khasmir, Pakistan, bersama rekan-rekannya. Di sana, mereka membantu korban gempa. Sore itu, di paro akhir Mei 2006, ia hanya duduk-duduk saja menonton acara televisi. Tapi sebuah siaran berita menggugah nuraninya. Lagi-lagi soal gempa, dan kali ini diberitakan melanda Yogyakarta. Indera Chaviano menangkap bagian-bagian mengerikan: ribuan orang meninggal dunia dan puluhan ribu orang lainnya luka-luka. Chaviano merasa dirinya harus segera terbang ke Yogyakarta. Namun dia tidak sampai hati untuk menyampaikan perasaannya itu kepada anggota keluarganya. Dia khawatir merusak suasana kebersamaan mereka. Sampai malam, Chaviano berusaha untuk menutupi kegelisahannya. Seseorang dari Departe

Write to Forget

by Imam Shofwan Human right cases in Indonesia are never complete. Time and again fact–finding teams are formed and evidences is found. But the court have never successed in convicting those responsible. At most it is those in the field who get punished, while top brass remains untouchable, unaffected. It was goodly. Perperators of many human right in heavy weight instead taken look like immune. The preperators of the 1965 massacres, for example, have even still never been named, let alone brought to trial. This despite the fact that Sarwo Edhie Wibowo—President Susilo Bambang Yudhoyono’s father-in-law—has claimed that more than three milion people were killed in the at the time. Sarwo Edhie made this claim to Permadi, a legislator with Indonesian Democrat Party of Struggle (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDI-P). Sarwo Edhie himself led the communist ”cleansing” operations in Java and Bali as ordered by Presiden Suharto. But it was not only communists who were killed in these o

Maaf, Ini Tempat Pangeran

Oleh Imam Shofwan TIRAI malam turun di Leuwinanggung, Depok. Hanya ada beberapa orang lewat, melintasi ruas-ruas jalan desa. Sepi merayapi pemukiman itu. Di rumah Iwan Fals, yang terletak di tengah-tengah pemukiman tadi, suasananya terlihat lain. Sejak sore hari, sekitar tiga ratus pemuda-pemudi berkumpul sebuah pendopo, di samping rumah itu. Mereka, kebanyakan mereka mengenakan busana – sejak T-shirt, jaket hingga topi -- yang ditempeli pin bergambar Iwan Fals, judul-judul lagu Iwan Fals, kutipan syair lagu-lagu Iwan Fals. Ada juga yang menempeli busananya dengan emblim organisasi penggemar Iwan Fals, Oi. Jelas mereka fans Iwan Fals. Mereka sengaja datang ke Leuwinanggung untuk bertemu idolanya, sambil main musik bersama, lengkap dengan berjoget bersama. Mereka pun menyaksikan pertunjukan teater, pembacaan puisi, dan selebihnya kongkow-kongkow hingga larut malam. Topiknya macam-macam, namun mereka kerap memberi tekanan pada persoalan kebobrokan bangsa. Setiap Rabu, seminggu sekali aca

Past Crime in Aceh

By Imam Shofwan If the Aceh bill is passed in Jakarta, lieutenant colonel Sudjono and his associates would probably have difficulties sleeping. The bill demands the establishment of a human right court and a truth and reconciliation commission in Aceh. Such a system would have it that those understood as being involved in previous murders could finally be searched out and tried. If there is reconciliation, then they could possibly receive amnesty, so long as they are open and tell the truth about their former violations. If Aceh is successful in trying the perpetrators of crimes against humanity, then at least in theory, Papua should also be able to find the murderers of roughly 100,000 Papuans since 1969, or even further still, the murderers of one, two or perhaps three million people who were killed on the island of Jawa in 1965-66. Marzuki Darusman, a legialator with the Golkar Party and a member of the committee for the Draft Bill on the Government of Aceh, claims tha