JAYAPURA, 11 November 2012
– Suciwati, isteri almarhum Munir Said Thalib, mendatangi makam Theys H. Eluay
di Sentani serta bertemu keluarga Aristoteles Masoka, sopir Eluay, yang hilang
usai melaporkan penculikan Eluay 11 tahun lalu.
“Apa yang dialami Theys
Eluay dan Aristoteles Masoka sama dengan suami saya, Munir. Mereka dibunuh oleh
orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Saya ingin kita semua berjuang
bersama merebut keadilan. Jangan biarkan pelaku bebas berkeliaran,” kata
Suciwati. Perempuan yang pernah jadi aktivis buruh ini menyatakan
suaminya diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia, Jakarta-Amsterdam, pada 7
September 2004.
“Rezim ini tidak berubah
karena penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap pejuang hak asasi manusia
terus terjadi. Sampai hari ini para penjahatnya masih bebas bahkan
dipromosikan. Kita harus terus melawan dan katakan meski para pelaku itu
membunuh Munir dan Theys ini tidak akan menghentikan kebenaran dan perjuangan
yang telah dilakukan Theys dan Munir. Kita harus terus menolak kekerasan di
bumi Indonesia!” Tandas Suciwati.
Suciwati datang ke
Jayapura untuk memperingati hari pembunuhan Eluay, kepala suku dan ketua
Presidium Dewan Papua, yang diculik dan dibunuh seusai memenuhi undangan
perayaan hari pahlawan di Markas Tribuana Kopassus, Jayapura, 10 November 2001.
Saat hendak pulang menuju
ke rumah keluarga Eluay di Sentani, dia dibunuh dalam mobilnya sendiri.
Mulanya, komandan Kopassus di Jayapura, Letkol Sri Hartomo membantah terlibat
pembunuhan Eluay. Namun tekanan nasional dan internasional membuat militer
Indonesia terpaksa mengakui keterlibatan Kopassus dalam pembunuhan Eluay.
“Kami datang ke Papua
bukan untuk menyatakan solidaritas atas korban-korban pelanggaran hak asasi
manusia di Papua, namun juga mohon bantuan masyarakat Papua agar Mbak Suci
didoakan agar dia juga bisa mendapat keadilan dalam kasus pembunuhan Cak Munir”
kata Olga Hamadi, koordinator KontraS Papua yang mendampingi Suciwati selama di
Papua.
Pada 21-23 April 2003,
pengadilan militer Surabaya memvonis Letkol Tri Hartomo dan enam tentara
Kopassus lain bersalah secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang
mengakibatkan kematian Theys Eluay. Mereka dihukum antara dua hingga 3.5 tahun
penjara serta sebagian dipecat dari militer:
•
Letkol Tri Hartomo,
komandan Kopassus di Jayapura (pemecatan, hukuman 3.5 tahun penjara);
•
Mayor Doni Hutabarat (2.5 tahun
penjara, mengundang Eluay hadir dalam acara Kopassus, ikut memata-matai Eluay);
•
Kapten Rionaldo (3 tahun,
melakukan penganiayaan terhadap Eluay, memata-matai Eluay);
•
Letnan Satu Agus Supriyanto (3
tahun, penganiayaan, tidak hentikan Prajurit A. Zulfahmi saat mencekik Eluay);
•
Sersan Satu Asrial (3 tahun,
penganiayaan);
•
Sersan Satu Laurensius Li (2
tahun, tak mencegah rekan-rekannya mencekik dan menganiaya Eluay;
•
Prajurit Kepala A. Zulfahmi (3
tahun, pemecatan, mencekik Eluay dalam mobil Toyota Kijang).
Sebulan sebelum
pembunuhan, Tri Hartomo memerintahkan bawahannya “mengamankan” Theys Eluay. Di
pengadilan, Hartomo mengaku bahwa dia memerintahkan anak buah untuk mencegah
Eluay merayakan kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2001. Mayor Doni Hutabarat
memimpin team. Mereka menghentikan mobil Eluay di daerah Skyline, sekitar 20
menit dari Hamadi. Menurut kesaksian di Surabaya, Theys Eluay berteriak yang
membuat A. Zulfahmi membungkam mulut Eluay dan “tak sengaja” membunuh Eluay.
Aristoteles Masoka sempat
menelepon isteri Theys Eluay, Yaneke Ohee, di mana Masoka dikutip menelepon
gugup dan tergesa-gesa, sebelum telepon mendadak mati: “Mama, Bapa diculik,
saya akan pergi cek, karena mereka yang culik ….”
Almarhum Munir dari
Kontras mengatakan, pembunuhan Theys Eluay ada kemungkinan terkait dengan
sebuah dokumen bocor dari rapat di Departemen Dalam Negeri pada 8 Juni 2000 di mana
dibicarakan soal bagaimana mengatasi tokoh-tokoh Papua, termasuk Theys Eluay,
yang bicara soal merdeka. Peserta rapat termasuk datang dari Kopassus.
Sekarang ternyata ketujuh
orang tersebut tidak sepenuhnya menjalani hukuman yang ditimpakan pengadilan
Surabaya. Ada kemungkinan mereka mendapat keringanan ketika banding di
pengadilan militer Jakarta. Tri Hartomo bahkan naik pangkat, menjadi kolonel
dan komandan Group I Kopassus di Serang. Hartomo baru dipindahkan dari Kopassus
ketika Amerika Serikat hendak menjalin kerja sama militer dengan Kopassus pada
Juli 2010. Kini Hartomo adalah komandan Sekolah Calon Perwira AD di Bandung.
Doni Hutabarat kini berpangkat Letnan Kolonel dan bertugas sebagai Komandan
Dandim Medan.
Kopassus tetap melakukan
kegiatan mata-mata terhadap masyarakat sipil di Papua, termasuk membayar
wartawan, guna mengawasi tokoh-tokoh sipil. Pada Agustus 2011, ratusan lembar
dokumen Kopassus bocor, termasuk nama-nama wartawan, pegawai negeri, sopir
rental, tukang ojek dan lainnya, yang bekerja untuk Kopassus.
Solidaritas Nasional untuk
Papua (SNUP): Mengenai Pengadilan Pembunuhan Theys Eluay
Dokumen Militer Menyingkap
Aksi Mata-mata di Papua:
Comments