Skip to main content

Sekolah Khalid bin Walid Akhirnya Pindah

“Senin baru bisa masuk,”  tutur Tri Ari Wilujeng, guru biologi Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid.

Setelah luapan lumpur ini, dua tahun lalu, sekolah ini berjalan dengan tidak normal. Siswa-siswanya menjadi sulit dikontrol kedatangannya ke sekolah.

“Hari ini anak ini yang datang besok orang lain. Saya jadi kesulitan mengingat siswa saya,” tutur Sudiono Akhmad  Rofiq, guru sosiologi MA dan juga korban lumpur Lapindo dari desa Glagaharum RT 04/01.

Hal ini dimaklumi oleh Rofiq karena memang kebanyakan siswa dari keluarga para korban yang mengungsi ke berbagai tempat di Sidoarjo sampai Pasuruan dan ini menjadi kesulitan tersendiri bagi para siswa karena musti mengeluarkan biaya tambahan untuk datang ke sekolah.

Rofiq tahu betul banyak korban yang kehilangan pekerjaan dan ganti rugi dari Lapindo juga tak kunjung jelas juntrungannya.

Tak hanya itu, karena tiga kali kena banjir lumpur dan air asin, buku-buku pelajaran milik sekolah ini juga dititipkan ke beberapa rumah guru untuk pengamanan. Ini tentu saja menyulitkan proses belajar-mengajar siswa-siswa Khalid bin Walid dari TK sampai tingkat Aliyah yang jumlahnya mencapai 300 lebih siswa.

Meski tiga kali kebanjiran, sejak luapan lumpur, sekolah ini tetap bertahan menempati sekolah mereka karena tak ada peringatan atau inisiatif baik dari pemerintah atau Lapindo untuk memindah sekolah ini. Alasannya, karena sekolah ini swasta.

“Tak ada perintah untuk pindah. Yang disuruh pindah  hanya sekolah negeri,” tutur Rofiq.
Peringatan untuk pindah tak juga datang hingga desa Renokenongo ditanggul, sekira seminggu lalu, dan karena tidak ada harapan lagi banjir air asin akan surut sebab tanggul di sebelah barat tanggul cincin pusat semburan lumpur yang jebol tidak diperbaiki dengan layak oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

Akhirnya pimpinan sekolah ini berinisiatif sendiri untuk pindah ke desa sebelah timur mereka; Glagaharum. Mereka mencari tempat sendiri tanpa bantuan dari pemerintah ataupun Lapindo.
Tempat baru mereka adalah sebuah gudang bekas milik toko bangunan Sakinah kepunyaan Christina, istri mantan lurah Glagaharum. Toko bangunan ini bangkrut setelah luapan lumpur karena di Glagaharum tak ada lagi yang membangun rumah setelah luapan lumpur.

“Sejak pagi kami mengangkut meja-kursi ke Glagaharum,” tutur Toni Budiawan, kepala Tata Usaha Madrasah Tsanawiyah (MTs) Khalid bin Walid, “Masih ada dua lemari buku yang tertinggal di dalam.”

Tempat baru ini buruk sekali karena kotor dan berdebu, meja-kursi sekolah di tata berantakan tak ada sekat  masing-masing kelas. Sementara ruang guru ditempatkan dibekas ruang kecil bekas menyimpan semen.

“Hanya itu yang bisa saya berikan,” tutur Christina. [mam]

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Dua Anak Serdadu

Oleh Imam Shofwan BEATRIZ Miranda Guterres berwajah oval, dagunya berbelah, bibir tipis, mata sipit dan rambut hitam berombak. Kulitnya halus sawo matang dan tubuhnya ramping. Namun karunia ini jadi malapetaka baginya. Para serdadu Indonesia, yang bertugas di kampungnya, Lalerek Mutin di Viqueque, tergiur dengan kecantikannya. Miranda dipaksa jadi gundik, berpindah dari satu tentara ke tentara lain. Para tentara itu sudah pulang ke Pulau Jawa, namun Miranda tak lupa wajah laki-laki yang pernah menyenggamainya. Dari hubungan “kawin paksa” dengan tiga serdadu, Miranda menanggung dua orang anak, yang hingga kini diasuhnya. “Yang pertama sudah kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama),” tutur Miranda pada saya. Saya menemui Miranda pada 22 Mei 2007 lalu di Lalerek Mutin. Anak-anak tanpa baju bermain di depan rumah-rumah kumuh dan kecil. Rumah-rumah itu beratap daun aren, atau uma tali, atau “rumah daun aren” dalam bahasa Tetun. Uma-uma tali itu berlantai tanah. Tidak ada listrik. Babi-bab...