15 December 2016

Pak George


Penampilannya ngaktivis banget. Kaos putih berkerah, berselempang tais dan berambut acak-acakan. Saat itu awal 2007. Suaranya masih keras. Ia datang sebagai peserta diskusi sama seperti saya dan mendengarkan penuturan Galuh Wandita, almarhum Agustinho de Vasconselos dan Patrick Walsh yang saat itu meluncurkan laporan kejahatan kemanusiaan di Timor Leste selama pendudukan Indonesia di Perpusnas, Matraman.

Laporan itu berjudul Chega! artinya cukup, berisi testimoni ribuan korban dan saksi mata kejahatan kemanusiaan selama 25 tahun. Patrick, Agustinho dan Galuh mengajak audien memikirkan tindaklanjut laporan tersebut.

Sesi tanya jawab dibuka. Pak George berdiri. Ia menandaskan kejahatan kemanusiaan di Timor Leste hanya bisa terjadi karena tak ada tentara yang dihukum atas kejahatan 65. Impunitas ini bikin siklus kejahatan kemanusiaan diulang-ulang. Di Timor Leste, di Aceh, di Poso dan di Papua. Dia menegaskan pentingnya mengadili penjahat 65 jika ingin kejahatan-kejahatan kemanusiaan lain diputus siklusnya.

Dari Pak George saya tahu kalau ada rantai penghubung antar kejahatan-kejahatan kemanusiaan di negeri ini. Porosnya pada pembantaian 65. Impunitas militer pokoknya.

Sebelum ketemu, saya kenal Pak George sebagai pengkritik Suharto dan tangsi militer yang mendukungnya. Karena ingin tahu lebih lanjut saya menghampirinya dan minta nomor telepon. Saya bilang hendak pergi ke Timor Leste untuk bikin laporan soal Chega! ini dan saya butuh bantuannya. Ia lantas merekomendasikan saya beberapa buku dan majalah untuk saya baca. "Sebelum berangkat ketemu saya dulu, saya kasih kontak kawan-kawan di Dili."

Tak semua referensi yang dibilang Pak George saya temukan. Saya cuma ketemu buku karyanya "Menyongsong Matahari Terbit Di Puncak Ramelau," dan beberapa majalah yang ia sebutkan. Bagi saya yg pertama kali liputan di Timor Leste, buku tersebut memberi saya banyak informasi awal dan gambaran konflik di sana. Pendeknya, ia jadi amunisi awal liputan saya.

Usai peluncuran Pak George kembali ke Jogja dan saya kembali menyiapkan liputan ke Timor Leste. Saya menemui Galuh Wandita, Andreas Harsono dan Amiruddin Al Rahab untuk memperkaya amunisi dan meminta kontak kawan di sana.

Beberapa bulan selanjutnya Pak George ada acara di Jakarta dan kami janjian ketemuan. Saya menjemputnya di bandara. Setelah beberapa jam menunggu, pesawat Pak George tiba dan kami ketemu. Dia ngomel-ngomel karena panitia membelikan tiket pesawat Lion yang pelit makanan. "Mereka nggak tau saya sakit klo telat makan," katanya. Kami lantas mencari makan di bandara. Usai makan moodnya membaik, dia mulai menanyakan perkembangan rencana liputan dan dia telah menyiapkan kontak kawan-kawannya.

Kami pisah saat acara Pak George hendak mulai. Kita janjian akan saling berkabar.

Saya kembali berkontak dengan Pak George saat Yayasan Pantau hendak bikin kelas investigasi. Di Pantau tak banyak list investigator untuk jadi pemateri dan Pak George adalah pemateri ideal. Investigasinya tentang korupsi keluarga cendana dan kroninya tak terbantahkan. Ia menyelusuri aset-aset keluarga tersebut hingga ujung dunia. Pak George didapuk dengan Bang Otto Syamsuddin Ishak untuk memberi warna investigasi kejahatan kemanusiaan di Acheh. Di kelas Investigasi lainnya Pak George dipadu dengan Metta Dharmasaputra, investigator ASIAN AGRI.

Panitia menyiapkan acara dan sudah membelikan tiket Pak George dari Jogja dan saya kebagian menjemputnya di bandara. Kejadian berulang. Ia dibelikan tiket Lion Air dan dia ngomel tak ada makan. Saya merasa bersalah sekali karena saya lupa kasih tahu panitia untuk pilihkan pesawat yg ada makannya buat Pak George. Saya lantas mengajaknya makan untuk permintaan maaf.

Setelah itu, saya sering berbagi sms dengan Pak George. Kalau lagi di Jakarta dia mengajak bertemu. Saat dia meluncurkan buku tentang korupsi kepresidenan SBY Gurita Cikeas, saya mengundangnya untuk bicara di hadapan wartawan-wartawan senior dari Asia-Pasifik dan USA yang jadi peserta program East-West Center. Ada kejadian lucu karena saat itu dia lupa bahasa inggrisnya gurita. Ia keluar ruangan dan minta gurita pada petugas hotel. Setelah dapat, baru semua peserta ngeh itu "octopus." Ia bikin semua peserta tergelak.

Deket dengan Pak George tentu menguntungkan bagi wartawan macam saya. Ia murah hati membagi ilmu dan bisa diajak ngomong soal apa saja. Termasuk saat saya bekerja di korbanlumpur.info untuk membuat ruang korban Lapindo bersuara di tengah gemuruh media-media milik Bakrie.

Karena sering curhat soal Lapindo dia meminta saya membantu menjelaskan soal Lapindo ketika dia diundang utk bicara di depan peserta kelas diplomasi bikinan José Ramos-Horta Saya tersanjung sekaligus minder karena kemampuan berbahasa Inggris terbatas.

Untuk bikin mudah, saya bikin bagan relasi Bakri dan pemerintah dari SBY hingga lurah Renokenongo yang telah berkongkolikong memuluskan ekplorasi gas di tengah pemukiman padat penduduk.

Meski susah-payah saya menjelaskan namun saya tak yakin audien paham. Pak George tahu kegalauan saya dan membesarkan hati saya. "Ko nulis buku saja soal Lapindo, saya buatkan pengantarnya nanti."

Bandul politik kian konservatif saat SBY berkuasa, minoritas agama banyak ditindas, saat itu saya sempat mendiskusikan ini dengan Pak George. Saya menemui Pak George bersama kawan Firdaus Mubarik, aktivis Ahmadiyah dan seorang kolega Pantau Fahri Salam.

SBY juga merepresi aktivisme di Indonesia Timur, utamanya Ambon dan Papua. Saat dia berkunjung ke Ambon 2007 ia menangkapi ratusan orang yang menari cakalele. Ia juga menutup rapat Papua dari media asing sembari melarang kembali pengibaran bendera Papua. Banyak aktivis ditangkap, disiksa dan dituduh makar karena demo damai. Bersama Af Wensi, aktivis Papua, kami juga minta saran Pak George.

Habis itu kami jarang berkontak. Saya tetep mengikutinya dari jauh. Ketika 'orang Jogja' marah karena Pak George mengkritik Sultannya, saya sedih. Ketika dia ngepret Ramadhan Pohan, saya 'senang', meski tak seharusnya begitu.

Kabar dari kawan-kawan di Jogja kesehatannya memburuk dan sa berencana membesuknya. Belum kesampian, Pak George pindah ke Palu dan makin jauh kesempatan ketemu fisik lagi.

Setiap hendak nulis sesuatu saya biasa riset bacaan terlebih dulu dan di saat seperti ini saya sering ketemu Pak George dalam karya-karyanya. Terakhir saya ketemu disertasi Pak George soal bendungan di Indonesia. Belum tuntas saya membacanya, seorang kawan ingin menulis soal tema itu dan saya meminjamkannya.

Ia belum dikembalikan dan saya ingin membacanya lagi dan mengenang pria berambut panjang dan bertais, yang banyak membantu liputan-liputan saya, yang telah tiada.

No comments:

'Beta Mo Tidur Deng Bapa'

Ilustrasi oleh Gery Paulandhika   Bagaimana ekspresi politik secara damai didakwa hukuman penjara dan memisahkan anggota keluarga. A WAL JAN...