Skip to main content
Senyum Terakhir
Oleh Daris

Senin pagi selalu dibuka dengan upacara bendera di sekolahku. Namun rutinitas itu tak lagi bisa dilakukan sejak lumpur Lapindo menggenangi halaman sekolahku, sekira Mei 2006.

Aku tak lagi bisa membaca do’a penutup upacara yang selalu jadi tugas rutinku. Sahabatku Zahroh yang biasanya membacakan teks proklamasi dengan suaranya yang lembut namun dibikin tegas juga tak lagi bisa aku dengarkan.

Aku siswi kelas III C Sekolah Menengah Pertama Negeri Porong. Sekolahku terletak di desa Renokenongo. Sekolah di sini sangat menyenangkan pada awalnya hingga musibah lumpur Lapindo merusak semuanya.

Aku masih ingat lumpur itu, awalnya, hanya sebuah bau busuk yang menyengat. Saat itu, Bu Etik, guru bahasa daerahku sedang mengajar di depan kelas.

Bu Etik guru yang penyabar, selembar kain yang selalu menempel di kepalanya selalu mengesankanku. Karena kesabarannya murid-muridnya biasanya berani gaduh saat dia mengajar, seperti pagi itu, sejak Bu Etik masuk kelas kawan-kawan sekelasku gaduh sekali.

“Tenang anak-anak!” tutur Bu Etik mencoba untuk meredam suasana.

Namun kelas makin gaduh. Bu Etik lantas diam, para siswa sudah mafhum kalau Bu Etik diam tandanya marah. Kawan-kawan lantas diam beberapa saat. Ketika Bu Etik akan bicara lagi.

“Eh, kamu kentut ya?” celetuk seorang kawanku pada seorang anak yang berambut keriting dan berbadan gemuk yang tak jauh dari tempat duduknya. Sontak semua tertawa termasuk aku.

“Dasar! Kalau kentut di luar dong! Bau nih,” sambungnya. Pelajaran jadi kacau semua tertawa tak mempedulikan guru.

“Diam. Diam anak-anak,” lerai Bu Etik.

Karena temanku yang dituduh merasa tidak melakukan. Dia pun berusaha membela diri dan berdiri.

Braak. Karena tak sabar, meja harus mau jadi korban kekesalannya.

“Siapa yang kentut? Aku nggak kentut, kamu kali? Nuduh orang sembarangan. Kalau nggak percaya nih cium pantatku.” Teriaknya lantas duduk kembali.

Semua kembali tertawa. Kacau. Sangat kacau. (Semua belum tahu kalau bau itu berasal dari semburan lumpur Lapindo)

Bu Etik keluar, Aku celingak-celinguk di pintu. Banyak anak-anak dari kelas lain sudah pada keluar. Tanpa dikomando kami lantas berhamburan keluar kelas.

Aku tak pernah keluar sendiri. Aku selalu keluar bersama geng-ku. Nama gengku Ijo Lumut singkatan dari Jomblo-jomblo Imut. Anggotanya lima orang dan tempat tongkrong kami di depan kelas di bawah pohon mangga. Kami lantas keluar kelas bersama dan menuju ke tempat tongkrong kami.

Karena sudah penuh kami lantas mencari tempat tongkrong lain di dekat kantin.

Ada apa sih kok semua sudah pada keluar,” tanya Alisa, salah seorang anggota gengku membuka percakapan.

“Emm, tadi waktu berangkat sekolah, aku lihat di jalan raya sebelah barat sudah banyak orang berkerumun,” tutur Regina, seorang anggota gengku dari desa Jatirejo.

Emang ada apa?”

“La, itu yang nggak aku tahu, Vi”

“Pom bensin milik pertamina bocor!” teriak seorang anak, tapi aku tak tahu pasti siapa itu.

“Hah, pom bensin?” Kami saling memandang. Bengong.

Tak lama kemudian bel panjang dibunyikan tandanya pulang sekolah. Kami senang sekali pulang lebih awal tapi kami tak tahu, kenapa?

Kawan-kawan segengku lantas ke kelas mengambil tas dan lantas ke tempat parkir sepeda. Regina membuka pembicaraan.

“Kamu tidak mau lihat pom bensin?” Kata Regina, anak-anak banyak yang mau ke sana!”

“Em, aku tanya teman-teman sedesaku dulu. Kalau mereka mau aku ke sana. Kamu duluan aja deh kalau buru-buru.”

“Ya udah, aku duluan ya,” kata Regina sambil melambaikan tangan.

Aku menunggu teman-temanku di tempat parker sambil memikirkan darimana asal bau busuk ini. Tak lama kemudian mereka datang.

“Mau liat pom pertamina, nggak?” Tanya seorang kawanku.

“Tanya yang lain, mau nggak?” Jawabku.

Semua serempak mengiyakan lantas kami mengayuh sepeda masing-masing. Belum sampai pom bensin, di ujung desa Renokenongo tak jauh dari jalan tol kami melihat banyak orang berkerumun.

Dari situ bau busuk makin kuat dan kami baru tau di situlah asal bau itu dari sebuah semburan lumpur besar. [end]

Awal Maret di Porong.

Bersambung.

Comments

Popular posts from this blog

Gembrot Informasi*

Oleh: Imam Shofwan Apa Yang Bisa Diharapkan Dari Perusahan Media Ini? Jelang akhir tahun lalu seorang kawan wartawan Tempo TV mengeluh pada saya. Dia dan seorang kolega kerjanya baru saja dimintai foto kopi KTP. Untuk apa? Untuk mendukung pencalonan Faisal Basri jadi Gubernur Jakarta. Ini bukan hal baru di Kelompok Tempo dengan figur utama Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri yang behubungan dekat dengan mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan mendorong Sri Mulyani untuk jadi kandidat RI 1. Apakah mereka akan memberitakan orang yang didukung dengan kritis? Kabar serupa juga melanda kantor kelompok MNC. Karyawan MNC dibagi surat pernyataan jadi anggota Partai Nasdem. Metro TV jauh sebelumnya digunakan Surya Paloh untuk kampanye politiknya. Media milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie, seperti: Suara Karya, Surabaya Post, TV One, ANTeve, VIVANews memobilisasi semua media yang berafiliasi padanya, untuk mendukung karir politiknya di Golkar dan membersihkan dirinya dari kasus Lapin...

Kalau Diungkap, Kami akan Dihukum Berat

Oleh Imam Shofwan “Diundur tp bisa jd batal, km lg berjuang,” pesan pendek ini saya terima dari Mikanos, salah seorang pengacara Fabianus Tibo, pada, 12 Agustus. Hari eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Mikanos biasa menemani para wartawan yang hendak bertemu dengan Tibo. Saya mengenalnya lima bulan lalu saat Majalah Playboy mengutus saya untuk mewawancarai Fabianus Tibo di Palu. Mikanos sangat membantu selama saya di Palu. Untuk dapat mewawancarai Fabianus Tibo dengan leluasa, dia mengusulkan agar saya mengurus izin di Kantor Wilayah Kehakiman Sulawesi Tengah. Seharian saya bolak-balik dari Kantor Wilayah Kehakiman-Kejaksaan Tinggi-Pengadilan Negari untuk mendapatkan izin tersebut, namun saya tidak dapat mendapat. Mikanos kemudian mengusulkan agar saya ikut rombongan Pastur saat kebaktian. Cara ini cukup jitu, atas nama jemaah yang akan kebaktian saya masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Palu tanpa halangan berarti. Pagar dari anyaman kawat setinggi...

Ada al-Hallaj di Balik Dhani Ahmad

Oleh Mujtaba Hamdi dan Imam Shofwan Berbagai tudingan penghinaan agama menggempur Dhani Ahmad dan Dewa. Dhani tak memungkiri, inspirasi lirik-liriknya bermula dari wacana agama. Dhani bahkan menyukai tokoh-tokoh sufi kontroversial. HARI masih pagi. Cuaca belum begitu panas. Tapi kabar panas sudah muncul di acara infotainment televisi swasta itu. Kamera menyorot tajam segurat wajah yang berucap dengan tegas, “Beberapa lirik dan gambar yang dipakai Dewa dalam kasetnya diambil dari syair aliran sesat di Timur Tengah.” Di layar, tampak subtitle Pertahanan Ideologi Syariat Islam (Perisai). Sepertinya tidak main-main. Ridwan Saidi, sosok yang mewakili kelompok bernama Perisai tersebut, hari itu tengah melaporkan grup band Dewa ke Kejaksaan Agung. Ridwan seorang budayawan dan tokoh Betawi. Ridwan juga suka politik. Di masa Orde Baru, Ridwan sempat menclok di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu pindah ke Golongan Karya (Golkar), kemudian mendirikan Masyumi Baru. Di Era Reformasi, sa...